Just A Rockstar
Cukup terenyuh sepanjang petang ini membaca Gie. Saya kagum dengan pikirannya, realitanya, perasannya, buah tangannya, dan tindakannya. Nasionalis, meskipun ia mengelak dibilang begitu. Tapi citranya sungguh kuat sebagai orang yang mau melakukan apapun tanpa embel-embel apapun di negeri ini, demi jutaan manusia lain yang turut merasakan ketidakadilan dan kesengsaraan. Biarpun ia mungkin tidak begitu merasakan apa yang mereka rasakan. Namun disinilah Gie berdiri. Memperjuangkan hak-hak jutaan orang lain yang tidak dikenalnya. Namun ia berani berjuan demi mereka. Demi ketiadaan itu. Dari dunia ini, cukuplah beranggapan semua orang akan memperjuangkan harapan, cita-cita, tujuan, cinta, ideology, kepercayaan, persahabatan, dan sebagainya. Namun pernahkah anda pernah berjuang tanpa harapan? Tanpa imbalan apapun, demi orang yang tidak anda kenal. Demi sesuatu yang disebut kebenaran. Yang selama ini hilang dari hidup kita.
Sejujurnya saja saya tidak tahu apa tujuan saya menulis tulisan kali ini. Entah karena terpancing emosi, maupun hasrat menulis kembali bergejolak, tidak tahu. Engkau pun begitu. Saya hanya ingin menulis saja. Setelah selama ini cukup lama mengelak dan mengenal dunia ini. Banyak orang bertanya pada saya, ketika dulu saya sering memposting tulisan-tulisan ecek-ecek saya secara online dan Cuma-Cuma. Mereka bilang apa yang saya lakukan tidak ada manfaatnya. Non-profit income. Hanya pengalaman. Itupun minim, karena umumnya pembaca bukannya menilai tulisan saya, mereka hanya ingin saya lekas-lekas melanjutkan tulisan itu agar mereka tidak penasaran dengan lanjutannya dalam waktu yang lebih lama. Toh akhirnya kontinuitas itu harus berakhir. Relevan memang. Tidak ada hal yang mungkin konstan dan selamanya berlangsung istiqomah dengan satu alasan yang relatif mudah diterima semua orang. Namun saya tetap cuek saya menulis sesuka hati saya. Tanpa peduli bahwa apa yang saya lakukan memang tidak memberikan keuntungan (uang). Saya lakukan selama saya bisa merasa bebas. Dengan tulisan saya bebas. Saya bisa menyuarakan diri saya. Bolehlah saya tidak begitu pintar dalam kelas, tidak begitu cemerlang dalam mata pelajaran di sekolah. Tapi jangan harap saya tidak melakukan apa-apa. Terkadang saya merenung, berdiam pada jalan saya. Menuai semua yang telah saya lakukan dan menyerap baik buruknya.
Selama ini saya malas menyuarakan apa yang saya inginkan pada sekeliling saya. Selain itu, saya merasa kacau jika sampai hal itu terjadi. Saya tak bisa bayangkan apabila pikiran saya kembali di usia remaja – yang semestinya – yang kata senior saya adalah geragal alias generasi galau. Yang bisanya Cuma update status, like, dan kemudian bergalau ria. Saya ingin mencoba lebih realistis dan jernih. Karena dalam pikiran ini, hal yang paling mengerikan adalah hal yang paling dekat dengan diri sendiri. Saya sedikit ingin memahami diri saya lebih jauh dari yang lain. Going to extra miles yang tentu tidak akan pernah mudah seperti yang dibayangkan.
Pada hakikatnya kita memang selalu mencari hal yang terbaik bagi diri kita sendiri. Namun lambat laun saya sadar apa yang baik bagi mereka adalah yang aman. Jalan cepat dan nyaman sampai ke tujuan sesuai rute yang telah ditetapkan. Saya pernah baca buku Ratna Indraswari Ibrahim berjudul Bukan Pinang Dibelah Dua tentang dua kembar yang saling bertolak satu sama lain. Keduanya mendapat pertanyaan yang sama dan jawaban yang berbeda.
