Stand Up Comedy sebagai Autokritik Fenomena Kebangsaan



“Stand up comedy mengajarkan kita untuk tidak sensi. Mengajarkan kita untuk menertawakan diri sendiri dan itu penting. Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terlalu sensi sehingga apapun terlalu banyak jadi masalah dan buntut-buntutnya berantem. Terlalu banyak kita berantem sehingga kita kehabisan waktu untuk bersatu melakukan sesuatu.”

- Pandji Pragiwaksono

Komedi dapat diartikan sebagai karya yang lucu dan bertujuan untuk menimbulkan tawa. Penyebutannya sebagai karya membuat komedi memiliki banyak bentuk, jenis, dan maksud. Sebagai wujud dari bentuk, jenis, dan maksud komedi tersebut, di dalamnya terdapat banyolan atau lelucon yang disampaikan. Banyolan itu sendiri bersifat indosinkratik, mewakili kreativitas unik bahasa, namun tetap ‘kolektif’, awanama, tanpa penulis, sekonyong-konyong ada dari antah berantah. Sehingga ide bahwa banyolan atau lelucon memiliki penulis disebut paranoiak: adanya suatu ‘yang-Lain dari yang-Lain’. Itulah sebabnya, apabila ditinjau dari sudut pandang teologis dalam tesis cerpen Isaac Asimov ‘Jokester’, Tuhan adalah pelawak utama. (Mortensen:2012).
Sebagaimana perpektif teologis menemui kelemahan dan kekurangan dalam teori-teorinya, pendapat ini sudah tak lagi digunakan. Seseorang bisa saja menggunakan prinsip-prinsip religius untuk menggugah tawa, tetapi tawa sendiri bukanlah suatu turunan atau warisan yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya untuk membuktikan kuasa Tuhan itu sendiri.
Salah seorang yang menentang pandangan teologis itu adalah Raskin, yang mengemukakan bahwa komedi sebagai tindakan lucu (humor act) ditunjang oleh 6 faktor, yakni: partisipan (speaker dan hearer), stimulus (sesuatu yang terjadi dalam humor act tersebut), pengalaman, segi psikologis partisipan, situasi, dan sosial budaya (Endahwarni, 1994:20–21).
Selain itu, banyak studi yang telah dilakukan untuk ‘mengilmiahkan’ komedi. Sigmund Freud bahkan telah mengklasifikasikan komedi sebagai tindakan lucu yang dilandasi oleh motivasi dan topik. Pendapat ini menyebutkan bahwa komedi apabila ditinjau dari motivasinya terbagi menjadi tiga; comic, humor, dan wit. Pandangan ini sedikit berbeda dari Raskin yang mengklasifikasikan motivasi komedi menjadi unintended humor dan intended humor. Raskin didukung oleh Fry yang juga membedakan motivasi menjadi situation jokes dan canned jokes.
Kesamaan dari pandangan-pandangan tersebut adalah adanya tingkatan-tingkatan motif yang terselip dan dimaksudkan oleh seorang partisipan yang bertindak sebagai speaker. Pada dasarnya, ketiga pendapat tersebut mengakui adanya komedi yang tidak memiliki motif tertentu sehingga terjadi secara natural dan spontan, serta komedi yang memakai motif untuk diciptakan secara sengaja. Hanay saja, Freud lebih detail mengklasifikasikan komedi yang menyertakan motif ini. Ia membaginya menjadi humor dan wit. Wit adalah komedi yang menggunakan motif secara lebih intelek yang berkenaan dengan latar belakang partisipan sehingga apabila ia gagal ditangkap, maka komedinya menjadi tidak lagi menimbulkan tawa.
Pengklasifikasian berdasarkan motivasi ini juga tidak sepenuhnya benar. Sangat sulit untuk menemui komedi yang tidak memiliki motif tertentu. Namun dalam bukunya, Freud memberikan contoh bahwa komedi yang tidak memiliki motif adalah tebak-tebakan. Tebak-tebakan tetaplah komedi yang memang ditendensikan untuk memberikan penghiburan, walaupun semisal tidak sekaya komedi yang memiliki motif. Nilai humornya tetap ada sesuai dengan intensinya sebagai hiburan. Sementara apa yang disebut Raskin sebagai komedi yang natural dan spontan juga dapat diimplikasikan kepada komedi yang muncul seketika dan meledak-ledak.
