2018 in a Subpoena






Selamat tahun baru.
Ya, saya tahu ini sudah Maret sehingga frasa tahun baru tidak lagi relevan. Tapi saya kira, setelah sekian lama saya kembali di blog ini seperti biasa. Entah kepenuhan maupun kehabisan bahan bakar. Setelah beberapa kali hanya mampu mengudarakan kegagalan, kini saya membulatkan tekad untuk kembali menulis. Sejujurnya, ketika saya ‘tidak menulis’, saya tidak pernah benar-benar berhenti menulis. Pekerjaan yang saya terima adalah pekerjaan yang mengharuskan saya berpikir dan (commonly) berkreasi sehingga mau tak mau saya harus menulis dalam pencapaian atau membuat tulisan sebagai hasil akhirnya. Dulu saya merasa, hidup saya seperit hari yang berputar dan akan berakhir di pukul 12 malam. Setiap tulisan saya berakhir, maka berakhir pula satu episode tentang suatu hal dalam hidup saya. Ternyata saya salah. Hidup terus berputar, maka tulisan saya terus mengalir. Begitu seterusnya dan takkan pernah berubah. Menyadari hal ini, saya merasa bahwa menulis di blog ini lambat laun menjadi tidak banyak bermanfaat. Meskipun banyak yang ingin saya tulis, akhirnya berakhir dengan dokumen gagal atau draf yang dihapus.
Lalu mengapa saya kembali?
Mungkin saya sedang mencari, dan seperti biasa jawaban yang saya temui hanyalah melalui tulisan-tulisan ini. Mungkin saya sedang terhenti, dan seperti biasa perjalanan-perjalanan yang harus saya lalui akan saya lakukan setelah tulisan ini. Mungkin saya mati, dan menyaingi segala kemungkinan mengapa di semesta yang luas ini, saya hanya berupa atom yang suatu ketika hanya menjadi ada kemudian debu.
Atau mungkin saya hidup kembali.

Perjalanan di universitas terasa begitu cepat berlalu bagi saya. Terlalu cepat, malah. Saya masih lahir sebagai manusia yang bodoh dan monoton. Atau mungkin inilah yang memang seharusnya dicetak universitas: segumpal organisme yang menjadi saklek, frustrasi, dan penuh kedongkolan. Saya kira setelah beberapa lama saya memandangi diri saya dengan takjub sebagai seorang lulusan, saya paham bahwa tidak sedikit dari diri saya yang merasa bahwa tak ada yang perlu dirayakan. Tak banyak yang saya lakukan dan semakin tak banyak pula yang berhasil saya lakukan. Life is a series of unfortunate event.
Untuk itu saya ingin mereguk banyak pelajaran dengan melanjutkan studi, tetapi tampaknya hal tersebut sama tidak mungkinnya dengan seorang pria keluar dengan celana merah muda. Kemungkinan itu ada dan tentu ada, tetapi unik dan butuh kontemplasi yang bisa jadi lebih lama daripada prosesnya. Saat ini kesibukan saya adalah bagaimana menjadikan segala sesuatu sebagai hal yang patut dipikirkan dan dibayar semaksimal mungkin atas hal itu. Bisa dibilang memuaskan, bisa pula tidak. Tiga bulan saya lalui dengan latihan-latihan yang selalu membuat saya menyadari bahwa saya tidak akan bisa lepas dari menari. Hidup saya setelah masa muda tampak seperti aurora yang dipaksakan: hanya selaput tipis bayangan yang berwarna-warni tentang bagaimana kedamaian dan ketentraman adalah satu-satunya prioritas. Saya merasa tidak bisa memperjuangkan apa-apa karena saya buruk dalam memperjuangkan sesuatu. Perlahan pikiran seperti ini membuat saya memaklumi jalan hidup orang lain, terutama di media sosial. Ada berbagai macam rupa, pikiran, perasaan, yang dengan senang hati dibagikan, ditunjukkan, dituliskan. Saya merasa kecil dengan menjadi diri saya sendiri, terutama karena pemikiran saya tidak seseksi itu.
Mengapa saya gemar sekali mengerdilkan diri sendiri dan menjadi berarti dari ampas-ampasnya?
