Jangan Dibaca
Tau
nggak, sih? Hal terparah yang bisa terjadi sama diri lo dan lo mengakuinya
dengan senang? Dengan bahagia? Falling in
love.
Kita
bisa jatuh cinta sama siapa aja, di mana aja, kapan aja. Tapi gue masih percaya
kalau cinta nggak datang tiba-tiba. Siapapun orang yang lo cintai, dia
terbentuk dari orientasi dan gimana elo menyukai hal-hal tertentu di hidup lo.
Gue, akan punya kemungkinan lebih besar untuk jatuh cinta pada cowok yang suka
baca. Sama seperti temen gue, punya kemungkinan yang sama untuk jatuh cinta
pada cowok yang sama. Intinya, semua itu umum. General. Gue nggak akan bisa
atur. Begitu pun orang yang gue cintai. Mari kita kesampingan intrik bernama
pelet, santet, dan lain sebagainya, ya. Gue mau jadi rasional sedikit di sini
karena gue masih nggak percaya gimana bisa gue ngabisin ratusan ribu untuk beli
kuota sementara untuk ngirim penyakit aja tinggal ditiup. Si dukun pasti nggak
demen duit sampe dia tidak melihat peluang usaha sebesar ini.
Tapi
di sisi lain, gue menerima kenyataan bahwa orang yang gue sukai nggak selalu
sesuai dengan yang seharusnya gue sukai. Anggap gue terlalu berekspektasi. Gue
berharap menerima seseorang yang dari a sampai z pantas menerima gue. Dan
terkadang, lucunya, orang yang seharusnya gue sukai malah bukan orang
kenyataannya gue sukai. Bingung? Trust
me, you were there. Ini hal jamak, lazim, lumrah dialami oleh semua orang.
Ini kenapa bisa banyak cewek yang mati-matian nolak cowok baik yang selama ini
rela jadi kang ojek pribadi berbadan wangi dan malah lari ke pelukan cowok
brengsek bermobil yang contact line-nya
kayak salon di hari Minggu; cewek semua. Begitu juga sebaliknya kenapa ada
cowok yang naksir mati-matian sama cewek berpipi tembem dan berbadan agak
berisi sementara yang langsing dan tajir melintir banyak yang ngantri Cuma buat
liat doi lewat.
Gimana?
Udah kerasa ruwet belum? Tapi itulah cinta. Satu dari segelintir hal yang
sekarang bisa kita nikmatin secara gratis. Seperti hal gratis lainnya (napas,
ngedip, dll), gue bilang bahwa nggak wajib lu jatuh cinta. Itu hak lu. Sama
seperti betapa nggak pedulinya gue sama cewek bego yang ngasih segalanya buat
cowok brengsek atau cowok baik yang nyuekin cewek finalis miss kecantikan.
Bukan urusan gue untuk ngurus hak lo jatuh cinta dan gimana lo mengekspresikan
perasaan lo. Karena itu lo bisa merasa kesepian ketika lo jatuh cinta. You’re on your own, darling. Sesering
apapun lo curhat sama temen lo, kakak lo, sahabat lo, suatu waktu lo pasti
ngerasa sendiri, atau lo harus melalui segala sesuatunya sendiri. Dan cinta,
punya perasaan yang unik, dan syukurnya bisa dijelaskan. Bahwa karena lo merasa
sendiri (kebebasan hakiki lo untuk menentukan dengan siapa lo melewati
hari-hari lo), lo merasa lebih mudah untuk butuh bergantung pada seseorang. Sense of belonging elo teriak-teriak,
minta dikasih makan. Setelah lo settle pikiran
lo bahwa lo bener-bener suka atau cinta sama seseorang, maka otak lo akan nanya
“lalu apa?” dan di situlah lo akan tau apa yang elo mau.
Hal
ini nggak mudah bagi orang-orang seperti gue. Gue selalu merasa bahwa perasaan
dimiliki dan memiliki adalah candu nomor satu di dunia. Itu bisa membutakan elo
dengan rasa nikmat, dan membutakan elo juga untuk melakukan hal nggak rasional.