Komedi-komedi natural dan spontan tetap memiliki kemungkinan untuk telah lebih dulu direncanakan. Berarti, semakin kecil motif dan perencanaan yang terlihat, maka semakin kabur batas antara komedi bermotivasi dan komedi yang tidak memiliki motivasi. Sehingga masalah intended unintended itu hanyalah bagaimana seorang speaker membawakan komedinya.
Nampaknya klasifikasi tersebut terlalu konvensional untuk memetakan ranah komedi modern. Berkenaan dengan bias yang terjadi di dalamnya, komedi yang memiliki motivasi dan yang tidak memiliki motivasi semakin meregang dalam budaya mainstream masa kini. Hal tersebut tampak pada fenomena stand up comedy yang banyak diusung speaker sebagai wilayah hiburan yang relatif baru di tanah air.
Stand up comedy mulai menjadi show yang menjanjikan di Indonesia sejak tahun 2010. Stand up comedy adalah salah satu cabang hiburan yang berasal dari kata ‘stand up’ dan ‘comedy’ di mana seseorang berdiri di depan khalayak ramai dan berusaha menghibur dengan guyonan, lawakan, atau banyolan yang mereka bawakan secara langsung. Ditinjau dari segi historis,  stand up comedy mulai muncul sejak abad ke-18 dan 19 di Inggris dan Amerika sebagai bagian dari pertunjukan-pertunjukan musik. Lepas dari masalah kebangkrutan dan penyensoran guyonan yang dibawakan, stand up comedy berkembang sebagai tidak hanya jenis hiburan, melainkan juga sebagai ajang untuk menyampaikan sesuatu yang tidak lagi hanya bertujuan melucu tapi juga penting dan sifatnya mendekonstruksi pola pikir masyarakat.
Woody Allen, Jay Leno, Robin Williams, dan Jerry Seinfeld adalah nama-nama di Hollywood yang membesarkan stand up comedy dari masa ke masa baik dengan membuat acara khusus stand up comedy ataupun membawakannya dalam talkshow yang mereka pandu. Umumnya, para stand up comedian ini disebut sebagai comic/komika sementara guyonan, lawakan, atau banyolan yang mereka bawakan disebut dengan materi/bit.
Di awal era 2000-an masyarakat Indonesia sudah mulai disergap kebosanan dengan acara-acara komedi. Ketoprak sebagai salah satu seni tradisional Indonesia, misalnya, tidak lagi mendapatkan antusiasme yang tinggi dari penonton. Candaannya yang bersifat kedaerahan juga membuat ia tak begitu diminati oleh masyarakat meskipun Indonesia memilki grup lawak Srimulat yang berskala nasional dan memiliki jam tayang yang tinggi. Belum lagi adanya acara-acara serupa yang dipenuhi guyonan kasar dan seringkali dipenuhi bullying antar pelakunya di berbagai saluran tv.
Sebelum stand up comedy muncul dan meraih kejayaan di Indonesia, kedua tayangan di atas merupakan representasi seni hiburan tradisional dan modern di Indonesia. Tak heran ketika dipopulerkan oleh Raditya Dika, penulis komedi yang disebut-sebut sebagai nomor satu di Indonesia, stand up comedy menjadi sebuah pembaharuan yang positif dan mengundang banyak partisipan lagi untuk membesarkan namanya.
Stigma stand up comedy sebagai hiburan yang hanya dimengerti oleh orang-orang cerdas pun lantas menjadikannya sebagai fenomena yang gigantis sehingga para komika semakin selektif dalam memilih wujud materi karyanya. Stand up comedy sendiri memiliki nilai humoris yang tinggi karena umumnya bit yang dibawakan berasal dari kehidupan sehari-hari atau yang lazim disebut sebagai komedi observasi. Seorang komika yang baik biasanya adalah seorang observer atas diri dan lingkungannya. Komedi observasi inilah yang nantinya akan meluas dan melampaui batas ‘kehidupan sehari-hari’ menjadi ‘kehidupan masyarakat yang rancu batasan-batasannya’.
