The Party-Goers
Kali
ini saya mencoba mengawali tulisan saya ini tidak dengan pertanyaan. Tidak juga
dengan keresahan dan kegelisahan. Mungkin ini dapat disebut keheranan yang
terkontrol.
Semester
yang lalu, saya mengikuti mata kuliah Etnografi Wilayah Eropa dari program
studi Antropologi. Alasannya simpel; saya harus memenuhi tuntutan SKS dan tidak
ada mata kuliah lain yang paling saya minati. Sejujurnya, itu kali pertama bagi
saya untuk sekelas dengan teman-teman jurusan lain di kampus saya. Sebelumnya,
sih, pernah. Tapi itu kelas tari yang notabene memang pada beda kelas. Nah
kalau ikut kelas dari jurusan lain, saya merasa seperti tamu. Gara-gara sering
melihat orang-orang luar jurusan saya yang duduk di dalam kelas dengan muka
tertekuk. Hehe.
Kelas
etnografi sangat menarik bagi saya yang seumur-umur hanya berfokus pada bahasa
dan sastra dengan lingkup tertentu. Apalagi etnografi tentang Eropa, sebuah negeri
yang rasa-rasanya begitu jauh dan penuh dengan dongeng, sekaligus dipenuhi
janji-janji modernitas. Apalagi bertemu teman-teman dari jurusan Antro. Kelas kami
dipenuhi pemikiran kritis yang herannya selalu bisa mengusir rasa kantuk saya
(maklum, kelas ini berlangsung dari pukul 3 sore hingga setengah 6 sore)
setelah seharian juga mengikuti perkuliahan lain.
Dengan
suasana kelas yang paling banyak dihuni 16 orang dan mayoritas di antaranya
adalah mahasiswa-mahasiswa yang satu tingkat di bawah saya, saya merasa setiap
sesi diskusi selalu memacu saya untuk berbicara, entah itu bertanya atau
berkomentar, atau ingin beradu pendapat. Walau lebih seringnya saya memilih
diam dan menyimpan konklusi-konklusi itu di balik buku catatan saya.
Hingga
di pertengahan semester, saat kelas-kelas lain dipenuhi dengan ujian, kelas
kami memiliki agenda yang menyenangkan, yakni kuliah lapangan.
Terus?
Kuliah lapangan ke Eropa?
Tentu
saja enggak. Tetapi kami berhak mencicipi sedikit budaya Eropa itu dengan tiket
konser Tribute to The Beatles.
Yuhuuuu!
Yang
membuat saya tercengang adalah tempat konser adalah sebuah kelab malam yang
kurang happening di Jogja. Serius,
nih? Begitu pikir saya waktu itu. Terlepas dari itu, dosen kami yang nyentrik
dan gaul abis itu menjanjikan sebuah pertemuan yang diisi dengan materi tentang
musik di Eropa, khususnya musik metal.
Telinga
saya langsung berdiri rasanya. Tentu saja menarik. Sehabis nonton konser, terus
bisa sharing dan mendapat ilmu
banyak-banyak tentang budaya yang cenderung modern (bagi orang Indonesia) itu.
Akhirnya
tibalah agenda tersebut. Singkatnya, kami si anak-anak culun ini ucluk-ucluk datang ke tempat konser. Dari
awal saya sudah protes dengan waktu janjian. Informasi menyebutkan kalau kami
paling tidak sudah harus sudah di tempat konser pukul 8 malam. Ha? Jam 8 malam?
Mau ngepel? Atau bantuin mas-masnya ngangkutin kaleng bir? Saya geli juga,
tetapi tidak banyak bicara. Saya ngikut aja, pengin melihat bagaimana reaksi
teman-teman saya di tempat seperti itu.
FYI,
teman-teman sekelas saya itu adalah orang-orang terakhir yang saya bayangkan
akan masuk kelab. Saya menghindari penggunaan penjelas yang atributif supaya
rasanya tidak menyinggung kelompok tertentu. Yang jelas, Anda sudah bisa
membayangkan, kan?
