buat kamu selarut ini

Bang, saya kenalkan sekali lagi. Kali-kali Abang lupa, entah sengaja atau tidak. Atau ada yang menghantam kepala Abang sehingga yang ada hanya mabuk yang semakin lama semakin mengendalikan arah apapun yang sedang terjalin di antara saya dan Abang. Di antara kita.
Saya perempuan yang masih mencari definisi perempuan. Saya manusia yang masih mencari definisi manusia. Saya pencinta yang masih mencari definisi cinta. Saya pengelana yang masih mencari jalan untuk berkelana pada diri saya sendiri. Saya seorang diri, yang sedang mencari apa artinya menjadi diri sendiri dan dibiarkan sendirian.
Karenanya, saya mengucapkan terima kasih Abang mau menerima saya. Tidak sulit, tidak juga mudah. Tetapi saya terlebih dahulu menerima diri saya sendiri dengan ketakapaadaannya sebelum saya menanyakan layakkah Abang menerima saya. Dalam suatu tahap hubungan, saling menerima adalah syarat krusial yang seringkali memiliki kekhasan, hal-hal spesial yang pada akhirnya hanya indah di awal. Lebih dahulu menerima diri sendiri dengan segala keterbatasan, sebelum memantaskan diri untuk menerima diri lain yang belum kita ketahui batasnya. Atau bagi sebagian orang, hubungan adalah proses penerimaan diri mereka atas apa yang mereka dapat dan atas apa yang mereka lakukan. Penerimaan itu mungkin tidak berupa batas tertinggi, tetapi lebih kepada kepuasan pribadi atau bahkan hal-hal yang seringkali menyentuh ulu hati. Penerimaan adalah cerminan dari apa yang diri kita bisa perbuat. Bukan tentang apa yang dilakukan orang lain pada kita, melainkan pada apa yang kita lakukan untuk memberi tanggapan atas hal tersebut.
Penerimaan Abang sungguh saya hargai setinggi langit.
Namun sekian jauh kita dipisahkan. Sekian lama tidak bertemu. Malah hal negatif yang mengusik saya yang dapat mengisi bahan bakar saya untuk kembali membuka program Ms. Word ini. Kendatipun saya sudah lama sekali tidak menulis maupun membaca. Tidak heran kalau pada awal, tengah dan akhir dari waktu dan jarak yang sejauh apapun terentang, kita menyimpan ragu. Sekedar menyimpang dari hal-hal yang senantiasa menghibur saat kita bersama. Jarak adalah ganjaran paling mujarab untuk mengetes sejauh mana pikiran buruk bisa menguasai kita, namun metafora adalah saat kita tidak memberinya kekuatan untuk mengendalikan diri dan perasaan kita.
Setelah beberapa minggu tak bertemu, keraguan saya lambat laun bukan pada sedang apa dan dengan siapa Abang di sana. Melainkan pada kerinduan yang semakin lama terasa semakin menyiksa.
Pertanyaan penuh keraguan saya adalah, benarkah rindu itu punya kuasa mutlak untuk menyebabkan kesalahan komunikasi di antara kita. Kalau benar begitu, sepertinya jarak memang ibarat bilangan matematika x (kali) 0 (nol). Semua yang bertemu dengannya akan kembali 0 (nol) dan kita dapat memunculkan berbagai kemungkinan dari sana. Entah minus, atau bahkan plus. Kita tak pernah tahu, tetapi kita bisa mengendalikannya. Bahkan sebenarnya kita juga yang memberinya makan untuk tumbuh. Sehingga sedikit banyak apapun yang terjadi di antara kita belakangan ini adalah salah jarak dan rindu yang begitu hangat dan mesra. Sementara kita semakin dingin dan jauh.
Abang, perpaduan dari penerimaan dan keraguan tadi membuat saya banyak merenung. Terutama malam ini.
Saya bukan gadis yang bisa Abang pegang rambutnya setiap saat. Saya bukan gadis yang bisa selalu Abang manjakan. Saya bukan gadis yang selalu butuh perlindungan dan perhatian Abang. Saya juga bukan gadis yang akan selalu memberikan perhatian penuh pada Abang. Saya bukan gadis yang selalu mengapresiasi apapun yang Abang lakukan.
Semakin lama, saya mempertanyakan hubungan saya dan Abang. Tidak kepada kejelasan siapa milik siapa yang kian lama kian tak beralasan. Tetapi kepada apa sebenarnya hubungan ini. Seperti apa. Jadi apa. Ke mana. Setinggi apa. Selama apa.
Dan berkaitan dengan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu adalah di mana Abang akan kembali mengingat-ingat seperti apakah gadis yang bersama Abang ini. Sekedar meyakinkan Abang agar tak salah pilih atau tak salah paham dengan apa yang Abang rasakan.
Abang, gadismu ini memang gadis rumahan yang selalu ada di rumah pada pukul 7 malam. Tetapi, berangkatlah saya pukul 8 malam. Abang tak perlu khawatir. Tengok saja warung kopi di dekat lapangan tenis. Atau warung kopi di pinggir jalan raya sebelah gang sempit penuh kos-kosan. Paling sial, Abang harus sekedar melongok ke bangunan berpetak yang penuh ruang kelas, yakni sekolah saya. Kalau tak Abang temui saya di tempat-tempat sejenis, pastilah saya sedang meringkuk. Entah di rumah sendiri, rumah teman, bahkan rumah alam. Tak bisa memang Abang menunggu hingga pukul 10 malam.