Observasi yang dimaksud bisa mengembangkan pengalaman komika atau speaker dari sudut pandang orang pertama (pengalam) menjadi sudut pandang orang ketiga (pengamat), atau mengerucut sebaliknya. Sesuai dengan kontur dan struktur masyarakat yang didiaminya, komedi observasi akan berubah menjadi satir politik yang tidak meninggalkan nilai-nilai observasinya (malah semakin memperkuat), tetapi juga menjadi konstruksi dari campuran komedi-komedi lain seperti komedi karakter (lazim kita lihat bagaimana politik dikaitkan dengan oknum dan pihak tertentu, hal yang sama berlaku pula dalam dunia komedi), komedi cringe (sebagai komedi yang bertolak dari hal-hal yang pernah terjadi atau situasi yang akan timbul dan berkembang), komedi hina (insult comedy), dan lain sebagainya.
Maka satir politik adalah komedi ironi yang menggambarkan seseorang atau institusi tertentu dengan berparodi menggunakan gaya ironi untuk mengkritik dari dalam. Hal ini menambahkan satu aspek positif stand up comedy dibandingkan pertunjukan komedi konvensional Indonesia, yakni nilai kejujuran dan keterbukaan. Stand up comedy menjadikan komedi sebagai kata kerja, bukan lagi kata benda yang dapat disisipkan dalam pertunjukan lain seperti musik dan drama.

 Membawakan Stand Up Comedy = Menelaah Stand Up Comedy
Stand up comedy memang bukanlah bentuk ideal untuk mengemas opini terhadap pemerintah atas pilihan-pilihan yang dijalankan untuk menopang hasrat hidup orang banyak. Pada dasarnya, ia masih memiliki banyak kelemahan untuk disebut sebagai solusi yang dibentuk dari wacana oleh seseorang. Sebagai ilmu yang membahas tentang tafsir atau penafsiran, hermeneutika berkapabilitas tinggi untuk menelaah komedi dengan berfokus pada bagaimana menafsirkan sesuatu berdasarkan aspek yang terlibat di dalamnya, yakni pemesan, teks, dan penerima pesan.
Lingkaran atau triadik hermeneutik tersebut dapat berubah sesuai dengan konteks yang diperlukan. Stand up comedy, misalnya. Triadik hermeneutik tersebut dapat berkembang menjadi banyak unsur. Dan unsur-unsur itulah yang akan membantu menyampaikan apa yang hendak dimaksud untuk mendekati tujuan maksud tersebut.
Sebagai ilmu tentang tafsir, hermeneutik juga memiliki permasalahan-permasalahan yang mengakar di dalamnya. Berkenaan dengan komedi, khususnya stand up comedy, masalah yang paling mencolok adalah ‘setting penafsir atau hearer. Permasalahan ini mencuat akibat seorang penafsir atau hearer memiliki latar belakang, kultur, dan rasa bahasa sehingga cenderung memaknai sesuatu sesuai dengan dirinya. Terjadinya ideologisasi penumbuh para ekstremis yang marak akhir-akhir ini pun disebabkan terjadinya penafsiran-penafsiran yang berbeda, bahkan keliru.
Namun dilihat dengan banyaknya animo masyarakat akan seni stand up comedy beberapa tahun belakangan, dapat dikatakan bahwa para komika Indonesia telah memiliki panggungnya sendiri. Walaupun kuantitas hearer itu tidak dapat menentukan penerimaan yang mereka dapatkan, tetapi hal ini menunjukkan bahwa ada banyak orang yang memiliki kemauan untuk mengubah dirinya, atau sekitarnya dengan stand up comedy.
Salah satu komika yang membuat arus stand up comedy adalah Pandji Pragiwaksono. Ia adalah orang Indonesia pertama yang melakukan tur dunia untuk mengadakan show stand up comedy di lima benua.
Stand up comedy yang awalnya sebatas show yang dihadiri oleh dua sampai lima komika yang bergantian tampil untuk membawakan materinya mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Pandji adalah segelintir orang yang memutar roda perubahan tersebut dengan mengadakan show stand up solo selama hampir dua jam dengan materi yang solid. Pandji Pragiwaksono berhasil mewujudkannya dengan membawakan materi yang bersifat nasionalisme. Sementara isu-isu patriotisme semakin mengabur dan ketinggalan zaman, di sisi lain Indonesia ada seorang pria yang melakukan show stand up comedy special secara solo empat kali dalam lima tahun dengan penonton yang selalu menunggu di tiap kota yang disinggahinya.