Seperti halnya setiap manusia yang menulis diari, saya memilih apa yang ingin saya katakan. Saya selalu haus dengan pencapaian, dan sekali saya punya ambisi saya akan melakukannya. Ketika pertama kali saya membuat media sosial dengan tujuan representasi secara massal, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa saya adalah orang yang bekerja keras. Saya merasakan manisnya hidup seperti baru berlalu beberapa detik lalu dan akan sangat penting bagi saya untuk tidak menyampaikan apapun secara kasar kepada orang lain. Saya tidak ingin direndahkan (tidak ada yang ingin), tetapi saya juga tidak punya banyak keberanian untuk menjadi tinggi. Kebanyakan saya memfilter dengan hati-hati apa yang ingin saya sampaikan dan berusaha sebisa saya untuk tidak banyak melibatkan perasaan. Maksud saya, saya orang yang cukup berpikir untuk menuliskan sesuatu di media sosial sehingga seringkali berakhir dengan kekosongan. Saya merasa dalam dunia maya, kekosongan dapat diartikan dalam banyak hal dan saya gemar menjadi asumsi-asumsi di dalamnya tentang mengapa saya melakukan sesuatu.
Saya menyukai setiap spontanitas dalam diri saya, begitu pula dalam diri orang-orang terdekat saya sehingga saya tak jarang sering kagum dengan ketiba-tibaan itu: tiba-tiba ke luar negeri, tiba-tiba menikah, tiba-tiba bekerja, tiba-tiba membaca buku, dan tiba-tiba yang lainnya. Saya tahu manusia punya banyak proses yang tentu tidak ia bagikan kepada semua orang, tetapi saya tetap kagum dengan bagaimana impulsifnya mereka dengan ketiba-tibaan itu membentu persona sedemikian rupa yang bahkan bisa membuat saya mengernyit tidak suka atau berseru kagum kepada orang yang belum pernah saya kenal dan terkadang juga bukan public figure. Bagi saya, spontanitas yang tetap membuat saya hidup. Mungkin kini saya sedih karena tidak bisa mencapainya. Saya memiliki banyak pikiran dan tak bisa lagi menjadi sosok impulsif yang dulu penuh dengan penyesalan tetapi menyisakan banyak hal berharga untuk dikenang. Suatu ketika saya akan kembali dengan spontanitas itu dan semuanya menjadi tidak memiliki warna. Tetapi mengejarnya sekarang hanya akan membuat sebagian besar rencana yang disusun demi kehidupan yang tertata itu berantakan. I don’t even have the guts to take it.
Maka di sinilah saya.

Orang bilang bahwa saya cukup tidak peduli untuk banyak hal. Mungkin hal ini semacam premis saja. Tentu saja saya memedulikan hal yang ingin saya pedulikan. Sisi ketidakpedulian saya bilang, orang lain punya urusan dan saya tak bisa membantu. Kalau saya bisa bantu, akan saya lakukan. Dan hal ini entah mengapa menjadi sebuah tertawaan bagi orang lain.
Beberapa kali saya dikomentari oleh kenalan atau teman tentang keengganan saya berbasa-basi. Saya tidak ingin gamblang mengakui hal ini sebelumnya karena target saya adalah meningkatkan kemampuan berbasa-basi dan akhirnya NOL. Tetapi cukup memalukan tampaknya mengakui bahwa target ini tidak semudah itu dicapai (terutama karena saya tidak dapat melatihnya dengan siapapun) dan saya pun tak punya bucket list tentang hal ini. Maka anggaplah target tersebut sebagai kemampuan saya meluapkan satir kepada orang-orang yang dapat disukai siapa saja. Well, I’m cheap. Dan tampaknya hal ini cukup irritating bagi sebagian orang: saya dianggap anti-sosial dan penuh dengan kemarahan. Ya, beginilah hidup: nomor 287 adalah memberikan definisi atas perilaku atau sikap orang lain terhadap diri kita. Sebab hal ini akhirnya menentukan siapa kita, tetapi bisa juga menjadi gerbang bullshit nomor 450.
Sebenarnya sederhana. Dengan kemudahan berteknologi sosial seperti sekarang, tentu membuka gerbang ‘silaturahmi’ bagi nyaris semua orang di hidup kita. Istilah misterius itu kini berputar dari posting-annya. Pemahaman yang cukup merata dialami oleh semua orang yang bersosial media adalah bahwa orang yang tidak punya sosial media bukan misterius tetapi seperti menge-block semua pengaruh dari hidup mereka. I could tell that this wise enough, terutama setelah kejadian beberapa hari lalu tentang saya yang ‘ditegur’ strangers di Instagram. Saya bukan tipe yang silaturahmi lewat sosial media, jadi kebanyakan yang saya lakukan adalah membagikan sesuatu, kemudian ‘kabur’ begitu saja. Saya cukup paham bahwa engagement saya di sosial media tidak cukup luas dan kuat sehingga saya tidak punya efek ‘itu’. Tentu saja satu dua orang yang tidak kenal saya memanfaatkan ini sebagai momen menjalin ‘silaturahmi’. Saya kira saya cukup baik di tahap menanyakan kabar kemudian memilih emotikon untuk membalas. Sesudahnya, ya... kalau tidak ada yang perlu saya katakan, mengapa harus saya katakan?
