Filosofi Hati


Filosofi Hati

            Mungkin terlalu pongah menulis mengenai sesuatu yang murni dan bersih. Seputih setiap lubuk hati manusia. Sesuci segala sesuatu dari sana yang mengatasnamakan cinta. Padahal tidak satu pun dari kita pernah benar-benar tahu seperti apa wujudnya.
            Apakah cinta itu perasaan? Berbunga? Perasaan bahagia dan senang yang kemudian dapat berganti menjadi luka yang tak tergantikan?
            Apakah cinta itu pikiran? Ketika rasa indah itu berkembang tulus dari pikiran yang terbuka mengenai orang lain. Saat hati ini mau membuka dirinya untuk mengakui kelemahan diri sendiri bahwa pesona itu harfiah dan lahiriah. Tak layak dihindari dengan sebelah mata.
            Apakah cinta itu sebatas penglihatan? Pendengaran? Saat mata dan telinga tak bisa diatur untuk memilah mana yang menjadi dambaan. Saat memandang seraup wajah penuh hangat dan senyum nyaman yang mendinginkan hati sekenanya. Atau saat mendengar suara merdu berucap mesra seolah teman kecil.
            Apakah cinta itu perbuatan?
            Ketika ku dekap, kau dekaplah lebih erat. Lebih mesra.. Gie pun bisa berkata begitu karena dingin perasaannya. Perasaan yang dingin, dan hati yang hangat. Cinta berasal dari hal yang tidak dapat kita jangkau. Dari siapapun yang berikrar atas namanya, pernahkah kita tahu mereka belum melihat cinta itu apa? Percayakah kita saat mereka memadukan hati karena ingin tahu cinta itu seperti apa?
            Sekarang rasanya saya lebih bijak menghadapi cinta. Mengolah hati dan perasaan. Sesuai porsinya.
            Percaya pada saya, katakan cinta jika kamu tahu apa itu terluka. Pernah merasakan maupun ingin merasakannya. Gila memang. Mana ada orang ingin patah hati? Ingin terluka?
            Tapi tahukah kalian, hidup bukanlah hidup namanya jika tanpa luka. Tempaan demi tempaan yang harus kita terima bukanlah kewajiban kita sebagai makhluk hidup yang punya ikatan batiniah dengan penciptanya. Tapi hak yang mutlak kita dapat agar kita senantiasa berani mengambil tindakan, merencanakan maupun melangkah. Siapakah yang tidak pernah sakit? Semua orang tahu apa itu sakit. Seorang filosof pernah berkata, ’ujian yang tidak membuatmu mati, pasti akan membuatmu lebih kuat’. Apalah artinya hidup, jika isinya penuh kesenangan. Kosong, kosong, kosong.
            Saya ulangi kata itu sampai tak ada artinya.
            Di sini, saya bisa meringkuk sesukanya untuk mengukur apapun yang ingin saya tulis. Merendah dalam keremangan. Kekosongan itu ada, tapi tidak selalu hampa. Ada udara untuk bernapas. Untuk memasok oksigen bagi kita berpikir. Menjamah satu demi satu keremajaan yang tidak dapat kita terima secara praktis dalam dunia yang semakin jauh ini.
            Saya tidak tahu kamu sedang apa sekarang.
            Sedang sentimentilkah? Merebus romantisme yang pernah ada dengan rasa lelah dalam kegelapan?
            Baru kemarin kamu mengajak saya pergi melewatkan malam berharga ini. Bagaimana tidak berharga, 17 bulan kita pernah ada kisah. Walau tak sepenuhnya. Tapi adakah gerangan semua itu menjadi tak berarti seiring adanya waktu-waktu kosong yang membuat jarak dari kita terentang. Walaupun kita selalu dekat.
            Mungkin tujuh belas bulan terlalu berharga buat kata ’putus’. Sehingga bisa disampaikan lewat SMS saja. Tidak perlu telepon. Tidak perlu bertatap muka. Karena bagi siapa saja yang tahu ini hanya sebuah permainan permakluman.
            Saya pernah ingat dulu saat pertama kali kita bersama (hingga detik ini saya tak pernah menghitung ’berapa kali kita pernah bersama’), sebuah masalah bisa membuatmu berdiri di depan rumah berjam-jam. Tak peduli besar atau kecil. Dengarlah hati saya berbisik, semua telah berubah.
            Mungkin tujuh belas bulan terlalu dewasa untuk menyikapi rasa tidak nyaman yang perlahan timbul dalam perasaan saya. Menggerogoti setiap sel-sel bernama kepercayaan untuk sesuatu yang begitu dekat dengan urat nadi hubungan ini. Ketika seolah-olah semua masalah terlalu kecil dibanding tujuh belas bulan kita bersama. Namun apakah yang dapat membandingkan satu detik nafas yang diberikan Tuhan dengan sebuah masalah? Ketika tujuh belas bulan itu membawa semuanya terdengar lebih panjang? Ketika banyak orang mencintai tanpa menghitung?
            Tanpa pernah sedikitpun kamu tahu berapa malam saya habiskan untuk menangis dan menunggu. Untuk sekedar meluangkan waktu dan ego buat saya ada di pikiran kamu.
            Terkadang saya sadar saya telah banyak melakukan hal bodoh. Tapi sebodoh apapun pilihan saya, saya tak pernah memaki hati ini. Saya membiarkannya belajar dengan sendirinya. Membiarkan hati saya belajar untuk menemukan mata yang pantas menyandang kata cinta, dan mana yang tidak. Karena ketahuilah, hakikat sebuah cinta itu tak terendus bahkan oleh manusia sepintar kita.
            Mungkin ini hanyalah sebuah realitas bodoh mengenai perasaan sakit.
            Perlahan hati saya berucap lirih. Menghendaki hal ini dan itu. Sehingga sulit saya bedakan mana yang murni dan mana yang terkontaminasi bujuk rayu lain sebagainya. Saya hanya bisa meminta hati saya untuk bersabar. Menunggu dan membidik segala rencana ke depan.
            Sedang apakah kamu?