Stand up comedy yang dibawakan Pandji Pragiwaksono merupakan data yang sangat relevan untuk menunjukkan bagaimana sebuah komedi dapat dibawa dan digiring sedemikian rupa sehingga menjadi autokritik dari permasalahan pemerintah yang rupanya diminati orang banyak.
Politik Sopan Santun
Lo tahu nggak, Pak SBY ini mau memulai album keempat. Album keempat dalam dua masa kepemimpinan. Berarti sepuluh tahun empat album; dua setengah tahun sekali. Lebih banyak dan lebih produktif dia daripada musisi beneran.”
Dalam setiap penampilannya, Pandji selalu membawakan kekhasannya dalam aktualisasi sistem pemerintahan di Indonesia. Penggalan bit stand up-nya di atas mungkin terasa sedikit manipulatif, tetapi itulah stand up comedy. Seseorang bisa diajak membenci, menyukai, mendukung, dan melarang suatu hal tertentu oleh orang lain secara terang-terangan lewat pandangan orang tersebut dan refleksinya terhadap dunia.
“Misalkan ada presiden dari negara yang sangar gitu, Rusia misalnya (bertanya), ‘apa yang Anda banggakan dari Presiden Anda?’
‘Ah, Presiden saya punya empat album.’
Presiden Rusia bilang, ‘Presiden lu nggak kerja?’
Empat album dalam sepuluh tahun, lu bayangin. Maksud gua, Pak Presiden, ini karena gue sayang sama Pak Presiden. Kalo misalnya Bapak punya waktu kosong, Pak tidur Pak, kantong matanya, Pak.. Tidur, nggak usah bikin album.”
Percakapan yang diandaikan Pandji terjalin antara Presiden Rusia dengan warga negara Indonesia tersebut adalah contoh dari komedi cringe. Bahwa hal tersebut wajar terjadi sebagai keumgnkinan yang akan dialami oleh siapapun tanpa terkecuali. Pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau memang telah merilis empat album musik sebagai bentuk apresiasinya terhadap seni. Keempat albumnya berisi lagu-lagu ballad dan religi yang berkolaborasi dengan banyak penyanyi terkenal di Indonesia. Padahal banyak sekali proyek yang mangkrak dan kasus korupsi yang terjadi. Bit Pandji tersebut merupakan sindiran yang memang langsung mengarah di sekitar inti permasalahan masa pemerintahan SBY. Bit tersebut memang cukup berbahaya, hingga ia sendiri mengakui sempat merasa khawatir akan keselamatannya.
Di sini ditunjukkan bagaimana show yang menayangkan komedi berkapabilitas untuk diterima secara salah kaprah oleh beberapa orang tertentu yang merasa diserang atau dirugikan. Ihwal Pandji seolah berusaha membubuhkan frasa ‘no offense’ atau ‘tidak bermaksud menyinggung’ dalam stand up-nya,  bit tersebut memang agitatif bagi banyak pihak.
Tidak hanya itu, dalam special stand up­­-nya yang kedua, Bhinneka Tunggal Tawa, ia juga beberapa kali mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial yang kontra terhadap pemerintah Indonesia seperti berikut.
I.                            “Tahu nggak yang bikin Indonesia susah maju? Pemerintahnya tukang bohong. Gimana caranya tahu mereka bohong? Ketika mereka lebay. Gampang banget ngukur orang bohong. Salah satunya adalah ada yang ingat waktu Piala Dunia datang ke Indonesia untuk pertama kali? Tahu darimana kalau itu piala beneran? Nggak ada yang tahu, kan? Perlakuannya seakan-akan itu piala beneran.”
II.                          “Ada lagi kebohongan pemerintah, kenapa setiap kali ada orang atau bagian di Indonesia yang ingin memerdekakan diri, selalu dianggap sebagai sebuah teror. Dianggap penjahat, separatis. Kesannya buruk sekali. Kenapa? Sekarang gini; gue anak babe gue. Tapi kalo tiap hari kerjanya gue digebukin sama babe gue, gue juga kabur dari rumah. Itulah yang terjadi dengan teman-teman yang ada di sana. Gue tanya sama lu, lu yang di Jakarta, mau merdeka nggak dari Indonesia? Nggak, kan? Kenapa? Hidup lu enak. Kenapa mereka pengen merdeka, hidupnya nggak enak. Itu yang harus kita tanya sama pemerintah. Bukan dikit-dikit (menuding mereka sebagai) penjahat.”
