Steady
Saya
nggak ingin mengeluh.
Sekalinya
saya menekan diri saya dengan sembilu-sembilu yang serupa, saya seolah hendak
melesapkan diri saya dalam ketiadaan, saat ini juga.
Saya
ingin tidur, lama sekali.
Saya
selalu merasa bisa menyembuhkan diri sendiri padahal tidak. Saya ingin berkata
pada diri saya, bahwa ini yang terakhir kalinya tetapi nyatanya tidak bisa.
Saya selalu punya alasan untuk memulai segalanya dari awal lagi dan memaklumi
setiap perasaan saya yang menggigit keberadaan saya sendiri.
Saya
ingin kabur.
Saya
merasa terlalu luas membicarakan sesuatu hanya untuk menghentikan diri saya
sendiri menjelaskan apa yang saya rasakan. Atau mungkin itu cara menjelaskan
apa yang saya rasakan. Sesungguhnya, saya ingin mengingkari setiap perasaan
saya sendiri. Saya selalu berharap kenyataan akan berbalik dari ekspektasi
saya. Selalu.
Kalaupun
saya bisa memilih, sekarang saya hendak diam saja.
But the truth is.. I can’t tell this to
anyone. I can’t cry to them, and tell them whats going on. I can’t even said
something sad to them. Just because I dont let myself. I can’t loose it.
Apabila
menjadi diri saya adalah merapuhkan setiap senti ujaran, pikiran, dan keteguhan
saya, mungkin saya akan memilih menghindarinya. Karena saya terlalu percaya
bahwa kekuatan saya lebih besar dibanding diri saya sendiri. Saya tidak
membiarkan ditemani. Saya tidak ingin merasa ditemani. Dan saya menjauhkan diri
saya dari perasaan dibutuhkan orang lain. Di sisi lain, saya tak mungkin
menghambur begitu saja dan mengatakan segala yang saya rasakan. Not because its funny. Hanya saja itu
tidak seperti saya. Saya mengakrabkan diri dengan kekuatan dan menjauhkan diri
dari kelengahan. Tetapi saya lengah, menjaga diri saya agar tetap utuh.
Sementara setiap kali tertawa ada satu helai demi helai yang runtuh. Jatuh.
Tidak wangi. Tidak pula indah. Mungkin itu sebabnya saya memilih tidak
mengatakannya.
Saya
terlalu tidak punya siapa-siapa.
Saya
berharap kesibukan menelan saya. Mengikat saya dan menekan saya. Saya berharap
terimpit diri saya sendiri dibandingkan perasaan-perasaan yang selalu saya
cemooh seolah remaja. Saya ingin menjauhkan diri dari sebagian diri saya yang
terasa hilang. Terbawa angin ke Surabaya.
Nyatanya,
bagian itu takkan pernah kembali.
Saya
selalu ingin orang mengenal saya lewat kekuatan saya, kemampuan saya, kemauan
saya, dan diri saya yang selalu membawakan berbagai hal yang mungkin tidak
mereka duga. Dan tentu saja hal tersebut tidak selalu terjadi. Saya terkadang
bisa menjadi begitu bodoh, terkira, dingin, sombong, atau marah, atau angkuh.
Atau apa saja yang tidak bisa saya hindarkan. Saya selalu ingin berusaha,
meskipun di hadapan orang lain.
Saya
terlampau berharap saya bisa baik-baik saja. Saya terlampau memahami bahwa saya
bisa melengkapi diri sendiri. Dan bagian-bagian yang tidak saya mengerti, tidak
dimengerti pula oleh orang lain.
Dosen
saya pernah mengatakan bahwa ketika manusia mengerti dirinya sendiri, maka
berarti dia mengerti Tuhan. Saya tidak muluk-muluk membicarakan ikatan saya
dengan yang Maha Gigantis. Tetapi saya terlalu berharap bahwa apa yang tidak
terjelaskan dari saya menjadi sesuatu yang masih misterius bagi semua orang. Di
antara segelintir orang yang saya kenal, dan saya berharap bisa menjalin
komunikasi yang baik.
Saya
selalu bilang “ini terakhir kalinya..” ketika saya mengingat, meraba, membaui,
dan pada akhirnya larut pada setiap jengal udara yang mencair dalam namanya.
Saya terlampau memilih menyakiti diri sendiri dibanding mengungkapkannya pada
orang lain. Saya terlampau tidak bisa.
Saya
mungkin mencintai bagian saya yang sakit karenanya.
Malam
ini cerah, setelah hujan sepanjang hari. Saya melihat tetes hujan, dan
berhenti. Melihat kerumunan air menjadi buih, menjadi busa, dan membanjir.
Kemudian perlahan bangkit dengan enggan, dan berkata bahwa “ini sudah bukan
waktunya lagi.”
Tetapi
di sore hari, ketika hujan berhenti dan air menjadi kecokelatan tertimpa sial
aspal yang mengkristal, saya berkata lagi, “tidak akan ada yang menjadi ketika
di awal sudah berhenti.”
Dan
di malam hari ketika kediaman saya menjadi satu-satunya pertanda bahwa langit
ini sudah lega, keredaan saya mewujud, “biarlah mengakrabi yang ada kini
dibanding mengeluh pada yang nanti.”
Kemudian
bulan-bulan bergulir menjadi dingin. Dan saya dihempaskan olehnya ke tepi
kubangan dengan lumpur yang terseok jemari kecil, berkata bahwa tidak lama lagi
saya tahu bahwa saya tidak akan diganti. Bahwa bibir akan menjadi daki, dan
senyap akan menjadi lusuh. Dengan jemari saya yang melengkapinya menjadi,
Juli. Jauh
Malam ini ada kupu-kupu masuk ke
kamarku
Mencabik-cabik aku yang
ditariknya dari jendela
Berdalih ia malam tiada lagi
datang
Meracun
aku ditimang kurang
Semilir
menjelajah ingat, pekat
Lumat
Lumut
kumur membawa nikmat
Engkau senyap
bentang kesumat
Berbaling
hingga putar matamu tatap aku
“Apa jadinya
puisimu bila tiada aku yang kautekan perlu?
Dan engkau
datang menurut mau.”
Aku m e n y
e
b
a
r
Mengutuhkan
sampan
Memulangkan
pelukan
Membiarkan
engkau pulang bila cinta tidak lagi gamang
di
kaca hias itu...
Comments
Post a Comment