Stolen Dreams

Usually, I never let the “negative feelings” flew through me then vent it here like a thirsty kid. Years after years, I learn to sharpen my gut and showcase what it could be when I’m a normal human being. Believe what I want to be true.

 

Pada hari-hari seperti ini, mimpi-mimpi terasa mengapung di udara tempat saya menarik napas dalam usai mengerjai tubuh saya dengan hukuman yang saya rasa pantas saya dapatkan. Setiap hari. Betapa kejamnya melihat segelintir hal yang tidak akan pernah terwujud saat kita membuka mata. Saya selalu berharap bisa mengatakannya.

Namun tak pelak saya katakan bahwa di hari-hari seperti, saya mengizinkan diri saya untuk “merasa” dan menjadi orang yang tidak pernah ingin saya temui. Saya merasa bersalah karena menulis di saat-saat seperti ini. Deep down, I still believe how ugly human souls are. Scarred and barred. Too many happy memories, yet memories scurries away.

 

Ada begitu banyak bentuk dan rupa yang saya temui, dan selalu belum semua. Terkadang saya melihat diri saya sendiri di cermin dan bertanya-tanya apakah saya tidak pernah selesai bercermin?

Mengapa semua kegamangan ini selalu hadir tiap kali saya merasa telah menemukan bagian diri saya sendiri? Bahkan dalam kesenangan-kesenangan yang dikata semu. Tidak lagi seperti mengupas bawang, tetapi mengupas lapisan yang sama berkali-kali. Saya tidak pernah terbiasa dengan sakit dan sesaknya. Namun tidak ada pula lapisan penderitaan yang lebih dalam. Semua perasaan yang berulang tidak hanya kepedihan, tetapi juga kebahagiaan yang tidak pernah terkurung begitu lama.

Setiap hari, saya melihat wajah orang-orang. Saya tidak bertanya-tanya apa yang ada di pikiran mereka, melainkan takjub dengan sekian banyak hal yang tidak saya ketahui dari hidup mereka. Betapa berharga dan bernilainya bagi mereka. Lalu mengapa saya tidak pernah menginginkannya.

Saya selalu merasa suara saya tidak ada artinya.

 

Mungkin ini saatnya mengakui dosa-dosa.

1.     1. Saya sudah lama berhenti membaca.

Tidak pernah “benar-benar” berhenti membaca karena terkadang saya merasa bahwa membaca adalah satu-satunya hal yang membuat saya tenang. Namun saya tak lagi membaca novel. Saya sulit berkonsentrasi dengan cerita-cerita fiksi.

2.     2. Saya masih gemar menyalahkan keadaan.

Dari sekian banyak hal yang could go wrong, saya selalu memikirkan kemungkinan di mana saya lebih bijak, cerdas, dan berani. Mungkin hal itu adalah kompensasi bagi diri saya sendiri agar saya tahu sejauh mana saya bisa menghadapi rasa bersalah dan meminta maaf atas kesalahan yang saya buat.

Saya benci hal-hal personal.

 

Absennya saya menulis adalah karena saya benci membagi hal-hal tentang diri saya. Meski bukan pada siapa-siapa, seperti di sini. Saya tahu dalam dunia yang sudah bergerak cepat ini, saya bisa dihakimi sejuta orang dan hidup seperti biasa. Namun saya tidak merasa layak untuk sekadar mendapatkan penghakiman. Saya sendiri menolak disebut terkonstipasi secara emosional karena sejauh ini, saya rasa saya bisa mengekspresikan diri saya.

And not to be pathetic, but I have friends. Orang-orang yang tidak hanya membersamai saya, tetapi membuat saya tahu bahwa saya bisa berkaca pada diri mereka dan memahami bahwa saya juga bisa punya perasaan serta pandangan terhadap segala sesuatu.

Hari ini, saya terpikir untuk menulis diari.

Yep. Di-a-ri.

Dalam satu waktu, saya ingin membagi hal-hal baik untuk diri saya sendiri. Mungkin saya bisa menemukan sembari mencari.

 

Beberapa bulan lalu, saya mengajak adik untuk pergi berlibur dan bersenang-senang bersama. Well, sebenarnya bukan sepenuhnya berlibur. Namun saya senang kami bisa berbagi begitu banyak hal meski jarak yang membentang begitu jauh dalam segala aspek.

Kami tertawa dan membicarakan segalanya dan bukan segalanya di saat yang bersamaan. Kucing-kucing di rumah. Bunda. Adik kami. Ayah. Idola kami. Sekolahnya. Pekerjaan saya. Rasa kopi yang kami sesap. Liburan lain sebelumnya. MRT. Subway.

Mungkin itulah liburan yang menyenangkan. Saya tidak bisa menceritakan banyak hal lain setelahnya karena memang tidak ada yang disisakan. Tidak banyak hal yang bisa kami bagikan kepada orang lain jadi dengan segala kerendahan hati, saya berbangga kami bisa saling memahami.

Di lain waktu, mungkin kami lahir sebagai sahabat. Atau dua orang yang tidak pernah bertemu dan saling kenal. Kenyataan ini membuat saya semakin tidak ingin membuat adik saya terhanyut pada perasaan yang membuat kami saling perhatian.

 

Terkadang, kita bisa mencuri nasib.

Saat mengikuti apa yang kita inginkan, tak jarang ada perasaan tersesat demikian jauh. Kesadaran itu adalah hal yang baik, tapi bukan berarti kita ingin berhenti melakukannya. Terkadang kita tahu sejauh mana langkah bisa diambil dan sekuat apa kita menjadi diri sendiri. Lalu segalanya bergulir seperti benang wol yang keluar dari keranjangnya. 

Hal-hal tertentu sepenuhnya berada dalam kendali kita. Kita sering menolak mempercayainya.


Out all of the things that I’ve done, I’m glad I did something. In life, I cherish everything and nothing at the same time.


Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)