Saya dan Merah Putih
Dalam judul saya sebutkan 'Saya dan Merah Putih', yang dalam hal ini kata 'Saya' berarti bukan hanya saya, melainkan menitikberatkan pada para pelajar Indonesia. Sebelumnya ingin saya ucapkan bahwa saya terinspirasi pada sebuah artikel lain dari Agus Muliadi (kalau nda' salah.. hehe) tentang negara terkaya di dunia yang ternyata tak lain dan tak bukan adalah negara Indonesia kita tercinta :)
Artikel itu saya baca dari tagged note di facebook saya dari seorang teman sekelas yang anti malaysia, dan juga di majalah sekolah.
Saya kagum ketika membaca artikel tersebut. Begitu juga dengan banyak teman lain yang membaca artikel itu. Belum lagi gambar-gambar yang disertakan seolah turut menggali rasa kasihan dan haru di dalam pikiran ini.
Layak disebut ironi memang. Karena setelah saya pikir-pikir lagi, rasanya negeri kita ini benar-benar surga, hanya tinggal bagaimana kita mengolah dan menyikapinya saja. Sering saya menemukan korelasi antar berbagai kemungkinan dalam hidup ini yang membuat saya sering senyum-senyum sendiri.
Saya tahu, negeri ini sudah penuh dengan perubahan. Lebih-lebih dengan keinginan untuk berubah. Namun dalam mewujudkannya butuh lebih dari sebuah keinginan dan perubahan itu sendiri. Butuh pengorbanan, yang meskipun simpel kita sebutkan, jika ditilik lagi artinya begitu besar. Saya bahkan ragu jika diminta berkorban. Butuh kesadaran, yang sebenarnya sudah ada, hanya saja diabaikan. Dan juga kemauan kuat. Kemauan kuat yang akan mendorong kita untuk melakukan. Meskipun kita memiliki sejuta kekayaan yang tersimpan di Indonesia, namun jika kita tidak mau mengolahnya baik-baik maka semua itu percuma saja.
Saya sadar, ada ribuan juga remaja dan pelajar seperti saya yang berpikiran sama. Banyak yang sudah berkemauan kuat, hanya tidak tahu bagaimana harus melakukannya. Lalu berhenti begitu saja lantaran tak tahu dan tak mau tahu bagaimana caranya untuk sekedar berkorban bagi negeri ini. Harusnya kita ingat, dimana kemauan disitu ada jalan :)
Berkorban untuk negeri ini nggak harus dengan demonstrasi dan angkat poster dimana-mana kok. Nggak harus dengan bakar replika pejabat, bikin karikatur untuk sindiran, ataupun bikin artikel seperti saya (hehe..). Namun kita perlu mengawalinya dengan kesadaran. Tumbuhkan rasa sadar dan empati dalam diri kita. Hal ini dirasa cukup mudah, apalagi bagi orang-orang yang perasa. Munculkan keinginan untuk melakukan, melakukan apa yang 'seharusnya' kita lakukan sebagai pelajar. Nggak cuma belajar, but see... di sekeliling kita tentu banyak organisasi-organisasi remaja yang bertujuan baik. Kalau belum, kita bisa speak up kok ke orang tua, teman atau guru tentang tujuan dan kemauan kita. Bisa jadi kita yang jadi perintis utama .. hoho.
Apa yang kita harus lakukan memang masih klise, bahkan sampai sekarang. Belajar, saya rasa pun tidak sepenuhnya mengapresiasikan bakti kita pada merah putih. Kita juga nggak harus ikut angkat bambu runcing atapun senjata aka untuk membela negara.
Lihat saja sekeliling, terutama di sekolah. Bertebaran banyak ekstrakulikuler disana. Dan jika kita tilik lagi, banyak dari kegiatan itu mengandung unsur budaya luar yang kuat. Bahkan kita pun termasuk di dalamnya. Nggak usah kita berkoar-koar untuk keluar dari ekstra itu ataupun memerangi hal-hal tersebut. Lihat di sisi lain. Ada tartrad a.k.a tari tradisional, ekstra saman, gamelan, dan lain sebagainya yang selama ini seolah terasingkan dan terkalahkan oleh ekstra lain seperti cheerleader, band, dance, dan lain sebagainya. Mulai deh, tengok ekstra-ekstra yang 'terasingkan' itu. Coba kita pelajari juga. Kalau bisa, ikutan juga boleh. Sebab ada pepatah kan, tak kenal maka tak sayang. Bisa jadi kita beneran jatuh hati sama hal itu.