Pada dasarnya, kita sebagai manusia, utamanya anak muda yang lahir di tahun
80-an dan 90-an, sangat mendambakan kenyamanan. Generasi 2000-an atau milenial
lebih suka dengan tantangan, ya karena emang mereka belum terlalu mendambakan
cinta dalam kehidupan mereka. Tapi gue melihat bagaimana teman-teman gue di
semester ketiganya membuat status “mau nikah aja ya Allah” ketika ngerjain
ujian take home berpuluh-puluh lembar
dan berbulan-bulan riset. Gue melihat bagaimana temen gue berumah tangga
selepas SMA. Gue melihat bagaimana sahabat-sahabat gue tergila-gila akan satu
orang dan menutup kemungkinan untuk bertemu dengan orang baru, bahkan orang
lama sekalipun. Gue melihat bagaimana teman-teman seangkatan gue, di atas, atau
di bawah gue ribut dengan “undangannya ditunggu” di kala temennya pasang foto
ala-ala prewed atau komen “gilirannya
kapan” ketika yang lain wisuda.
Kita
gila akan situasi di mana kita bisa mengendalikan hidup yang kita maui. Tapi
karena kita belum jadi siapa-siapa, kita memilih mengarungi bahtera di danau yang
tenang. Riak sedikit nggak apa-apa. Yang besar belum juga waktunya datang.
Impian-impian mendatang adalah untuk dilalui berdua. Lupain, deh, waktu di mana
nyokap bokap nge-interview calon
mantu dengan “kerja di mana?” dan “gajinya berapa”. Ini masa di mana anak-anak
muda akan bilang ke nyokap bokapnya sendiri kalau mereka akan usaha bersama
demi mewujudkan kehidupan yang mereka idam-idamkan. Dan mereka aware dengan segala konsekuensinya. Itu
sebabnya, orang tua zaman sekarang nggak serewel kakek nenek gue dalam nyari
mantu. Nggak perlu tanya keturunan, keluarga, tempat asal, dan lain sebagainya.
Gue
selalu merasa kesepian di masa seperti ini sehingga gue malas untuk jatuh
cinta. Buat apa gue jatuh cinta kalau untuk merasa lebih sendiri lagi? Gue
tidak merasa diri gue cukup ditinggalkan, tapi gue merasa bahwa sudah
selayaknya gue menikmati hidup gue dengan tidak merasa menyesal di kemudian
hari. Kalau cinta adalah salah satu hal yang membuat gue melakukan kesalahan,
kenapa harus gue lakukan? Plus, memang dasar gue yang bego dalam hal
percintaan. Skakmat.
Gue
terlahir dengan tipe yang judging.
Sayangnya, kondisi sosial gue tidak memungkinkan diri gue melakukan hal ini
sembarangan, jadi seringkali gue berdialog dengan diri sendiri. Memunculkan
awan-awan putih ketika gue melihat seseorang melakukan sesuatu. Dan gue harus
menahan diri gue sendiri dari mencibir. Cobaan.
Maka
tidak ada habisnya gue ngegoblok-goblokin cewek-cewek yang pengin nikah
dibanding lulus, ngebego-begoin orang setia, ngeremehin mereka yang nikah di
usia remaja, dan seterusnya. Apalagi ngetawain orang yang ngepost foto dengan caption yang
nggak nyambung. Atau komen-komen “cantik banget ih” yang tanpa makna, sampai
“undangannya kapan nih? Ditunggu ya” dari orang yang bahkan nggak pernah
dikenal sebelumnya. Gue ditaraf I-dont-give-a-shit
tentang hal kayak gitu sehingga seringkali gue nggak peduliin karena terlalu
berharga waktu gue untuk nyinyirin yang begituan. Gue tahu itu salah, dan tidak
pantas dicontoh. Tapi gue punya prinsip, dan terkadang ada orang bego di mata
gue. Tapi terkadang bukan salah mereka kalau mereka bego, dan bukan kapasitas
gue untuk ngurusin mental orang lain jadi seringkali gue lebih ke tidak peduli
sama sekali. Meskipun tidak sepenuhnya bisa menghilangkan sifat judging gue itu, pada akhirnya gue
toleransi sama yang begituan dan sekali lagi memutuskan untuk nggak peduli.
Gue
juga sampai mikir, bahwa gue nggak ngerti bagaimana orang-orang yang gue judge itu melalui hidup mereka jadi
punya kewajiban apa gue untuk dikte mereka harus begini dan begitu? Itu adalah
pilihan mereka, dan gue berharap mereka bener-bener tahu apa yang mereka
lakukan.
