Jawaban atas Suara-Suara yang Seharusnya Telah Lama Saya Dengar



            Dingin.
            Saya menyambut bulan Desember, bulan terakhir di setiap tahunnya, tak kalah dinginnya. Tidak membeku, tetapi membuat saya bertanya-tanya kapankah ini berakhir dan saya bisa bergelung dengan hangat, panas, dan kehampaan yang saya tahu jawabannya.
            Bukan kebuntuan yang tidak saya mengerti.
            Sedikitpun tidak saya pahami.

            Mengapa terkadang hidup ini diisi hal-hal menyakitkan?
            Mungkin agar kita bisa belajar. Memetik hikmah dan mengungkap kejujuran yang telah sekian lama terpendam. Sakit adalah tahap untuk naik kelas. Dan karena itu saya mencintai luka-luka yang mengingatkan saya akan sakit yang membuat saya naik satu tahap demi satu tahap.
            Dari sekian pilihan hidup, saya berusaha menerima apa yang saya lakukan dan apa yang dilakukan orang lain terhadap saya. Saya tidak ingin membuat orang lain terlihat buruk dengan bertindak semena-mena terhadap saya, dan saya tidak ingin terlihat sebagai pelengkap yang tidak bisa menjadi objek. Saya tidak ingin merugikan orang-orang di sekitar saya. Ketika saya merasa membuat seseorang repot karena saya, saya sebisa mungkin tidak membuatnya kesal dan berharap saya juga turut belajar dari kekesalan yang dialaminya. Saya ingin mempelajari ilmu menikmati hidup. Hidup, dan menghidupi diri sendiri.
            Satu dua hal yang saya sesali dalam hidup ini dan saya merasa bisa membuatnya tinggal di tempat yang semestinya. Tidak lagi menjadi urusan saya, tetapi dapat tetap menimbulkan perasaan yang semestinya pula. Setiap saya ingin haru, sedih, kecewa, saya bisa kembali membukanya dan membantu saya menerima bahwa apa yang saya hadapi sekiranya takkan lagi saya sesali.
            Saya merasa diri saya adalah buku yang terbuka. Saya tidak sulit diraih, dijangkau, atau ditemani. Nyaris tidak pernah menolak ajakan apapun. Sangat normatif, mungkin. Saya tidak pernah tersinggung dengan pertanyaan apa saja tentang diri saya. Saya membiasakan diri menuliskan kejujuran, menunjukkan kejujuran. Saya menjawab hal yang bisa saya jawab dan mempertanyakan nyaris segalanya.
            Saya merasa diri saya adalah manusia yang mudah. Saya tidak minta dihargai lebih kecuali selayaknya manusia seharusnya saling memperlakukan satu sama lain. Saya tidak punya prinsip atau pegangan hidup yang hakiki dan sangat sensitif terhadapnya. Tidak. Saya merasa diri saya sefleksibel karet. Saya terkadang bisa memaklumi satu hal, dan bisa sensitif di waktu yang lain. Tergantung konteksnya. Saya kuliah di jurusan bahasa dan sastra yang membiasakan saya untuk memahami maksud orang lain melalui banyak hal; lisan, maupun tulisan. Saya berteman akrab dengan beberapa teman dari berbagai suku, budaya, agama. Saya belajar bahwa budaya tidak memiliki kesalahan di dalamnya. Manusialah yang salah. Tetapi dosen saya berkata bahwa, “manusia itu tempatnya salah. Punya kuasa apa kita untuk menuntut seseorang menjadi sempurna?” saya tidak bisa lebih setuju lagi. Kita bukanlah makhluk sempurna, setidaknya secara instan.
