Harga Normal

Kenapa kita merasa bisa mengusahakan diri kita atas hal-hal yang akan atau sedang atau yang telah kita lakukan? Terkadang bagi saya, rasa-rasanya karena kita punya kuasa atas apa yang kita punya. Tubuh, badan, raga, apalah itu. Lantas, siapakah 'kita' sebenarnya? Sebatas jiwa yang tidak bertuan? Selalu merasa tak berada di tempat yang tepat, bertanya-tanya akan hal-hal yang tidak perlu, mengeluh dan berjuang untuk menjadi sebaik-baik kita seharusnya?

Lalu hidup ini seketika menjadi begitu membosankan.
Saat kita hidup hanya sibuk mencari. Menemukan. Mengganti. Berbagai hal yang melekat pada diri kita. Merelakan sebagian dari diri kita lepas, pergi bersama apapun yang kita harapkan menjadi hal yang lebih baik dari sebelumnya.
Alangkah membosankannya, saat kita hidup untuk terus memimpikan raga orang lain. Tolong pahami baik-baik. Saat kita pernah berharap menjadi dia, menjadi yang ini, yang itu. Dan begitu seterusnya.
Alangkah membosankannya hidup, ketika kita berpuas diri dengan apa yang kita miliki. Bersyukur seolah-olah diberi paling banyak, berserah pada bagaimana semaunya badan ini meminta, merasa tak ada yang perlu diubah dan berterima kasih atas apa saja.

Mengapa pula ada kejahatan dan hal-hal buruk di luar sana ketika kita percaya kita telah memperdaya diri kita dengan sebaik-baiknya? Tak ada yang lebih nyata dari sugesti yang selalu kita ucapkan pada diri kita sendiri. Telisiklah.

Karena selalu ada yang punya kuasa, dan ada yang merasa tidak memiliki kuasa.

Selalu ada yang merasa berhak membentak dan mengklaim sementara ada yang merasa tidak terpengaruh dan tidak berimbas apa-apa. Dalam hal terkecil apapun. Dalam hidup kita. Dalam hari kita. Hari-hari saya.

Dan sebegini, sadarkah bahwa hidup kita tak lagi hanya membosankan. Namun juga singkat dan seringkali menyesakkan?

Menyesakkan bagi mereka yang selalu bertanya, selalu memperdebatkan, selalu ingin tahu dan selalu tidak puas, dan pula bagi mereka yang menyaksikan.

Karena ada yang merasa punya superioritas. Dibanding diri kita sendiri yang mengendalikan diri kita secara ragawi. Seperti buku dan isinya yang saling melengkapi. Seperti seharusnya kita memaki, membangkang, memuji, meresahkan, menderita, menangis, dan lain sebagainya.

Sampai sini, apa sih, yang kita takutkan?




Saya juga belum tahu. Mungkin saya takut pada kemungkinan. Dan selama itu belum terjadi, toh hanya akan jadi kemungkinan. Dan selama itu kemungkinan, takkan pernah ada yang indah yang dapat dipetik darinya. Kalaupun ada, tentu sudah dipastikan terlebih dahulu dan tentu saja, itu bukan kemungkinan. Dan tak lagi menakutkan, bukan?

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)