Mengapa ke Đà Nẵng
Dahulu kala, sebagaimana kita selalu mendengar
bagaimana cerita dituturkan, saya berada di kelas akhir masa SMA saya yang
begitu berharga. Bagi siswa yang tinggal di salah satu kota kecil di Indonesia
ini, buku menjadi salah satu sarana eskapisme yang bisa saya jangkau. Kegemaran
ini salah satunya dipupuk karena buku-buku cerita anak. Beranjak remaja, bacaan
saya pun beralih.
Teenlit, komik cantik, dan metropop, adalah beberapa bacaan baru yang selalu
menyenangkan bagi saya masa itu. Sebab tidak semuanya saya temukan di kota
kecil tempat saya tinggal. Ada dunia berbeda yang ditawarkan dan saya tak perlu
berpikir dua kali untuk terjun di dalamnya. Semuanya begitu mudah,
terbayangkan, dan terjangkau.
Dan sebagaimana remaja pada umumnya, saya jatuh hati
pada banyak hal. Membenci banyak hal adalah hal lain, tetapi saat jatuh hati
pada banyak hal, saya jadi punya beragam fokus yang menggembirakan. Saya sedang
bermain teater, berkelompok dengan tim pencinta alam, menulis, menari, dan
seterusnya… dan seterusnya. Dari semuanya itu, informasi yang terbatas membuat
saya banyak mengetahui segala sesuatu dari membaca.
Saya membaca tentang catatan perjalanan orang-orang
yang gemar menjelajah. Cerita-cerita para penari yang menguasai
panggung-panggung besar. Para orator ulung. Salah satunya adalah karya-karya
Soe Hok Gie.
Saya tidak pernah bisa sepenuhnya memahami bagaimana
Soe Hok Gie menjalani hidupnya. Catatan Seorang Demonstran adalah
bukunya yang memuat berbagai aktivitas harian yang ia jalani di masa Orde Lama.
Sehari-hari, ia bertemu orang-orang penting. Rekan-rekan yang ia hargai dan
kritisi. Mengikuti berbagai seminar dan kegiatan lembaga yang secara kritis
menghasilkan banyak pemikiran baru pada masanya. Selalu canggih membayangkan
bagaimana ia bisa mengisahkan hal-hal seperti itu dengan gamblang. Hasil-hasil
dari pertemuan itu selalu meninggalkan bekas tersendiri yang membuatnya
gembira, gamang, tenang, sedih, dan seterusnya.
Gie bernapas dengan hidup. Ia menghayati banyak hal
dan mencengangkan selalu bagi saya. Waktu itu, saya pikir, saya akan hidup
seperti Gie. Karena begitu kerennya.
***
Bagi siswa SMA yang kurang memahami konteks dan
situasi keadaan pascakemerdekaan serta lahir dari keluarga Soekarnois, saya
tidak bisa membayangkan kacaunya situasi di tahun 1950–1960-an. Bagi pemahaman
sederhana saya yang sangat dangkal, Kemerdekaan membawa kesempatan tidak
terhingga bagi rakyat Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Nasib apa
pun itu.
Hal ini saya temukan saat membaca Catatan Seorang
Demonstran. Dari banyak permasalahan yang terjadi, Gie tidak pernah ragu
menjadi suara penggerak bagi perubahan masyarakat. Tidak pernah menganggap
Kemerdekaan sebagai suatu pemberian, tetapi upaya pembebasan yang tak kunjung
padam. Harus diusahakan.
Bagi siswa SMA yang terlalu banyak membaca fiksi,
cara-cara lugas penceritaan Gie selalu terasa janggal dan menggelitik. Ada
banyak kesenjangan dalam entri hariannya. Wajar saja. Ini buku harian. Gie
mungkin tak pernah berpikir hariannya akan dibaca seorang siswa SMA yang
biasa-biasa saja. Tak banyak konteks dan kelengkapan yang ia berikan. Jangkauan
pengetahuan saya sendiri amat sangat terbatas sehingga penambahan keterangan
dan catatan kaki oleh penerbit begitu membantu.
Namun alangkah menggelegarnya hidup.
Ada geliat, pemberontakan, dan pergerakan yang jelas.
Ada rezim yang digugat, digulingkan, diganti, dipertahankan. Seluruhnya memuat
nuansa kehidupan yang begitu berbeda dari apa yang saya temui. Saat dunia
begitu “enak”.
Suatu sore, saya duduk di selasar sekolah. Di depan
ruang OSIS. Usai melewatkan beberapa jam pelajaran untuk mencetak proposal
kegiatan tahunan. Tim bola voli dan basket tengah berlatih di lapangan. Gegap
gempita murid-murid pulang pun berlarut mereda. Yang tinggal hanya yang ingin
tinggal. Dengan bias cahaya di sela-sela dedaunan yang menguning seperti ulat,
saya membaca Catatan Seorang Demonstran yang saya pinjam dari
perpustakaan. Seorang diri. Mungkin saat itu, untuk pertama kalinya saya merasa
tahu apa yang diperjuangkan Gie.
***
Bergabungnya saya dengan klub pencinta alam pun bukan
tanpa alasan. Saya selalu menceritakan hal ini dan rasanya tak ada lagi yang
ditutupi. Salah satu romantisme tiadanya Gie di Mahameru mungkin sangat
berkontribusi, tetapi selebihnya, saya punya alasan tersendiri.