“Hidup ini jangan dibuat susah. Jika bisa memilih dan yang coba saya jalani sekarang, selama ada jalan tol masih terbentang, kenapa harus bersusah payah membuka hutan rimba?”
Kembarannya menyahut, “karena di hutan saya bisa belajar banyak hal yang tidak biasa. Yang keluar dari nilai masyarakat. Saya bisa menemukan jalan tol baru. Bagi saya menjadi pelopor lebih baik dari menjadi pengikut yang ikut arus!”
Nyatanya, saya sangat suka statement itu. Saya seringkali mengaplikasikannya dalam kehidupan saya yang serba rumit. Okelah kehidupan saya berbeda dengan remaja kebanyakan dan cenderung lebih rumit. Karena itu saya yang akan menjalaninya dengan kerumitan yang menyenangkan pula. Saya akan bisa bertemu banyak hal baru yang tidak akan pernah terduga sebelumnya.
~~~
Saya kurang setuju dengan sistem pendidikan yang sekarang diterapkan di Indonesia.
Mengapa? Saya berpikir alangkah baiknya apabila pengajaran maupun sistem pendidikan kita lebih mencontoh bangsa Barat yang lebih berkualitas dalam pemberian materi yang sesuai dengan kualitas dan kuantitas anak baik cara personal maupun kelompok.
Jujur saja, saya tulis hal ini bukan karena saya mencari pembenaran yang paling tepat dari jebloknya nilai yang tertera di rapor saya. Saya nyatanya mendapat ide dari berbagai teman yang merasa kecewa dan tertekan karena sistem pendidikan kita.
Padahal pemerintah sudah berkoar-koar bahwa tahun 2014 Indonesia akan lepas landas dengan menerapkan sistem perdagangan bebas. Dimana nanti bangsa-bangsa dari seluruh dunia bisa berkumpul di Indonesia untuk melakukan transaksi dagang maupun perjanjian. Mungkin mereka – para pemerintah – sudah sadar bahwa negeri ini sebentar lagi habis sumber dayanya. Belum lagi dengan kemelut-kemelut yang belum juga selesai. Jadi alangkah baiknya menurut mereka agar Indonesia dilepas landaskan saja meninggalkan masalah-masalah ekonomi, Hankam, politik, dan sosial yang terjadi. Tapi mengapa sistem pendidikan juga tidak diubah? Bukankah di era globalisasi ini semua kebebasan diagung-agungkan dan penjeratan serta penindihan hak asasi serta daya kreasi manusia akan diganjar dengan hukuman berat?
Padahal salah seorang kakak kelas saya yang pulang dari pertukaran pelajar di Amerika berkata bahwa pendidikan di Indonesia jauh lebih maju dibandingkan Amerika. Karena pendidikan di Indonesia tergolong sulit dan kompleks bagi manusia seukuran kami pelajar SMA. Belum lagi adanya aturan-aturan ketat dari pihak sekolah tentang berbagai ketentuan bersekolah dan juga tugas yang menumpuk membuat kami mau tak mau dipaksa untuk berdisiplin. Padahal bangsa Barat sangat anti orang yang lelet dan suka terlambat. Hal itu menunjukkan kurang terpenuhinya appointment pertama ketika kita bertemu seseorang. Terlambat di Indonesia tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa saja. Sudah budaya kita untuk memajukan jam bertemu agar tidak terlambat. Yah, itulah.
Namun dari semua kualifikasi tersebut, nyatanya pendidikan Indonesia yang lebih sulit dibandingkan Amerika tidak menjadikan negara kita negara yang jauh lebih adidaya dibandingkan negeri Paman Sam tersebut. Kita masih jauh jauh tertinggal di belakang. Bahkan dengan Singapore yang ngakunya sebelas-dua belas dengan keadaan Indonesia saja kita sudah ditinggal berlari maraton duluan, sementara kita masih saja pakai krek untuk sekedar berdiri dan berjalan. Terpatah-patah meneruskan apa yang sudah seharusnya diteruskan. Begitu seterusnya.
