Grown Up

Ibu saya menelepon sore ini.

Saya selalu merasakan kepenatan yang tak enak setiap kali teleponnya saya terima. Saya tahu saya takut. Akan banyak hal seperti disuruh pulang, ditanyai apakah saya bisa makan, mengabarkan pernikahan saudara, tetapi saya lebih takut pada diri sendiri. Setiap kali saya mendengar suara ibu, saya mendengar diri saya minta tolong. Dalam ibu saya, saya selalu minta tolong.

Kali ini, ibu saya memberi kabar tentang seorang saudara yang meninggal dunia. Saya terperanjat, karena saudara yang dimaksud jauh lebih muda dari saya; ia tengah mengenyam pendidikan di suatu kampus di kampung halaman saya. Tipikal pemuda gemilang yang siap mempersembahkan apapun dari dirinya kepada dunia dan keluarganya.

Ingatan saya padanya muncul karena kami dulu biasa bermain bersama. Tahun lalu adalah pertemuan terakhir kami mengingat kali ini saya pun tak bisa melayat. Dalam Grown Ups!, sebuah film komedi Adam Sandler, seorang tokohnya mengatakan “I’m sorry death make me weird”. Meskipun diucapkan sebagai gurauan, saya memahaminya lebih dalam tiap kali berita tentang kematian disampaikan. Seringnya lewat ibu saya.

Saya tidak tahu jelas perasaan saya ketika kabar kematian itu disampaikan. Sedih, takut, cemas, atau mungkin perpaduan semuanya. Seperti kabar dari no man’s land. Saya tidak bisa mengukur jarak antara saya dengan orang yang meninggal. Waktu menerabas semuanya, membuat kami menjadi diri kami sekarang. Namun kami tahu kenangan yang sudah lewat itu ada dan kami menyimpannya sesuai dengan cara masing-masing.

Its hard to imagine how the family would feel.

Ibu saya mengirim foto saudara yang meninggal di grup keluarga kami. Foto itu diambil waktu saudara saya masih sakit. Ia menderita komplikasi paru-paru, liver, dan lambung sehingga tubuhnya kurus kering dan hanya terbaring di atas tempat tidur. Saya tidak bisa melupakan foto itu sebab saya mengingatnya sebagai pemuda yang cerah dan ceria. Apakah saya akan memperlakukannya berbeda jika tahu bahwa salah satu dari kami takkan bertahan selama itu di dunia ini? Apakah saya akan melakukan hal yang sama jika tahu bahwa kerelaan adalah muara segalanya berpulang?

Saya tidak menangis.

Mungkin karena belasan tahun sudah berlalu sejak kami akrab sebagai kanak-kanak, sehingga bagi saya, saudara saya masih si anak ceria yang akan terus hidup. Atau mungkin saya sudah membunuh semua orang dalam ingatan saya, tidak mempedulikan apa yang terjadi pada mereka sekarang.



Saat ini saya sedang menulis di tengah wabah, tidak mengacuhkan tumpukan tugas kuliah maupun deadline pekerjaan. Beberapa bulan berlalu sejak pertama kali wabah diumumkan dan semua orang harus merelakan kesibukannya untuk berdiam diri di rumah. Orang-orang meninggal kemudian menjadi kurva: dihitung perkepala, ditandai, dimakamkan.

Saat saya mendengar kabar kematian saudara saya, yang saya bisa bayangkan adalah ayahnya yang menguruk tanah ke dalam liang, setelah tahunan lalu melakukan hal yang sama kepada istrinya saat melahirkan anak ketiga mereka. It was heartbreaking, bahkan ketika saya masih kecil. Keluarga itu oleng tak karuan sebelum saya kemudian menyaksikan bagaimana mereka bangkit dan tidak kekurangan.

Death make my weird.”

Higgin was back in mind. Well, his mind. He always like that so his friends started to make an assumption when they see him with a bruise in his face. ‘Attempted sex’.

Saya kira, kematian tidak membuat saya merasa aneh; kekosongan iya.



