Ketika Dalam Suatu Waktu, Saya Menulis



            Seharian ini saya kenyang dengan komentar bernada, “kamu nggak pakai daleman, ya? Gaunmu menerawang, tuh.”
            Mulai dari kakak angkatan, teman seangkatan, hingga rekan-rekan yang saling kenal saja. Bahkan banyak juga yang berbaik hati menyarankan untuk menutupinya dengan kain.
            Saya jawab, “ya sudah, biarkan saja.”
            Kemudian mereka akan berhenti berkomentar.
            Memakai gaun berwarna putih berbahan tipis memang menyebabkan banyak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama saat hari siang. Matahari sedang terik bersinar, dan rok saya seperti daun yang ditiup angin semilir. Sejuk.
            Tapi lama kelamaan saya gerah juga dikomen begitu.
            “Yang penting tidak transparan, kan?”
            Namun beberapa detik kemudian ada yang berkomentar kalau gaun saya hampir transparan.
            “Yang penting nggak begitu kelihatan, kan?”
            Dan beberapa waktu kemudian beberapa teman lelaki mencolek saya, bilang kalau gaun saya terawang hingga terlihat dari kejauhan.
            Saya putus asa.
            “Ya sudah, biar. Hitung-hitung kasih rezeki, karena saya tidak punya uang untuk dibagi. Lagipula masih lajang. Selama semua tidak terganggu dan tidak ada yang protes, sah-sah saja.”
            “Kalau ada yang terganggu?”
            “Salah mereka melihat.”
            “Salahmu dong, memakai yang ‘mengundang’ untuk dilihat.”
            “Berarti mereka harus dilatih untuk melihat hanya saat diundang.”
~ ~ ~
            Saya pikir rumit memang jadi perempuan.
            Harus mandi bersih-bersih, kalau perlu bersabun dua kali. Berbedak dan bergincu yang rapi, sesuai dengan pakaian hingga warna kuteks yang menempel di kuku jemari. Memilih pakaian yang sopan dan rapi, tapi juga menarik untuk diamati.
            Dan lain-lain.
            Dan lain-lain.
            Izinkan penggunaan bahasa tidak efektif saya karena sejujurnya saya menulis sambil berpikir.
            Dan buat saya, kasus saya hari ini merupakan hal yang entah mengapa membuat saya tertarik untuk ditulis.
            Saya pikir, kalau laki-laki tidak meminta izin perempuan saat ia merasa terangsang, perempuan pun tak usah mikir-mikir bagaimana pikiran lelaki saat ia mengenakan pakaian yang terawang.
            Kita bebas memilih apapun untuk diri kita. Dan bukan berarti karena kita perempuan, hal-hal yang berbau kesopanan itu cenderung lebih ketat dari lelaki. Bukan karena saya merasa laki-laki adalah sosok yang juga senang dengan apa yang kita kenakan saat hal itu sedikit menantang mereka, tetapi karena saya merasa selalu ada keinginan perempuan untuk diamati. Dijadikan pusat perhatian.
            Dan bukannya hari ini saya jadi lebih liar karena parfum baru atau zat feromon betina, tetapi sekalian saja. Yang nanggung itu kebanyakan malah tidak mengasyikkan.
~ ~ ~
            Terkadang jadi perempuan bisa menjadi begitu menyebalkan. Tetapi tak terasa begitu istimewa karena setiap hari selalu dibayang-bayangi hal-hal yang menjadi kelemahan.
            Bunda saya pernah bilang, “kamu itu enak lahir di generasi sekarang. Kau tahu dulu di masa remaja, untuk keluar rumah saja Bunda harus izin Kakek. Pergi dengan siapa hingga pulang jam berapa harus tepat waktu dan detail. Itupun belum tentu akan diizinkan oleh Kakek. Kalau waktu maghrib belum tiba di rumah, siap-siap dipukul dengan apa saja. Terbayang kan, betapa kerasnya kakekmu.”
            Sementara saya hanya mampu mendengarnya sambil diam-diam bersenandung.