            Saya merasa tidak sering disakiti orang. Saya percaya orang-orang baik di sekitar saya. Buktinya hari ini saya masih bisa hidup. Duduk menulis begini dengan selamat, sehat sentausa. Padahal ada puluhan bahkan mungkin ratusan kali kesempatan bagi saya untuk celaka atau dicelakai. Tetapi saya percaya bahwa manusia pasti punya kebaikan. Oleh karena itu saya tidak banyak ambil pusing atas berbagai hal. Saya mungkin tipe orang yang bisa overthinking sehingga membunuh kebahagiaan saya. Tetapi sejauh ini, overthinking yang saya alami cenderung saya alihkan pada hal-hal yang sekiranya bermanfaat dan menuntut perfeksionisme saya. Seperti kuliah. Selain itu, capek shay. Mending bobo.

            Keluarga Ayah saya adalah penganut Islam yang taat. Lahir dan batin. Suasana rumah kami rasanya satu tingkat di bawah pondok pesantren. Terutama karena memang rumah kami terletak di kota yang terkenal dengan pesantren dan budaya santrinya. Sepupu-sepupu saya semuanya sudah berkerudung. Bahkan adik perempuan saya yang baru kelas 5 SD tampaknya terpengaruh dan memutuskan untuk berkerudung. Pilihan yang sangat saya hargai.
            Mungkin agak aneh mem-framing diri saya dalam lingkungan yang seperti itu. Tetapi itulah kenyataannya. Keluarga kami sangat taat beragama (Islam). Bahkan nama adik-adik saya pun diharuskan mengandung unsur islami (atau Arab) dengan arti yang baik. Keluarga saya mungkin masih percaya bahwa nama adalah doa. Jadilah saya. Terpelecat sendiri. Waktu ada silaturahmi nasional bani saya, saya memang menjadi anomali. Bani? Benar. Keluarga saya keturunan Ambon dengan tradisi yang cukup kuat terutama untuk mempertahankan trah keluarga sehingga tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Saya pernah baca buku kumpulan cerita Nusantara tentang asal ‘mata rumah’ atau yang kini dikenal sebagai ‘marga’ di Ambon. Dari yang awalnya hanya 5 mata keluarga, kemudian karena pernikahan dan lain sebagainya kemudian turun temurun menjadi berkali-kali lipat. Dan karena sudah memeluk Islam, maka disebutlah ‘bani’. Ada puluhan orang di hotel yang kami sewa sehingga saya nyeletuk ke Bunda saya, “Nda, ini kalau ada orang asing yang menyusup ke sini juga nggak bakal ketahuan. Keluarganya Mbah ini ngira kalau itu keluarga kita, keluarga kita juga ngira sebaliknya.” Bunda saya ketawa mendengarnya.
            Sesungguhnya, ini hal yang cukup intim untuk saya ceritakan. Tetapi sengaja untuk membangun landasan yang setidaknya searah atas apa yang akan saya ceritakan kemudian.
            Dalam acara tersebut, hanya saya, satu-satunya kaum hawa yang tidak berkerudung. Bahkan anak-anak SD pun sudah seliweran pakai. Saya yang tidak punya persiapan (waktu itu saya baru pentas ketoprak, kemudian tanpa dibriefing terlebih dahulu sudah langsung digeret ke hotel) jadi sungkan kalau hendak ikutan berkegiatan. Sementara saya baru sadar ternyata banyak sepupu saya yang kuliah di UGM dan saking banyaknya saya sampai nggak kenal. Saya juga minder hendak kenalan. Apalah saya ini. Mereka semua masuk jurusan kedokteran, teknik, atau psikologi. Saya tidak minder dengan jurusan saya, hanya mungkin terlalu bodoh untuk memulai percakapan. Saya ngikut acara saja tanpa perlu repot-repot ikut membantu. Selfish? Yea right!
            Waktu itu saya lebih memilih mendekam di kamar yang saya tempati berdua dengan sepupu saya yang paling saya akrabi, membaca Tolstoy.
