Berapa Juta Tahun Cahaya yang Tidak Mungkin Menjadi Ada
Hari
ini saya pulang. Naik kereta.
Ketika
saya menulis ini, saya sedang melihat pegunungan yang silih berganti memenuhi
pemandangan hari ini. Setelah beberapa hari membara dengan panas dan rindunya,
Yogyakarta berubah sedemikian drastis dalam waktu semalam. Hujan mengguyur
sejak sore, dan hingga kini tak sedikitpun ada tanda-tanda jemuran saya di
pagar samping kos-kosan akan segera kering. Maka saya membereskannya tanpa rasa
sesal.
Entah
untuk keberapa kalinya, setiap melihat atap-atap rumah yang saling mengisi
kekosongan, saya ingin menulis.
Dua
hari lalu saya menonton 5 cm per Second.
Film ini adalah anime Jepang yang saya tahu dari convo selebtwit. Mereka bilang filmnya bagus.
Akhir-akhir
ini tidak banyak yang saya lakukan, pasca meluncurkan buku antologi saya dan
kawan-kawan, yang saya perbuat hanya sesekali menyalakan kehidupan di kamar
saya. Sesedikit mungkin menuntaskan tugas-tugas yang entah kenapa menjadi begitu
menggairahkan, dan membosankan di saat yang bersamaan. Entah hendak jadi apa
saya kelak.
Maka
karena kemalasan yang luar biasa, plus ketidakinginan yang juga saya pelihara,
saya memutuskan menonton film itu saja lewat situs penyedia streaming. Tidak begitu panjang,
durasinya hanya 1 jam. Saya bukan penggemar anime. Bagi saya, ada feeling yang berbeda dengan menonton live action atau manusia memperagakan
adegan-adegan yang begitu ‘humanis’. Say tidak pernah membayangkan bahwa saya
akan menyukai anime. Biasanya sebelum nonton anime, saya bangun mood dulu dengan perut kenyang, badan
bersih, posisi yang nyaman, dan diselingi menggunting kuku kaki.
Saya
tidak bisa menjelaskan secara terperinci apa isi film dan bagaimana filmnya. Tetapi
bagi saya, film itu meninggalkan kesan yang saya sukai secara pribadi. Terlepas
dari keengganan saya untuk meneruskan menonton, film itu memberikan kompensasi
yang layak dari kebosanan saya. Twist.
Saya cenderung termasuk pada tipe orang yang bombastis. Semua karya, baik novel
hingga film, akan bagus jika memiliki ‘ledakan-ledakan’ di dalamnya. Ada yang
begitu jujur hingga tidak terduga, menjadi kegemaran saya. Maka dalam film ini,
saya menjawabnya dengan rasa mengganjal yang luar biasa. Berharap ada post credit scene yang menceritakan
bagaimana keduanya kembali bersama. Saat itu saya tahu, segila apapun saya
dengan ketidaknyamanan dan tantangan, saya selalu mencita-citakan kehidupan
romansa yang dilematis. Baiknya, saya tidak mengharapkan hal yang sama terjadi
di dunia nyata. Saya terlalu tidak cocok untuk itu.
Maka,
saya menyimpan kegelisahan yang luar biasa usai menonton filmnya. Saya tak bisa
menangis karena sedih atau bahagia, karena lima minggu terakhir percakapan
dengan orang terdekat saya hanya membuahkan kenihilan demi kenihilan yang tidak
henti membuat saya menjadi terdakwa. Saya merasakan nyeri yang amat karena
tidak bisa mencurahkan perasaan dan isi hati saya. Lebih karena keengganan saya
untuk menjadi biasa.
Belakangan
saya merasa bahwa cinta benar-benar bukan saya. Saya tidak akan bisa jatuh
cinta. Hanya jatuh suka dan jatuh sayang. Yang di dalamnya saya kenal waktu
untuk menjadi tidak ada. Tetapi dunia ini selalu mengharapkan saya berubah. Untuk
apapun itu. Demi apapun itu. Euforia kepulangan saya dari KKN menjadi beku
ketika suatu sore bapak ibu saya menelepon. Saya selalu merasa bahwa apapun
yang terjadi akan keduanya, hidup saya akan terus berjalan. Dengan kata lain,
saya berada di jalur yang mereka inginkan. Demi pendidikan, kesejahteraan, dan
lain sebagainya. Tetapi saya baru saja mengenal istilah ‘tidak cukup’. Ketika orang
di sekeliling Anda menuntut Anda untuk berbuat lebih, sementara standar
pas-pasan pun harus Anda raih setengah mati. My mom and dad was expecting me to do something different. Quarter life crisis yang belakangan jadi
topik endorser dalam antologi saya
dan kawan-kawan menjadi demikian nyatanya sehingga saya sadar, hidup saya masi
jauh dari yang saya inginkan. Saya masih belum cukup.
Mengapa
5 cm per Second mengingatkan saya
akan ini?
Karena
saya merasa bahwa, seperti apa yang terjadi pada saya dan teman-teman saya,
semua orang akan tumbuh. Bapak saya bilang, terlalu dini bagi saya untuk settle, kepada apapun itu. Ibu saya
menambahkan, saya terlalu banyak berpikir. Bahkan ketika saya merasa saya
terlalu tidak mau memikirkan sesuatu.