            Mungkin saya bisa paham kekhawatiran Kakek saya yang guru itu. Beliau tidak ingin anak putrinya berkeliaran ke mana-mana dengan lelaki-lelaki tak jelas apalagi di hari malam. Wajar saja, hingga masa kecil saya beliau masih terus menerapkan hal tersebut. Bermain di kali keruh tak cukup hanya membuat badan gatal, namun juga siap menerima sabetan sapu lidi yang diikat.
            Lambat laun saya rasa kebebasan-kebebasan yang saya miliki tak lagi terasa begitu bebas.
            Ternyata hal perkara diizinkan dan tidak itu bisa jadi hal yang paling krusial. Dan untuk menanti kebebasan saja saya harus menunggu izin dari orang tua.
            Naik gunung, traveling, ikut ekstrakulikuler dan organisasi, serta banyak hal lain yang saya dapatkan secara Cuma-Cuma dari izin orang tua bukan lagi perkara gengsi. Sebab di masa sekarang pun, masih banyak orang tua yang sangat protektif terhadap anak mereka (terutama putri). Sejujurnya, saat naik gunung pun saya selalu ditanyai apakah ada perempuan lain di tim kami.
            Saya berbohong sekali saat naik Semeru dua tahun lampau. Rasa-rasanya pendakian lainnya selalu ada rekan perempuan lain di tim saya.
            Dan melalui hal-hal tersebut, saya mulai paham bahwa jika kebebasan itu bisa diberi atau bisa didapatkan, maka ia pun bisa diambil. Dikurung dalam jeruji besi.
~ ~ ~
            Kemarin saya nonton film Thailand berjudul ‘Yes or No’ (2010). Film ini menceritakan tentang pasangan sesama jenis. Namun saya tertarik dengan gaya penceritaannya yang terasa begitu ringan dan diwarnai bumbu khas masa remaja. Sehingga film yang bahkan di Indonesia itu kemungkinan tak lolos sensor, jadi terasa seperti film-film remaja kebanyakan yang menceritakan percintaan tentang pasangan heterosexual.
            Tapi saya nggak heran, sih. Secara realita, Thailand adalah sebuah negara dengan dominasi pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Budha. Saya lupa mana yang lebih dominan. Yang jelas norma-norma keagamaan di sana sangat toleran terhadap berbagai macam polemik hidup yang banyak terjadi.
            Misalnya, di Thailand rutin diadakan pemilihan Miss Tiffany setiap tahunnya. Ajang ini merupakan persaingan bagi para transgender untuk menjadi yang paling cantik dan berbakat. Dan tentu saja peminatnya banyak sekali.
            Hal itu karena Thailand sangat menghormati adanya hal-hal semacam itu. Kalau kata Trinity, sih, mereka percaya akan men soul trapped in women’s body or women’s soul trapped in men’s body. Bahkan toilet pun khusus tersedia bagi para ladyboy.
            Jadi tentu saja hal tersebut dimaklumi oleh sebagian besar masyarakat di sana. Kecuali tentu masyarakat yang masih belum bisa menerima adanya hal semacam itu. Mungkin kalau diibaratkan, orang tua macam ini adalah orang tua kolot. Hehe. But it’s alright.
            Adalah hak semua orang untuk menentukan yang baik dan buruk bagi dirinya sendiri. Jadi, tentu saja kita tak perlu repot-repot menentukan yang baik dan buruk bagi orang lain.
            Terkadang saya merasa simpati dengan teman-teman saya yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda dengan masyarakat umumnya. Tapi dari hal yang saya amati sekian tahun, tak pernah saya bermasalah dengan mereka. Apalagi menggunakan kecenderungan seksualnya itu sebagai alasan untuk tak mau berteman. Amit-amit.
            Sore ini saya ngobrol banyak dengan teman sekelas saya, Ranti. Kami banyak membahas tentang diskriminasi yang seringkali terjadi kepada kaum gay. Dan menurut kami, hal itu sinting.