            Saya mungkin tidak nyaman, tapi tidak keberatan. Dengan kata lain, saya merasakan hal itu sebagai kewajiban saya sebagai putri orang tua saya. Bahwa saya belum bisa membanggakan orang tua saya, maka setidaknya saya bersosialisasi dengan saudara walau minim. Saya harus bisa menikmati apa saja.
            Jadi beberapa waktu lalu, ketika saya mendapatkan komentar dari seorang keluarga mengenai pakaian saya yang terbuka di media sosial, saya tidak berharap lebih. Saya memang yang harusnya aware terhadap lingkungan saya. Saya yang harus lebih peka karena memang itu tuntutan keluarga untuk menjaga nama baik dan sebagainya. Mungkin mengajak saya satu langkah untuk mendekati surga. Dan bukankah saling mengingatkan adalah kewajiban sesama muslim? Maka saya tidak ambil pusing. Yang saya khawatirkan adalah bagimana kalau sebelumnya keluarga besar saya sudah pernah mengintervensi orang tua saya dan memarahi mereka mengenai betapa tidak becusnya mereka mendidik anak.
            Saya merasa bersalah.
            Saya tidak punya hak untuk menambah beban orang tua saya. Saya yang seharusnya meringkannya. Maka saya meminta maaf kepada orang tua saya. Dan bukankah sudah saya ceritakan bahwa orang tua saya adalah contoh toleran pertama yang saya kenal? Dengan santai Bunda saya menyahut dengan, “sudah nggak apa-apa. Kalau kamu nggak suka ya jangan dipaksa. Yang penting Bunda dan Ayah sayang sama kamu. Dan kamu tahu itu.”
            Saya sangat menghargai orang tua saya. Terlepas dari mereka adalah orang yang melahirkan saya yang sekarang, saya mencintai bagaimana cara mereka mendidik saya dengan hal yang ringan, padat, dan membuat saya belajar. Seperti bagaimana mereka mengizinkan saya nyangkruk bersama teman-teman di warung kopi, mengizinkan saya memberikan surprise party pukul 12 malam untuk teman lain, mengizinkan teman laki-laki saya main ke rumah tanpa intervensi, bertanya tentang teman-teman saya, mengizinkan saya menari dan menggeluti seni pertunjukan, mengizinkan saya berorganisasi tanpa kenal waktu, sampai mungkin memberikan saya kebebasan untuk memeluk agama saya dengan pemahaman yang harus saya mengerti sendiri.
            Dalam antologi cerpen saya, saya menuliskan sebuah kalimat yang di dalamnya saya merasuk sepenuhnya.
            “Ibuku berhasil menjadi wanita yang sepertinya kelak aku akan menjadi.”
            Disadari atau tidak.
            Diinginkan atau tidak.

            Sebelumnya saya juga pernah menceritakan bahwa ada orang-orang yang menganggap saya atau mendeskripsikan saya dengan kata ‘binal’, ‘vulgar’, dan ejekan yang mungkin tidak senonoh lainnya. Mereka adalah teman-teman saya dan saya tidak sedikitpun menyalahkan mereka. Bukan kepentingan saya untuk mengurusi kapasitas moral orang lain.
            Yang saya sedihkan adalah mengapa kata-kata itu begitu mudah terlontar untuk memberikan cap kepada orang lain. Kata-kata itu tidak salah. Tetapi mengapa mereka menggunakan kata-kata itu menjelaskan suatu hal lain yang jelas tidak ada hubungannya dengan kata-kata itu?
            Sejujurnya, saya sedih dianggap seperti itu. Dan itu fakta. Saya bisa tak menggubris, tak peduli, tak mendengarkan. Saya bisa melakukan itu. Tetapi saya tidak bisa mengubah perasaan saya bahwa kesedihan terkadang melanda saya. Saya dihibur oleh seorang teman bahwa banyak orang mengatai saya seperti itu karena mereka tidak punya celah lagi untuk melihat saya lebih dari kacamata selebar sedotan. Dan sesungguhnya, saya bertahan dengan argumen ini cukup lama hingga merasa bahwa dosen saya sekali lagi benar,
            “Mbak, manusia itu tempatnya salah. Kamu tahu, saya dikafir-kafirin orang, saya nggak peduli. Saya dikatai kafir, saya yang akan mendapat pahala. Dibiarin aja.”