Jadi
tentu menarik bagi saya. Sahabat saya adalah mahasiswa antropologi dan bagi
saya pemikiran dia sudah tidak perlu diragukan lagi. Terlepas dari buku-buku
yang dilahapnya dan kesukaannya akan sastra, saya rasa dia juga orang yang bisa
saya ajak ngobrol, tidak hanya untuk inggah-inggih
saja, tetapi sampai berdebat. Dia selalu dengan senang hati mengingatkan pada
saya objek kajian antropologi adalah manusia. Hal paling umum adalah observasi.
Hal sekecil apapun. So, lets put it that
way: bahwa saya juga iseng-iseng mengamati fenomena kecil-kecilan tentang
teman-teman saya yang saya berani bertaruh baru pertama kali masuk ke kelab dan
sebelumnya have no idea tentang
tempat yang akan kami masuki.
Dan
benar dugaan saya. Satu jam pertama kali berdiri bego di depan kelab yang masih
tutup. Di sebelah kami berdiri para personil band yang akan tampil malam itu. Gila, saking awalnya sampai kayak
panitia, ya. Hingga akhirnya pukul 9 lebih baru kami bisa masuk ke dalam. Itupun
setelah melalui huru-hara pandangan bingung security
melihat penampilan kami yang bersahaja (ya gitu) dan pemeriksaan tas yang
diwarnai dengan diambilnya botol air minum salah seorang teman saya yang nggak
tahu kalau nggak boleh bawa air minum. Dan saya yakin sepertinya saya nggak
cocok jadi antropolog, karena kejadian itu saja sudah bikin saya ketawa.
Begitu
masuk, kami pun duduk dan memutuskan untuk memilah-milah menu. Waks, di kelab
begini juga ada makanan berat, lho. Segala macam ada. Saya pun iseng memilih
beberapa snack dan bir dengan alkohol rendah. Itupun kami masih harus menunggu
setengah jam-an selama band-band check sound. Jam-jam pertama masih
asyik. Band-band yang tampil tidak
saya kenali semuanya (karena saya kurang mengikuti arus scene indi), tetapi performanya bagus-bagus.
Menjelang
pukul 12 malam, saya yang duduk berdua dengan Uwwi disela waitress yang mengatakan kalau kami harus berbagi meja dengan
rombongan entah-darimana. Kami pun mengiyakan dan tak berapa lami meja kami
yang tadinya hanya diisi kami berdua sudah diisi serombongan orang-orang yang
rame reriungan. Iseng-iseng saya menoleh ke meja di mana teman-teman sekelas
kami yang lain duduk. Hawanya sudah sangat tidak comfortable. Semua pada diam, ada yang sibuk dengan gadget, ada
yang mengernyit melihat suasana yang sudah mulai penuh, ada yang ngantuk, ada
yang kaget, dan lain sebagainya. Dan akhirnya pukul 12 kurang mereka sudah
pamit pada saya dan Uwwi untuk pulang duluan. Sepertinya ada yang ngekos di
kos-kosan yang masih punya jam malam, dan sebagainya.
Setengah
geli saya melepaskan teman-teman saya itu sementara saya dan Uwwi masih asyik
duduk nongkrong.
Saya
lupa saya pulang jam berapa. Yang jelas besoknya saya baca status line salah seorang teman saya yang
pulang duluan itu. Isinya kalau nggak mau dibilang miris ya kocak, sih. Intinya
dia mengeluh karena tidak mendapatkan apa-apa di tempat semacam itu dan memilih untuk mengambil hikmah
dan ilmunya saja. Kemudian kolom komentarnya lebih kocak lagi, teman-teman lain
saling menimpali yang intinya “tau gitu...” dan lain sebagainya.
Saya
speechless saat itu.
Saya
sama sekali nggak pengin bilang teman-teman saya itu hipokrit, karena mereka
memang bukang hipokrit. Tetapi agak kaget saja dengan keluhan-keluhan semacam
itu yang terpapar di media sosial. Maksud saya, statusnya sangat tidak jelas
(bagi yang nggak tahu ya nggak bakalan tahu). Kalau dia nggak posting semacam itu juga nggak ada yang
tahu. Tapi itulah anak muda jaman sekarang, kan. Kadang kita pengin melakukan
segala sesuatu hanya dengan ‘pengin saja’, motivasinya nol, apalagi
konklusinya.