            Terkadang saya menyadari sulit sekali untuk menjadi diri saya sendiri. Walaupun saya sering membesarkan hati dengan berkata tak ada yang tak beres dengan diri saya. Namun, sebagai manusia tetap saja saya merasa kesulitan menempatkan diri dalam beberapa kondisi yang tak pernah saya alami.
            Dan hal itu berlaku secara alamiah. Semua makhluk hidup butuh beradaptasi. Semua makhluk hidup memiliki cara dan jalan masing-masing untuk melakukannya.
            Kemudian alangkah kejamnya saat ada orang yang sengaja membatasi diri atau bahkan menghakimi orang lain yang berbeda dengan diri kita saat kita seharusnya sadar, kita hidup dari heterogenitas yang sangat luas. Perbedaan warna dan bentuk rambut, warna kulit, warna bola mata, bentuk rahang, dan lain sebagainya. Bahkan hingga hal-hal sosial macam budaya dan bahasa yang ada ratusan jumlahnya.
            Bagi saya, gay adalah sama seperti apabila seseorang ditakdirkan untuk berambut keriting. Wajar. Kita tak mungkin hidup secara homogen mengenai kecenderungan seksual tersebut dan bukan ranah kita untuk menghakiminya.
            Dan tolong diingat. Mungkin gay itu bisa diubah. Tapi hal itu bukanlah pilihan.
            Saya sadar betul tak ada yang pernah benar-benar ingin menjadi gay, atau bahkan menjadi transgender. Dan sayangnya, banyak orang yang tak sadar hal itu.
            Sejak kecil kita ditanamkan bahwa suatu saat kita akan berumah tangga dengan seseorang yang berlawanan jenis dengan kita, memiliki anak, membangun keluarga yang harmonis dan lain sebagainya. Namun pernahkah secara sadar, kita benar-benar memilih bahwa kita akan menyukai lawan jenis atau sesama jenis?
            Tidak.
            Hal itu bukan dibentuk. Tidak terjadi karena sugesti apalagi jampi-jampi. Tapi hal itu adalah naluri. Sifat alamiah yang hampir tidak mungkin dikekang. Dan saat kita bahkan bisa menghargai hewan yang mengawini induknya sendiri, mengapa sebagai manusia kita tak dapat menghargai perbedaan yang timbul?
            Saya selalu bertanya-tanya dalam hati. Rekan-rekan saya yang gay juga punya hak untuk melanjutkan hidup. Dan pilihan mereka adalah melanjutkannya dengan normal atau tidak. Saat kita mengambil sikap sebagai respon atas pilihan yang dipilih rekan-rekan gay kita, tentulah saya ingin kita sudah bersikap secara objektif dan seadil mungkin. Namun betapa jahatnya saat kita memproteksi diri dari mereka karena hal-hal seperti jijik maupun takut.
            Manusia diklaim selalu takut akan hal-hal yang tidak mereka mengerti. Tapi jijik terhadap hal-hal yang mereka tahu namun tak mau dimengerti betul.
            Benar ataupun salah, kewajiban kita adalah memperlakukan mereka sebagai manusia.
            Saya bisa jijik dengan orang yang heteroseksual karena dia berlaku buruk. Tetapi saya tidak pernah jijik dengan orang yang gay hanya karena dia gay.
            Pandji Pragiwaksono pernah membawakan masalah ini dalam special show-nya yang berjudul ‘Mesakke Bangsaku’. Saya banyak mendapatkan pencerahan dari sana. Dan bagi saya adalah wajar untuk terus menggali pengetahuan saya akan hal-hal yang selama ini awam bagi saya atau hanya saya anggap sambil lalu saja. Padahal, sebenarnya hal-hal seperti ini yang krusial dan banyak menyebabkan permasalahan di dunia.
            Saya pernah nonton tayangan luar negeri, saya lupa judul dan channelnya. Yang jelas, tayangan itu menceritakan tentang seorang gay yang menjalani sebuah tes. Tesnya adalah melihat foto demi foto wajah manusia yang menampakkan berbagai macam ekspresi. Yang menarik adalah, pemuda ini hampir tak bisa mengenali semua ekspresi wajah yang ditampilkan. Saat ditunjukkan wajah tersenyum ia menjawab sebagai wajah yang ragu, dan begitu seterusnya.