Maka
ketika gue merasa gue di titik yang selama ini gue hindari, gue harus bisa
melihat segala sesuatu dengan objektif. Walau nggak bisa juga akhirnya. Gue
juga suka rasanya dimiliki: diperhatikan, dikagumi, disayangi. Gue menikmati
rasanya memiliki: memuji, mengingatkan, memperingati. Hal yang gue nikmati
terasa sederhana karena gue mengenal kata ‘saling’ di dalamnya. Apapun yang gue
lakukan mungkin alay, tapi gue nggak sendiri dan orang yang seperti itu juga
bersama gue. Dan di titik inilah gue. Tergila-gila pada satu orang yang mungkin
juga sama gilanya kayak gue. Gue bahkan mengesahkan hal-hal najis seperti,
“nanti malam mimpiin aku, ya” dan “jangan ngomong ke cewek lain”. Sepah.
Makanya,
ketika gue merasa gue udah mulai bego, gue mengkhianati prinsip gue sendiri,
dan yang terpenting adalah feeling bahwa
gue bakal menyesali hal ini nantinya, gue memutuskan untuk menjadi rasional.
Dan hal ini penting untuk gue.
Gue
selalu percaya bahwa gue adalah makhluk yang tidak terikat. Gue sempat tidak
percaya dengan pernikahan (lebih karena hal yang pernah dan akan timbul dari
hal itu), gue tidak percaya cinta adalah satu-satunya alasan kedua orang
bertahan (yang tentu dibutuhkan dalam pernikahan buat gue adalah ketahanan,
cinta nomor dua ratus sebelas), gue tidak pernah melihat lawan jenis gue dengan
‘semua sama aja’ tapi gue selalu percaya setiap individu menyimpan keunikan
sendiri-sendiri. Maka perpaduan dari hal-hal itu sudah cukup membuat gue nggak
berharap lebih jauh ke hubungan percintaan, apalagi ketika apa yang gue
butuhkan sudah terpenuhi tanpa gue harus repot-repot jadi bini orang.
Ketika
lo sudah punya pacar, lo akan menyayangi dia walau terkadang lo pengin ngebunuh
dia. Tapi gue merasa, hey, itulah gunanya partner lo. Sebab seperti yang gue
katakan tadi bahwa gue lebih percaya partnership
dalam sebuah hubungan dibanding cinta. Lo akan jatuh cinta mati-matian sama dia
sama seperti lo menemukan betapa banyak kekurangan dia dan betapa lo terkadang
menyesali keputusan lo bersama dia. Itu normal. Cinta nggak membuat lo lengkap
seperti yang ada di quotes prestigeholic
atau amazingvideo. Lo tidak butuh cinta untuk melengkapi diri lo sendiri. Lo
sudah jadi whole package buat dunia
lo yang berbeda. Cinta tidak membuat lo jadi malaikat yang merasa bahwa semua
keputusan lo bersama dia adalah seratus persen pilihan benar dan tidak pernah
salah. Bahwa perasaan menyesal dalam suatu hubungan adalah tanda hubungan tidak
sehat atau perasaan bosan adalah muara dari putus hubungan. Tidak. Lo tetap
jadi manusia. Lo tetap di bumi. Begitu juga cinta lo. Itu sebabnya lo nggak
bisa asalkan cinta main seruduk anak orang aja. Asal cinta main kawin lari aja.
Lo mungkin percaya romantisme di mana setelah mati lo bakal hidup bahagia
berdua di surga sama kekasih lo. Hey, percaya apa lo sama romantis ketika lo dijanjikan
70 bidadari di surga?
Kita
nggak hidup untuk masa depan aja. Kita hidup sekarang, dan itu yang penting. Lo
harus percaya kalau hidup lo, lo yang atur. Lo boleh jadi bagian dari apapun di
dunia ini tapi di sisi lain lo punya prinsip dalam hidup lo untuk terus menjaga
diri lo menjadi diri lo sendiri. Cinta itu memang indah, enak, nyaman. Tapi
kesetiaan lain soal. Kesejahteraan lain soal. Kebahagiaan lain soal. Lo tahu,
cinta itu nggak whole package. Tapi
lo yang whole package. Seperti apapun
cinta itu, pada akhirnya dia menjadi cermin diri lo. Nggak akan ada gunanya lo
baca motivasi soal cinta, jangankan sama manusia. Sama Tuhan pun. Lo bisa
menemukannya sendiri. Dan itu terserah lo.