Kenapa
saya baru menulis ini sekarang?
Adalah
karena beberapa waktu lalu, tiba masanya saya liburan puasa dan pulang ke
rumah. Sementara teman-teman seangkatan saya pada KKN, saya malah pulang dan
jadi anak baik di rumah. Saat itulah tercetus ide untuk acara buka bersama satu
angkatan SMA saya. Karena diminta untuk jadi panitia alias bantu-bantu, saya
pun bersedia ikut berkumpul bersama teman-teman untuk mengerjakan dekorasi di
salah satu rumah teman saya.
Setelah
capek ngomong ini-itu, mana lagi puasa, kan, akhirnya seorang teman saya
meminta saya memutarkan lagu dari ponsel saya. Saya pun menyerahkan ponsel saya
dan teman saya yang memutar mp3 player
setelah saya warning bahwa lagu-lagu
di ponsel saya banyakan tidak bermutu dan tidak jelas genre-nya, ya sebelas dua belas dengan orangnya. Saya ingat jelas
waktu itu ponsel saya ter-setting mode
shuffle. Sehingga tidak sengaja
segala macam musik di situ terputar.
Hingga
di satu titik yang saya ingat jelas, ponsel saya sedang mengumandangkan Bad-nya David Guetta. Kemudian teman
saya tadi berkomentar, “wah lagu-lagumu anak dugem banget, ya, nes.”
Ha?
Memang
harus punya lagu-lagu kayak ‘begitu’ untuk dibilang anak dugem. Masa iya saya
harus menjelaskan kalau itu lagu EDM dan sebenarnya nggak ada hubungannya
dengan anak dugem. Orang pengin dengar, mah, dengar saja. Saya nggak perlu jadi
anak dangdut untuk mendengarkan lagu dangdut, dan lain sebagainya. Saya hidup
di keluarga yang mana perbedaan selera musik kami menjadi sebuah perpaduan yang
manis di hari Minggu pagi ketika tiba waktunya bersih-bersih rumah dan semua
berebutan menyalakan speaker. Dan saya
nggak paham dengan istilah ‘anak ini’ atau ‘anak itu’. Generalisasi banget,
sih, gitu pikir saya.
Saya
pun tertawa mendengar komentar itu, sampai teman saya yang lain berkomentar
ketus, “hidup cuma sebentar, kok, jadi
anak dugem.”
WHAT?
Hell.. Sadar nggak, sih, betapa mirisnya
ucapan seperti itu? Di sini saya tidak berdiri sebagai anak dugem, anak hip-hop,
anak pop, atau anak siapapun selain anak orang tua saya, tetapi bagi saya
kata-kata itu terasa sangat ofensif. Sebutlah begini. Saya cukup rutin clubbing dan punya beberapa teman yang
memang party go-ers (mungkin bagi
orang-orang berpengetahuan alakadarnya dan nggak pengin di-upgrade lagi, mereka menggunakan terminologi ‘anak dugem’ untuk
menjelaskan para party go-ers ini),
tetapi saya tidak merasa kekurangan saat nggak dugem sehingga tidak merasa
sakau kalau nggak ketemu musik, bir, dan lampu kelap-kelip. Jadi saya merasa
cukup netral karena in the other hand,
saya juga sering melihat fenomena anak-anak cowok yang get drunk bareng-bareng tanpa perlu clubbing dan merasa cukup karenanya.
Rata-rata
teman lelaki saya hampir semuanya pernah minum bir. Ada yang masih, ada juga
yang sudah enggak. Saya kurang bisa me-relate
antara gender dengan minuman
beralkohol atau fenomena dugem, tetapi rata-rata teman lelaki saya hampir
semuanya pernah merasakan minuman beralkohol. Sehingga saya merasa istilah anak
dugem berarti digunakan untuk mereka yang ‘lebih’ dari sekadar peminum alkohol
ini.
