Anak Baru

Halo.

It’s been a while. Sejujurnya nggak pengin nulis begini di awal blog karena kalau diteruskan selalu akan sama: saya yang nggak pernah lagi update dan malah berusaha menyibukkan diri. Satu sisi saya mengatakan “syukurlah, kamu bisa lebih sibuk dari sekadar nulis tanpa tujuan”, sementara diri saya yang lain tersedak setiap kali saya merasa bahwa saya terlalu jauh melangkah tanpa bisa duduk dan mengamati; seperti yang saya lakukan setiap kali saya di sini. Menulis begini.

Bisa dikatakan ini hanyalah keegoisan saya semata. Saya terkadang nggak pengin membebani pikiran saya dengan hal yang tidak penting (but here we are), apalagi sampai membuat orang lain membaca tulisan saya. Ugh, lets just pretend that I’m talking to you since we don’t have any specific agenda here.

Tahun kemarin saya praktis nggak melakukan apa-apa (jika kalian lihat dari blog ini). Meski sejujurnya saya masih merasa gamang dengan bagaimana saya akhirnya menjalani tahun itu dengan *cough* baik-baik saja. Tiba-tiba sudah 2019 dan saya masih baik-baik saja. Masih dengan saya yang berusaha membaca lebih dari biasa (tolong, dong, jangan mengabaikan kata ‘berusaha’), menulis seperti biasa, dan mungkin sedikit berpetualang. Ketahuilah, hal terbesar yang menahan saya nulis diari di sini adalah karena saya nggak pengin menjustifikasi pandangan saya sendiri. Seperti yang saya dapati pada tulisan-tulisan saya yang lalu. Saya bukan orang yang pintar dan sempurna. Pandangan-pandangan saya masih merupakan turunan dari orang lain yang karyanya saya baca atau orangnya saya temui, dan terkadang saya merasa memutuskan ikatan dengannya setiap kali saya selesai menulis. Saya merasa saya nggak pengin menyimpan terlalu banyak padahal usia saya masih segini.

Setiap kali saya kepengin berkata kasar atau kesal dengan perilaku atau sikap orang lain, saya selalu berusaha menempatkan diri saya dalam posisi mereka dan tiba-tiba kemarahan saya menguap entah kemana. Mungkin hal ini juga ditambah pembacaan tergesa saya atas Filosofi Teras-nya Henry Manampiring sehingga saya semakin lama semakin nggak pengin berkecimpung dengan kekacauan orang lain. Hal ini membuat saya semakin nggak pengin mengeluh. Di Twitter, saya Cuma retweet lelucon witty. Di Instagram saya semakin nggak menemukan caption untuk foto apalagi instastory. Di Facebook saya menghapus amalan-amalan buruk seperti status atau foto alay. Saya membatasi pertemanan saya di media komunikasi privat seperti Line dan Whatsapp juga karena saya merasa nggak ada yang dibutuhkan orang lain dari saya. Setiap kali menemukan kehebohan, kejahatan, atau kebodohan orang lain, saya biasanya geleng-geleng kepala, menghela napas, lalu tekan report. I never blocked anybody karena saya nggak pengin ‘tidak selesai’ dengan diri saya sendiri (pengecualian untuk grup-grup cranky di Line ataupun akun-akun usang orang lain yang entah pemiliknya ke mana). Mungkin saya terinspirasi tokoh-tokoh dalam Haruki Murakami yang living a pretty secluded live atau beberapa pembunuh dari film-film physchological thriller.

Saya bukannya pengin menjadi transparan. Sebab orang-orang yang berteman dengan saya pun boleh tahu kabar saya dari komunikasi kami yang bisa saja berlangsung sehari-hari. Saya nggak membatasi pertemuan dan dengan senang hati nongkrong di mana saja. Hanya saja sebagai orang yang kebanyakan berdiam diri, saya lebih banyak melewati waktu dengan pekerjaan yang bisa dibilang membosankan sehingga sesering apapun saya pergi, saya akan kembali ke ruangan saya sendiri dan membereskan apa yang sudah saya sanggupi.

Well, sejauh ini... saya nggak tahu rasanya jadi dewasa.

