Is Karma Work?



            Pernahkah Anda percaya sesuatu yang bernama karma?
            Atau masihkah Anda mempercayainya?
            Saya adalah satu dari sekian orang yang mungkin berusaha realistis dalam menghadapi hidup ini. Tidak banyak yang saya lakukan, tetapi dalam setiap prosesnya saya melakukan pembelajaran demi pembelajaran yang membuat saya lantas memahami hidup dengan lebih sulit, mungkin. Tapi menjalani hidup dengan lebih mudah.
            Karena jujur saja, sebagai manusia itulah yang saya cari. Saya ingin hidup dengan mudah. Makanya setiap orang pengin kaya, pengin cantik/tampan, pengin pintar, pengin sehat, dan pengin-pengin yang lainnya. Kemudahan membuat kita tergila-gila dengan zona nyaman sehingga kita lantas bisa menjadi apa yang kita yakini sebagai diri sendiri. The one that we wanna be. Saya bersekolah supaya saya bisa menjadi diri saya yang dalam versi yang lebih baik dari sebelumnya; terpelajar, terdidik, mapan. Saya meratakan jalan yang akan saya lalui dengan segala perspektif yang sekarang saya siapkan. Semuanya adalah untuk membentuk mind set saya bahwa saya akan hidup dengan mudah, bahwa segala sesuatunya tinggal saya jalani saya. Saya tidak perlu merasa gundah untuk apapun selain itu. Kendati tidak semua hal dalam hidup akan berjalan sesuai rencana kita, pada akhirnya kita akan terempas pada kenyamanan kita; titik di mana kita bisa melihat segala kesulitan dan tersenyum karenanya.
            Atau mungkin juga tidak begitu.
            Mungkin kita akan terus didera sampai mati.

            Tahun ini, saya banyak berurusan dengan orang-orang dari masa lalu saya, berkenaan dengan bagaimana hubungan saya dengan orang tersebut. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam percintaan misalnya, saya merasakan hal yang sangat signifikan, setelah bertahun-tahun kami tak saling menganggap satu sama lain ada. Atau mungkin kami berpikiran begitu. Dari semua urusan-urusan itu, kesemuanya membicarakan hal yang sama. Permohonan maaf dan sebuah kesempatan di mana saya bisa melihat orang-orang menyesali apa yang telah mereka perbuat.
            Tentu saja, bagi diri saya biasanya, itulah yang disebut karma.
            Saya paling anti menyesali sesuatu. Saya tidak mau jadi orang yang suka ngersulo, Ibu saya selalu mewanti-wanti baik dalam tuturan maupun tindakannya. Dinasihatinya saya untuk selalu mengambil kesempatan emas, dan diizinkannya saya untuk melakukan meskipun hal tergila yang mungkin ingin saya lakukan. Atau mungkin Ibu saya terlalu peka untuk melarang sehingga memilih diam sebagai tanda batas tipis antara ketidaksetujuan dan ketidaktegaan. Maka saya tak tahu siapa yang harus lega dalam setiap pertemuan untuk membahas urusan tersebut. Saya atau mereka.
            Saya pikir, tahun lalu saya beranjak dari usia dua puluh tahun pertama saya. Saya melihat orang-orang yang berubah. Tidak hanya dalam urusan percintaan. Teman-teman yang dulu bisa saya andalkan dan saya sayangi. Maupun sanak famili yang jarang saya temui. Semuanya berubah. Saya sempat berpikir bahwa sesuatu dalam hidup saya berjalan ke arah yang tidak semestinya; saya salah melakukan sesuatu sehingga saya mengalami ketidaknyamanan dengan perubahan itu. Atau mungkin perspektif saya saja yang berubah. Saya sudah memandang segala sesuatu berbeda dari sebelumnya; tidak sepeka dan sesensitif sebelumnya. Maka hal-hal yang berkenaan dengan itu membuat orang-orang mengubah tindakannya akan saya atau di depan saya.
            Beberapa bulan lalu, beberapa senior saya juga mengomentari tentang quarter life crisis yang umum terjadi pada masa-masa seusia saya dan kawan-kawan. Tentang bagaimana orang mempertanyakan jati diri, tujuan, dan cara hidupnya. Tentang bagaimana kami berusaha mengukuhkan atau menghancurkan konstruksi ideologis dan ketuhanan tertentu. Tentang bagaimana kami menyikapi perkara remeh hingga urgensi dengan kemampatan yang tinggi. Tentang apapun.
            Nyatanya perlu waktu satu tahun bagi saya untuk menerima perubahan dalam krisis tersebut.