Dan
saya tidak pernah punya masalah dengan mereka. Sama seperti saya merasa begitu
kecilnya orang yang mendefinisikan seorang hanya karena orientasi seksualnya,
saya malah malas mengklasifikasikan orang-orang dengan kelebihan atau kekurangan
mereka. Kalau ada orang yang baik, tapi jelek, ya sudah. Kalau ada yang ganteng,
tapi brengsek, ya sudah. Orang macam-macam, kok, dan alangkah kerdilnya
menjelaskan seseorang hanya dengan ‘anak dugem dia’. Maybe it’s explain anything, but not everything, please.
Kalau
ada yang pernah punya masalah dengan seseorang, ya jangan digeneralisasikan
dengan kelompok atau hobinya, dong. Tetapi ucapan tadi benar-benar terekam
sebagai memori negatif tentang si penuturnya, bukan tentang apa yang
dirujuknya. Seolah orang-orang yang dugem adalah orang yang kebanyakan umur,
dan mubadzir. Menghabiskan waktu dengan hal seperti dugem yang katanya tidak
berguna di umur yang pendek ini.
Saya
langsung hopeless mendengarnya. Selama
ini saya cenderung percaya bahwa orang-orang di sekitar saya selalu lebih
pintar dari saya, lebih terbuka pikirannya, lebih maju, bahkan. But, receiving that kind of comment makes me
sick. Saya membayangkan seandainya saya juga dicela gara-gara hal lain yang
saya lakukan, saya juga tetap akan merasa tersinggung. Dibilang anak gaul
gara-gara kerjaannya nonton film di bioskop mulu, atau anak hits gara-gara foto
a la model, atau anak cupu karena tiap hari kuliah pulang terus, dan lain
sebagainya. Saya tetap akan tersinggung.
Bagi
saya kita tidak perlu ngejudge orang
dari apa yang dia lakukan. Kalau tidak tahu, mending tanya, atau tutup mulut
sekalian. Saya sering ketemu mulut-mulut iseng atau kurang ajar yang
nanya-nanya macam-macam tentang kenapa saya begini atau begitu, tetapi saya
lebih prefer yang begitu dibanding
orang-orang judgemental kayak cewek
baru kena dismenorrhea. Nggak
dimintai pendapat, tiba-tiba nyerocos arogan (dan salah), atau nggak suka
dengan sesuatu dan asal njeplak padahal nggak tahu.
Yang
saya heran, teman saya ini juga sering sesumbar kalau dia sering dugem. Sering,
tapi nyela. Maksudnya?
Dan
tahu saya balas apa?
“Kamu
orang yang songong ngumbar-ngumbar kalau habis dugem, terus kamu nyela orang
yang suka dugem, jadi sepertinya yang bikin pandangan kamu jelek ke anak dugem
atau apapun itu adalah teman-teman kamu atau lingkungan kamu yang nggak asik. Teman-teman
dugemku, sih, sorry not sorry, tapi
seru-seru.”
Heran,
jadi orang kok sok mutusi. Seolah telah
melakukan hal paling berguna dalam hidupnya. Soe saja bilang kalau kuliah itu
adalah buku, cinta, pesta. Dan semuanya berevolusi. Buku berganti
dengan powerpoint dan e-book. Cinta di perpustakaan dan di
acara demo berganti dengan opspek antar jurusan. Dan pesta dari yang awalnya
sekadar berkumpul mendengarkan musik sambil minum-minum berganti dengan clubbing.
Jadi
daripada ngajak berantem, saya berpikir kalau ucapan teman saya itu mungkin
memang benar, karena dia nggak pernah tahu dugem yang asyik itu seperti apa. Daripada
marah, saya lebih kasihan ke dia. Saya selalu bersimpati pada orang-orang yang
tidak bisa melihat sedikitpun keindahan dari setiap hal di hidup kita. Mungkin
untuk hal ini saya lebih romantis, suka melihat sesuatu di balik sesuatu, suka
menyisihkan sesuatu dibanding sesuatu. Saya juga sering merasa kesal, apes,
kecewa, dan lain sebagainya. But it turn
out menjadi hal yang bisa saya petik pelajarannya. Tidak ujug-ujug mutusi
ini tidak berguna, itu berguna.
