the idea of sharing
Life is weirder when you don’t have friends.
Its like an epiphany of language. Once I flick the button, I came to lights. Where I left barely exposed. Barely naked. Bare. Yet no one seems to grasp the idea of being a living thing. We share the same sentiment, the (purposedly) same sense, yet we set off from the different kind of foreground that kinda destructing us to the way we wanted it to be.
Life sure is weirder when you have
a consideration. The living consciousness that wait to be relieved.
Saya membaca tentang sub-bab subjektivitas sebelumnya. Tentang ‘sesuatu’ dalam diri kita yang belum dijamah, atau sudah dijelajahi tapi tak bernama. Daripada itu, seperti yang sudah dipelajari sebelumnya, pada dasarnya manusia belajar tentang manusia dan alangkah ceroboh serta kaburnya kita saat mencoba merangkai kesemua pemahaman itu dalam sebuah landasan epistemologis. Manusia (memang) makhluk yang aneh.
Seperti hal itu, memiliki kesamaan atau perbedaan yang dapat ditolerir sebenarnya upaya untuk menjembatani perasaan antarmanusia, membahasakannya menjadi sesuatu yang tak lagi bernama, tetapi ada. Bernapas, berjuang hidup, dan dalam hal tertentu, menggerogoti manusia. Saya berharap saya sedang menulis puisi sekarang, tapi tidak. Saya tidak sedang menulis puisi, tapi hal ini menengarai fakta bahwa kita tertelan makna. Makna yang kita ciptakan sendiri akan diri kita, seperti bercermin di kaca yang rusak dan kita berusaha satu demi satu mengoleksi dan meraih bayangan dari bagian-bagian yang terpisah di dalamnya.
Sementara pada dasarnya, itulah yang membentuk kita. Mungkin menjawab, tapi juga bisa menuntut dan mempertanyakan. Jadi dalam kehidupan, kiranya kita memilih meletakkan hal-hal itu kepada tempatnya.
Lambat laun, saya rasa, perputaran
dalam hidup merupakan repetisi yang kita anggap penting-penting saja. Saya
terbangun setiap hari dengan cara yang sama, tapi karena saya hanya mengejar
hal-hal besar yang saya nantikan, hal-hal semacam ini saya abaikan dan kemudian
saya pisahkan dari bagaimana saya menyadari bahwa beginilah kehidupan saya
jalankan.
Seperti keterpisahan. Saya
memahami bahwa makna juga harus terpisah. Maka dalam satu tahap terpenting di hidup
saya, saya memisahkan diri. Dari banyak orang. Memilih melepaskan dan
mengaitkan. Membantu dan mengabaikan. Membantu mengabaikan. Menjalani segalanya
sebagaimana mestinya, seperti halnya falsafah hidup manusia pada umumnya sebab
kita tidak pernah mengira kita akan menjadi demikian… insignifikan.
Jadi saya tidak ingin mengeluh. Mungkin
itu yang ada dalam pikiran saya, ketika pertama kali saya menginjak kota ini
dengan kamar mandi yang jorok, kamar yang sempit, kunci yang sering macet. Dan
langkah-langkah kaki kecil yang sama sekali tak ternilai. Gila rasanya, saat
saya justru bersedia dan membayar untuk perasaan terasingkan semacam itu. Hal
ini semakin terasa saat saya sudah banyak menghabiskan waktu dengan bergantung
pada orang lain sebab jujur saja, saya orang yang indecisive. Dalam
waktu-waktu tertentu, saya ingin menyenangkan orang lain sehingga saya percaya
(mungkin sampai sekarang) bahwa saya tidak pernah punya preferensi tertentu.
Mungkin saya lebih ingin punya gambaran akan keputusan terhadap hal yang besar
dan selama hal itu hanya berimbas pada diri saya sendiri, saya akan menjadi
lebih oportunis.
Menjelaskan keterasingan di tanah
yang sesungguhnya sedekat urat nadi bukan hal yang mudah. Di awal, saya menghabiskan
banyak waktu dengan menyendiri. Tujuan besar yang saya gadang-gadang sebelumnya
usang bersama puluhan ribu mahasiswa baru lainnya. Melebur di jalanan dan digilas
ulekan di warung-warung perempatan. Lalu di tahun berikutnya, daripada
direntangkan jarak, saya merentangkan jarak.
Saya ingin membatasi diri dari
hal-hal yang tidak perlu sebab saya kira, sebagai manusia kita tidak pernah
layak bersedih sendiri. Malam-malam di boulevard, bersepeda dengan kayuhan yang
tak seirama sementara saya dan teman-teman saya merajut mimpi-mimpi kecil
tentang bagaimana kelas esok dijalankan. Hidup di saat itu… penuh perubahan.
Perasaan, hari, sakit, semuanya silih berganti dan menyajikan sebuah kenyataan
tentang keterpisahan yang semestinya.
Saat itu, saya berhenti menggugat
apa saja.
Tidak ada yang punya jawaban
tentang mengapa kita hidup menjadi demikian.
Mungkin ada asumsi yang lirih.
Tapi hal itu kian kabur. Mengabur dan mengamini bahwa pada jarak yang semestinya
ketidakterikatan itu adalah yang kita perlukan.
Lalu selanjutnya, saya belajar bahwa untuk menggenapi diri menjadi utuh, kita mencacah bilangan; merupakan semua jawaban sesuai dengan konteks-konteks kecil seperti mengapa kita suka susu di kopi atau teh, atau apakah layak menyajikan tomat di piring mi instan. Saya tidak pernah menjadi utuh, tapi upaya ini tidak pernah sia-sia.
Dari segala hal yang ada, justru kita belajar berpuas dari ketidakmampuan kita menjadi sempurna. Hal ini juga tidak akan bisa tercapai, tapi tidak ada yang sia-sia.
Dalam kereta yang bergerak ini, saya selalu bertanya-tanya apakah saya punya tempat lagi di bumi ini. Sudah terlalu banyak orang, ruang, potensi, dan hal-hal yang digali hingga seringkali saya menemukan bahwa tak ada lagi kesempatan bagi kita untuk menjadi diri sendiri dalam lautan manusia yang juga menjadi dirinya masing-masing.
Namun semakin lama, 'menjadi diri sendiri' mengembalikan saya kepada sense of ketidakapa-apaan, di mana tidak ada yang perlu saya buktikan sebab diri saya mengerti saya sendiri. Biar bagaimanapun, saya selangkah lebih dekat menuju hal itu dan terkadang perasaan kita saat 'menjadi' itu yang selalu asing kita pahami.
Comments
Post a Comment