Pernyataan tersebut juga menyoal mengenai pandangan masyarakat yang terlalu menurut tanpa mempertanyakan kinerja pemerintah. Kebohongan-kebohongan pemerintah yang direspon dengan keengganan masyarakat untuk mengulik kenyataan lebih dalam itulah yang memang mendasari terwujudnya masyarakat yang selfish. Pada tempat yang berbeda, peribahasa ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ ada untuk mengingatkan bahwa di langit ada beberapa lapisan dan persoalan kesetaraan hak nyaris mustahil untuk dilaksanakan dalam lingkup seluas Indonesia. Hal tersebut juga lantas menjadi alasan mengapa hingga detik ini masih terjadi berbagai pemberontakan untuk keluar dari kedaulatan jurisdiksi Indonesia.
Dalam kasus di atas, dapat diindikasikan bahwa unsur komedi tidak selalu ampuh menyampaikan kegelisahan seorang komika dan seorang komika tidak melulu diindetikkan dengan humor dan tawa. Dalam stand up-nya, seorang komika juga diwajibkan memilih timing yang tepat untuk memberikan kesempatan bagi penonton mencerna apa yang ingin disampaikan dan membatasi bit-bit stand up­-nya. Dengan begitu, makna yang ingin disampaikan akan lebih kuat dan memberikan stimulan pada penonton untuk memberi respon pada bit selanjutnya karena dalam stand up comedy, tanggapan penonton adalah salah satu indikator nilai humor dan kejujuran di atas. Meskipun kebanyakan komika menggunakan moment tersebut dalam jumlah yang minimum, apa yang mereka sampaikan di luar komedi tersebut biasanya berhasil mencapai pemahaman penonton.
Hal ini berkebalikan dengan dakwah religi atau sejenisnya di mana pendakwah berpidato bahkan selama berjam-jam namun jumlah penonton yang dicapai tak juga mengalami perubahan yang signifikan. Terlepas dari permasalahan agama sebagai produk budaya dan stand up comedy sebagai kultur baru yang digemari, metode penyampaian secara monolog yang kuat walau berbeda jenis menunjukkan adanya indikasi masyarakat yang mempercayai bahwa agama bukanlah satu hal yang akan mempersatukan keberagaman di Indonesia.
Bukan berarti komedi bekerja lebih efektif dibandingkan agama, tetapi masyarakat kita sudah berada dalam tahap baru di mana semua orang dapat memperdebatkan komentar iseng di media sosial seorang aktris atau guyonan seorang politikus di media massa sehingga masyarakat cenderung selektif memilah apa yang sesuai dengan diri mereka dan apa yang tidak. Dakwah religi, di sisi lain, memiliki permasalahan yang lebih kompleks tapi jarang menunjukkan masalah dari akarnya. Konteksnya bersifat konkret tetapi netral sehingga apa yang disampaikan berorientasi pada hal yang monoton.
Melalui bit-bitnya, Pandji telah merayakan demokrasi dengan cara yang maksimal agar dapat didengar. Melalui stand up comedy, Pandji menggunakan hak politiknya sehingga acara komedi diakui sebagai salah satu alternatif pendidikan politik.

Memperkarakan Komedi
Materi yang dibawakan dalam stand up comedy milik Pandji atau komika lainnya pada dasarnya membuktikan kebenaran pendapat Gadamer bahwa refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalaman-pengalamannya tidak selalu dapat dipilah-pilahkan dalam kategori, tidak bisa digolong-golongkan, maupun tidak dapat dipelajari secara artifisial (sekadar main-main saja) (Sumaryono, 1999:79).
Melalui kategorisasi humor yang dibuat oleh para ahli, selalu ditemukan kesulitan untuk menyampaikan komedi kepada hearer. Tentu lebihi berisiko lagi untuk menyatukan ratusan hearer dalam satu ruangan untuk menyaksikan show stand up comedy. Tak peduli berapa banyak jam terbang seorang komika atau komedian, tetap akan ada kemungkinan sebuah guyonan gagal disampaikan.