Daripada
sebagai tulisan yang ofensif terhadap siapapun yang berpikiran seperti itu atau
pembelaan atas kelompok tertentu, saya lebih suka memandang tulisan ini sebagai
kegusaran saya (keresahan yang tenang) akan bagaimana orang-orang mengungkapkan
dirinya sedemikian rupa. Kalau Anda
merasa apa yang orang lain lakukan tidak cukup berguna, berhenti mengeluarkan
komentar atau apapun yang juga tidak berguna bagi mereka. Dan lagi, Anda
tidak pernah merasakan berada di sepatu orang lain. Dan lagi, saya curiga Anda
yang merasa hal ini adalah semacam hal biasa yang diseriusi adalah orang yang
memang merasa tidak berguna di mata orang lain karena kesempatan untuk
berkomentar malah Anda gunakan dengan sangat tidak bijaksana.
Saya
lelah dengan orang yang saling menyakiti. Apalagi karena kekurangtahuan,
apalagi karena kekurangpekaan.
Saya
respek dengan para pencinta alam, tapi kalau ada yang brengsek juga saya
katain. Saya kagum dengan para atlet, tapi kalau ada yang brengsek juga pasti
saya katain. Anak dugem juga ada yang brengsek. Begitu seterusnya, dan
seterusnya. Nggak asal karena dia anak ini jadi saya katain, atau karena saya
kesal dengan teman-temannya lalu saya ikut benci. Seperti apapun ideologi,
agama, ras, bangsa, suku, gender,
pendidikan, dst, kalau orang tidak berperikemanusiaan, tetap brengsek bagi
saya.
So, berhenti menebar kebencian. Just calm down, take it easy. Santai,
tapi terarah. Pintar, tapi tepat. Selalu mengasah diri. Tidak akan pernah ada
ajang pembuktian diri. Hidup ini untuk terus mengasah kita karena kita tidak
pernah tahu kapan akan cukup dan berhenti berlatih. Tetapi dalam proses itu
kita membuktikan siapa kita dan bagaimana kita. Juara aja masih terus berlatih.
Kenapa pemain sepak bola bayarannya fantastis? Mereka selalu merasa bahwa inilah
waktu mereka. Selama bisa, inilah waktunya. Dan apakah berhenti berlatih? Nggak.
Mari kita berbeuat baik seperti itu kebiasaan. Umur seseorang nggak ada yang
tahu, kan? Dan memang, sih, hidup ini singkat. Tapi lebih bermanfaat kalau
nggak nyela orang, kan?
Kalau
memang merasa kesal, nggak suka, atau buang-buang waktu di kegiatan tertentu,
ya leave it. Nggak semuanya
berpikiran sama seperti kita. Jadikan pelajaran buat diri sendiri, nggak perlu
dikoar-koarin ke orang lain. Baca buku ini itu aja langsung di-update. Baru minum bir aja langsung
sibuk pasang di sosmed. Baru nginep di hotel bintang lima aja langsung pamer
sana sini. Capek. Serius. Tapi kalau Anda nggak merasa capek ya nggak masalah. Kita
baru bisa memutuskan, setelah tahu.
Saya
nggak pernah bilang Negeri 5 Menara
itu jelek, apalagi tanpa ada alasan. Saya bilang nggak suka. Karena saya sudah
baca. Kalau ada buku yang belum saya baca kemudian saya ditanya ya saya jawab
sekenanya kalau saya belum baca. Sudah. Nggak perlu diembel-embeli hal yang
nggak perlu diketahui orang. Malu, ah. Punya mulut, kok, nggak sekritis otaknya.
So, stay calm in peace, people.
Tapi bukan berarti kita nggak bisa muda dan
bergairah.
Comments
Post a Comment