            Mulai tahun ini saya sudah belajar banyak. Dan akan terus belajar. Saya harus menjadi diri saya yang lebih baik (atau lebih mudah menjalani hidup?).
            Setiap kali beberapa teman meminta maaf pada saya, entah dalam momen lebaran atau out of the blue, saya selalu bingung. Sebab saya tak punya sesuatu apapun yang saya risaukan dari diri mereka. Buat saya, orang memperlakukan orang lain sebagaimana mereka ingin diperlakukan, maka seburuk apapun perlakuan yang saya terima, bisa jadi karena saya buruk pula memperlakukan mereka. Dan tak perlu maaf untuk ini, sebab saya telanjur yakin saya sudah memperlakukan orang selayaknya porsi mereka dalam hidup saya. Saya tak ingin menyakiti hati orang (lagi), setelah merasakan jadi drama queen di masa sekolah menengah. Sebisa mungkin saya menolong apa yang bisa saya lakukan. Dan sesederhana ada ketika dibutuhkan, tahu diri untuk pergi ketika tidak.
            Saya bertemu dengan teman-teman dari masa lalu, yang di masa lampau itu kami bersahabat karib kemudian hilang ditelan waktu. Saya merasakan pandang bersalah dari mereka bergulir pada diri saya; saya tak pernah mengerti mengapa. Perasaan bersalah mungkin akan menguliti kita diam-diam, maka saya heran mengapa mereka rela untuk menikmati perasaan seperti itu. Saya mungkin ingat satu dua ketidakterimaan (bukan amarah) yang muncul dalam diri saya ketika mereka mencampakkan saya atau melakukan kesalahan apapun pada saya. Hanya saja itu dihitung dengan jari satu tangan. Dan yang saya ingat adalah yang terhebat. Tetapi kesemua itu sudah saya relakan dibilas ingatan. Saya masih terlalu sayang pada masa-masa emas kami dulu dibanding menyalahkan mereka atas kelabilan-kelabilan masa remaja.
            Tetapi saya tak ingat pernah berkorban sebesar itu untuk mendapatkan rasa bersalah yang mereka terima.
            Saya menganggap, setelah semua masalah itu selesai (atau hanya berlalu), maka ya sudah. Tidak ada yang perlu dibahas. Kami sudah selayaknya menjadi cukup dewasa untuk memahami kami tidak akan selalu ada selamanya, dan disalahi maupun menyalahi adalah terletak pada bagaimana hakikatnya kita meletakkan sudut pandang akan suatu masalah. Sekarang kami sudah bisa berkumpul lagi, menjadi dewasa masing-masing, dan membicarakan hal yang lebih aktual dan lebih baik.
            Begitu pula yang saya rasakan dalam urusan percintaan di masa lalu saya. Saya terlalu lelah untuk menjalin sebuah hubungan bukan karena kapok atas steretipe pria tertentu, tetapi terlebih kepada kejeraan saya untuk meng­-handle diri saya sendiri dalam urusan percintaan. Saya terlalu tidak bisa mengendalikan emosi dan diri saya sehingga akan berujung pada petaka; baik pada diri saya maupun pasangan saya. Maka saya bisa dibilang lebih hati-hati untuk mendaratkan tujuan atas pendekatan apapun itu dengan lawan jenis saya. Berteman dan bersahabat karib adalah cara yang paling aman dan paling riskan di saat yang bersamaan. Tetapi masih bisa membuat kami tertawa bersama, lalu kenapa tidak?
            Ketika kini saya menjalani hubungan pun, semuanya tidak terlepas dari masa lalu itu.
            Maka saya heran ketika saya menemui orang-orang ini, tampak begitu hampa dan berisi di saat yang bersamaan. Menjadi orang asing bagi diri mereka sendiri, sementara saya setengah mati menahan diri untuk tidak menganggap mereka remeh; masih sedangkal sebelumnya.
            Betapa herannya lagi ketika mereka meminta maaf atas kesalahan yang mereka perbuat. Yang lantas membuat saya mengerutkan kening, menjadi tidak paham seketika. Salah apa orang-orang ini terhadap saya?
            Maka kembali lagi kepada soal perspektif. Orang bisa saja menjadi setinggi ratu di hadapan diri mereka sendiri, tapi tak ubahnya seekor kecoak di hadapan orang lain.