Kesedihan
yang getir itu terasa ketika ia tidak diucapkan, tidak ditangisi, tidak
dilimpahkan pada yang tidak tahu. Kesedihan yang getir bagi saya adalah ketika
hidup Anda, dan saya, menjadi suatu pola di mananya kesedihan itu berasal, tinggal,
dan tumbuh. Tidak ada yang perlu ditangisi ataupun diubah. Karena saya tidak
tumbuh sesuai dengan kaidah waktu, saya tak berhak menyalahkan apapun selain
diri saya sendiri. Kesedihan bagi saya ketika merasa menghilangkan (bukan
kehilangan) sesuatu yang it was mean to
be. Bagi saya, sebuah kesedihan adalah baku. Saya tidak bisa semudah itu
mengobralnya di sana-sini. Saya tulispun, adalah bentuk ketidakpercayaan saya
atas ketidakmampuan saya menghadapi kesedihan.
Dan
sedalam apapun saya memendamnya, maka saya akan berhenti pada “ya sudah.”
Ya
sudah. Ya untuk setiap kemungkinan yang bisa terjadi, dan sudah untuk
ketidaksabaran atas segala yang terjadi. Dari keduanya, saya mendapatkan
perpaduan yang menenangkan diri saya lebih dari kronologi aal iz well milik Aamir Khan. Setiap kali saya sakit kepala karena deadline yang tidak mumpuni, maka “ya
sudah” adalah jawaban. Saksi atas segala keluh kesah saya yang terlalu ambisius
dalam tubuh dan daya sekecil ini.
Dan
lelahnya, tak ada yang mau mengerti.
Saya
tak punya cukup teman untuk berbagi taik-taik seperti ini. Permasalahan saya
yang menjadi serpihan remah kacang bagi mereka. Saya selalu merasa masalah saya
tidak layak diceritakan. Orang tentu punya masalah sendiri-sendiri. Saya membayangkan
alangkah chaos-nya dunia ketika satu
orang orang mendengar dan mengurusi masalah orang lain ketika saya paling tidak
suka hal itu terjadi.
Maka
saya diam.
Tetapi
mengapa saya menulis memiliki jawaban yang sama atas setiap post-post saya dalam blog ini. Saya perlu
kejujuran. Maka di sinilah saya. Ketika sebuah buku di Gramedia bertuliskan “dikatakan atau tidak dikatakan itu tetap
cinta”, maka kebenaran bisa berlaku sebaliknya. Terkadang pengakuan orang
lain atas kebenaran berarti lebih penting daripada kebenaran itu sendiri. Dan saya
selalu tak punya orang untuk mengakui itu. Orang terakhir yang melakukannya
mendadak mati. Geram atas kebodohan saya, dan muak dengan segala dunia metafora
yang saya jejalkan dalam hidup kami.kepergiannya membuat saya merasa bahwa,
seisi stasiun naik kereta bersama saya. Dia pulang, berbalik mengantar dirinya
sendiri ke peraduan.
Saya
berterima kasih, Tuhan menciptakan prioritas-prioritas kecil. Seperti analogi
yang dibuat seorang psikolog dalam sebuah gelas yang diisi barang-barang
seperti bola ping-pong, kelereng, kancing, pasir, hingga air, meskipun saya
kehilangan bola-bola ping-pong itu, pasir dan air mengalirinya terus menerus seolah
saya sedang berada di pantai. Pukul sekian datang ke acara A, pukul sekian
makan bersama B, pukul sekian mencari buku bersama C, pukul sekian mengirim
paket bersama D, hingga A dan Z kehabisan sub-bagiannya. Serpihan-serpihan itu
nyatanya membantu saya bangkit. Memandikan dan mengentaskan saya dari
pembusukan massal. Ketika saya kehilangan satu-satunya pijakan untuk bergantung
pada seseorang. Tuhan menopang saya dengan tujuh puluh lainnya.
Tohno
dalam 5 cm per Second bisa dibilang
sebagai seorang tokoh yang paling menderita, tetapi perspektif dapat mengubah
segalanya. Dan kebenaran menjadi menguar. Tidak nyata, tidak teraba. Maka Akari
adalah tokoh yang perlu dibunuh, kemudian membuat tape pengakuan kepada siapa-siapa yang membuatnya menderita, untuk
mengubahnya menjadi yang bernyawa, dan diakui keabsahannya.
Mungkin
itulah saya.
Hilang.
Tidak diketahui. Dan apapun yang melatarbelakangi perilakunya adalah dosa. Ya sudah. Mungkin di kereta ini saya akan bertemu Jesse. Bisa jadi saya Celine, bisa juga botol tengik tempat keduanya terkungkung dalam bahasa yang sama. Mungkin akan ada orang yang berbahasa sama dengan saya. Sehingga ketika kami bersama, tidak ada namanya ketidakbenaran.
Maka kata adalah
doksa, begitupula kita. Mari memberangusnya.
Hari ini.
Saya tiba di Surabaya, kota yang stasiunnya selalu
membingungkan saya. Kota yang dalam ketaklukannya menyimpan saya, terempas
botol dibuangnya.
Comments
Post a Comment