Tahukah, disini nilai remedial bagaikan momok bagi siswa dan guru. Dimana remedial yang diberikan lebih sulit daripada ulangan sendiri. Dan anehnya, begitu kita mendapat remedi, guru akan bertanya-tanya dengan gusar bagian mana yang tidak kita pahami? Bukannya berduka, beliau-beliau malah gelisah karena kita akan meminta remedial diluar jam pelajaran yang akan mengganggu jadwalnya untuk beristirahat. Tidak sekali saya menemukan hal seperti ini. Saya tahu keluarga saya guru. Tapi selama ini hidup di dalam keluarga saya tidak pernah sekalipun saya dengar mereka memberikan remedial, apalagi dengan keluhan telak. Saya jadi merasa gegar budaya dengan kata remedial begitu pertama kali menginjakkan kaki di SMP. Bagi saya momok yang harus dihindari selain pelajaran hitung adalah remedial. Monster dari apa yang diketahui guru sebagai ketidakberdayaan dan kebodohan.
Belum lagi dengan materi yang menumpuk itu. Saya kok merasa mengganjal. Pendidikan saja begitu gencar dilakukan, tapi mengapa fasilitas setelah kita lulus malah cenderung bertolak belakang dengan gelar dan keahlian yang tercapai. Misalnya putri guru saya, lulusan Jurusan Pertanian ITB dan kemudian ia bekerja di bank. Saya jadi heran. Lalu buat apa sekolah pertanian jauh-jauh di ITB untuk kemudian bekerja di bank? Bukankah kabarnya saat ini lulusan SMK dapat langsung bekerja di bank? Salah satu guru saya yang lain berkata, hal itu dikarenakan sifat dari si anak yang mudah bergaul dan cerdas, hingga ia ditarik menjadi public relation di bank ternama. Hal ini tak urung juga menimbulkan tanda tanya bagi saya.
Lalu untuk apa kita disiapkan matang lulus ujian ini itu dengan segabrek dana yang harus dilunasi yang membuat mata melotot jika pada akhirnya hal tersebut tidak berguna? Apa gunanya meninggikan tingkat pendidikan apabila pada akhirnya kita dapat pekerjaan yang sesuai atau layak dengan apa yang kita inginkan? Lalu untuk apa? Sarana pekerjaan yang kurang, serta tidak mumpuni bagi saya adalah ganjalan besar di Indonesia. Saya cenderung heran mengapa begitu banyak orang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Padahal bukankah mereka seharusnya menciptakan lapangan pekerjaan untuk membantu pemerintah mengentaskan kemiskinan dan pengangguran dari negeri ini? Tapi mengapa malah menambahi jumlah pengangguran? Hingga kemudian tak malu mengulurkan tangan meminta BLT dari pemerintah. Ironi di negeri sendiri.