Beliau adalah kakak sepupu dari buyut saya. Tidak seorangpun dari keluarga kami yang berani memastikan usianya, tetapi beliau sudah hidup lebih lama dari siapapun di kampung kami. Bahkan setelah suaminya meninggal. Setelah adiknya meninggal. Setelah orang tua meninggal. Setelah buyut saya meninggal. Setelah nenek saya meninggal. Setelah kakak saya meninggal. Beliau masih hidup sampai sekarang.

Saya mengunjunginya tahun lalu, masih bisa membaui berbagai aroma minyak yang menyengat dari tengkuk dan tangannya yang kisut. Wanita itu selalu mengenakan jarik sehari-hari. Dan kebaya. Rambutnya digelung meski kini tak ada lagi yang telaten mewarnainya hitam seperti dulu. Langkahnya menjadi demikian lamat bahkan untuk keluar dari kamar dan menyapa kami. Penglihatan dan pendengarannya memburuk.

Beliau menyapa saya dengan senang.

Menanyakan kapan saya akan memberinya anak untuk diasuh. Di kampung saya, adalah hal yang lumrah jika anak diasuh oleh bibi, nenek, atau buyutnya. Saya tidak khawatir. Beliau sudah lebih sering menggendong anak dari perempuan-perempuan yang lebih muda dari saya. Itu hanya alasan beliau untuk berbincang sebab sepengetahuan saya, tak ada perempuan dari keluarga kami yang sekolah selama saya: ia tak tahu apa yang harus dikatakan.

“Cuci piring tidak boleh, menyapu tidak boleh, ingin lihat tv tapi mataku sudah tidak kuat dan pendengaranku tidak bagus,” beliau mengeluh untuk yang kesekian kalinya. Untungnya, saya tak menangkap gelagat bahwa beliau mulai pikun. Beliau masih bisa menceritakan hari-harinya dengan tenang padahal anaknya sudah mengadu pada kami, “ibu sudah pelupa. Beliau kadang mandi lima kali sehari karena lupa kalau sudah mandi. Begitu pula dengan salat. Saya pernah lihat ibu salat asar dua kali. Kadang juga tak enak, karena kalau ditanyai orang ‘sudah makan atau belum’, jawabnya ‘belum’. Padahal sudah.”

Kami hanya tertawa mendengarnya.

Beliau hanya ingin meninggal. Setiap kali merasa dirinya tak mampu lagi melakukan apa-apa, beliau hanya mengeluh dengan keinginan agar segera meninggal.

Meski dikelilingi anak, cucu, cicit, hingga canggah, beliau hanya ingin segera meninggal karena tak bisa lagi melakukan apa-apa.

Ibu saya bilang, hal ini karena beliau tak pernah tak bekerja sepanjang hidup. Dari muda hingga tua, beliau menghabiskan waktu di sawah. Berladang. Mengurus ternak. Apapun itu. Beliau bahkan tak pernah makan enak.

“Ibu pernah lihat beliau makan nasi dan ikan asin dengan sambal tanpa tomat. Nasinya keras. Sambalnya tak membikin selera. Waktu ditanya ‘kenapa makannya begitu’ padahal beliau punya sawah luas, jawabannya ‘karena takut nanti makanannya jadi enak. Kalau makanannya jadi enak, nanti masak harus banyak’.”

Saya dan adik saya saling pandang waktu ibu bercerita demikian.

Lalu pembicaraan kecil kami disela. Ayah saya menanyakan apa yang beliau inginkan, “ayo ikut kami. Kita bisa jalan-jalan.”

Beliau hanya mengeluh. Sejak muda, beliau punya mabuk darat, membuatnya tak mungkin bepergian jauh tanpa mual. Sejak saya dan keluarga pindah ke luar kota, hanya sekali beliau berkunjung karena mabuknya.

“Yang saya inginkan Cuma tidur menghadap yang Ilahi.”

Lagi-lagi kami tertawa. Tetapi tanpa saya sadari, tangan saya kuat meremas tangannya.



Ayah saya yang pergi takziah hari ini.