            Bagi orang-orang kebanyakan, sosok Innezdhe Ayang Marhaeni ini (dengan nama yang nggak ada Islam-Islamnya) adalah perempuan yang bisa dideskripsikan dengan kata-kata paling saru yang mereka bisa lontarkan.
            Dan saya tidak bohong. Saya sering dikatai seperti itu. Tidak dikatai tapi dianggap seperti itu pun lebih sering lagi.
            Saya tak ingin repot-repot mencari juntrungnya kenapa. Bagi saya orang-orang halu ini memang tak lebih dari sekadar pengamat timeline media sosial saya sementara mereka pasang caption di media sosialnya sendiri “dont judge me by my cover”. Dan sejujurnya, mungkin dalam lubuk hati saya, mereka melihat apa yang memang ingin saya perlihatkan. Saya pengin tahu, orang seperti saya masih bisa mereka tindas tidak? Masih bisa mereka bikin iri tidak? Masih bisa mereka kasari tidak? Tetapi saya salah. Hanya karena saya tidak merasa tertindas, iri, atau dikasari, bukan berarti mereka tidak menindas, memamerkan, dan mengasari saya.
            Sejujurnya melalui citraan yang ingin saya bentuk pada orang lain, saya menguji diri saya sendiri. Sekuat apa saya bisa bertahan dengan segala yang tertuju pada saya. Dengan judgement, cemoohan, ataupun booty call yang saya dapat. Resistansi saya diuji, tapi dengan itu saya tahu apa yang saya mau, kapasitas saya, dan apa yang tidak saya mau. Saya belajar membuat dan menguji prinsip tanpa menjadi orang mandul yang punya prinsip tapi memprotes dan memarahi lingkungan yang membuat dirinya goyah.
            Dan sampai di titik ini, saya merasa bersyukur. Selalu merasa bersyukur. Bahwasanya saya bisa bertahan sampai sejauh ini. Saya bisa menjadi diri saya tanpa perlu koar-koar, meniru, atau mengambil milik orang lain. Saya merasa bahagia bisa bertahan sejauh ini. Dan kalau tak ada lagi yang bisa saya syukuri, untuk apa pula saya berbahagia? Saya tidak ingin menjadi bodoh dengan berbahagia tanpa bersyukur. Saya belajar bahwa bersyukur adalah kunci dari kebahagiaan diri saya. Orang bisa membuat saya bahagia, tapi hanya saya yang bisa merasakan kebahagiaan itu.
            Walau saya sedih, mengapa masih ada pula orang-orang yang tetap saja menuding saya seperti itu. Bahkan memperlakukan saya seperti itu. Orang-orang yang menganggap saya gampangan hanya karena saya luwes dalam berpakaian dan terbuka bicara hal-hal yang dicap saru. Saya benci diskriminasi. Saya benci feminisme kalau dia hanya ingin mengagungkan perempuan dan mengabaikan laki-laki. Saya benci agamis fanatik kalau dia hanya ingin memaklumi agama sendiri dan memaki agama lain. Saya benci ekstremis chauvinistik kalau dia menjunjung tokoh yang tidak ingin dilihat bobroknya dan pintar mencungkil-cungkil kesalahan tokoh lain. Dan seterusnya, dan seterusnya.