Untuk itu perlu digarisbawahi keenam unsur penting yang dikemukakan Raskin dalam humor act.
1.      Partisipan (dalam hal ini speaker sebagai pemberi pesan dan hearer sebagai penerima pesan).
2.      Stimulus (sesuatu yang harus terjadi dalam humor act); yakni kelucuan itu sendiri.
3.      Pengalaman partisipan dalam menghadapi situasi yang baru atau yang telah sering ditemuinya dan ekspektasi apa yang akan dibawanya.
4.      Segi psikologis partisipan; bahwa seseorang dibangun dengan ‘setting’ tersendiri sehingga mereka cenderung memiliki standar atau selera masing-masing yang tak dapat digugat (de gustibus, non est disputandum; tentang selera, tidak perlu ada yang diperdebatkan karena memang tidak memiliki kriteria).
5.      Situasi yang memungkinkan penyampaian materi terkirim secara maksimal atau malah tidak memungkinkan terjadinya komedi sama sekali.
6.      Sosial budaya sebagai entitas pendukung yang menyebabkan seseorang bisa tertawa akan suatu hal, tetapi ia sadar terkadang ia menertawakan hal yang salah (contoh: rasisme, seksis, agama, dan lain sebagainya).
Keenam unsur tersebut saling bersinambungan dan semakin kuat proporsi masing-masing untuk membentuk terjadinya komedi, maka semakin berhasil pula komedi tersebut bekerja.
Sebab itulah adanya comic menurut Freud, unintended humor menurut Raskin, dan situation jokes menurut Fry kurang bisa diterima sementara untuk membentuk komedi diperlukan persiapan yang tidak sedikit. Dan jarang terjadi pemenuhan keenam unsur di atas tanpa adanya perencanaan.
Dengan asumsi tersebut, tidak heran begitu banyak respon dan sentimen yang ditujukan pada Pandji atas bit-bitnya yang kontroversial. Ia adalah seorang komika kawakan yang sudah berkali-kali menjajaki panggung stand up comedy, ia dikenal cerdas dan kritis dengan isu-isu sosial politik di lingkungannya, ia berhasil memecahkan rekor dan membentuk penikmat karyanya sendiri, serta ia merencanakan dengan matang setiap penampilannya agar tiap-tiap bit semakin solid dan menjadi kesinambungan yang dapat diprediksi tetapi selalu mengejutkan.
Tendensinya salah dimaknai oleh sekelompok golongan yang menganggap apa yang dikatakannya terlepas dari perform yang ia bawakan; yakni pertunjukan komedi.
Dengan kata lain, sesuai dengan keenam unsur penting humor act oleh Raskin tersebut, Pandji gagal menyampaikan komedinya dan disalahartikan sebagai assault untuk kelompok tertentu karena tidak semua hearer-nya memiliki psikis yang sama. Sebagian orang bisa tertawa lepas, sebagian orang bisa diam, dan sebagian orang lagi bisa merasa tersinggung. Hal ini biasanya didukung oleh pola pikir yang terlalu sempit sementara diperlukan kepala yang mau menerima masukan untuk menonton acara komedi.
Atau bisa jadi kegagalan tersebut disebabkan kesalahan timing atau moment sehingga beberapa hearer merasa apa yang dikatakan Pandji tidak sesuai atau malah benar-benar sesuai sehingga begitu terasa tohokannya. Di sisi lain, Pandji berhasil memenuhi unsur sosial budaya dalam setiap performanya. Seringkali ia menyadarkan hearer akan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya dan membuat orang menaruh perhatian akan hal tersebut, bahkan menganggapnya penting.
Seorang komedian berkapabilitas menciptakan wacana yang dapat memengaruhi orang lain. Saat ini, kebebasan individu dijunjung setara dengan hak individu tersebut diakui. Bahasa sebagai media penyampai pesan, sejauh ini tidak pernah salah digunakan. Yang terjadi ialah salah diterima oleh penerima pesan. Bagi orang-orang ekstremis tertentu, ketika tiba dalam masa pra-pemahaman ini, mereka akan berhenti memahami lebih lanjut dan bertindak sesuai dengan apa yang mereka tangkap meskipun tidak sesuai dengan maksud penyampai pesan.
