Sampai Kapan Saya Melakukan Ini?

Pagi ini, saya ditanya, “Apa tidak capai?”

Konteksnya, beberapa waktu belakangan saya gemar mengunggah aktivitas saya saat berkegiatan di alam. Meski hanya bisa pergi di akhir pekan, tapi tak jarang saya mengunggahnya di waktu-waktu luang saat hari kerja. Tanpa tujuan tertentu, mengingat saya kurang suka berondongan mengunggah sesuatu di media sosial dan terkadang saya amat kangen dengan perjalanan itu, terutama saat saya merasa sedikit suntuk karena terkungkung pekerjaan.

Lalu di tengah-tengah kota yang hiruk-pikuk, seorang sahabat saya bertanya bagaimana caranya saya bisa punya tenaga untuk semua kegiatan itu. Selain bekerja, saya tidak hanya mendaki, tapi juga lari dan masih nongkrong dengan teman-teman. Wajar jika orang mungkin bertanya apakah saya tidak merasa lelah. Terutama karena saya sendiri sering bilang bahwa saya bukan tipikal orang yang gemar menghabiskan waktu di luar ruangan. Bukankah tidak mungkin saya betah menghabiskan tiap akhir pekan bertualang jika saya tidak suka berkegiatan di luar ruangan?

Terkadang, saya merasa tidak enak karena sering tidak enak hati.


 


Saat akhirnya pindah ke kota ini—seperti halnya banyak orang lain—saya merasa bahwa saya akan menemui kehidupan yang baru.

Saya tidak hanya tercerabut dari tempat yang saya akrabi, tetapi juga dilesakkan sedemikian rupa ke ruang padat yang orang nyaris sesak bernapas di dalamnya. Jadi, saya tidak pernah punya ekspektasi. Terutama karena kepindahan saya dilangsungkan dalam waktu singkat. Tidak banyak kesempatan untuk berkontemplasi, merenung, gundah, bahkan untuk sekadar merasa bersedih. Tahu-tahu saya sudah harus mengepak sekoper penuh senjata untuk bertahan hidup dan berangkat dari Surabaya.

Kepindahan ini tidak saya ketahui sampai kapan. My very own great migration sudah terjadi sebanyak dua kali. Dan meski sulit menghadapinya, lama-kelamaan saya toh terbiasa dan betah juga. Probolinggo dan Yogyakarta adalah “rumah” bagi saya. Sebelumnya saya tak pernah membayangkan akan pindah ke kota lain dalam waktu yang lama. Sejujurnya, saya merasa berkecukupan tinggal di Probolinggo bersama keluarga saya. Kendatipun begitu banyak orang yang mengatakan bahwa Probolinggo tidak akan membawa apa-apa bagi saya. Mungkin itu hanya cara mereka mengatakan bahwa saya sendiri tidak akan membawa apa pun bagi Probolinggo, jadi “feel free to go”.

Namun seperti halnya arus nasib membawa kita semua ke muara yang tidak pernah kita ketahui ujungnya, tahu-tahu perjalanan semalam saya membawa saya mendarat di kota ini. Lalu tak butuh waktu lama, saya kembali beradaptasi di lingkungan kerja yang baru.

“Bekerja.”

Bukankah kata yang asing dan begitu membosankan. Sebagai bagian dari masyarakat kelas menengah (semoga tanpa ngehe), kata itu mungkin sudah terlalu lama berdengung sehingga mungkin saya sudah terlampau bosan. Kata itu sendiri perlahan kehilangan esensi, tereduksi fakta bahwa di satu titik dalam hidup, kita harus ditampar kenyataan yang tidak terelakkan. Bekerja menjadi semakin membosankan sebab ia punya rutinitas berisi pola-pola yang berulang dan saya selalu takut merasa bosan.

Meski terlalu banyak ketakutan yang baru sekarang saya sadari, saya toh tetap berusaha teguh menjalani “hidup yang baru” ini. Saya tidak pernah punya momen turning back sebab saya tidak yakin ada hal-hal yang patut untuk diulang. Jikapun diulang, hanya ada dua opsi yang bisa terjadi: semua akan berlangsung sama dan tidak terjadi apa-apa, atau bahkan lebih buruk. Jadi saat saya menyetujui tawaran ini, saya memutuskan mengakhiri satu karier saya dengan matang dan terjun.



