Kuliah itu Enak Tidak

Saya ingat, beberapa tahun lalu saya risau karena kesusahan dalam mengoperasikan komputer. Sejujurnya tidak hanya komputer, kecelakaan yang saya alami membuat saya nyaris memiliki hampir seluruh kesulitan di dunia ini terutama dalam menggunakan kedua tangan. Namun dibanding hal-hal lainnya, ketika saya sudah dalam kondisi yang tenang, kesusahan mengoperasikan komputer saya rasa adalah yang paling mengganggu. Hal itu membuat saya harus beristirahat selama beberapa waktu dan menghabiskannya dengan melakukan apa saja selain beraktivitas normal.

Ada alasan-alasan tertentu mengapa saya akhirnya memilih terapi diri dan tinggal di rumah, tetapi selebihnya adalah keinginan saya yang sebenarnya agar lekas pulih dengan sempurna. Sampai sekarang, saya masih dapat merasakan luka di lengan saya tetapi seiring waktu berjalan, nyaris tak ada masalah yang saya utarakan berkenaan dengannya.

Hal yang paling saya rasakan selama beberapa waktu tinggal diam adalah keinginan saya yang menggebu untuk kembali berkuliah. Saya ingat rasa yang tertinggal ketika akhirnya saya harus meninggalkan bangku perkuliahan di tengah jalan dan mendadak semua proyeksi saya hilang begitu saja. Ada banyak hal yang bisa saya lakukan jika kondisi saya memungkinkan, dan pikiran-pikiran seperti ini makin membuat saya merasa ‘saya tidak selayaknya berada di tempat saya’.

Saya pikir semua orang pun akan merasakan hal yang sama jika mereka dipaksa meninggalkan bangku pendidikan di tengah-tengah dorongan belajar yang sangat menunjang. Jadi ketika saya mendapati diri saya ditanya, “kuliah enak tidak?” dan “jurusan kamu enak tidak?” saya tidak tahu harus menjawab apa.

Yang saya pahami, berkuliah dengan tunjangan finansial yang mumpuni tanpa harus menghabiskan waktu untuk bekerja habis-habisan sudah merupakan kenikmatan dan tidak semua orang mendapatkannya. Pendidikan selepas SMA memang terkadang begitu kabur sekaligus gamblang sehingga saya selalu mendapati beragam masalah yang timbul baik dari dalam diri sendiri, maupun di lingkungan sekitar. Saya merasa hal ini adalah salah satu kemewahan bagi saya sehingga sebisa mungkin saya tidak ingin menyia-nyiakannya. ‘Sebisa mungkin’ artinya saya akan berjuang semaksimal saya untuk itu.

Terlebih lagi, saya mendapati kata ‘enak’ memiliki banyak arti dan sangat bergantung pada preferensi. Apa yang saya anggap enak kurang lebih berbeda dari apa yang dianggap enak oleh orang lain dan begitu pula sebaliknya. Pengalaman saya mengajarkan banyak hal sehingga terkadang saya begitu rancu untuk bahkan memilah mana yang setidaknya tepat untuk dijadikan jawaban. Saya tidak kepengin terlihat menggurui, sombong, merendahkan diri, atau meremehkan. Di sisi lain, saya tidak tahu apakah orang lain juga merasakan ‘kuliah itu enak’ seperti yang saya pahami.

Umumnya saya akan mencoba menjawab sewajar mungkin. Tentang kampus saya yang teduh dan memiliki kesan yang ‘dekat’, pengajar yang suportif dan selalu mendorong pemikiran siswa, tempat tinggal saya yang sederhana, lalu ditunjang dengan keterangan garis besar seperti kota tempat saya berkuliah yang punya banyak tempat menarik untuk dikunjungi, rerata harga-harga makanan sampai kebutuhan sehari-hari, komunitas-komunitas yang hidup dan menyala setiap hari, dan seterusnya. Terutama bergantung kepada orang yang bertanya pada saya. Saya tidak ingin promosi sebab saya menganggap bahwa kampus saya bukan yang terbaik dan tentu saja semakin banyak orang di sini maka akan semakin singup kota ini. Namun dengan apa yang saya miliki dan kondisi saya, saya bisa mengatakan bahwa semua unsur tersebut sudah lebih dari cukup. Saya tidak berbohong untuk mengusahakan yang terbaik, dan inilah yang saya dapatkan.

Jawaban ini cukup diplomatis, mengingat lawan bicara saya akan menghela napas atau mengangguk-angguk mengerti. Seperti yang kita tahu, tak banyak sebenarnya yang ingin mereka ketahui selain kehidupan kita. Jadilah setelahnya akan dibuntuti dengan candaan. Sebatas isu-isu yang ada di sini, stereotipe basi, atau pujian-pujian yang tidak berdasar. Saya jadi berpikir-pikir lagi apakah memang jawaban saya dianggap kurang seru dan tidak menarik atau memang sebenarnya pertanyaan itu Cuma sebatas basa-basi. Padahal kalau diruntut…

            Kita perlu punya mimpi-mimpi yang menakutkan.
            Bahkan untuk diwujudkan.

Bertahun-tahun saya berkuliah, hal-hal yang menyeramkan itu menjadi teraih atau lebih seram lagi.

Saya ingat pernah berada di rumah pada siang hari yang terik saat libur panjang ketika sebuah notifikasi masuk ke ponsel saya yang menyatakan bahwa satu nilai saya terpaksa ditahan sebab ada masalah yang belum diketahui. Setelah menghubungi dosen yang bersangkutan, saya berangkat ke kota rantau saya malam itu juga. 10 jam lebih naik bus dan tiba keesokan harinya. Mandi seperlunya dan berganti pakaian, saya langsung ke kampus dan mendapati tiga orang teman saya dengan masalah serupa, mengantre di depan ruang dosen.