Apakah saya jadi lebih bijak, lebih pintar, lebih mampu menahan emosi, lebih taktis, lebih multitasking, lebih bertanggung jawab, lebih membosankan, lebih cerewet, lebih tenang, atau yang lainnya. Sejauh yang saya tahu, beberapa orang yang saya temui merasa bahwa saya sudah cukup umur untuk mulai melangkah ke tahap yang mereka harapkan: bekerja di sebuah korporasi secara resmi dari pagi hingga sore kecuali pada akhir pekan, menikah dengan pasangan setelah memiliki aset, atau keduanya. Saya jarangkali membawanya sampai ke hati. Saya masih berkecil hati sebab masih banyak yang belum saya ketahui. Saya cukup bodoh dalam banyak hal, tetap emosional, terkadang banyak pikiran, dan jarang membaca dua literatur di saat yang bersamaan.

Ah, satu hal yang saya tidak suka dari menulis begini adalah karena saya berakhir menceritakan tentang diri saya sendiri.



Tahun 2019 sudah demikian bergulir dan tahu-tahu sebentar lagi sudah lebaran. Saya tidak kepengin mengecilkan usaha saya untuk ‘bertahan hidup’, tetapi saya rasa orang lain punya lebih banyak cerita dibanding saya dan terkadang saya lebih suka menjawab pertanyaan daripada menjelaskan sesuatu untuk memuaskan entah-siapa-dimana.

Di tahun ini, saya mulai memutuskan prioritas, arah, dan keinginan saya. Saya mulai menyeleksi mana yang saya butuhkan dan saya inginkan, dan bagaimana saya bisa berbahagia tanpa berpikir-pikir lebih lanjut setelah melakukan sesuatu. Saya selalu bilang pada diri saya sendiri bahwa saya tidak dalam stage untuk memilih atau melakukan sesuatu yang signifikan tetapi saya selalu mengakhiri hari dengan mengutuk kealpaan yang saya lakukan; setiap kali.

Mungkin saat ini, saya sedang dalam mood ‘tidak butuh duit untuk merasa fulfilled’ (yang mana frasa ini akan saya maki-maki di kemudian hari–look, I’m cheap–). Saya merasa sedang chilling low karena tidak butuh pengakuan dan tidak ada yang dikejar. Ketahuilah di tahap ini, saya merasa setiap mimpi-mimpi saya mati tak berbekas dan hanya bisa dipulihkan dengan maraton membaca karya-karya Hirata, Steinbeck, and a small amount of Doyle (mungkin juga Sitta Karina, di siang yang panas begini). Saya ingat momen ini ketika suatu kali saya butuh medan berperang dan Tuhan menyediakannya dengan pantas. Yang tidak saya ketahui adalah butuh sekian lama untuk kembali pada di tahap ini. Sudah saya bilang, hidup ini adalah perulangan-perulangan yang tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Saya belum menyelesaikan Bakunin dan tidak berniat beranjak pada biografi lainnya. Lalu demikian mudahnya merasa hidup saya nggak berguna.

Well, kalian pasti pernah merasakan hal yang sama. Dan seperti biasa, saya tak pernah menyediakan jawaban. Pasti ada satu waktu dalam hidup kita saat sedang antre makan di warteg, mengerjakan laporan, berjalan ke kantor atau kampus, bahkan ketika sedang bernapas dalam satu hari yang terasa panjang, kita merasa diri kita adalah the most insignificant human being in 20th century. Kemudian apa yang disebut orang sebagai ‘pikiran buruk’ mulai menyambangi, malamnya kita tidak bisa tidur dan berakhir menikmati hari yang dikompensasi. Menjadi tidak produktif sebelum dilecut untuk terpaksa bangun dan melupakan semuanya. Reset dari awal lagi.

Saya pernah bilang kepada seorang kawan bahwa saya tidak ingin dipandang dari produktivitas saya. Saya bukan produk, dan pekerjaan saya jarangkali memproduksi sesuatu. Apalagi yang kasat mata (I’ve been paid by wire transfer so you know what I’m talking about). Saya merasa tidak senang ketika seseorang mempertanyakan apa yang saya hasilkan baru-baru ini atau seumur hidup saya lebih karena hal itu membuat saya semakin insignificant dan pointless. Ditambah lagi saya nyaris bukan bagian dari apa-apa. Saya tidak tergabung dengan aktif dalam alumni lembaga saya bernaung seumur hidup. Saya tidak terdaftar sebagai pegiat seni di mana saya umumnya senang bermain. Saya tidak tercatat sebagai staf korporasi manapun. Dan diam-diam saya kepengin banget keluar dari grup wa keluarga. Saya merupakan bagian dari permasalahan utama anak muda di negeri ini: keengganan untuk bergabung dan mengubah sesuatu. Saya pengin bilang bahwa hal ini disebabkan paranoia generasi sebelum saya yang dihantui bayang-bayang teman lama menghubungi via BBM untuk menawarkan MLM atau disamperi mbak-mas di kampus untuk membayar sejumlah uang demi bergabung bersama ikatan penyebar voucher rumah makan dan tempat karaoke. Ketahuilah, kekhawatiran kami beralasan. (Buat para anggota MLM dan penjaja voucher, I’m with you guys. Saya tahu rasanya diberikan harapan setinggi langit baik itu kapal pesiar maupun bunga di bank. I have nothing against you and we are all trying.)