~ ~ ~

            Tidak ada yang saya inginkan kecuali memberikan sedikit nafas untuk hati ini kembali mengolah fungsinya.
            Jalan ini masih panjang, sayang.
            Masih ada ribuan dan bahkan jutaan orang yang akan kita temui di masa mendatang. Tanpa pernah tahu kelak kita seperti apa. Dengan rabaan jauh dan kasar akan kehidupan yang kita inginkan. Namun Tuhan telah membuktikan tak ada segala sesuatu yang berjalan benar-benar sesuai rencana.
            Saya ingat ’Kambing Jantan’-nya Raditya Dika. Filmnya. Bukunya saya baca saja belum. Di mana si tokoh Raditya Dika harus kuliah di luar negeri dan menjalani Long Distance Relationship dengan sang kekasih di Indonesia. Melampaui banyak tantangan yang menjemukan dan jelas-jelas menentang segala sesuatu berlangsung hangat, akrab dan dekat.
            Ketika akhirnya mereka harus putus. Karena masalah klasik yang sama sekali tidak bisa dianggap remeh. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak. Jarak.
            Radit bilang ia ulangi kata itu sampai tak berarti. Seperti yang sering saya lakukan. Dalam hal tertentu, terkadang sebuah kebiasaan bukanlah milik kita pribadi dan sebuah cara jelas bukan satu-satunya untuk menemukan pencerahan dan penyelesaian masalah. Saya juga pernah baca salah satu karya Radit. Saya lupa yang mana, yang jelas ia menceritakan mengenai kisahnya saat pindah rumah.
            Ia menganalogikan pindah rumah itu seperti sebuah hubungan yang berakhir. Saat kita tidak merasa nyaman di rumah sendiri, jalan satu-satunya saat kita telah berusaha memperbaiki rumah itu dan sudut pandang kita namun tak berhasil, adalah pindah rumah. Sama seperti hati. Saat kita tak lagi satu perasaan, saat semuanya berlangsung hanya di batas remeh temeh masing-masing, jalan satu-satunya adalah pergi. Meninggalkan induk semang tempat kita pernah nyaman. Tempat kita pernah memadu cerita dan kegembiraan tanpa dibuat-buat. Mencoba rumah baru sama seperti menjajaki hati baru. Begitu seterusnya.
            Siklus yang membosankan, bukan?
            Tetapi saya terlalu lambat menganalogikan perasaan yang diterima hati saya untuk menjadi sesuatu agar lebih mudah dipahami oleh orang lain.
            Dan kali ini, saya memberanikan diri berkata pada diri saya sendiri; saya sudah pindah rumah. Ke rumah lain bernama kesendirian yang walaupun terdengar menjemukan tapi saya ingin lalui. Saya sudah membereskan sisa-sisa barang saya di rumah lama dan kini menata diri untuk rumah baru. Rumah kesendirian.
            Mungkin saya tidak bisa mendefinisikan segalanya dengan terperinci dan tertata. Tapi saya mencoba memberi sentuhan saya tanpa meninggalkan maksud saya untuk meninggalkan perasaan luka ini.
            Rasa tidak nyaman, sakit, dan lain sebagainya bercampur menjadi komposisi yang tepat untuk membuat bulir air mata ini jatuh. Ketika kata berpisah itu adalah hal yang tak dapat dihindari dan suatu hubungan tak layak dipertahankan. Ketika merasakan bahwa walaupun kita bersama, tak lantas kita mengerti satu sama lain. Tak lantas membuat kamu tahu aku sedang sakit, sedang jera, lelah dengan segala sesuatunya yang tak juga membaik. Bagaimana mau membaik? Ketika semua ini tak jelas kau ketahui atau tidak.
            Ketika kata itu dikenang sebagai sesuatu yang hanya akan mengawali hubungan baru. Hanya sekedar pengenyah rasa jenuh tanpa mau dianggap penting. Tanpa pernah dianggap benar-benar terlaksana. Jika suatu saat kita tak lagi bersama, pernahkah kamu memikirkannya? Memikirkan betapa mudahnya jika dulu di ambang perpisahan ini kamu berkata sebaliknya? Sekedar meyakinkan saya dan mendudukkan kita dalam kenyamanan yang tak lagi saya temukan. Sekedar berpikir kalau saya enyah, saya bisa tak kembali lagi. Pernahkah?
            Saya tahu jawabannya tidak. Kamu tak pernah merasa sebuah perpisahan itu hal yang akan mengakhiri segalanya dan membuat kita tak lagi bisa seperti dahulu. Kamu tak bisa berpikir saya juga akan duduk menunggu. Saat rasa sakit yang saya dapatkan tak kunjung membaik tanpa kamu berusaha mengobati, saya tahu suatu waktu kamu sempat berpikir kelak kita kembali. Kita akan baik-baik saja dan lain sebagainya.
            Hati saya miris merasakannya. Kenapa kamu, saat saya benar-benar percaya seolah tanpa daya membiarkan saya pergi? Kenapa hati ini tak lagi bisa dianggap berharga saat kamu datang pun hanya saat kamu perlu?
            Saya rasa saya tahu sedikit jawabannya...
            Karena kamu tahu saya takkan bisa meninggalkan kamu.