Kami ditemui bersama-sama, lalu beliau menjelaskan bahwa nilai kami belum keluar karena beliau menyayangkan satu tugas kelompok yang belum kami kumpulkan. Tanpa berdebat tentang tugas yang hilang, kami langsung bergerak taktis: mengambil fail dan mencetaknya siang itu juga. Lalu diserahkan. Dosen tersenyum dan mengatakan dengan tulus tentang bagaimana beliau meminta maaf lantaran membuat kami panik di tengah-tengah libur panjang. Kami juga meminta maaf tentang keteledoran kami dan perbincangan tentang ‘ke mana tugas yang sudah dikumpulkan’ itu terhenti seketika.

Dengan langkah kaki yang panjang dan helaan napas yang lega, kami pulang. Saya menyempatkan diri makan di sore hari saat mendapati sebuah nomor asing menelepon ke ponsel saya. Saya mengangkatnya dan mendapati suara seorang pria yang menyatakan bahwa ia menemukan dompet saya tergeletak di pinggir jalan, di wilayah Karang Anyar. Saya pucat pasi menyadari bahwa dompet saya memang tak ditemukan di manapun. Rencana kembali ke kota asal saat itu juga pun urung. Saya berkontak dengan ‘si penemu’ dompet yang mengatakan telah menitipkan dompet itu ke seorang penumpang bus tujuan kota rantau saya dan meminta saya menjemputnya di terminal. Sebagai balasan, ia meminta saya mengirimkan sejumlah pulsa dan tanpa banyak bicara saya lakukan saat itu juga.

Ketika akhirnya dompet itu berada di tangan saya, uangnya telah raib. Namun untunglah semua kartu identitas dan rekening masih aman. Malam itu, larut sekali, saya kembali pulang ke kota asal. Setelah ditelusuri, ternyata dompet saya dicuri orang dari tas yang saya tinggalkan di bus ketika istirahat makan.

Atau cerita tentang bagaimana saya menggagalkan mata kuliah bahasa asing satu-satunya karena mengorbankan jam kuliah dengan latihan ketoprak. Latihannya panjang dan saya harus menghafalkan berlembar-lembar naskah dialog berbahasa krama inggil. Saya mungkin tidak bisa mengatakannya di sini tetapi proses latihan berbulan-bulan itu membuat saya berkali-kali mengalami keresahan dan kesedihan akut.

Atau tentang suatu waktu saya memaksakan diri bertanding basket mewakili jurusan dalam laga fakultas dan berakhir dengan baretan merah di tangan kiri yang membuat saya dilarikan ke unit gawat darurat rumah sakit depan kampus.

Saya juga pernah disemprot kritik keras dosen yang mengatakan bahwa pendapat saya ngawur dalam kelas besar dengan banyak mahasiswa dari jurusan lain. Pendeknya, saya kurang riset dan terlalu senang memotivasi diri untuk mengatakan pendapat dalam kelas yang pasif.

Begitulah pikiran kita bekerja. Ingatan-ingatan sebanyak itu demikian membekas dan membuat saya banyak berpikir. Meski terkadang tanpa hasil.

Namun entah mengapa, tidak sedikitpun saya kepengin bilang ‘kuliah itu tidak enak’. Bahkan ketika menjalani pengabdian kampus di desa terpencil selama empat puluh hari dan mengerjakan tugas seperti membuat lepet dan kue lapis (yang mana tidak ada dalam tugas resmi saya). Saya tidak pernah membencinya.

Saya tahu cerita tentang orang-orang yang tidak nyaman berkuliah di kampus atau jurusannya karena berbagai hal (baik pilihan studinya, dosennya, atau lingkungannya), dan berpikir bahwa ‘alangkah sulitnya’. Saya yang merasa tak pernah membenci saja, masih bisa merasakan getirnya ketika tiba-tiba merasa ada desakan kekecewaan yang muncul ketika saya tak kunjung juga menyelesaikan tugas ketikan dengan baik. Apalagi mereka yang kuliah dengan rasa benci yang tidak dibuat-buat, dibalut rasa enggan, kecewa, dan terutama tak enak kepada orang tua sendiri.

Seperti yang saya tampakkan pada tulisan-tulisan saya sebelumnya, saya seringkali mengalami perubahan perasaan di tengah-tengah berkegiatan. Saya ingat ketika mengambil suatu mata kuliah yang sangat menyeramkan, saya duduk berjongkok selama lebih dari satu jam untuk memaksa saya berkonsentrasi pada layar komputer dan mengerjakan tugas tersebut dengan baik tanpa diserang kantuk. Saya juga ingat ketika saya harus menggarap kritik film dan nyaris menangis mendapati film yang saya inginkan sangat sulit didapat dan literasi yang saya butuhkan tidak tersedia tepat di hari sebelum saya presentasi. Di lain waktu, saya benar-benar menangis ketika mengerjakan tugas-tugas yang bahkan akan ditertawakan oleh orang lain karena dianggap mudah, tetapi hasrat untuk mengerjakan menguap begitu saja. Atau ketika saya benar-benar terbawa bahan yang sedang baca.

Semua itu tentu membuat saya kesal.

Tak peduli bagaimanapun hasilnya, saya selalu berharap dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik dan semestinya. Oleh sebab itu, saya berusaha mendisiplinkan diri.

Pada titik ini, saya menyadari bahwa bagi saya, kuliah itu enak sekali.

Comments

  1. hai nez. I'm so proud of you. Sometimes I want to have your brain wkwkwk. Well, in sort, I wanna say that I adore you. Keep inspiring people :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. I have nothing to say unless thank you so much. I hope you don't see yourself less than other people. Be happy :)

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)