Intens
Sudah sangat lama sejak saya terakhir kali menulis di atas kereta.
Terakhir,
saya ingat perjalanan yang juga sempat sedikit saya bagikan di sini. Saya
sedang menonton sesuatu di laptop sembari duduk di kelas bisnis yang lengang.
Saya ingat betul karena saya hampir tidak pernah naik kereta kelas bisnis.
Pengalaman yang menenangkan itu begitu membekas di kepala saya karena saya bisa
melakukan banyak hal dalam perjalanan hampir seharian itu. Begitu berbeda dari
pengalaman menaiki kereta ekonomi biasanya, tempat saya duduk bertemu lutut
dengan empat hingga enam orang lainnya.
Sejujurnya,
tulisan ini mungkin tak lain juga adalah upaya membunuh waktu. Perjalanan
panjang ini akan berlangsung cukup lama, bahkan hingga hari berganti. Dan meski
saya sudah mempersiapkan diri, tentu akan ada banyak waktu kosong untuk diisi.
Terutama karena saya berencana untuk tidur normal.
Jadi
saat senja ini mulai menggelincir seiring dengan jalannya kereta menuju ibu
kota Jawa Timur, saya memutuskan untuk berpikir.
Hidup
tampak begitu berbeda sekarang. Hal-hal yang tidak pernah saya bayangkan
terjadi, tahu-tahu menjadi kenyataan. Saya merasa senang, tetapi juga takut dan
khawatir akan masa depan. Dalam diri saya sendiri, ada banyak kegelisahan yang
semata-mata saya syukuri. Namun di sisi lain, saya tahu hal ini mengkhawatirkan
orang-orang terdekat saya. Dan saya paling tidak senang membuat mereka repot
dengan hal ini.
Tahun
ini baru berjalan hampir dua bulan. Sebentar lagi, Ramadan akan tiba. Saya tak
mau bilang “betapa cepat waktu berjalan”, karena saya mengalami banyak hal
selama waktu-waktu yang terbilang hilang itu. Saya hanya merasa bahwa seiring
waktu berjalan itu, terkadang apa yang saya lakukan terasa tak punya
signifikansi. Pendeknya, yang saya ingat justru upaya untuk membuat banyak hal
terasa berarti.
Hal
ini cukup menyenangkan karena saya merasa ingat tiap-tiap proses yang saya
lalui. Terkadang, ada ekstase saat berhasil mencapai sesuatu. Namun saya justru
lebih banyak mengingat berapa banyak hal yang saya korbankan untuk mencapai
sesuatu itu.
Saat
saya lulus kuliah, saya ingat banyak kesempatan yang saya lewatkan. Hidup yang
mungkin saya impikan dan berbuah hal yang begitu berbeda dari apa saya
sekarang.
Saat
bekerja, saya ingat hal-hal lain yang bisa saya lakukan sembari menunggu.
Sebuah kesempatan untuk menjadi monoton; berbaur menjadi plural dengan
lingkungan yang tidak pernah menyesuaikan diri dengan kita.
Saat
memenuhi target mingguan hingga bulanan, saya ingat kekosongan yang saya
rasakan untuk semata-mata menggenapi keabsahan upaya saya.
Pendeknya,
semuanya tidak pernah muncul begitu saja. Saya selalu merasa (dan berusaha)
menarik garis panjang yang bisa membawa saya pada nilai-nilai yang ingin saya
amini. Bagi saya, segala hal punya arti dan saya selalu senang merasa bahwa
selalu mempersiapkan diri untuk apa saja.
Beberapa
pekan lalu, saya pergi ke Kepulauan Talaud di Sulawesi Utara. Beberapa teman
menanyakan mengapa saya dikirim pergi untuk penugasan yang jelas-jelas bukan
milik saya.
Saya
sendiri merasa sebagai orang yang cukup sederhana. Saat saya punya kesempatan,
saya mengambilnya. Saya merasa cukup oportunis, tapi saya juga percaya bahwa
kesempatan yang tepat selalu datang pada mereka yang bersiap. Bagi saya,
kepergian saya ke Talaud selama sepekan bukan penugasan yang ngawur. Ini
kesempatan yang saya terima karena saya tahu caranya mempersiapkan diri. Dan
saya suka tantangan.
