Kembang Seroja (II)
*sebuah cerita pendek yang belum pernah dipublikasikan sebelumnya.
Saat itu musim kemarau 1996.
Aku mengingatnya sebagai sebuah
penanda bahwa tanpa hari terpanas pun, aku mampu mendaratkan memar di pipiku
dengan kesadaran bahwa aku mencintai kebohongan.
Begitu mencintainya.
Seingatku, aku tak pernah meminta
apapun.
Barang-barang mewah seperti gaun, high heels, perawatan kecantikan, fine dining, bahkan buku-buku diskonan
di sebuah toko buku tempat aku biasa melihat-lihat. Meski demikian, ia
memberikan apa yang mampu ia berikan. Tetralogi Pulau Buru menjadi milikku yang
kehilangan suara mendadak di suatu waktu.
Namun tetap saja. Aku tak pernah
menuntut sesuatu untukku. Kesetiaan, kerja sama, kebaikan, kesempurnaan,
perhatian; kupandang sebagai apa yang mampu ia berikan ketika kami sepakat
untuk menjalin hubungan. Sementara aku berjanji hanya akan memberikan satu:
sebuah paket lengkap dari hubungan yang selama ini kauimpikan.
Berhenti sejenak.
Aku merasa muak.
Tentu, ya. Aku menuntutnya untuk
menjadi lebih baik; berani mengambil keputusan, kritis, bertanggung jawab,
mampu menyelesaikan pekerjaan, berkomitmen, tepat waktu. Aku berharap
masing-masing dari kami bisa membantu menyelesaikan keburukan satu sama lain.
Atau setidaknya itulah yang ingin aku tampakkan kepada orang lain.
Terlalu sering aku mendapatkan
komentar dari orang lain tentang kekurangan-kekuranganku. Ketika seseorang
memujiku atau menunjukkan kelebihanku, aku menganggapnya sebagai sebuah memo
tambahan untuk segala hal yang berawalan ‘tapi’. Aku selalu merasakan
ketidaktulusan, atau itulah bentuk rasa skeptisku terhadap dunia luar. Dan
betapa aku memusuhinya. Oleh sebab itu aku tak habis-habisnya menunjukkan
diriku sendiri; mengenakan halter top favoritku
atau bercelana setengah paha. Yang kuinginkan sekadar menjejali otak dan mulut
orang lain tentang bagaimana aku berani menjadi diriku dan sebisa mungkin
mengejar standar yang mereka terapkan hanya karena aku merasa aku bisa. Aku
menyukai keberanian dalam diriku.
Aku hidup karenanya.
Meski demikian, aku tak suka
dilukai.
Sejujurnya aku suka perasaan
terluka. Aku suka cara menyembuhkan luka dengan terus menghujamkan senjata
setiap kali aku merasa terluka. Aku sembuh, meski bekas yang ditinggalkan
takkan pernah hilang. Aku selalu menulis tentang betapa aku mencintai luka-luka
yang ada dalam hidupku: baik itu yang disemburkan oleh orang lain, ataupun yang
kubuat karena kebodohan dan kecerobohanku sendiri.
Setiap kali akan tertidur, aku
memulai skenario tentang bagaimana aku dilukai oleh orang lain. Aku mengakrabi
perasaan itu hingga aku sudah tak mampu lagi mengingat apa yang terakhir
kubayangkan.
Ketika hal itu menjadi nyata, aku
menyukai darah segara yang menetes-netes dan membuatku merasa hidup kembali.
Menjadi diriku yang sebenarnya.
Yang terluka, getir, skeptis.
Mungkin juga frigid.
Aku
celah.
Aku bertanya-tanya, lelaki macam apa
yang bisa memujiku setinggi langit dan di belakangku, menggoda perempuan lain. Neraka
macam apa yang mungkin sanggup menampungnya. Tetapi perasaanku bisa saja
disebut ternoda, dan aku harus bisa memisahkannya dengan konsep surga neraka.
Mengapa aku begitu mempercayai
setiap pujian yang terlontar dan betapa ia menghargaiku lebih dari orang lain.
Aku pernah berpikir bahwa bukan masalah bila hal yang kulakukan tak pernah
dipandang orang lain, asalkan ia mengetahuinya. Tetapi bukan sekali dua kali
kami terlibat masalah dan aku mafhum bahwasanya kami akhirnya berbaikan.
Aku masih mengingatnya sebagai
pemuda yang berjalan ke arahku di sela-sela gerimis di lapangan sekolahku dulu.