 

Pada suatu masa ketika SMA, saya sibuk mengurus organisasi internal sekolah yang mengadakan lomba-lomba olahraga tiap akhir pekan dalam rentang waktu tiga bulan. Saya tidak hanya harus pulang lebih sore di hari-hari biasa, tapi juga harus ada di sekolah saat hari libur tiba.

Di hari Minggu yang menjemukan, saya biasanya pergi ke sekolah dengan berlari. Jaraknya hanya 6 km. Saya sendiri nggak selalu berlari, lebih banyak jalannya. Terutama karena medan yang tidak begitu mendukung. Waktu itu, saya hanya kepengin sehat dan terlihat aktif. Saya nggak punya bakat di bidang olahraga, jadi saya merasa butuh aktualisasi diri dengan satu-satunya hal yang saya bisa, yakni berlari. Itu pun juga nggak bagus. Saya sering sesumbar bahwa saya paling benci lari. Dulu, hal ini katakan karena saya juga nggak kepengin terlihat payah-payah amat. Setidaknya kalau saya nggak becus lari, saya masih punya alibi.

Saya bisa menghabiskan 2–3 jam di gym tapi kepayahan lari keliling alun-alun. Saya sering bilang, “Fuck bench press.AND proceed to do it anyway. Namun saat saya bilang, “Fuck this track.” Artinya saya sudah tidak mau lari lagi.

Saya masih kesulitan melihat orang-orang lari sampai puluhan kilo untuk alasan yang juga tidak saya ketahui.

Katherine Ryan bahkan pernah berkata kurang lebih, “Raising awareness of cancer? We’ve fucking heard about this. You could run until your toenails got chopped, I don’t give a damn.

Jadi, lari bagi saya adalah semacam picturesque imagery. Saya sudah capai duluan membayangkannya, apalagi melakukannya. Darn, saya nggak melihat alasan krusial mengapa saya harus lari.

Setidaknya sampai saya pindah ke kota ini.



 

Tempat tinggal saya dekat dengan sarana olahraga yang dipenuhi para pelari. Saya yang sudah gantung sepatu lari puluhan bulan lalu awalnya merasa unbothered dengan fakta ini sampai saya sadar saya punya banyak waktu luang. Lagipula, saya sudah mulai meningkatkan kesadaran saya akan kesehatan dan kebugaran, jadi saya merasa tidak ada salahnya mempersenjatai diri dengan peralatan yang ala kadarnya memadai. Walau saya hanya biasa olahraga di dalam ruangan saja sembari mengikuti resep menu olahraga, terima kasih kepada Mbak Chloe Ting, Pamela Reif, dan Emi Wong.

Namun lama-kelamaan, resep olahraga yang biasanya diperbarui setelah 50 hari itu membosankan juga. Terutama karena saya sudah mempertahankannya hampir dua tahun belakangan. Saya putar otak mencari opsi dan memilih menyampirkan lagi tali sepatu yang sudah tanggal itu untuk memberanikan diri berniat lari. Setidaknya, saya sudah ada niat dan pikiran ke sana. Masalah dilaksanakan atau tidak, tentu saja itu urusan belakangan.

Rupanya, salah seorang rekan kerja saya gemar berlari. Berbagai jenis kardio dia habisi. Namun karena pandemi, aktivitasnya sempat terhenti. Saya merasa momentumnya untuk olahraga kembali sangat tepat dengan agenda saya sebab saya tentu tidak mau berlari dengan atlet berjam terbang tinggi. Lagipula, saya tidak punya bayangan sejauh apa olahraga ini akan membawa saya. Jadi, saya iyakan ajakan untuk lari sepulang kerja. Tepat setelah jenuh bekerja, tetapi masih terlalu riang untuk pulang dan beristirahat.

Baby steps, baby steps. Itu yang saya dengungkan saat saya pertama kali berlari.

Berbagai pertanyaan saya lontarkan kepada teman saya, “Apa, sih, yang dipikirin pelari saat ikut maraton?”, “Gimana, sih, biar suka lari?”, “Boleh minum nggak, sih, saat lari?”, dan seterusnya. Sebenarnya, ini lebih kepada cara saya mengatasi ketidaksukaan saja. Saya yang tidak senang lari merasa akan lebih ringan saat ada bahan obrolan yang membuat lari jadi tidak terasa.