Yang saya pengin bilang di sini, saya bukannya tidak menemukan tujuan hidup, tetapi saya tidak punya identitas untuk bahkan meraihnya. Saya kepengin bilang kepada diri saya bahwa its completely alright karena ya... banyak jalan menuju Roma, dan mulai dari minus nol tetap saja ‘memulai’. You choose what you gonna do.

Bahkan terkadang saya memikirkan puluhan jalan yang bisa saya tempuh dan tetap saja nowhere to be found mendekati apa yang saya inginkan. Inilah yang saya bilang memilah prioritas. Bahkan untuk sekadar impulsive mission saja saya mulai tacky kepada hal-hal semacam makan di tempat yang saya maui, tidak lupa bawa kunci rumah, atau menyelesaikan beban setrikaan.

Teman-teman, maafkan saya kalau di padang mahsyar kelak yang kalian lihat hanyalah kegiatan saya duduk di depan laptop mengamati humor tentang Sandiaga Uno di twitter, joget saat memutar lagu Kimcil Kepolen-nya NDX Familia, berusaha merepet menggunakan bahasa Inggris ketika membereskan jemuran, atau membantu adik saya yang kakinya sering cantengan. Dosa terbesar saya saat ini adalah daftar pustaka yang tidak tercatat. Jika benar yang mereka bilang bahwa Tuhan itu adil, maka saya anggap screentime masa hidup saya akan sama dengan Erdogan maupun Escobar, sehingga yang kalian lihat hanyalah jam tidur saya yang amburadul atau nongkrong sambil ngakak-ngakak diputar dalam continous loop.

What a waste afterlife!


           
Saya mendapati beberapa orang mengatakan pada saya bahwa mereka atau orang yang mereka kenal membaca blog saya dan pikiran saya langsung mengeluarkan impuls yang sama ketika pasangan saya bilang “aku mau ngomong sesuatu”. Apa yang sudah kutulis?!?!?!1111 adalah kegelisahan utama saya bahkan setelah saya memfilter benar-benar apa yang sudah saya tulis sebab saya masih berharap kelak saya akan menjadi someone important sehingga apa yang saya tulis bisa saja berimbas langsung pada hidup saya (lets put that aside and let me slide, alright you guys?!).

Fakta bahwa benar-benar ada orang yang membaca blog saya membuat saya tak tahu harus bereaksi apa. Sama seperti orang yang berkomentar bahwa blog saya kurang nendang atau tulisan saya kurang bagus. Seriously what you want me to do guys????!! I’m trying to make a life here... Ha ha. Kidding. Input apapun yang diberikan pembaca saya *sobs* selalu saya senangi, baik itu komentar di blog, obrolan ke teman kalian yang sampai ke saya, mention tidak langsung, atau DM di media sosial. Little did I know, ada beberapa yang menanggapi dengan serius apa yang saya tulis. Well, not here. Maksud saya, puisi-puisi saya yang dipublikasikan secara massal (beda dengan resmi, ya guys) dan sengaja. Berbagai mitos dan perspektif dikaitkan, sehingga saya tak tahu mana lagi yang benar. Saya hanya mengenali diri saya ketika menuliskannya dan saya mungkin berbeda sekarang, tapi saya tak ingin mengubah tulisannya.

Hal ini sejujurnya membuat saya merasa tak enak juga karena saya nyaris tak pernah blogwalking atau menanggapi tulisan orang lain secara serius.