            Seperti yang saya bilang bahwa sifat brengsek itu tidak kenal gender, agama, aliran politik, dan lain sebagainya. Ada orang agamis yang brengsek, ada feminis yang brengsek, ada party goers yang brengsek, ada atlet yang brengsek, dan seterusnya dan seterusnya sampai semua jenis manusia terjelaskan. Dengan kata lain apa? Ada yang brengsek, ada pula yang tidak. Saya tidak pernah pandang bulu orang yang bilang saya binal karena dia jurusan ini, karena dia laki-laki, karena dia tidak suka pada saya, atau apapun-apapun. Nggak pernah. Memang dia brengsek aja. Apapun ras, suku, agamanya, ya dia brengsek aja. Dan hal itu berkenaan dengan pola pikir. Sekali lagi, bukan kapasitas saya mengurusi pola pikir orang lain, terutama yang tidak berkenaan dengan saya. Cuma pembaca UUD yang pengin ‘mencerdaskan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Bagi saya? Cerdaskan saja diri sendiri dulu. Mencerdaskan diri itu nggak ada habisnya.
            Sekali lagi dosen saya bilang, “orang belajar itu sampai ke liang lahat, kok.”
            Dan sekali kita mencerdaskan diri dengan cara apapun (mau yang baik atau yang salah), orang lain akan terpacu juga untuk mencerdaskan diri, menambah pengetahuan, dan pengalaman. Mencerdaskan diri itu ibadah buat saya. Sungguh.
            Makanya saya tidak pernah mencemooh cara belajar orang. Ada orang yang usaha mati-matian untuk bisa dapat nilai bagus, ada yang tidak belajar malah dapat bagus, ada yang kalau belajar malah tidak bisa konsen dan hasilnya buruk, dan lain sebagainya, dan lain sebagainya. Manusia itu banyak, bahkan nyaris tak terbatas. Rumi pernah bilang bahwa ketika manusia memahami dirinya maka ia memahami Tuhan. Maka saya pun kesal sama orang yang marah-marah ngurusin moral orang lain dan sok paham padahal guru bukan, orang tua apalagi. Padahal moralnya sendiri morat-marit. Mbok ya belajar bareng. Kan gayeng.
            Saya ingin manusia dihargai karena kemanusiaannya. Karena ia manusia. Tidak pandang dia agamanya apa, dia profesinya apa, dia pakaiannya gimana, dia sifatnya terbuka atau tidak, dia anak siapa, dan lain sebagainya. Itulah bagaimana hukum di negara ini bekerja. Tidak karena si A berpakaian tertutup sehingga yang memperkosa dia adalah salah. Kalau si A telanjang pun, yang memperkosa dia juga salah. Tidak karena Robin Hood itu mencuri dari orang kaya lantas dia dibilang pahlawan dan menjadi benar. Tidak juga karena ia menggunakan uang hasil curiannya untuk dibagi-bagikan pada orang miskin maka dia dianggap benar. Memperkosa dan mencuri itu salah. Apapun keadaannya. Dan lagi, si Robin Hood itu juga money laundering dengan menyebarkan uang kejahatan pada orang yang membutuhkan. Nggak heran kalau di tahun 2016 ini masih ada aja orang berfoto profil dirinya dengan memakai peci yang komen di facebook “ya nggak apa-apa pemimpin Islam korupsi, toh uangnya dipakai untuk bangun masjid” ketika ada feed yang menanyakan apakah mereka akan memilih pemimpin kafir tapi bersih atau pemimpin muslim tapi korup.
            Sinting, nggak, tuh?
            Saya heran ketika ada kasus pemerkosaan yang marak di tahun ini, tiba-tiba ada orang yang bilang kalau “ya salah si ceweknya lah, pakai baju kayak gitu.” EH, KALAU TITIT LELAKI BISA DIJAGA DAN TAHU TATA KRAMA, DIA TELANJANG JUGA NGGAK BAKAL LU ENTOT, KAN, NYING.