Tetapi beberapa orang punya kecenderungan santai tertentu sehingga bisa ngobrol berjam-jam di sosial media. Mungkin suasana hati mereka sedang baik (sebab saya begini hanya jika saya punya motif tertentu). Dan sebagaimana orang asing saling berkomunikasi untuk menjadi paling asik dan seru (dua arah, tetapi arbitrer dan bahkan mereka tidak punya referensi yang sama tentang siapa dan apa yang mereka bicarakan), tiba-tiba saya ‘disenggol’ dengan pertanyaan tentang teman-teman saya. Seperti yang saya bilang, karena tidak referensial, maka digeneralisasikan saja menjadi teman-teman saya padahal saya juga tidak tahu apakah lawan bicara saya mengenal teman-teman saya dan teman saya yang mana yang dia maksud. Karena saya tidak berniat memperpanjang percakapan, dan terutama karena saya paham bahwa it take you nowhere, jadi saya jawab saja “nggak tahu”.
Jawaban saya ini semacam menimbulkan kesempatan bagi orang untuk mencela dengan maksud bercanda. Well, bukankah di negeri ini, candaan itu adalah segalanya, ya? Beberapa orang membuat candaan sebagai maksud untuk mengakrabkan diri karena ya candaan berkenaan dengan kelemahan di mata orang lain dan adalah melegakan bagi sesama manusia untuk menyadari bahwa semuanya sama seperti diri mereka: punya kelemahan. Tetapi di balik candaan yang terlontar untuk saya itu, saya merasakan sebuah sindiran, atau sebuah isyarat agar saya mengonfirmasi apa yang terjadi antara saya dengan teman-teman saya lainnya. Yang mana sangat nirfaedah untuk dibagikan, tentu saja.
Saya tidak banyak ingat persisnya bagaimana komentar-komentar terlontar atas respon saya tersebut, tetapi semuanya menganggap ketidakpedulian saya akan keadaan teman-teman saya adalah sebuah bentuk kemarahan dan kesepian. Mungkin juga kesenjangan. Entah pada diri saya sendiri, atau kepada mereka. Seolah hal ini adalah sesuatu yang seharusnya diperbaiki dan bahwa yang saya lakukan tidaklah baik. Cukup sering saya menerima komentar ini sampai membuat saya berpikir bahwa saya memang tidak ingin bersosialisasi dengan teman-teman saya ataupun ketidakmampuan saya untuk mempertahankan hubungan baik. Sampai di sini, saya merasa bahwa orang-orang itu benar. Saya yang harus memperbaiki diri.
Hingga kemudian, salah seorang teman saya mengontak whatsapp saya secara tiba-tiba pada pukul 9 malam (jam di mana biasanya saya sudah mematikan ponsel dan pergi tidur). Dia meminta saya untuk menemani dia menunggui suaminya bermain futsal saat itu juga. Saya tidak punya urgensi untuk tidur (saya tidur pun karena tidak punya pekerjaan) dan dengan senang hati bertemu dengannya. Maka saya pun menyanggupinya. Saya dijemput dan kami menghabiskan waktu dua jam untuk mengobrol sementara suaminya main futsal di depan kami. Setelah itu kami pergi makan di warung lalapan dan pulang.
Hal ini mengingatkan saya ketika saya masih intens berhubungan dengan teman-teman saya, ya di SMA. Setiap hari bertemu, bahkan nongkrong dan jalan-jalan. Satu yang saya sadari, saya banyak merasa harus sadar diri dan memilih tidak ikut jika tidak diajak. Tetapi seringkali beberapa teman saya mengajak saya menginap di rumahnya ketika orang tua mereka tidak ada. Dengan fleksibilitas a la ibu dan bapak saya, saya pun paling sering pulang malam. Itupun setelah berkeliling kota mengantarkan teman saya satu demi satu untuk meyakinkan orang tua mereka bahwa anaknya main dengan sesama perempuan dan tidak keluyuran tidak jelas. Saya merasa bahwa saya bisa membatasi diri dengan tidak menjadi terlalu akrab dan hal itu cukup baik.