            Saya, tidak pernah merasa disalahi. Apapun alasannya. Yang paling banyak adalah mereka merasa bahwa telah melakukan sesuatu yang menyakiti hati saya. Saya merasa, hati saya terlalu berharga untuk disakiti orang lain dan saya membiasakan diri saya untuk tidak terlalu mengecewakan diri sendiri dengan berharap atas orang lain. Saya merasa, ego saya yang selalu disakiti oleh orang lain, tapi hal itu seringkali bertujuan baik sebab orang terdekat saya pasti tahu bahwa saya punya ego setinggi langit. Saya percaya bahwa luka adalah cinta yang terbiasa, dan manusia akan tumbuh karenanya. Sayangnya, orang-orang ini tak pernah paham definisi luka bagi saya dan selalu merasa bahwa saya serentan itu untuk dilukai.
            Saya ingin memandang mereka di tepat di ulu nadi mereka, dan berkata bahwa sedikitpun mereka tidak melukai saya. Keinginan ini disambut keinginan liar lainnya yang meneruskan dari hati saya bahwa hidup mereka tak ada pengaruhnya bagi saya, mengapa saya repot-repot terluka? Ingat saja saya tidak juga.
            Mengapa saya harus terluka karena mereka?
            Kenapa?
            Mengapa repot-repot memenuhi diri sendiri dengan rasa bersalah yang tidak beralasan? Apakah saya tak pernah cukup menunjukkan betapa saya puas dengan hidup saya dan kalaupun tidak, masih berjuang untuk itu? Dan yang terpenting bahwa usaha itu bukan untuk mereka?
            Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikiran saya dalam penyelesaian urusan demi urusan itu. Tepat ketika saya merasa poin demi poin penyelesaian itu menjadi kabur dan menyeleweng kemana-mana, saya merasa harus bicara.
            Lambat laun, saya merasa kepergian orang-orang ini dalam hidup saya adalah hal yang wajar. Sudah selayaknya mereka pergi, bertumbuh kembang bersama lainnya, sebagaimana saya juga. Ada waktu di mana saya tidak akan sanggup menghandle diri saya dan mereka sekaligus, dan mungkin pula mereka tidak layak untuk saya handle, begitu pula sebaliknya. Manusia tumbuh, berubah, berkembang. Ya kalau tidak berbeda, jadi apa? Apakah saya harus tetap menginjak-injak harga diri saya untuk tetap menerima orang-orang tertentu dengan lapang dada sementara saya tahu I dont belong there? Dan secukupnya saya selalu merasa punya power untuk pergi, mengapa tidak? Kita tidak tahu seberapa toxic suatu hubungan bagi pasangan yang menjalaninya. Tidak ada hak dan kewajiban pula untuk menanyakannya. Sama seperti betapa kita tidak mengenal orang lain.
            Saya yakin saya punya salah juga dalam hubungan saya yang lampau. Mungkin lebih besar dari pasangan saya. Tapi semenjak kata berpisah disepakati, saya tahu tak ada lagi yang patut dibahas. Kami tentu saja masih bisa berteman (dulu saya sempat tidak mau berteman dengan mantan kekasih, kemudian lambat laun saya tumbuh dan menjadi pengertian akan hal ini, bahwa terkadang mereka menerima dan memberikan bagian tertentu dalam hidup saya, plus terutama mereka yang tidak banyak membutuhkan kesabaran dalam menghadapinya). Tidak pernah saya melarang begitu saja. Kalau tidak, berarti mereka yang memutuskan tidak ingin menjalin komunikasi dengan saya, dan (tolong ini digarisbawahi) itu sama sekali bukan urusan saya karena saya tidak merasa sedikitpun tergores karenanya. Kehadiran mereka dalam hidup saya dapat dilihat sebagai pengaruh buruk dalam kondisi tertentu sehingga tentu saja kami memutuskan untuk mengakhiri hubungan, kan. Maka untuk apa saya menghabiskan waktu untuk sakit hati karena proses yang sesungguhnya menjadi efisien ini? Saya malah diuntungkan.
            Saya ingat pernah menertawai mantan kekasih saya yang memutuskan semua kontak ketika kami berpisah. Saya merasa hal ini lucu sekali dan ketika ia datang untuk meminta maaf saya merasa heran. Syukurlah saya tertawa setidaknya melihat tingkah dia yang sebegitu tidak inginnya berteman dengan saya. Dan tentu saja, hal ini membuat hidup saya mudah. Saya tak pernah repot-repot tahu apa yang ia sedang lakukan, sedang dekat dengan siapa lagi, atau bagaimana hubungannya yang baru. Saya bahkan tak perlu tahu. Dan sejujurnya, hal ini akan menyakitkan bagi mereka kalau saya bilang bahwa seringkali saya menertawai mereka karena hal-hal tersebut, menjadikannya bahan tertawaan bagi saya dan teman-teman saya. Ini kekurangajaran saya yang sepenuhnya saya akui. Dan mungkin hal inilah yang seharusnya saya mintakan permohonan maafnya ketika bertemu mereka. Itupun tidak saya lakukan karena saya tahu betul; tidak ada faedahnya bagi saya ataupun mereka.