Dan sejak dulu hingga sekarang, beberapa kali berganti
gawai, yang tetap adalah rekaman suara Nicholas Saputra saat membacakan tulisan
Gie dalam filmnya. Usai difilmkan tahun 2005, tulisan-tulisan Gie banyak
beredar dalam berbagai versi. Oleh sebab itu, saya cukup familier dengan suara
berat Nicholas menyuarakan Gie.
Saya bahkan mencatat puisi-puisi itu dalam berbagai
media. Mungkin beberapa buku tulis, hingga direktori di komputer.
Sebagian besar tak bernama. Dan mungkin justru saya
semakin menyukainya. Sebab, seperti yang saya katakan tadi. Gie mungkin takkan
mengira bukunya akan dibaca semua orang.
“Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di
Da Nang
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.
Tetapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Mari sini, sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik, dan
simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita takkan pernah
kehilangan apa-apa.”
Puisi itu, meski bukan ditulis oleh seorang sastrawan,
mungkin bisa dibilang menjadi salah satu pembentuk tulisan-tulisan saya, bahkan
tahunan setelahnya.
Mengyahatinya kata per kata, semuanya terasa begitu
berbeda usai membaca buku dan menonton filmnya. Saya selalu berusaha meraih
sebanyak mungkin pemahaman yang bisa saya temukan dan menemukan suara saya
sendiri dalam hal-hal semacam itu membuatnya begitu membekas.
Itu sebabnya, saat punya kesempatan, saya ke Đà Nẵng.
***
Đà Nẵng adalah kota kecil di pesisir Vietnam yang membuat orang-orang di sekitar saya mengerutkan kening saat saya menyebut namanya.
Dari sekian banyak lokasi dan tempat berwisata di Vietnam, tak ada yang bisa mengomprehensikan mengapa saya memutuskan tinggal selama tiga hari di Đà Nẵng seorang diri. Tak ada aktivitas mencolok yang bisa saya lakukan di sana. Hội An terkenal dengan kota penjahit. Hue terkenal sebagai kota bersejarah. Hanoi mencolok dengan nuansa magisnya. Đà Lạt punya pemandangan yang luar biasa. Bahkan Sa Pa pun terkenal dengan wisata dinginnya.
Namun Đà Nẵng?
Usai diputuskan bahwa saya akan menjalani separuh liburan saya seorang diri, saya tak pikir panjang untuk memesan tiket ke Đà Nẵng. Mungkin amat sangat cetek kalau saya mengatakan bahwa semata saya ingin menyaksikan langsung latar puisi Gie di atas. Namun, itulah yang terjadi.
Jadi, saya memutuskan menjawab dengan sederhana saat ditanya mengapa memilih kota itu untuk menghabiskan waktu.
“Saya mau ziarah.”
Mungkin bukan untuk serdadu Amerika atau siapa pun yang paling dirugikan dalam perang karena memang saya tak pernah punya narasi dalam wacana tersebut. Namun saat ada panggilan sederhana yang kuat untuk saya berkunjung, saya rasa kata itu sudah cukup merangkum seluruh alasan yang bisa saya kemukakan.
***
Dan seperti anak SMA yang tahunan lalu membaca Catatan Seorang Demonstran di tengah ketidakmengertiannya, saya menangis saat berhasil mendaratkan kaki di pesisir Đà Nẵng.
Pantai berpasir putih terindah yang pernah saya temui ini tidak lagi menampakkan sisa-sisa perang. Semuanya sudah tertata dan cenderung baru. Lusinan bangunan mewah ditegakkan tanpa isi, tampak siap menyambut Đà Nẵng ke depan yang berwajah baru dan dihujani turis.
Lima kilometer saya berjalan mengiringi pesisir dari tempat makan menuju hotel dengan pemandangan laut. Orang-orang bersantai, berolahraga, dan bersenda gurau di sepanjang pantai. Saya berjalan di balik jaket tipis dan memanggul tas ransel, kepayahan di bawah terik. Namun begitu bersyukur bisa tiba di tempat ini.
Malam hari, saya duduk di pantai, tempat semua orang bisa memanfaatkan wilayah ini sesukanya. Beberapa wisatawan lalu lalang, walk their dogs atau sekadar berbincang. Saya seorang diri, tidak mendengarkan apa pun di telinga selain ombak tenang dan… kedamaian.
Head empty.
Saya tidak merasa berduka, ataupun sedih. Sebaliknya, saya merasa tinggal di tempat yang baru dan menyambut banyak hal baru pula. Ke depan, saya ingin dan akan menyimpan hal ini dengan rapi.
Saya sendiri tidak tahu apakah Gie sempat ke Đà Nẵng semasa hidupnya. Namun, selalu ada hal baru saat kita hadir secara fisik dan mental di suatu tempat. Bagi saya, pertemuan saya dengan Đà Nẵng merupakan perziarahan. Sama halnya dengan tiap bait puisi yang teramplifikasi dalam tulisan-tulisan saya. Selalu.
Sebab di kepala saya, saya selalu ingin menulis seperti Gie.
Hidup seperti Gie.
Dan saya tidak pernah merasa bersalah karena menginginkan hidup seperti orang lain. Sebab saya tahu ada banyak alasan mengapa saya akan tersesat. Mungkin hanya butuh satu untaian benang untuk menghubungkan saya dengan jalur yang “benar”. Dengan Gie, saya akan menemukan jalan itu tanpa masalah.
Pada kenyataannya, kita tidak pernah akan tiba pada hal yang membuat kita merasa sepenuhnya memiliki dan menguasai keinginan kita.
But getting close to it, is another different type of living. Dan tidak pernah ada kegagalan saat tidak berhasil meraihnya.
Comments
Post a Comment