Maka jika saya pikir sekarang, saya merasa tidak ada salahnya saya tidak tahu kabar teman-teman saya. Setiap hari mereka juga upload sesuatu di media sosial. I can tell that they are alright. Tetapi ketika mereka butuh sesuatu, saya selalu ada: standby dan sebisa mungkin berusaha agar bisa diandalkan. Saya tidak cukup banyak mengetahui tentang teman-teman saya, tetapi mereka memang mengatakan apa yang ingin mereka katakan. Dan itu cukup buat saya. Saya tidak ingin menjadi teman yang demanding: selalu ingin dihargai, dianggap sahabat terbaik, memberikan hadiah setiap saat, membubuhkan kata-kata cinta, memahami dia hingga seluk beluk terkecilnya (saya nggak ingat makanan favorit teman-teman saya), dan lain sebagainya. Saya seringkali bertemu dengan teman yang selalu ada di sisi saya tetapi ketika saya membutuhkan sesuatu, mendadak mereka tidak ada. Dan bisa jadi saya pun begitu, berusaha berada di sisi seseorang tetapi suatu ketika saya ingin sendiri tepat ketika mereka butuh bantuan. Saya pribadi tentu mengingat nama orang yang membantu saya, dan kini saya merasa bersalah terkadang saya menganggap orang-orang yang mampu membantu saya lebih penting dari mereka yang selalu ada di sisi saya. Maka saya menarik diri. Saya tidak ingin punya kecenderungan bersahabat baik dengan siapa, tetapi saya ingin dapat membantu mereka, kapanpun mereka butuh bantuan. Tak banyak hal yang bisa diceritakan, mungkin. Tetapi saya bersyukur bisa melakukan sesuatu untuk orang lain. Terlepas dari bahwa memang manusia sebisa mungkin melakukan kebaikan, saya merasa bahwa dengan membantu orang lain, saya membantu diri saya sendiri. Terkadang saya sulit mengekspresikan perasaan saya dan keberadaan orang-orang yang tepat di waktu yang tepat membuat saya selalu berterima kasih atas bagaimana manusia tidak henti membuat mereka saling berarti.
Terlebih lagi, saya tidak ingin memaksakan kehadiran saya dalam hidup teman-teman saya. Saya mungkin jauh lebih santai daripada mereka, tetapi bukan berarti saya harus mengusik mereka karena saya sedang tidak punya pekerjaan. Saya menghormati pilihan-pilihan teman-teman saya atas hidup mereka, berarti saya percaya mereka baik-baik saja dan bukan kapasitas saya untuk menginterogasi teman saya atas kesibukan yang ia alami. Terutama bila kami tidak bertemu muka. Lalu mengapa hal ini dirisaukan?
Di usia sekarang, saya cukup banyak melupakan hal-hal yang terjadi, dan masih cukup kuat menerima hal-hal yang akan datang. Saya ingin mengingat teman-teman saya dengan baik dan saya cukup menghindari berbasa-basi karena bagi saya akan lebih mudah untuk langsung mencapai tujuan. Seandainya teman-teman saya tahu, saya juga tidak ingin menganggap hal ini sebagai sesuatu yang besar sebab kami harus lebih baik dalam menjaga ikatan dibanding menjadikannya usang dan tidak termaafkan.
Jadi, saya tidak seberbeda itu untuk mengatakan bahwa saya istimewa dengan segala ketidakpedulian saya. Saya hanya punya cara berbeda untuk memelihara pertemanan dan memandang orang lain. Suatu ketika, hal-hal kecil seperti ini akan membuat saya berterima kasih dan untuk itulah saya tidak melakukan hal yang tidak berguna.

Sebentar lagi tahun ini akan mencapai setengahnya. Lalu tahun berikutnya akan bergulir. Saya mungkin terlalu terlambat untuk membuatnya berarti tetapi sampai saat ini saya tidak berhenti mencari cara. Mungkin saya tidak dalam posisi yang berkuasa untuk memutus hubungan dengan orang lain sehingga hal ini bukanlah sesuatu yang besar. Tetapi bagi saya pribadi, setiap manusia memiliki idealisme-nya sendiri-sendiri dan alangkah picik jika saya mengomentari orang yang berbeda segi pandang dengan saya. Itu hidup mereka, silakan. Hidup saya, di satu sisi, adalah hal yang akan terus saya bagi melalu blog ini.
Masalahnya hanyalah, cepat atau lambat.



Jendela berteralis yang tidak dimiliki rumah saya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)