Walau dalam teks, Ricoeur membantah Gadamer dengan mengemukakan bahwa subjektivitas penulis harus ditekan, stand up comedy sebagai output dari pemikiran itu sendiri mengakui adanya pengaruh penulis untuk menyampaikan maksud atau tujuan suatu hal. Pesan itu sendiri sangat dipengaruhi pula oleh cara penyampaiannya. Tak sedikit komika yang gagal eksis dalam panggung stand up comedy meskipun mereka memiliki materi yang berlimpah. Dengan kata lain, bisa saja pesan yang mereka sampaikan terkadang tidak termuat dengan baik oleh si pemberi pesan. Asumsi bahwa di dunia pidato, monolog, dakwah, atau stand up comedy metode penyampaian bahkan memengaruhi konteks yang dibawakan sedikit banyak benar adanya.
Kapabilitas penonton yang berbeda dalam memahami maksud suatu ujaran merupakan tantangan tersendiri bagi seorang komika untuk dapat menyampaikan bitnya dengan baik. Walaupun bermuatan komedi, bukan berarti materi yang disampaikan lantas dianggap angin lalu semata. Terdapat muatan edukatif yang dapat dipetik. Karenanya peran penyampai pesan tidak bisa terlepas dari pesan tersebut. Ia juga bertanggung jawab sepenuhnya terhadap materi-materi yang disampaikan.
Berkenaan dengan bit-bitnya yang ofensif, Pandji juga mengemukakan bit berikut.
Tapi gini, Pak SBY itu menurut gua... dan ini kritik, ya. Karena kalau di Amerika Serikat, George W. Bush habis dibantai sama stand up comedian. Dan pernah nggak lu lihat George W. Bush menyerang balik? Nggak pernah. Kenapa? Karena separah-parahnya dia, dia tahu kalau misalkan dia serang komedian yang nyerang dia, dia akan membuat hal tersebut jadi besar atau membuat dirinya menjadi kecil. It’s just a joke. Masalahnya adalah, Presiden kita, hal-hal kecil itu dibikin besar sama dia.”
Merespon komika dengan cara yang negatif memang tindakan yang sangat tidak menguntungkan dan Pandji menyadari betul itu. Ia memberikan semcam peringatan awal bahwa apabila apa yang ia ungkapkan mendapat respon yang keras baik dari objek materi stand up-nya ataupun orang-orang yang mendukung objek tersebut, hal itu bisa saja membuatnya bungkam tapi tidak membuat si objek menjadi pulih kembali nama baiknya.
Persoalannya adalah, seluas batas komedi itu diterapkan dan dimaklumi agar suatu pesan tetap berada dalam koridor komedi dan dianggap sebagai komedi?
Dalam stand up comedy, komedi yang awalnya murni menjadi hiburan juga dapat menjadi propaganda akan suatu wacana tertentu. Pandji, misalnya. Walau ia berada dalam kegiatan stand up comedy, pesan yang disampaikannya tidak hanya bermuatan komedi tetapi juga kritis dan ofensif. Sulit bagi sebagian orang untuk menyadari bahwa itu adalah komedi. Terutama jika komedi dikaitkan dengan sesuatu yang tidak serius dan konyol. Materi-materi Pandji sangat jauh dari kesan tidak serius dan konyol. Untuk menyampaikan suatu hal, diperlukan proses penggodokan ide untuk mewujudkan hal tersebut menjadi pesan. Komika dalam hal ini memiliki banyak keuntungan karena sejauh yang mereka pahami, mereka masih berada dalam zona humor.
Kondisi ini menciptakan suatu keterikatan yang menarik. Karena dapat dikatakan seorang komika bebas menyampaikan nyaris apa saja, di mana saja, kapan saja, dan kepada siapa saja, maka ia akhirnya memilah informasi yang sekiranya layak untuk diterima penontonnya. Bukan hanya kejadian, tapi juga berita. Perbedaannya ialah berita pastilah suatu hal yang terjadi sementara tidak semua kejadian layak diberitakan. Seorang komika dikatakan bebas mengusung isu apa saja yang menggelisahkan dirinya selama ia punya penonton dan kesempatan untuk menyampaikan kegelisahan tersebut. Kegelisahan itu berupa ide yang sifatnya dikotomi; dapat menjadi humor dan juga berupa maksud yang tersembunyi di balik humor tersebut. Penonton yang tidak mengerti ihwal apa yang dimaksudkan akan terhibur dengan humornya, tapi penonton yang memahami apa yang disampaikan akan mendapat lebih dari humor.