            Yang membuat saya terenyuh adalah, ketika si ilmuwan membuka lembar berisi satu ekspresi wajah. Si pemuda ini tanpa ragu langsung menjawab, “disguist. It’s disguisting’s face.”
            God. Ternyata saking seringnya ia mendapati wajah tersebut, ia hampir tak dapat mengenali ekspresi lain selain jijik. Can you imagine it?
            Kemudian saya pernah baca sebuah berita. Isinya adalah mengenai seorang ayah yang tak sengaja mencuri dengar mengenai anak lelakinya yang gay dan berencana akan kabur dari rumah dengan pacar lelakinya karena takut dengan reaksi ayah ibunya jika tahu ia adalah seorang gay. Beberapa saat kemudian, si ayah dan ibu pergi keluar saat si anak sedang tertidur. Dan ketika anak itu bangun, ia menemukan secarik kertas note di meja belajarnya bertuliskan;
Nak, ayah mendengar percakapanmu dengan kekasih lelakimu di telepon kalau kau akan pergi dari rumah karena takut dengan reaksi kami. Ketahuilah, Nak, ayah sudah tahu kalau kau gay sejak kau berumur 6 tahun. Dan hal itu bukan berarti ayah tidak menyayangimu seperti anak ayah lagi. Kau tetap anak kami.
            Ayah mencintaimu.
            P.S. Ibumu bilang kau dan pacarmu adalah pasangan yang manis.
            Dan saya merasa sangat tersentuh. Can we just live like that? When everything going right and everybody loves us just the way we are. It’s just.. perfect.
            Seperti di film ‘Yes or No’. Di mana Ibu tokoh Pie tidak suka terhadap perempuan yang bergaya seperti laki-laki dan menyukai perempuan. Namun pada akhirnya tokoh Kim tetap datang ke rumah Pie dan mengatakan hal yang sejujurnya pada Ibu Pie.
            Ibu Pie tidak setuju, namun ia menyerahkan keputusan pada sang anak. Artinya apa? Di sana, tetap ada orang yang tidak dapat menolerir hal-hal semacam itu. Namun ia tidak dapat menerima bukan karena hal tersebut merupakan hal yang dilarang. Hal itu mungkin tidak baik, tapi lingkungan mereka tak pernah menghakimi dan hal tersebut sudah banyak terjadi di sana. Jadi meskipun misalnya orang tua melarang, si anak tetap bisa kabur dan hidup bahagia di tempat lain. Itulah Thailand. Dan negara-negara lain yang menanamkan kelegalan akan hubungan sesama jenis.
            Namun di Indonesia? Meskipun butuh puluhan tahun bagi orang tua untuk akhirnya setuju, si anak takkan bisa ke mana-mana. Bahkan nyaris tak mendapatkan kebahagiaannya agar bisa hidup bersama kekasihnya. Masyarakat dan lingkungan kita tak mengenal hal semacam itu dan sadar atau tidak, hal ini yang membuat mereka putus asa dan memilih mati.
            Terdengar dramatis memang. Tetapi pernahkah kita sadar, sangat sulit bagi mereka hanya untuk diterima sebagai individu yang berhak mendapatkan kehidupan yang sama. Dan ribuan kali lebih sulit saat mereka harus memberikan pengertian bahwa mereka butuh pendamping. Butuh pasangan seperti layaknya orang lain.
            It’s really really hard. It’s goddamn hard.
            Dan tidak semua orang bisa. Tidak semua orang mampu dan sanggup.
            Karenanya, bagi saya mereka istimewa. Bukan karena kecenderungan seksualnya, namun pribadi mereka yang menyenangkan dan seringkali membuat saya penasaran dan bertanya-tanya. Akan jutaan hal yang mungkin takkan pernah saya tahu.
~ ~ ~

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)