Beruntung, rekan saya menjawab dengan sabar. Ia menceritakan pengalamannya berlari sembari memastikan pace kami cukup stabil.

Begitu berulang-ulang pada pekan-pekan awal. Saya yang tidak suka lari ini kemudian melihat progress yang bagi saya cukup luar biasa. Di pekan kedua, saya sudah tembus dua digit pertama. Saya kembali meyakinkan diri saya bahwa mungkin selama ini saya tidak menyukai lari karena memang saya tidak paham teknisnya. Saat mendapat banyak insight dari orang-orang yang gemar lari, saya jadi punya pandangan dari segi technician. Hal-hal tertentu rupanya bisa saya pelajari, kembangkan, dan tingkatkan. Padahal sebelumnya, saya kira lari hanya sebatas lari saja. Rupanya saat fokus saya terbangun, mudah bagi saya untuk perlahan mengurangi ketidaksukaan saya.

Kaki saya yang luar biasa kebas di bulan pertama, menjadi demikian terbiasa di bulan-bulan berikutnya. Kalau sudah seminggu berhenti lari, saya merasa ketegangan di otot saya tetap terasa sehingga saya tidak punya pilihan selain kembali berlari sebab toh, akhirnya sama juga lelahnya. Di awal-awal lari, tubuh luar biasa lelahnya. Bahkan punggung, bahu, dan lengan bisa ngilu luar biasa. Di titik ini, saya sudah mulai meninggalkan daily work out saya di dalam ruangan, dan menggantikannya dengan berlari. Meski saya yakin olahraga tersebut tidak tergantikan, tapi sekarang saya sendiri kelabakan jika harus keeping track pada dua jenis olahraga yang sama-sama menguras tenaga.

Saya juga tidak bisa dibilang punya modal luar biasa untuk lari. Pakaian lari saya bisa dihitung jari satu tangan. Saya lebih sering lari pakai kaos tidur. Sepatu lari saya hanya satu dan saya memakai ponsel untuk menghitung jarak, bukan smartwatch. Tidak jarang saya pulang tanpa membeli apa pun, bahkan air. Usai putaran demi putaran yang seolah meledakkan paru-paru, saya pulang dengan lari kecil. Mampir membeli makan malam, kemudian pulang untuk istirahat sampai pagi.

Kalau ditanya, “Apa tidak capai?”

Tentu saja saya jawab, “Capai.”

Rutinitas saya berlari tidak lantas membuat segalanya lebih mudah. Hanya lebih bearable sebab saya sudah terbiasa. Saya tahu kapan saya harus berhenti, misalnya. Kapan saya bisa terus dan berapa lap lagi yang bisa saya jalani. Jadi saya tidak panik jika setelahnya, kaki saya kaku seperti seng yang dipukul. Saya juga bisa menghindari cedera karena tahu kapan harus beristirahat dan kapan harus memaksa.

Seperti halnya seluruh kegiatan di muka bumi, berlari itu melelahkan.

Di hari-hari tertentu bernapas dan bangun tidur merupakan siksaan panjang yang membuat saya masuk ke dalam episode kelam. Namun semakin saya membuat lelah diri saya, terkadang hal-hal tertentu bisa disingkirkan dan dilupakan.

The only easy day was yesterday.”

Saya pernah menggantung tulisan itu pada sticky notes di kamar saya yang kecil di Yogyakarta. Saat masih berkuliah, kemalasan adalah musuh nomor satu saya dan saya selalu mewanti-wanti diri untuk tidak terhanyut pada hal-hal yang mendistraksi saya dari tugas saya. Kini, saat ada kalanya saya juga merasa lelah secara fisik, usai lari belasan kilo di penghujung hari untuk kemudian besok bekerja lagi, saya selalu merapalkan mantra yang sama.

Bahwa kemudahan adalah milik hal-hal yang sudah kita lalui.

Itulah yang mungkin membuat saya selalu urung untuk bail out saat lari dan memutuskan menyelesaikan target harian saya.

Sampai sekarang, saya tidak tahu ke mana olahraga ini akan membawa saya. Yang jelas, hari ini saya menyelesaikan race kecil pertama saya dengan catatan yang menyenangkan. Saya tidak pernah mengejar kemenangan karena saya tahu kapasitas saya. Namun memenangkan pergulatan dalam diri saya setidaknya menyimpan sebuah kebanggaan yang bisa saya berikan juga kepada diri saya sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)