Gadismu ini baru mencium bantal pada tengah malam. Pulang karena kedinginan, atau karena pemilik warung menggulung tikar dan mengangkat cangkir serta lampu temaram.
Dan bukankah, ada ratusan, bahkan jutaan gadis yang melakukan hal yang sama?
Kalau Abang masih merasa risih, bukanlah itu salah saya. Lebih baik Abang permisi, ketuk pintu lain di mana gadis yang ada di rumah pada pukul 6 malam sampai 6 pagi berada.
Abang tak usah pula khawatir lantaran teman-teman nongkrong adalah lelaki. Mereka semua sama seperti Abang. Melindungi, baik, dan mengerti. Mereka seperti kakak yang bisa diajak bercanda, bisa pula diajak berdiskusi.
Tak perlu repot-repot berpikir untuk mengubah kebiasaan itu, Bang. Sebelum kenal Abang, saya sudah lebih dulu kenal nikotin dan kafein. Sebelum kenal Abang saya sudah lebih dulu kenal mereka. Sebelum kenal Abang saya sudah jalan-jalan dengan carrier di punggung bersama tim pendakian yang selain saya, seluruhnya laki-laki. Tak pernah ada kisah naas. Tak pernah ada kisah penuh derita. Dan yang terpenting, tak pernah ada kisah yang disesali. Tahukah Abang, sebelum Abang dan saya menjalin hubungan, lebih dulu mereka khawatir akan lelaki seperti apakah Abang. Mungkinkah Abang menyakiti hati saya. Atau bahkan membawa hal-hal yang tidak baik. Walaupun bersama mereka saya jauh lebih mengenal hal-hal tidak baik, dengan syarat, tidak menyentuhnya.
Jadi, Bang. Dengarlah kalau gadismu ini bercerita. Saya tak pernah main-main, Bang. Saat saya bilang pulang pukul 2, maka saya akan tiba di depan pintu rumah pada pukul 2 atau bahkan lebih. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan dari hal yang sudah lebih dulu saya peringatkan kepada Abang. Tapi entah kenapa, mungkin waktu itu Abang terlalu mabuk, sehingga Abang iyakan saja perkataan saya. Abang tertawa saja, Abang bilang tak apa dan terima saja.
Abang tak perlu repot-repot menyuruh saya lekasan tidur dan mewanti-wanti saya untuk menjauhi kafein saat saya bisa bersahabat dengan nikotin. Abang tak perlu khawatir saya akan update status media sosial yang macam-macam apalagi penuh dengan keluhan. Abang tak perlu repot-repot khawatir. Karena saya bukan gadis seperti itu.
Nah kini, saat berdalih kerinduan dan pengertian yang Abang kambing hitamkan untuk memprotes saya akan kebiasaan saya itu, saya kembali bertanya di mana letak penerimaan Abang dulu dan mulai ragu benarkah alibi yang Abang ajukan itu betul adanya.
Abang, hampir semua laki-laki menjawab tak masalah apabila mereka bertemu gadis yang berkumpul bersama teman-teman lelakinya waktu larut malam dan ikut dalam kebiasaan-kebiasaan mereka seperti minum kopi dan merokok. Tetapi tahukah Abang, saya sudah membuktikan, lelaki yang pada kenyataannya benar-benar tak mempermasalahkan gadis mereka melakukannya hanya sepersekiannya saja?
Kebanyakan lelaki lebih suka punya pacar seksi daripada suka nongkrong. Kebanyakan lelaki lebih suka punya pacar yang diam di rumah daripada suka kelayapan. Kebanyakan lelaki lebih suka punya pacar yang memperhatikan seluruh dunia lelaki daripada tertawa dan menikmati malam bersama teman-teman.
Bukan kebanyakan, hampir semua. Malah.
Tahukah Abang saya mengalaminya dengan yang dulu-dulu?
Dan agenda pertengkaran ini punya kekhasan yang tipikal. Pertama, saya yang mengalah dengan artian mengurangi frekuensi nongkrong saya. Dan kedua, membiarkan lelaki saya ikut di dalamnya.
Dan dua-duanya, percayalah, Bang, tak pernah benar-benar melegakan saya.
Abang, Abang.
Teman-teman saya memang tidak seperti teman-teman Abang. Yang baik, bersih, perhatian, lucu, cerdas, dan lain sebagainya. Teman-teman saya dengan penuh tawa menamakan diri mereka kaum proletar, kegirangan menyambut jadwal traveling dengan cara hardcore sekalipun. Teman-teman saya akan bercanda dengan hal saru sekalipun.
Tetapi, mereka baik dengan cara yang takkan pernah terjadi pada diri Abang. Mereka baik dalam sempitnya dunia saya untuk memilah mana yang bermanfaat dan yang tidak.
Mengertilah, Bang. Gadismu ini tak bisa menjadikan Abang sebagai rotasinya. Ia hanya bisa bertumpu pada Abang. Menyusahkan dan menggelisahkan Abang dalam artian yang sesadar-sadarnya. Tetapi saya bukan gadis yang akan menyusun ribuan puisi untuk menunggu Abang kembali.
Saya paham kemarahan Abang malam ini.
Maafkan saya membuat Abang menunggu, saat saya sendiri sudah menunggu Abang seharian penuh untuk sekadar mendengar suara Abang yang kebanyakan hanya bersenandung dan melantunkan kata-kata cinta.
Maafkan saya membuat Abang menunggu, saat saya rela menunggui Abang mengerjakan apapun yang tak saya ketahui di sana.
Maafkan saya membuat Abang menunggu, saat saya rindu dan ingin bertemu lebih dari yang Abang tahu. Tetapi sedihnya, tak ada cara untuk mengungkapkannya. Rindu itu, saat harus menjadi kata-kata, rupanya tak sedahsyat khasiatnya.