            Pandji pernah bilang kenapa ada yang bilang bahwa pemerkosaan itu salah perempuan, lah kan lelaki yang merkosa. Daripada nyuruh perempuan untuk berpakaian yang benar, suruh laki-laki menjaga alat kelaminnya. Dididik, biar nggak merkosa orang. Dilatih, biar nggak kagok lihat cewek pakai baju seksi dikit. Masa’ dikit-dikit bergairah? Ya berarti iman situ nggak kuat. Kok jadi salah cewek karena berpakaian terbuka. Dia bebas mengenakan pakaian apapun yang dia mau, mengenakan riasan setebal apapun yang dia suka, memiliki ukuran tubuh seperti apapun yang dia nyaman, sama seperti laki-laki juga begitu.
            Tidak ada kesenjangan.
            Atau obrolan ringan semacam “ya laki-laki normal coy disodorin cewek dengan berpakaian seperti itu. Kayak kucing dikasih ikan, mana mungkin dia nolak.”
            EH SIANYING. Cewek berpakaian terbuka dan bermake-up mahal dikira mau memikat situ? Situ pikir situ siapa ketika bahkan situ nggak bisa bedain warna lipstik nude dan pink atau magenta dan ungu? Yakali cewek dandan buat cowok macem begitu. NIH, YA. Cewek dandan seksi dan cantik itu untuk kepuasan dirinya sendiri. Bukan buat ditontonin mata kurang hiburan situ. Enak aja dibilang nyodorin. Kalau situ terpikat, bilang. Puji aja setulus hati. Kalau sange, berarti pikiran situ yang kemana-mana. Malah nyalahin cewek. Mana bisa kita ngontrol apa yang dipikirin orang lain? Saya aja udah nggak mau ngurusin orang lain.
            DAN LAGI. Kalau situ mau disamain dengan kucing, sih, nggak apa, ya. Walau kucing juga ogah disamain ama tukang sange kayak situ. Saya pernah lihat artikel tentang kucing yang sering datang ke los tukang ikan. Suatu ketika si kucing tampak tertidur pulas di dekat bak berisi ikan. Para pembeli bertanya kok si kucingnya nggak tergugah dengan ikan semenggiurkan itu. Kemudian si tukang ikan jawab kalau kucingnya sudah kenyang. Jadi mau disodori makanan sebanyak apapun kalau sudah kenyang ya nggak bakal makan. MAMAM TUH.
             Dan harusnya laki-laki malu kalau sampai ada yang bilang bahwa perempuan yang salah ketika terjadi pemerkosaan. Berarti mereka dianggap lemah sehingga tidak bisa menahan syahwatnya. Berarti mereka dianggap rentan sange terhadap hal-hal sekecil apapun sehingga lelaki yang harus dijaga. Lelaki bisa memilih, kok, mau melihat atau nggak. Mau dipikirkan atau enggak. Dan setahu saya nggak ada, sih, yang nyodor-nyodorin begituan ke lelaki sembarangan. Kenapa lelaki malah berharap orang lain yang mengerti mereka ketika mereka berbuat salah sehingga kesalahan mereka adalah hal yang mafhum adanya? Berarti mereka lemah, tak berdaya, dan gampang bereaksi. Kakak angkatan saya bilang yang begini ini mirip korek api. Dia punya kepala, tapi nggak punya otak. Makanya digesek sedikit langsung terbakar.
            Dan karena saya juga orang yang nggak pengin mendeskriminasi, setidaknya berdasarkan gender, maka hal yang sama juga berlaku buat perempuan. Apalagi mereka yang suka nge-judge perempuan lain seperti, “ih, dia kok berani ya, pakai baju kayak gitu. Kalau kurus, sih, mending.” Ingin ku berkata kotor rasanya, mendengarnya.
            Atau hal-hal semisal, “ya wajar ada prank nanyain ukuran bra ke cewek, kan, si ceweknya terbuka dan malah ketawa-ketawa. Lagipula kayaknya si ceweknya emang santai, sih, pulang malam-malam dan dikelilingi cowok-cowok.”