~ ~ ~

            Hati saya mungkin pernah jenuh dengan rutinitas yang membosankan ini.
            Kini saya pun juga.
            Saya harap ini yang terakhir. Agar kamu tahu saya tak bisa terus-terusan begini. Untuk kembali dan dilukai.
            Kamu selalu bilang, kalau saya selalu menyalahkan kamu atas apapun yang terjadi di antara kita. Kamu selalu bilang, saya merasa kalau saya yang benar. Kamu selalu bilang, kamu tak pernah memarahi saya seperti saya sering frustasi dengan kamu sendiri.
            Padahal, saya hanya berusaha mengungkapkan perasaan ketidaknyamanan saya atas kamu. Saya tak pernah menutup telinga saat kamu berkata-kata. Apakah saya salah kalau kamu tak pernah berkata mengenai kesalahan saya? Bukankah telinga bahkan hati ini sudah selalu menampung setiap ucapan kamu?
            Saat pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hubungan kita. Saat melihat punggung dinginmu beranjak diam saja ketika saya diam. Saya diam karena saya tak ingin kamu merasa terkekang. Saya diam karena berharap kamu tegas dan melakukan sesuatu. Dan punggung itu. Selalu mampu membuat saya memaki diri saya sendiri.
            Kamu melakukannya karena kamu tahu cepat atau lambat kita pasti berbaikan.
            Karena kamu tahu saya takkan pernah meninggalkan kamu.
            Saat kini saya melangkah menjauh, silahkan kamu menganggapnya sebagai salah satu permainan saya mengatasi kebosanan. Tapi hati ini tak bisa berbohong. Bahwa titik jenuh yang kamu ciptakan tanpa kamu sadari membuat saya yakin, kamu bahkan belum layak menyandang kata cinta.
            Mungkin hati saya lebih jelas dan tegas berkata saat saya sakit dan sendiri seperti ini. Boleh saja.
            Mungkin hati saya lebih melihat luas saat kamu tak lagi ada untuk sekedar menghibur saya. Membuat saya merasa benar-benar memiliki kamu. Mungkin hati saya bisa bernafas lebih lega saat melihat kamu tersenyum dengan teman-teman kamu sekarang. Tanpa ada saya di antaranya.
            Dan hati saya jauh lebih tenang saat kamu bisa menjalankan hidupmu sebagaimana yang kamu inginkan. Dan saya, bisa menerima kepergian kamu dan kepergian saya dari hubungan ini dengan nyata.
            Tanpa perlu kamu katakan sesuatu untuk membuat saya merasa bersalah. Kamu memang tak pernah memutuskan saya. Kamu pun berkata kamu tak pernah pergi. Kamu selalu ada. Tetapi ke’ada’an kamu hanyalah sebatas ada. Tak pernah melakukan apa-apa. Kini salahkah saya?
            Kamu masih hangat di pelupuk mata saya. Kamu masih ada dalam sela-sela jemari saya. Dan kamu masih setia membayangi hati saya. Tapi saya, mungkin dengan senang hati berkata ’sabar’ untuk hati saya sendiri.

Teruntuk,
Hujan yang ranum
Jingga ini

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)