Mengunjungi kediaman saudara yang meninggal untuk berbincang dengan ayah dan nenek saudara saya, lalu ke kediaman kakak sepupu buyut saya itu. Dari foto-foto yang terlampir keluarga saudara yang meninggal tak tampak bersedih. Entah karena memang foto punya kekuatan magis untuk orang-orang di kampung saya sehingga tak layak kami bersedih ketika melakukan prosesi itu, atau karena memang kelegaan sudah meliputi semua orang mengingat tidak ada lagi penderitaan yang dialami saudara saya semasa hidup.

Kemudian Ayah saya menceritakan kakak sepupu buyut saya. Kata Ayah, beliau sudah tak bisa bangun lagi. Hanya bisa berbaring sementara segala kebutuhan dan keperluannya diurus anak-anaknya.

Oh, tidak, batin saya. Saya cemas sebab saya rasa beliau menderita. Meski Ibu dan Tante menghibur saya dengan mengatakan bahwa waktu beliau sudah tak lama lagi, saya tak bisa tenang membayangkan bagaimana wanita pekerja keras itu akhirnya harus berada di ranjang sepanjang waktu. Mungkin tidur bukan lagi tidur.

“Operasi katarak, supaya bisa nonton televisi,” saya ingat waktu itu saya menyarankan. Tetapi beliau menggeleng. Beliau takut. Beliau lebih memilih cepat meninggal daripada merepotkan orang banyak.

Saya ingat saudara saya yang meninggal dan bagaimana saya tak berarti dalam hidupnya. Serentak saya ingin berlari pulang, mengunjungi beliau untuk menjenguknya. Mungkin untuk yang terakhir kalinya.



Lebaran tahun lalu, saya dan keluarga pulang dari kampung halaman menuju kota tempat tinggal kami sekarang. Kami sibuk membicarakan hal-hal yang kami temui tadi, tentang orang-orang yang sudah bertambah tua, bayi-bayi yang baru lahir, hingga berbagai pernikahan yang kami lewatkan.

Ibu saya adalah anak tertua dan ia dibesarkan dengan pemahaman yang jelas mengenai silsilah keluarga kami sehingga kami bisa bertanya apa saja padanya tentang relasi kami dengan budhe ini hingga bapak itu. Ayah saya hanya diam sambil menyetir, sesekali menambahi atau menanyakan sesuatu yang tampaknya selama ini juga ia pertanyakan, namun tak berani dikatakan.

Saya melihat cinta dari spion itu tiap kali Ibu saya menjelaskan dengan lamat tentang kondisi keluarganya. Entah bagaimana, setelah tahunan menikah, Ayah baru mengetahui hal itu sekarang tetapi ia bisa memahami Ibu saya sejak lama.

“Kamu pegang apa?”

Saya yang duduk di samping Ayah, disadarkan oleh suara berat beliau yang berusaha mengusir kantuk di sepanjang jalan pantura yang kami lewati.

“Ah, ini…” saya hanya bisa memandangi toples bekas wadah sosis praktis dengan tutup oranye di tangan saya.

“Dari Mak…” saya menyebutkan nama kakak sepupu buyut saya. “Untuk teman di jalan, katanya.”

Anak Mak punya warung di sebelah rumah. Dari sana, satu-satunya kesibukan Mak berasal. Dalam toples itu, Mak membawakan berbagai macam manisan yang ia ambil sendiri dari toples-toples besar di ruang tengah rumahnya. Jajanan seperti jari-jari, makanan kecil dengan manisan warna-warni di atasnya, hingga permen jeli. Semuanya terserak begitu saja, bahkan patah jadi beberapa bagian karena Mak tidak hanya asal memasukkan, tetapi juga memastikan semuanya masuk untuk saya.

Mak tak hanya memberikan toples jajanan. Beliau juga menyelipkan selembar-dua lembar sepuluh ribuan ke tangan kami. Saya dan adik-adik. Tak peduli betapa saya menggodanya untuk tidak meninggal lebih dulu sebab saya ingin menghadiahinya anak, bagi Mak, saya tetap anak-anak yang butuh uang untuk beli minuman ringan atau es krim. Anaknya.



I’m gonna watchGrown Ups!so I could spare my time laughing over it and crying over ‘this’. Texture and mixture. Well, “sorry, death makes me weird”.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)