Maka
dari itu, gue nggak pernah sok-sokan ngambil jalan yang beda dalam dunia
percintaan gue. Sama seperti nggak ada yang baru di bawah matahari, gue Cuma
ngikutin apa yang gue mau. Syukur-syukur juga dimaui pasangan gue. Sayangnya
selama ini gue terlalu memilih kenaifan untuk menjadi guide gue dalam hubungan percintaan. Nyatanya? Amburadul. Sekalinya
gue nemu yang cocok secocok-cocoknya, gue merasa bahwa gue keterlaluan. Gue
menyadari bahwa gue sebenarnya suka tantangan. Gue bisa suka sama siapa aja,
dan gue akan observe orang yang gue
sukai itu. Supaya apa? Supaya gue bisa jadi yang dia mau. Gue mau membuktikan
kalau gue bisa. Dan gak perlu dia cari orang lain karena gue adalah whole package buat dia. Sayangnya gue
terkadang terlalu menganggap identitas egaliter itu penting. Sehingga gue tidak
punya waktu untuk menunjukkan kelemahan gue, sikap gue yang ingin dicintai.
Pada akhirnya, gue sendiri lagi.
Gue
terlalu tidak mau terikat. Sekali gue dengar, “aku nggak bisa hidup tanpa kamu”
dari pasangan gue, gue akan pergi. Walk
out. Gue selalu berharap bahwa gue sama pasangan gue adalah partner. Kami
tidak perlu sengaja sama-sama mencari. Kami Cuma perlu momen untuk
dipertemukan. Makanya gue nggak begitu percaya cinta pada pandangan pertama.
Sebagai orang yang mengakumulasi rasa suka dari masa lalu elo, cinta nggak
bakal datang dari nowhere. Dia orang
yang sudah lama ada, atau setidaknya elo percaya dia ada. Dan lo nggak butuh
dia untuk tetap jaga hidup dan diri lo in
shape.
Sebut
gue masih naif, sebut gue masih belum tahu, sebut gue masih anak kemarin sore
pun. Tapi gue nggak buta. Ketika cinta adalah quotes yang dipakai anak-anak muda untuk caption foto mereka di instagram, gue nggak akan menggunakan kata
yang sama untuk mendeskripsikan hubungan antara orang tua gue, orang tua lo. Cinta
itu jadi barang murah sekarang. Lo nggak perlu cinta untuk bertahan sama satu
orang. Cinta aja nggak cukup. Itu benar. Mari jadi realistis di sini. Dan
mungkin lo bakal bilang hal itu nggak penting, sekarang. Tetapi percayalah
suatu ketika lo berada di situasi yang Cuma bisa diri lo seorang yang kontrol.
Dan ketika itulah lo akan menyayangkan keputusan, atau menyesali apa yang sudah
lo perbuat karena memang hanya diri lo sendiri yang mengizinkan suatu hal
terjadi atas hidup lo. Bukan salah orang lain.
Makanya
gue nggak mau menyesal di kemudian hari. Gue lebih memilih bebas sekarang.
Hubungan yang gue punya tidak lantas menutup hidup dan hati gue akan jodoh gue,
trust me. Gue selalu bilang sama
pacar gue dulu-dulu, ketika dia bareng sama gue dan dia merasa ketemu cewek
lain yang lebih cocok jadi jodoh dia; bilang. Itu hak lo: menemukan
kebahagiaan, membangun rumah, mencintai diri sendiri lewat bagaimana lo pantas
diperlakukan oleh orang yang juga mencintai elo. Dengan gue, mungkin kita
sama-sama sedang menjalin latihan; menguji diri sendiri tanpa kita sadari dan
bertahan untuk menunggu seberapa lama kita bisa pegangan tangan. Akhir yang
sudah kita tahu. Maka ketika tiba masanya gue nggak berani ngomong begitu sama
cowok gue, gue merasa keegoisan gue semakin tiba pada taraf yang tidak masuk
akal. Gue harus berani. Demi diri gue sendiri: gue layak mencintai diri sendiri
dengan tidak memaksa hubungan yang tidak sehat bersama orang yang merasa tidak
ingin bersama gue. Demi cowok gue, yang sekali lagi, layak dicintai oleh orang
yang dia inginkan, atau mengejar orang yang dia inginkan. Dan akhirnya? Gue lagi-lagi
sendiri.
Gue
tidak membenarkan selingkuh. Tidak juga menyalahkan. Itu komitmen lo untuk
jatuh pada satu pelukan, hanya satu. Kalau lo merasa tidak cukup, berarti ada
yang salah. Entah di elo atau pasangan elo. Dan bukan kapasitas gue untuk
ngasih tahu siapa yang benar dan salah karena hanya dua pasangan yang tahu apa
yang terjadi pada mereka. Gue hanya berharap, dan selalu berusaha, menyiapkan
diri gue sendiri ketika tiba waktunya orang yang gue cintai berkata, “aku
ketemu jodohku. Aku pengin sama dia.” Gue bisa ikhlas (B.S.); menerima
kenyataan dan mengubah yang pahit jadi manis. Atau menikmati kepahitan itu sebagai
apa saja yang sekiranya membuat gue merasa layak menerimanya. Gue berhak
melepaskan. Apapun itu yang membuat gue terlihat seperti pesakitan.