Coba aja. Secara langsung kita malah bisa ikut melestarikan budaya negeri kita.
Negeri dengan sejuta budaya dan keanekaragaman yang indah, juga sumber daya potensial yang patut diperhitungkan.
Harusnya negara kita nggak kalah dari Amerika, Jepang, maupun negara-negara Eropa. Negara Indonesia memiliki hal yang lebih dari yang disuguhkan negara-negara itu. Bukan karena teknologi, namun Tuhan yang berbaik hati telah memberikan mutiara-mutiara ciptaan-Nya di negeri kita ini.
Saya dan Merah Putih.
Kadang saya merasa miris melihat diri saya sendiri. Yang hingga saat ini, belum bisa menjadi individu yang lebih baik. Saya hanya menjadi penikmat belaka. Penikmat buku-buku idealis layaknya Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie, ataupun buku kemanusiaan layaknya Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer. Pun buku Laskar Pelangi dan sekuelnya dari Andrea Hirata. Dari sana saya bisa mengenakan kacamata secara lebih luas dan universal tentang negeri saya ini. Dari sana pulalah terketuk pintu hati saya untuk menilik lagi apa yang perlunya saya ucapkan. Meskipun tidak semua.
Namun saya juga remaja yang hidup di masa sekarang. Yang masih baca teenlit berbahasa gaul, tergiur oleh mode dan teknologi, juga menyukai tantangan.
Saya, dan 'saya' 'saya' yang lain, mungkin belum bisa mengapresiasikan rasa cinta kami terhadap Merah Putih yang sebenarnya. Yang telah di rebut kuat oleh bangsa Indonesia dahulu kala. Kami, meskipun hidup di zaman yang sudah merdeka dan serba enak, malah bingung mewujudkan rasa cinta kami terhadap tanah air itu sendiri.
Saya pun tak selamanya ingin hanya jadi penikmat belaka dari kehidupan ini. Saya tak ingin jadi angin lalu, sama seperti 'saya' 'saya' yang lain.
Dan saya berharap, sedikit banyak kami bisa memberikan sumbangsih terhadap negeri ini agar kami layak disebut penduduknya.
:)
Keep spirit! Ganbatte!!!
-vigna sinensis-
Artikel itu saya baca dari tagged note di facebook saya dari seorang teman sekelas yang anti malaysia, dan juga di majalah sekolah.
Saya kagum ketika membaca artikel tersebut. Begitu juga dengan banyak teman lain yang membaca artikel itu. Belum lagi gambar-gambar yang disertakan seolah turut menggali rasa kasihan dan haru di dalam pikiran ini.
Layak disebut ironi memang. Karena setelah saya pikir-pikir lagi, rasanya negeri kita ini benar-benar surga, hanya tinggal bagaimana kita mengolah dan menyikapinya saja. Sering saya menemukan korelasi antar berbagai kemungkinan dalam hidup ini yang membuat saya sering senyum-senyum sendiri.
Saya tahu, negeri ini sudah penuh dengan perubahan. Lebih-lebih dengan keinginan untuk berubah. Namun dalam mewujudkannya butuh lebih dari sebuah keinginan dan perubahan itu sendiri. Butuh pengorbanan, yang meskipun simpel kita sebutkan, jika ditilik lagi artinya begitu besar. Saya bahkan ragu jika diminta berkorban. Butuh kesadaran, yang sebenarnya sudah ada, hanya saja diabaikan. Dan juga kemauan kuat. Kemauan kuat yang akan mendorong kita untuk melakukan. Meskipun kita memiliki sejuta kekayaan yang tersimpan di Indonesia, namun jika kita tidak mau mengolahnya baik-baik maka semua itu percuma saja.