Maksud di balik humor tersebut bisa tidak terbatas, sesuai dengan kemampuan penyampai pesan untuk mengungkapkan gagasannya, dan kemampuan penonton untuk menerima maksud dari pesan tersebut. Hal itulah yang menyebabkan ‘serangan intelektual’ komika kepada pihak-pihak tertentu nyaris tak bisa dibalas, terutama secara fisik.
“Pilih media yang benar dan jangan cuma percaya sama satu media. Dan gue jelaskan sekarang tentang berita di tv dan di koran tentang apa yang gue bilang bahwa ‘SBY nyimeng’. Gue akan kasih tahu apa yang mereka beritakan dan kebenaran yang gue ucapkan. Beritanya tertulis ‘SBY pasti nyimeng’, yang gue ucapkan adalah: sama. Hehe. Tapi itu bercanda konteksnya. Gue sampai mau dikirim preman, bayangin. Orang Indonesia musti belajar untuk membaca maksud dibalik ucapan. Jangan nangkep ucapannya doang, nangkep maksudnya. Ucapannya kadang-kadang salah, maksudnya pasti bener. Itu akan membuat kita jarang slek, jarang sensi, bersatu untuk Indonesia. Membaca maksud dibalik ucapan itu penting. Sehingga lain kali kita lihat SBY bilang, “saya prihatin..” ya itu yang dia ucap. Yang dia maksud adalah, “ampun.. saya nyerah. Nggak bisa saya.” Karena itu sebenarnya yang dia maksud. Apa, sih, yang pernah dia lakukan yang signifikan untuk Indonesia? Di luar ekonomi? Itu yang harus kita tuntut dari pemimpin kita.”
Stand up comedy harus dilangsungkan secara live sebab pesan yang dimaksudkan akan bergantung pada si penyampai pesan dan kemampuannya untuk mengirimkan pesan itu kepada penonton. Apabila pesan tersebut mewujud menjadi teks, muatan humornya nyarsi hilang dan maksud yang disampaikan bisa berubah sama sekali.
Dengan kata lain, bisa saja stand up comedy menjadi solusi dari bagaimana ekstremnya masyarakat kita dalam menyikapi suatu hal kecil atau bagaiman generalnya masyarakat dalam menyoal permasalahan besar, tetapi dalam kaidah tertentu ia tetaplah humor yang bertujuan untuk menghibur. Perkara nilai positif yang didapat adalah bonus. Komedi yang terdapat dalam stand up comedy bisa juga bermuatan solutif terhadap permasalahan-permasalahan bangsa sehingga masyarakat setidaknya bisa melek terhadap situasi dan kondisi sekitarnya melalui observer yang berwawasan luas dan dapat dipercaya. Pandji Pragiwaksono membawakan komedi beserta solusi yang ia tawarkan dalam bitnya secara sekaligus sehingga membuat penonton melalui proses pengolahan penerimaan pesan yang berlapis. Meski ada juga komika yang memisahkan antara komedi dengan solusi yang diusungnya dalam urutan tertentu sehingga walau tak bersamaan, penonton tetap dapat mencerna maksud yang diungkapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Endahwarni, Sari. 1994. Kosa Kata dan Ungkapan Humor Srimulat. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Mortensen, Audun. 2012. The Collected Jokes of Slavoj Zizek. :Flamme Forlag.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Thompson, John B. 1982. Paul Ricoeur Hermeneutics & the Human Sciences. New York: Cambridge University Press.




DAFTAR LAMAN

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Susilo_Bambang_Yudhoyono. Diakses pada 29 Maret 2016 pukul 20.00 WIB.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stand-up_comedy. Diakses pada 29 Maret 2016 pukul 19.23 WIB.

m.metrotvnews.com/read/2014/03/31/225104/edukasi-politik-lewat-stand-up-comedy. Diakses pada 31 Maret 2016 pukul 13.07 WIB.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)