            Aduh, pernah nggak, sih, orang-orang belajar bahwa kemanusiaan itu tidak pandang gender? Laki-laki, perempuan, tua, muda, gemuk, kurus, Islam, Kristian, dan sebagainya juga tidak pantas dibegitukan. Kemarin ada kasus pelecehan seksual oleh SNL Korea terhadap beberapa boygroup yang shooting dengan mereka. Ada staf cewek yang memegang-megang daerah privasi dari para anggota boygroup ini dalam sebuah games entah-apa. Atau ingat nggak kasus Dewi Persik yang diraba dadanya ketika habis manggung dalam sebuah kerumunan wawancara? Pasti banyak yang bilang, “ya wajar ya pakaiannya dia mengundang begitu, mana orangnya kayak gitu lagi.” Seperti halnya vokalis band punk cewek yang mencoba stage diving dan diraba sama seorang penonton.
            Serius, deh. Apa karena seorang Dewi Persik makanya tanggapannya seperti itu? Coba kalau misalkan orang lain yang dianggap religius, pasti akan memaki-maki dan mendosa-dosakan pelakunya, kan. Intinya bukan kenapa Dewi Persik dan kenapa si orang religius, tetapi kenapa ada kasus seperti itu. Itu akarnya. Apa karena urusan syahwat itu adalah hal yang terberi sehingga tidak bisa diganggu gugat sementara kalau pakaian, kan, bisa diatur? Gitu? How poor. Intinya adalah mau berpakaian seperti apapun, kalau ada orang yang bertindak jahat, ya akan terjadi kejahatan.
            Apa kalian hendak mengingkari bahwa tingkat pemerkosaan tertinggi ada di negara-negara Timur Tengah dengan bagian tubuh yang kelihatan hanya segaris mata? Itu membuktikan bahwa tidak peduli pakaiannya, bentuk tubuhnya, perilakunya, agamanya, kebrengsekan itu tetap ada. Kenapa, sih, orang-orang tidak menyadari ini?
            Bahkan perempuan-perempuan yang juga nyela perempuan lain itu, sebenarnya pemerkosaan walau tidak secara fisik. Body shaming/slut shaming bagi saya juga termasuk sexual assault. Hanya karena seseorang berpakaian atau bertingkah laku begini, maka sah baginya tertimpa kejahatan. Ngawur.

            Well, dalam dunia yang semakin edan ini, saya merasa cukup bisa menahan segala pikiran saya itu selama ini. Good job. Tetapi kali ini saya tidak bisa menahannya. Walau juga tidak semuanya. Banyak sekali pikiran saya berkenaan dengan pemerkosaan yang umumnya dilakukan oleh lelaki dengan korbannya perempuan, atau tentang bagaimana sesama perempuan menyikapinya. Dan saya tahu tidak semua termuat secara baik di sini. Tetapi saya mencoba semampu saya agar setidaknya untuk kali ini saya dipahami.
            Mengapa?
            Karena ini penting bagi saya.
            Bagi saya yang lahir dan tumbuh dari keluarga yang cukup religius dan kini dicap binal, hal ini bukanlah sebuah excuse saya supaya pandangan orang terhadap saya berubah. Sungguh tidak. Melihat kasus anak 14 tahun yang diperkosa sampai mati atau perempuan yang secara biadab ‘dicangkul’, apa yang saya alami masih bisa saya syukuri. Banget, malah. Saya masih bisa melihat hal positifnya bahwa seterbuka apapun saya akan diri saya, saya percaya orang-orang di sekitar saya adalah orang baik yang tidak akan berbuat jahat. Kalaupun apa yang dilakukan orang-orang kepada saya jahat, ya sudah. It won’t last forever. Setidaknya itu tidak membuat saya mengubah diri saya karena inilah saya. Dan saya juga masih berusaha menjadi yang terbaik yang saya bisa. Mungkin juga karena kesalahan saya dalam mencitrakan diri saya sehingga orang salah persepsi tentang saya. Sekali lagi, manusia tempatnya salah.