Saya sadar, ada ribuan juga remaja dan pelajar seperti saya yang berpikiran sama. Banyak yang sudah berkemauan kuat, hanya tidak tahu bagaimana harus melakukannya. Lalu berhenti begitu saja lantaran tak tahu dan tak mau tahu bagaimana caranya untuk sekedar berkorban bagi negeri ini. Harusnya kita ingat, dimana kemauan disitu ada jalan :)
Berkorban untuk negeri ini nggak harus dengan demonstrasi dan angkat poster dimana-mana kok. Nggak harus dengan bakar replika pejabat, bikin karikatur untuk sindiran, ataupun bikin artikel seperti saya (hehe..). Namun kita perlu mengawalinya dengan kesadaran. Tumbuhkan rasa sadar dan empati dalam diri kita. Hal ini dirasa cukup mudah, apalagi bagi orang-orang yang perasa. Munculkan keinginan untuk melakukan, melakukan apa yang 'seharusnya' kita lakukan sebagai pelajar. Nggak cuma belajar, but see... di sekeliling kita tentu banyak organisasi-organisasi remaja yang bertujuan baik. Kalau belum, kita bisa speak up kok ke orang tua, teman atau guru tentang tujuan dan kemauan kita. Bisa jadi kita yang jadi perintis utama .. hoho.
Apa yang kita harus lakukan memang masih klise, bahkan sampai sekarang. Belajar, saya rasa pun tidak sepenuhnya mengapresiasikan bakti kita pada merah putih. Kita juga nggak harus ikut angkat bambu runcing atapun senjata aka untuk membela negara.
Lihat saja sekeliling, terutama di sekolah. Bertebaran banyak ekstrakulikuler disana. Dan jika kita tilik lagi, banyak dari kegiatan itu mengandung unsur budaya luar yang kuat. Bahkan kita pun termasuk di dalamnya. Nggak usah kita berkoar-koar untuk keluar dari ekstra itu ataupun memerangi hal-hal tersebut. Lihat di sisi lain. Ada tartrad a.k.a tari tradisional, ekstra saman, gamelan, dan lain sebagainya yang selama ini seolah terasingkan dan terkalahkan oleh ekstra lain seperti cheerleader, band, dance, dan lain sebagainya. Mulai deh, tengok ekstra-ekstra yang 'terasingkan' itu. Coba kita pelajari juga. Kalau bisa, ikutan juga boleh. Sebab ada pepatah kan, tak kenal maka tak sayang. Bisa jadi kita beneran jatuh hati sama hal itu.
Coba aja. Secara langsung kita malah bisa ikut melestarikan budaya negeri kita.
Negeri dengan sejuta budaya dan keanekaragaman yang indah, juga sumber daya potensial yang patut diperhitungkan.
Harusnya negara kita nggak kalah dari Amerika, Jepang, maupun negara-negara Eropa. Negara Indonesia memiliki hal yang lebih dari yang disuguhkan negara-negara itu. Bukan karena teknologi, namun Tuhan yang berbaik hati telah memberikan mutiara-mutiara ciptaan-Nya di negeri kita ini.
Saya dan Merah Putih.
Kadang saya merasa miris melihat diri saya sendiri. Yang hingga saat ini, belum bisa menjadi individu yang lebih baik. Saya hanya menjadi penikmat belaka. Penikmat buku-buku idealis layaknya Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie, ataupun buku kemanusiaan layaknya Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer. Pun buku Laskar Pelangi dan sekuelnya dari Andrea Hirata. Dari sana saya bisa mengenakan kacamata secara lebih luas dan universal tentang negeri saya ini. Dari sana pulalah terketuk pintu hati saya untuk menilik lagi apa yang perlunya saya ucapkan. Meskipun tidak semua.
Namun saya juga remaja yang hidup di masa sekarang. Yang masih baca teenlit berbahasa gaul, tergiur oleh mode dan teknologi, juga menyukai tantangan.
Saya, dan 'saya' 'saya' yang lain, mungkin belum bisa mengapresiasikan rasa cinta kami terhadap Merah Putih yang sebenarnya. Yang telah di rebut kuat oleh bangsa Indonesia dahulu kala. Kami, meskipun hidup di zaman yang sudah merdeka dan serba enak, malah bingung mewujudkan rasa cinta kami terhadap tanah air itu sendiri.
Saya pun tak selamanya ingin hanya jadi penikmat belaka dari kehidupan ini. Saya tak ingin jadi angin lalu, sama seperti 'saya' 'saya' yang lain.
Dan saya berharap, sedikit banyak kami bisa memberikan sumbangsih terhadap negeri ini agar kami layak disebut penduduknya.
:)
Keep spirit! Ganbatte!!!
-vigna sinensis-
Comments
Post a Comment