Aku mengingat pandangannya ketika suatu kali kami selamat dari sebuah
kecelakaan tunggal. Tetapi aku tak bisa mengingat nama perempuan itu. Aku tak
bisa ingat wajahnya dan mengapa. Aku hanya terus mengulang alasan yang
dikemukakan. Dengan sengaja aku menggaungkan olokan lama untuk diriku sendiri
agar tak lantas mendendam.
Aku tak pantas menyandang kesumat.
Ketika suatu kali aku tak punya
siapa-siapa lagi, aku mengkhianati diriku sendiri dengan penghiburan bahwa aku
tak perlu mempercepat sebuah masa untuk menjadikannya nyata.
Tiga tahun kami bersama dan untuk
pertama kalinya, masa depan terhampar begitu jelas bagiku.
Telepon rumah sudah berhenti
berdering. Ia sudah berhenti meminta maaf kendati aku tidak memaafkannya. Aku
harus memulai kebiasaan baru untuk menjaga diriku tetap waras karena logika
tampaknya tidak otomatis menyertai begitu manusia dilahirkan.
Aku punya keahlian untuk mengawasi
diriku sendiri sehingga tak ada cela lagi yang belum terlihat. Ketika ia bilang
kalau ia menggoda perempuan lain, aku tidak pernah menyalahkannya. Aku
menyadari bahwa esensi dari sebuah perselingkuhan adalah rasa tidak cukup yang
tidak terpenuhi. Dan siksaan terberat bagi orang yang diselingkuhi adalah
merasa bahwa dirinya tidak pantas. Tidak berharga. Bagiku, siksaan terberat
adalah menyadari bahwa yang kaupercaya adalah kebohongan. Seperti ketika ia
mengagumiku dengan cara yang tak kupahami, menyukai tulisanku yang belum
selesai, atau mengatakan ia lebih suka bertelepon denganku dibanding keluar
bersama teman-temannya.
Mungkin sekadar mengangguk mengerti
atas segala omong kosong yang kaukeluarkan dengan menggebu-gebu.
Kukira fase itu akan berlangsung
lebih lama dari yang kualami.
Aku akan menghabiskan waktu
berjam-jam termenung tentang mengapa aku tidak paham musik heavy metal atau musikalisasi puisi kegemarannya, tidak paham
kamera, tidak punya kamera, tidak punya duit untuk beli gramofon atau radio,
tidak berpenampilan menarik, tidak cantik
dari lahir. Tidak pintar, tentu saja. Aku telanjur percaya setiap dia memujiku,
hanya kejujuran yang ia ungkapkan karena tak ada orang lain yang mampu
mengatakannya. Aku mempercayainya seperti anak kecil memercayai obat batuk rasa
stroberi.
Dia pernah bilang bahwa aku adalah
kontradiksi yang paling ia cintai.
Kini aku sadar, bahwa baginya, aku
terlalu jauh dari standarnya dan bagaimanapun pula, ia sayang padaku.
Meski tampak yakin, aku penuh dengan
keraguan dan ia terkadang bertanya di mana kepercayaan diri dan keberanian itu
menguap dari diriku. Ia selalu berdiri untuk menuntutku menghargai diriku
sendiri.
Tapi baginya, harga diriku tak ada
artinya.
Di suatu pagi ketika dua hari
sebelumnya pager-nya dicopet sehingga
ia terpaksa menggunakan surat untuk menghubungiku dan kantornya, ia mengirimkan
surat yang mesra kepada seorang perempuan yang seharusnya kutahu nama dan
kuingat wajahnya. Lebih dulu daripada menghubungiku.
Aku terhina. Kegugupannya ketika kotak
suratnya kubuka melunturkan semua rasa percayaku. Mengalihkan semua keinginanku
untuk kembali berani dan percaya diri.
Bahwa aku pantas dicintai.
Aku ingat pesan yang ia kirimkan
padaku setelah mengirimkan pesan lain pada gadis itu.
Seperti biasa, aku menyingkirkan
rasa ketidaksabaranku atas balasan yang berbeda dari biasanya. Aku berharap dia
hanya sedang lelah. Atau sibuk. Atau keduanya.
Kemudian aku ingat pesan yang
dikirimkannya kepada gadis itu dan aku hanya tahu seberapa tidak pantasnya aku
menuntut mesra. Aku hanya mengiba. Kepada diriku sendiri. Dengan keyakinan
bahwa jika aku tidak sedikitpun berpikiran untuk berselingkuh, mengapa ia harus
berpikir demikian?