Maafkan saya, mengira Abang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Harusnya saya sadar. Abang pun lelaki. Kalau saya ingin lelaki yang seratus persen toleran dengan apa yang saya lakukan, bukankah harusnya saya pacari teman nongkrong saya? Ya, kan?
Maafkan saya, berpikir Abang pun juga punya banyak teman dan menghabiskan hari dengan senda tawa dan hal-hal baru yang tidak saya dapati di sini. Sehingga saya harus berkelana di malam yang liar dan dingin. Membiarkan Abang menanggapi kekhawatiran.
Maafkan saya, menyia-nyiakan kesempatan mengobrol lebih lama dengan Abang yang punya kesempatan enam bulan dua kali dalam satu tahun untuk bersenda gurau dan memanfaatkan waktu-waktu berkualitas dengan teman-teman yang saya temui paling banyak 3 kali setahun.

Walau, saya tak paham kekhawatiran Abang. Dan Abang bisa sebut saya tak tahu diuntung.

Bang, kini sadarkah Abang penerimaan itu susah dilakukan? Bukan hanya penerimaan atas kebiasaan dan lingkungan saya. Tetapi penerimaan pada diri Abang sendiri, bahwa semua ini bukan rindu biang keladinya. Melainkan cemburu.
Karena saya yakin, hal yang sama bahkan lebih dahsyat akan terjadi tatkala kita dalam jarak yang sedekat-dekatnya. Ya, kan? _
Saya rindu Abang, kok. Tetapi, Bang. Kini saya sudah lelah. Bahkan untuk mengucap rindu. Saat rindu yang muncul dari Abang hanyalah inti dari permasalahan dengan jarak. Semakin lama dibiarkan menjadi kambing hitam, rindu itu menjadi hal yang paling tak ingin saya temui lagi. Selain pertengkaran, tentunya.

Tapi, terserah Abanglah.
Saya tidak mau dibilang pegang kendali dari hubungan saya dan Abang.
Marahlah, Bang. Merajuklah. Tak apa. Biar sekali-kali tak lagi saya yang disalahkan karena saya perempuan. Yang katanya mau menang sendiri. Yang katanya punya logika yang takkan dipahami makhluk bernama lelaki. Bukan saya takut salah. Saya hanya lelah dituduh menjadi pengarah hubungan macam apa yang kita jalani saat kitab-kitab Jawa membeberkan betapa legowonya seorang perempuan. Kini terserah Abang lah.
Saya hanya bisa menerima. Apapun yang terjadi setelah saya selesai menulis.
Semoga Abang tak kehilangan hal terpenting dari pikiran-pikiran Abang.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)