            Saya mengenal orang-orang yang taat beragama, yang tidak beragama, yang kuliahnya rajin, yang malas, yang kaya, yang miskin, dan banyak lagi, dan saya rasa tidak satupun dari mereka pantas mendapatkan kejahatan. Kecuali mereka melakukan tindak pidana kriminal yang termasuk dalam UU yang berlaku sehingga menerima hukuman, itupun yang legal dan sesuai peraturan yang semestinya. Kalau mereka tidak melakukan tindak pidana kriminal tapi berbuat jahat dengan kita, saya tidak merasa kita pantas menghukum atau membalasnya. Kita juga manusia yang punya salah. Siapa tahu kita pernah jahat pada orang dan orang tersebut memilih tidak membalasnya. Saya tidak peduli, sih, ada pepatah yang mengatakan bahwa “everybody are going to hurt you, you just have to find the one that worth suffering for”. Mungkin tidak secara sengaja. Atau mungkin menyakiti dengan sifat yang memang tidak bisa diubah. Its okay. Yang penting kita tidak secara sengaja dan sadar berbuat jahat pada orang lain.
            Mari kita hentikan lingkaran setan untuk saling menjahati orang lain dan terus membuat kebaikan. Karena itu yang kita butuhkan.
            Saya bisa tidak suka sama orang, tidak cocok, kesal, dan lain sebagainya. Dan itu bukan salah saya. Salah saya adalah apabila saya menunjukkan dengan cara yang jahat. Salah saya ketika seseorang berkata pada saya bahwa saya berbuat jahat padanya dan saya tidak peduli dan terus melakukannya. Itu salah. Sejauh ini, ketika saya tidak suka dengan orang lain, biasanya karena saya merasa tidak cocok. Tidak menemukan titik temu. Dan hal itu oke-oke saja. Wajar juga. Toh, orang itu pasti merasakan apa yang saya rasakan walau tidak sama persis. Dan bukan berarti tidak bisa berteman. Hal ini bukannya fake friends, ya. Tetapi bagaimana kedewasaan kita dituntut ketika menghadapi orang yang tidak cocok dengan kita. Apakah kita akan marah karena just the way they are? Tidak ada yang tahu usaha seseorang untuk menjadi dirinya sendiri.
            Tidak ada yang tahu apa yang telah seseorang alami untuk menjadi dirinya yang sekarang, semenyebalkan apapun. Jadi bukan hak kita untuk menghakimi dan marah karena jati diri seseorang. Siapa kita? Suka sama orang itu tidak wajib, tapi bagi saya, selama bisa, baik pada orang lain itu wajib.
            At least because we are happy to seeing another happiness on this bloody earth, right?

            Semoga tulisan saya ini mengandung dan mengundang hal-hal yang bermanfaat. Saya sangat terbuka apabila ada pertanyaan, kritik, ataupun cemoohan. Yang seperti apapun. Seperti saya yang bebas mengungkapkan pikiran saya dengan berbagai bahasa dan istilah, siapapun berhak mengungkapkan pikirannya tentang saya. Saya tidak sempurna. Tulisan ini tidak sempurna (saya menghindari bilang bahwa manusia tempatnya salah). Tetapi saya percaya saya berada di jalan saya, jalan yang saya yakini benar dan telah saya uji kebenarannya.
            Saya sudah cukup merasa berada di taraf lumayan jika ditanya mengenai ketahanan saya dan hal itu bukan berarti saya bebal terhadap hal-hal lain, tetapi bahwa saya telah membiarkan orang lain menguji saya dan kritik negatif atau yang bernada pedas itu tidak akan menghancurkan saya. Tetapi menjadi masukan berharga bagi saya.
            Kita sama-sama mencoba untuk menjadi manusia yang baik, lebih baik, dan selalu begitu. Setidaknya dalam hal itu, I hope that we are on agreement, right?

Satu dari sekian tulisan yang memang ditujukan untuk dibaca. Peace.
 

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)