Sebenarnya negeri ini hanya perlu sinkronisasi. Sinkronisasi, penyelaras bagaikan ying dan yang di budaya Jepang. Yang berguna untuk menimbulkan arus positif antar satu elemen dengan yang lainnya. Perlu perbaikan pada sistem pendidikan jika Indonesia benar-benar ingin lepas landas melalui perdagangan bebas internasional untuk dapat berimbang dengan kemajuan yang ada. Perlu banyak perbaikan di bidang politik dan pemerintahan Indonesia apabila Indonesai ingin melepaskan jerat-jerat koruptor yang merajalela dan malah dibiarkan plesir ke luar negeri tanpa adanya kebijakan yang jelas dari pemerintah. Hal ini membat masyarakat semakin meyakini adanya politik mencla-mencle yang diterapkan di Indonesia. Baru apabila sudah menjadi kasus besar, maka pemerintah akan berpura-pura terpaksa turun tangan. Saya jadi curiga besar. Kemanakah mereka? Bukankah harusnya mereka yang memberikan peringatan dan kebenaran pers di Indonesia tentang semua seluk beluk apalagi yang menyangkut penyimpangan politik tingkat tinggi di Indonesia? Mengapa menunggu respon masyarakat mereka baru bertindak? Bukankah saya dapat menyebutnya amoral? Seolah-olah mereka dapat duduk di kursi emas yang secara otomatis mengeluarkan uang sendiri jika dielus layaknya lampu bertuah Aladdin (sesuai dengan jabatan mereka sebagai pengelus dana sana-sini), menunggu laporan dari bawahan dan kemarahan dari masyarakat untuk kemudian baru muncul di depan publik setelah seolah-seolah datang dari luar negeri untuk rapat dan sebagainya padahal nyatanya untuk refreshing hadiah semata. Mereka akan mengklarifikasi semuanya seolah-olah congressman. Saya jadi ragu, negara ini bukan menghasilkan pejabat yang adil (bahkan kata pejabat sendiri sering dikonotasikan dengan arti yang cenderung negatif), tapi menjadi congressman. Orang yang berlagak memegang situasi dan berkata semua baik-baik saja. Nyatanya pers juga diinjak-injak. Bukannya sebagai sarana untuk membeberkan kebenaran, tapi hanya untuk sarana pembenaran pemerintah belaka. Kebijakan non-moralis yang diimplementasikan dengan sikap yang selayaknya.
Negara ini punya banyak politikus yang hanya memikirkan pemilu selanjutnya. Tapi sedikit negarawan yang memikirkan generasi berikutnya.
Miris sekali rasanya. Harus duduk di depan berita dan melihat tayangan seorang anggota DPR – RI yang menonton bokep ketika sedang mengikuti rapat pleno DPR – RI. Ini sudah jauh tidak bermoral dan tidak berotak. Kemanakah hati nalurinya membiarkan kami rakyat Indonesia harus menunggu-nunggu cemas hasil rapat yang diharapkan dapat memberikan kontribusi yang selayaknya. Meksipun tak besar, tak apalah yang penting sudah ada pemikiran masak-masak. Kemanakah kemaluannya membiarkan dirinya jadi tontonan wartawan yang sedang sibuk meliput kesana-kemari. Jahanam. Berdalih bahwa DPR juga manusia, saya bilang tukang becak juga manusia. Kenapa tidak biarkan dia saja jadi DPR apabila kerjaannya setiap rapat Cuma tidur dan nonton bokep?
Generasi tua. Yang ngakunya sibuk, sehingga tidak cukup waktu istirahat. Dan alangkah enaknya terlelap di bangku empuk DPR dengan dinginnya AC dan ocehan moderator yang serasa nina bobo. Mereka memang manusia, tapi manusia yang kurang punya martabat untuk menjadi manusia. Lebih mirip hewan yang hanya bisa bangun ketika di pecut dan mengikuti gembalanya kemanapun gembala pergi. Lalu buat apa mereka ada? Buat apa perlu ada rencana pembangunan gedung DPR yang menghabiskan dana 10 trilyun? Bilang apa Gie nanti? Bisa-bisa dia muncul dari abunya!
Sementara jutaan rakyat lain sedang mengemis, kelaparan dan kesakitan karena melonjaknya biaya sembako, rumah sakit dan pendidikan. Mereka sebut mereka Dewan Perwakilan Rakyat? Pantasnya Dewan Perwakilan Rakyat Kaya sajalah. Nyatanya yang mereka lakukan memang ada yang mempermudah. Namun kenapa malah mempermudah fasilitas dan sarana yang rata-rata hanya dinikmati para orang berada saja?
Saya turut berduka atas keadaan politik dan pemerintahan Indonesia. Tetapi entah kapan saya bisa memberikan kontribusi berarti bagi negeri ini, bagi rakyat ini.
#pray
Comments
Post a Comment