Seperti
yang gue bilang. Mencintai dan kebahagiaan itu lain soal.
Lain
sama sekali. Bersyukurlah elo ketika menemukan whole package diri lo yang lain. Dan siap-siaplah ketika lo merasa
bahwa keduanya tidak terpisahkan. Itu bakal mengkhianati lo habis-habisan.
Mencintai,
buat gue, mempersiapkan diri lo untuk mengkhianati diri lo sendiri. Jangan
bikin ini jadi negatif, kita sebagai manusia butuh tamparan. Butuh kenyataan
kalo diri kita yang lalu itu bego, goblok, bodoh, nggak logis, dan lain
sebagainya. Jadi lemesin aja, shay.
Jangan ngoyo ketika cinta yang lu alami beda dengan yang bikin Nia Ramadhani
jadi princess. Beberapa hal yang
tumbuh dari cinta bisa aja nggak masuk akal, bisa aja bikin lo seneng dan
sebaliknya. Tapi apa gunanya cinta kalau elo nggak bisa menikmatinya? Ya gitu.
Gue
seringkali merasa ada di pintu yang terkunci di depan gue. Buntu. Gue pernah
ada di masa ketika gue muak setengah mati dengan diri gue sendiri, bahkan
pasangan gue. Nyeri. Gue pernah ada dimomen alay, ketika gue pengin
disayang-sayang dengan hal-hal anjay. Ngeri. Gue juga pernah ada di masa
permakluman; di mana cowok harus begini dan gue sebagai cewek harus begitu. Gue
sering juga kehabisan kata-kata karena capek sama diri gue sendiri, kemauan
gue, dan kelakukan gue yang nggak searah. Percayalah, ketika lo jatuh cinta
sama seseorang, cepat atau lambat lo akan menemui itu. Atau pasangan lo. Ada tantangan
yang harus kalian lewati, tapi kalian nggak pernah merasa bahwa itu tantangan. Lo
tahu, tantangan selalu muncul tiba-tiba, seperti ketika dosen lo ngajak lo
ketemuan ketika lo lagi leyeh-leyeh di rumah atau temen lo kena musibah ketika
lo lagi nge-date. Tapi dalam sebuah
hubungan, masalah yang ada nggak pernah tiba-tiba. Lo pasti tahu dari mana awal
mulanya, kenapa hal tertentu bisa jadi masalah ketika yang lain enggak. Orang yang
pacaran merasa ketika mereka sudah melewati suatu tantangan, mereka naik kelas.
Padahal enggak. Lo bakal balik lagi di taraf yang sama dengan masalah yang
berbeda.
Kenapa
gue kesannya parnoan banget, ya? Mungkin iya. Tapi ada waktu-waktu sulit yang
gue hadapi meski dengan pribadi yang biasa aja, dan terkadang gue wondering ada yang bisa menyelamatkan
gue nggak, ya, dari kondisi gue (saat itu). Apakah ada orang di luar sana yang
mau dengerin kisah percintaan gue yang nggak mutu? Tapi gue butuh banget. Lalu gue
belajar lagi. Ya. Bahwa walaupun gue sedang ada dalam sebuah hubungan, masalah
yang gue hadapi adalah masalah gue sendiri. Gue bertemu orang yang tidak hanya
jadi partner gue tapi juga jadi lawan
gue. Jadi musuh gue. Jadi orang yang bisa gue kalahkan dengan mudah tapi gue
harus menahan diri untuk tidak melakukannya. Maka ketika gue menyelesaikan
masalah gue sendiri, tidak sedikit dari orang yang nanya sama gue apa yang
terjadi. Hal yang tidak gue dapati ketika gue benar-benar butuh bantuan.
Maka
gue memberanikan diri.
Bahwa
apa yang muncul dari gue dan gue perbuat, harus gue hadapi sendiri. Gue tidak
pernah kehilangan bahu untuk bersandar, karena gue masih punya diri gue sendiri
untuk berdiri. Dan itu sudah cukup. Selama orang lain tidak mengikutsertakan
gue ke drama dalam hidup mereka. Sejujurnya, I like to keep it that way. Tapi di sisi lain, gue selalu peduli
dengan orang-orang yang gue sayang. Dan gue tidak pernah ingin kehilangan
mereka. Dan kadang itu yang menakutkan gue.
Comments
Post a Comment