Tantangan
bagi saya adalah pergi ke Talaud seorang diri dengan informasi terbatas.
Tinggal selama sepekan di sana untuk mengunjungi salah satu desa terluar di
bagian utara Indonesia. Lalu bertemu dan berkawan dengan orang-orang lokal;
mengobrol, makan, hingga berdoa bersama mereka.
Dalam
kurun waktu sempit, tantangan juga berarti menjelajah kota kecil di Vietnam
saat pertama kali saya ke luar negeri, seorang diri.
Namun
dalam banyak kasus, tantangan terberat bagi saya justru bertahan dalam
kontinuitas hidup yang tidak putus-putus. Tantangan bagi saya adalah kembali
bekerja usai akhir pekan panjang, liburan, atau perjalanan dinas. Tantangan
lebih banyak berwujud rasa enggan saat harus memenuhi jatah lari mingguan.
Tantangan tampak pada kesediaan saya yang dituntut melakukan hal-hal berpola,
mungkin dengan tujuan yang tiada akhir.
Tantangan
punya wujud berbeda bagi semua orang tetapi bagi saya, tantangan selalu
menyelipkan diri dalam hari-hari biasa, dan kadang kala berusaha saya lampaui
dengan doa.
Bahkan
dalam hal-hal yang saya senangi, saya selalu tak luput merasa frustrasi.
Perasaan
gelisah, tak tenang, sedih, khawatir, cemas… seperti yang saya sebutkan
sebelumnya, selalu punya cara untuk membuat saya patah. Namun tidak pernah
menyerah.
Bagi
saya, hidup ini tidak punya kata “menyerah”. Saya tak boleh menyerah, karena
saya tak punya apa-apa. Jikalau tinggal selarik tipis benang menghubungkan saya
dengan stabilitas, kenyamanan, kesejahteraan, cinta, saya takkan
berhenti menggenggamnya. Karena saya tak punya kesempatan dan previlese untuk
“menyerah”.
Saya
bukan dan tak ingin mengikrarkan diri sebagai orang susah. Namun saya pernah
berada dalam kesusahan. Dalam banyak artian, banyak kondisi dan keadaan. Semua
itu tidak lantas membuat saya menjadi yang paling susah atau yang paling tidak
susah. Sebaliknya, pengalaman ini justru memberikan saya pengertian “berjuang”
yang sesungguhnya. Sebagaimana manusia punya keistimewaan sendiri-sendiri,
perjuangan itu pun lahir dengan sendirinya bagi tiap-tiap orang. Dalam banyak
kasus, kita tidak pernah diajarkan untuk berjuang. Kita lahir dan melampaui
berbagai hal untuk kemudian mempersiapkan perjuangan terbaik yang kita punya.
Dari
pemahaman itu, saya tak pernah memantaskan atau mengerdilkan perjuangan orang.
Karena saya tahu, mungkin bagi mereka, apa yang bisa saya lakukan bahkan tak
cukup untuk disebut “berjuang”. Dan tidak sedikit pula yang memilih untuk
menjalani hidup, alih-alih berjuang.
Akhirnya,
saya merasa sedikit bisa menghargai diri sendiri. Segala bentuk pergulatan bisa
saja terjadi dalam hidup ini, tetapi di akhir saya memilih untuk berjuang.
Memperjuangkan diri, teman, keluarga, hingga kesempatan dan kebaikan yang saya
rasa layak untuk saya dapatkan.
(Waktu-waktu
seperti ini selalu membuat saya melankolis, terutama karena hujan turun dengan
merata di seluruh pesisir Jawa Timur.)
Terkadang,
saya tak pernah merasa perjuangan saya membuahkan keberhasilan. Sebaliknya,
perjuangan melahirkan kesempatan-kesempatan baru tempat saya harus kembali
berjuang.
Saya
selalu bilang, saya tak keberatan dilupakan.
Comments
Post a Comment