            Sama seperti permohonan maaf mereka yang tidak pelak membuahkan keheranan dalam diri saya. Dalam tiap candaan saya dan teman-teman yang bertopik mereka, saya menjadi tahu tentang apa-apa yang mereka lakukan dan mereka alami. Dalam setiap-setiap ‘pengetahuan’ itu, saya merasa mereka justru jauh lebih menikmati hidup. Sibuk dengan pasangan dan hidup baru. Begitu bahagia dan semringah, yang saya dengar. Untunglah hal ini sedikitpun tidak pernah terlintas ketika saya kebetulan sedang sedih, mungkin saya akan bertambah sedih, tapi bisa pula membuat saya malah tertawa bahagia kembali, menjadikan motivasi untuk tidak boleh merasa lemah lagi.
            Lalu apa imbasnya permintaan maaf dari orang-orang ini bagi saya? Apa imbasnya pula permintaan maaf tersebut bagi diri mereka?
            Saya mungkin tak habis pikir. Mungkin mereka juga.

            Saya percaya rasa bersalah menggerogoti diri lebih dari apapun. Jika mereka merasa melukai saya, maka perasaan bersalah itu yang seharusnya mereka terima dan apabila mereka memang benar-benar mengenal saya, seharusnya mereka tahu permohonan maaf takkan membuatnya sirna.
            Sebab saya menikmatinya.
            Mungkin itu ganjaran atas apa yang mereka lakukan pada saya, yang meskipun tidak saya sadari dan ketahui, ternyata dinilai cukup jahat sehingga mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Saya tak tertarik mengetahui lebih jauh, tapi saya gemar berspekulasi tentang ini.
            Kemarin saya bilang bahwa, “saya mungkin tidak percaya karma. Tapi saya percaya ganjaran itu pasti kita terima. Ketika saya dilukai orang, katakanlah saya mempercayai ganjaran itu ketika saya bisa menyaksikannya.” Mungkin bisa dibilang kata-kata yang cukup puas terlontar dari mulut saya, ketika saya bisa mengutarakannya di depan yang bersangkutan. Kontan.
            Saya memang tidak percaya karma. Bagi saya, dunia tidak lagi senaif itu yang apabila kita salah maka kita akan mendapatkan kemalangan. Banyak ketimpangan yang sudah saya lihat dan rasakan, dan saya menjadi cukup yakin dengan ini. Bahwa setiap manusia akan mengalami naik turun dalam hidupnya. Ada masa ia seolah tidak akan pernah jatuh lagi, ada masa di mana ia akan jatuh dihempaskan dan terkubur lebih dalam. Ganjaran itu apabila saya bisa melihat langsung celah di mana mereka membusuk bersama dosa-dosa yang membersamainya.
            Saya selalu bilang bahwa jangan heran apabila saya mendapatkan kemalangan atau musibah. Hampir semua orang yang mengenal saya tahu bahwa saya tidak sebaik itu. Maka saya pasti akan mendapatkan ganjarannya. You can watch me, tentu saja. Tetapi saya juga bisa tidak melihat Anda, yang mana akan membuat ‘pembalasan dosa’ bagi Anda itu tidak lagi terasa mengasyikkan. Orang sebaik apapun pasti akan mengalami naik turun itu dalam hidupnya. Jangankan manusia ‘biasa’, Nabi saja juga pernah mengalami kesengsaraan dalam hidupnya. Lantas siapa kita yang menuntut keadilan? Menuntut kebaikan yang sama bahkan lebih besar dari yang kita lakukan? Sebesar itukah kita?
            Rasa sakit dan luka itu tidak pernah mengherankan bagi saya. Mereka adalah bagian hidup saya. Timbul karena saya sendiri dan selalu berusaha saya sadari sepenuhnya.
            Yang saya herankan, selo banget sih, orang-orang ini sampai sebegitunya merendahkan diri untuk memikirkan dinamika hidup sebagai karma yang akhirnya kembali pada diri mereka? :--) Bahkan sampai bertindak tanpa pikir panjang karenanya. Well, saya rasa setelah ini mereka akan menyesalinya.
            Karena...
...tidak cukup ya, mereka dan hidupnya menjadi lelucon bagi saya? :’-)


Have a wonderful life!
           

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)