Rencana Pembunuhan Terhadap Kubu Pandawa
Bagaimana rasanya punya rahasia?
Saya pernah takut dengan rahasia,
karena saya memilikinya. Saya tidak ingin orang masuk ke kamar saya, ke diri
saya, ke otak saya. Saya senang menempatkan orang-orang di sekitar saya dan
mengembalikan mereka pada posisi yang seharusnya tiap kali mereka mendekat.
Lalu saya belajar bahwa, rahasia tetap
milik saya. Menjadi saya, karena saya tak gemar menjelaskan tentang saya pada
orang lain. Pada siapa saja. Saya tak pernah utuh mengisahkan sesuatu atau
dikisahkan, sehingga selalu ada rahasia. Menjadi saya.
Sejak kecil, saya selalu ingin punya
rahasia. Denganku, kamu akan mengetahui rahasia-rahasia. Saya ingin
punya teman untuk bisa membagi sorot mata itu. Lalu kami akan menjadi
raskal-raskal kecil dalam dunia yang penuh rahasia. Gelap, terang.
Berbeda dengan saya, rahasia selalu
utuh. Saya bisa memahami dan mengalaminya sepenuhnya tetapi selayaknya rahasia
pada umumnya, saya tak perlu menceritakannya kepada siapa-siapa. Rahasia
menjaga kewarasan saya, dan posisi saya untuk selalu berada pada tempatnya.
Dan kita, punya beragam rahasia.
Rahasia seperti bagaimana saya belajar, buku apa yang saya baca, film apa yang
saya tonton, hingga rahasia seperti pandangan sebenarnya saya terhadap orang
lain, dan pandangan saya kepada diri saya sendiri. Saya, sebagai orang yang
tidak menarik, membalikkan rahasia-rahasia itu. Saya gemar mengatakan betapa
saya punya permasalahan, kegairahan, kebingungan, kekesalan, dan lain
sebagainya. Namun saya menjaga untuk tidak banyak mengatakan tentang apa yang
saya baca, lihat, dan pelajari.
Saya tak mau menjawab pertanyaan guru
di depan kelas, bahkan dikatakan pelit, karena tak mau berbagi rahasia.
Jika saya sudah selesai dengan rahasia
besar, saya akan membuatnya kecil dengan menceritakannya pada orang lain:
membagi-baginya seolah irisan yang sekiranya bisa mengisi percakapan di antara
kami. Lalu hal itu tak lagi menjadi rahasia. Tetapi tak ada yang berubah bagi
saya.
Sebanyak apapun rahasia yang saya
ceritakan, rahasia itu hanya jadi milik saya. Seberapa banyak orang yang
mengetahui rahasia yang saya katakan, rahasia itu utuh dalam saya.
Enigma.
What a beautiful being, pikir
saya. Saya puas, orang-orang bisa menjelaskan dan menceritakan tanpa tahu
rahasia. Selain jenjang rahasia, kita juga punya tahap memaklumi. Menginisiasi
percakapan, lalu memiliki pengalaman orang lain. Saya menuliskan itu,
membacakan itu, memperagakan itu. Lalu saya merasa berhak memilikinya;
mengisahkannya kepada orang lain dan merasa sedih karenanya.
Sejujurnya, saya tidak merasa banyak
punya hak. Bahkan dalam hidup saya sendiri. Seolah dengan ini, saya merasa
bahwa saya bisa berhenti menyalahkan diri saya. Mungkin, saya ingin
menghidupkan bagian dari diri saya yang sebenarnya tak pernah ingin bahagia.
“Daripada berdarah-darah menuju
bahagia, mengapa kita tidak berbahagia saja?”
Saya ingin menulis ulang (lagi-lagi)
tentang bagaimana kita tidak pernah bisa merasa utuh dan meraih keutuhan
tersebut. Bukan kepada “so lets just stop trying then”, tetapi tentang
bagaimana kesadaran kita bisa menjadi diri yang sesungguhnya: what we truly
desire and achieve for.
Rahasia saya yang dipahami, takkan
pernah menjadi saya.
Maka saya kemudian menulis buku.
Untuk membantu saya, menambah rahasia.
Agar saya bisa bertahan hidup.
Comments
Post a Comment