Tak peduli seberapa besar efek yang ditimbulkan suatu karya terhadap saya, saya hanya akan menyimpannya sendiri. Not even bother to post it on anything. Paling-paling menuliskan sebaris kalimat di lembarannya atau dengan serius menyarankannya dibaca orang-orang yang saya kira ‘tepat’. Saya merasa tak adil sebab saya adalah pembaca yang dibilang pasif sementara saya tahu senangnya membaca tanggapan orang lain terhadap karya saya. Saya kepengin bilang bahwa buku-buku yang saya baca mengubah saya tetapi 1) tentu saya nggak bisa melakukannya sepanjang waktu, 2) saya merasa cukup ketika melihat penulis-penulis tersebut disirami pujian dalam post media sosialnya, dan 3) just to know that they are alright, I’m happy to buy their another or upcoming book. Sesederhana semoga mereka sehat selalu sehingga bisa menulis dengan baik dan mencerdaskan banyak orang (saya juga, semoga saja). 4) Saya nggak siap dengan judgement orang lain tentang apa yang saya baca sebab saya cupu.

Saya belum di tahap itu, jadi ketika orang-orang memberikan tanggapannya, saya sangat berterima kasih. Saya ingin tumbuh bersama tulisan saya sebab ingatan saya menjadi demikian kabur terutama ketika tidak digunakan. Di sisi lain, saya merasa perlu banyak belajar untuk menjadi saya yang saya ekspektasikan semasa kecil. Sama seperti saya mendapati pembaca-pembaca ‘kecil’ saya juga tumbuh, membaca banyak karya lain bahkan lebih baik dari saya.

Ugh, saya tidak pernah memaksudkan ini sebagai memoar. Saya masih kepengin menulis, thank you very much.

Yang saya kepengin bilang sebenarnya adalah meski acuh tak acuh, saya sebenarnya cukup mudah terpengaruh lingkungan. Terutama pada gloomy days di mana saya hanya ingin menguburkan kepala ke dalam selimut di ruang yang dingin. Saya memikirkan betul apa yang dikatakan dan dilakukan orang lain baik terhadap maupun di depan saya. Saya tidak bilang untuk “jangan melakukan sesuatu yang buruk terhadap saya karena saya selalu kepikiran”, tetapi suatu tindakan dan ucapan mengindikasikan sesuatu bagi saya sehingga saya yang akhirnya overprocessing something. Dan hal demikian tentu dialami teman-teman lain. Yang saya pelajari selama ini adalah, ada masa di mana kita nggak akan bisa menyuruh atau meminta orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu (yang mana sering terjadi), sehingga kitalah yang bisa melakukan sesuatu terhadapnya. Sesederhana dengan tidak memikirkannya dan mencoba mengendalikan emosi sebaik mungkin. Its damn hard, tentu saja. Saya masih belajar dan terkadang merembes juga ketidaksabaran itu. That is why we need a good company.

Or I’ll ended up in some bad situation (percayalah ketika saya bilang ‘bad situation’, bukan berarti saya akan membunuh atau dibunuh orang, melainkan air mata merembes tanpa terkendali melihat sebuah reality show). It’s a nerve wrecking moment, you guys. Don’t judge me.

So... keep healthy. That’s all what I wanna say. You do you.



In the end of this post, saya berharap bisa menulis lebih sering tanpa peduli dengan ada tidaknya pembaca. Sebab saya tahu inilah yang seharusnya saya lakukan. Menulis seperti ini ialah salah satu human moment buat saya. Saya harus mengakses informasi yang ingin saya sampaikan dan seringkali berupa serpihan-serpihan kecil tak berguna di sana-sini sehingga cukup memakan waktu dan tenaga. Saya juga harus menjaganya relate dengan kondisi sekarang. Belum lagi mencoba sebisa mungkin menuliskannya secara runtut dan tidak terlalu meng-expose siapapun. Dan berusaha mengenakan sepatu orang lain, it worked in the other day.

Jadi sebagai disclaimer saja, blog saya bukanlah one stop information platform tentang how to cope with low self-esteem atau apakah-kamu-introver-atau-ekstrover. Sebaliknya, saya kepengin menjaga diri saya tetap low, memperbanyak bacaan saya, dan menyelesaikan diri saya sendiri. Yang mana tidak akan selesai, sehingga seperti itulah saya akan menjalankannya.

Look, I’m definitely not making my mom proud here. Let’s say that we happy to be alive and keep the insanity awake. That’s make our world a better place. That’s make our self a better human being. (or that just my thougt)




(don’t come at me because I use a lot of ‘guys’, you punk. I’m a milennial trying to make a living as a failed product of this century. Just don’t start with me)


Lilac in the spring.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)