Mungkin aku mencintainya, untuk
mewujudkan semua impianku dalam film dan buku. Alasanku? Karena kami baik dalam
membaca buku dan menonton film. Kami dekat karena buku, dipelihara pula oleh
film. Hubungan kami diperkaya oleh buku dan film. Maka aku tahu bahwa hanya ada
dua akhir. Di keduanya, bagiku tetap harus bahagia. Kami bisa berpisah dan
terus bersama. Namun tetap dalam kebahagiaan.
Aku mungkin mencari jalan tengah,
tetapi aku sadar bahwa dengan begini aku meminimalisir sebuah kemungkinan
tentang sakit hati. Dan terluka.
Ia pernah melakukan hal yang sama
sebelumnya. Ketika pager-nya masih
baru. Di suatu malam saat hujan deras. Aku mendengar pesan yang menghantam
karena mengingatkanku akan bagaimana aku dan dia saling kirim pesan dahulu. Aku
merasa bodoh.
Saat aku menangkap perselingkuhan
keduanya, aku tahu bukan aku yang dia harapkan. Gadis-gadis itu sama seperti
mantan kekasihnya. Orang-orang yang gemar bersosial, punya segudang teman,
memiliki wajah dan penampilan yang fotogenik, kreatif, penuh impian, sehat,
cantik, dan terpelihara.
Di tahun keduaku berkuliah, aku
menulis surat padanya tentang bagaimana aku merasa seperti bagian luar dari
teman-teman kampusku.
Kukira ia paham maksudnya.
Atau mungkin ia paham, dan tetap tak
bisa menolak bahwa hatinya jatuh pada perempuan yang demikian.
Aku hanyalah kepulangan yang
menyadarkannya bahwa betapa banyak masalah di bumi ini dan aku bisa
menghadapinya. Jika jadi istri, aku bisa melakukan berbagai pekerjaan. Bukan
sebagai perempuan yang duduk-duduk dan menyerahkan segalanya kepada pembantu.
Tetapi aku bisa menggantikan peran pembantu sekalipun. Baginya, aku adalah
realita yang harus diakrabinya. Ia jatuh cinta padaku tanpa bisa menolongnya.
Tapi aku tahu, dalam lubuk hatinya, ia pun mencintai impian-impiannya melalui
gadis-gadis berambut panjang dan hitam legam (yang mana ia katakan bahwa ia
juga menyukaiku saat rambutku panjang dan hitam legam, apalagi sedikit
bergelombang).
Perempuan-perempuan dalam mimpinya
adalah tokoh protagonis dalam cerita Cinderella atau Bawang Merah dan Bawang
Putih. Aku, sejak awal, adalah antagonis. Aku tak bisa bicara dengan perempuan
lain selain keluarga dekat dan sahabat-sahabatku (yang mana aku juga masih
merasa tak nyaman), aku cukup baik berbicara dengan orang-orang yang
termarjinalkan, aku memiliki stereotipe tertentu atas perempuan-perempuan lain,
dan aku tak pernah menutup diri dari rokok dan alkohol.
Di dunia yang lebat ini, ia
membutuhkan banyak dariku. Mungkin keculasan, keegoisan, bahkan keengganan. Ia
tidak mencintaiku karena aku adalah aku. Ia mencintaiku karena aku tampak
berbeda. Dengan kekerasan, keberanian, dan sedikit sifat impulsif.
Aku tahu ketika aku memutuskan untuk
mengasihi seseorang, aku akan diracun. Dan tidak mati.
Bagiku ini tidak pernah sebuah
perselingkuhan.
Aku mengingat ketika aku dicium oleh
mantan kekasihku dan ia meradang. Aku tak mengulanginya. Aku punya puluhan
skenario tentang bagaimana memberi seorang lelaki pelajaran agar tak
berselingkuh, tetapi aku tak melakukannya karena bagiku kesetiaan bukan
ditanamkan. Kesetiaan lebih alamiah dan oleh sebab itu, sekali kau
melanggarnya, kau akan terus melanggarnya. Lagi dan lagi.
Aku meninggalkan ayah Jingga. Agar
dia kembali belasan tahun lagi dengan tiga anak dari seorang istri dan tangis
di pipi.
Sebuah
rumah, 27 April 2018
Comments
Post a Comment