Tutup Telinga
Haha. Sungguh menyebalkan.
Malam ini adalah malam terakhir menikmati sekolah. Meskipun cuma pondok ramadhan namun nyatanya tetap saja dalam konteks sekolah yang sangat dicintai.
Namun saat ini rupanya masih saja setia keruwetan itu menghampiri saya. Ah, saya ini bukan life freak yang selalu bisa bersyukur dengan sempurna. Tetap saja ada batas kesabaran (nyatanya, batas kesabaran saya tipis sekali --" dan harus lekas dipertebal). Seperti sekarang.
Terantuk di saat seperti ini memang nggak sepenuhnya enak. Kenapa saya bilang begitu, karena selain bisa mempertebal yang namanya kesabaran itu tadi, harus melihat pekerjaan yang bertumpuk tanpa bisa berbuat apapun itu rasanya sangat menyebalkan sekali! Bukankah saya sudah pernah bilang pada post terdahulu? Saya paling tidak suka diam ketika ada sesuatu yang bisa saya kerjakan ataupun saya lakukan. Dan pekerjaan ini mendesak. Besok. Namun apa daya. Saya pun tak bisa berbuat lebih banyak dari sekedar meratap *cih dan memperbaiki secara kasat mata. Bagaimanapun, saya bukan ahli teknologi. Meskipun saya ahli reparasi saya bukan ulama yang punya kesabaran ekstra. Mungkin akan ada kemungkinan ketika dua-duanya bergabung namun sayangnya saya tak berminat. Karena tentunya menunggu saya jadi ahli reparasi (baca:printer) dan jadi ulama yang punya ketebalan mental luar biasa sudah bisa ditebak printer saya ini sudah lumutan dan jadi markasnya pengungsi saking usangnya.
Ya, jadi saya lakukan apa yang saya bisa lakukan sekarang. Yakni memang hanya menulis. Sebenarnya, apa sih bisa saya selain bernapas dan duduk di depan laptop? cih.
Bukan hanya itu, urusan matras punya senior juga belum kelar. Ceritanya hilang. Kesingsal nggak tahu kemana. Salah saya. Saya memang salah. Nggak amanah dipinjemin barang. Sampe carriernya sobek+bolong tanpa saya tahu, dan matras aslinya hilang entah kemana. Saya tanya teman-teman jawabnya pada sama. Kalau nggak megang ya nggak tahu. Paling banter juga pernah lihat sebelum pelantikan. Eh. Pelantikan itu kalo nggak salah hampir sebulan yang lalu. Sudah barang tentu raib dong!
Wah wah. Saya jadi harus nomboki lebih untuk mengganti dengan yang baru.
Apa lagi ya?
Oh ya, jadwal kepulangan saya.
Mudik yang udik. Seperti biasa.
Ceritanya kemarin pagi saya dianter sekolah seperti biasa oleh kakak tertua saya. Dan kami mampir ke pom bensin dekat rumah. *ugh, jujur saja ini hal yang tidak saya sukai dari kakak saya selain nyetirnya lamaaaa beneerrr. Saya harus segera buru-buru dan sama sekali tidak suka terganjal oleh hal sekecil apapun. Benar kan?
Tidak dinyana, saat hendak mengisi bensin kami bertemu seorang kerabat. Dengan akrabnya saling bertukar sapa ditingkahi sikap bete saya. Lalu kerabat saya itu bertanya "Kapan pulang ke Kasiyan?"
Tanpa tedeng aling-aling kakak saya menjawab, "Selasa sore".
Dan saya langsung pasang wajah melongo tanpa ekspresi yang jelas saja terpampang di wajah bete saya. Raut kesal saya langsung berganti heran, kaget dan tidak percaya.
Satu kalimat yang terlintas di kepala saya : "Cepeeeett amaaatt ><"
Whoa. Padahal kerjaan saya belum pada beres. Dan masih ada seabrek kegiatan yang harus dan ingin saya lakukan sebelum benar-benar pewe mudik.
Selain pekerjaan-pekerjaan yang saya sebutkan tadi, saya masih harus mencari dana guna mensponsori kegiatan besar sekolah saya selekasnya sebelum lebaran karena sesudahnya saya harus segera pack untuk naik ke gunung Raung. Dan juga kendala terbesar yang menjegal saya kali ini karena jeratannya yang selama ini terkesan biasa aja. Yakni duit.
Yah, ketahuilah. Bahwa saya ini naked, dan saya ini kere. Tepatlah komposisi keduanya membuat saya seringkali harus segera hitung-hitung ini itu dan sana sini untuk melakukan perjalanan. Meskipun saya selalu yakin bahwa "SELALU ADA JALAN", namun jalan tersebut tentunya harus dicari. Nggak bisa hanya ditunggu doang. Sama aja dong!
Dengan cara apapun jalan itu memang harus ketemu. Tapi sekali lagi terlintas tanya. Nggak hanya pada kalian, namun juga dalam diri saya sendiri :
Question : "Bisa apa sih, anak bau kencur kelas sebelas alias kelas 2 SMA?"
Answer : "Bisa online, nge-blog, nge-twit.."
end.
Gitu doang kan sebenernya? kesimpelan yang membuat saya pegel setengah mati.
Karena kadang memang saya selalu merasa saya ini nggak bisa apa-apa --"
Namun memang Tuhan menakdirkan Selalu Ada Jalan. Seburuk dan separah apapun jalan itu. Seberapa besar dan banyak lubang yang ada, ataupun seramai dan sepenat apapun lalu lintas yang berderak. Tergantung bagaimana cara kita melaju diatasnya, cara kita menghindari lubang itu ataupun menerjangnya tanpa ampun layaknya 'cara kita' para remaja. Begitupun saya saat ini. Jalan itu ada. Hanya saja, buat mengambilnya rupanya saya masih jadi pengecut dan pecundang. Ha ha ha.
Hidup yang lucu.
Diluar kamar ini, tempat saya terkurung dan stuck sekarang, terdengar suara-suara paling menyebalkan, membuat saya naik pitam, dan paling tidak saya sukai. Yakni riuh ramai adik kemenakan yang berceloteh tidak karuan. Hei, bukannya saya tidak suka anak kecil. Saya sangat suka.
Hanya saja, percakapan polos mereka mengundang apa yang selama ini selalu ingin saya ungkapkan. Mendengarnya dan tanpa menjadi bagian di dalamnya rasanya melihat saya belasan tahun lalu. Yang hanya suka pakai sarung kemana-mana (aib masa kecil).
Percakapan diluar terdengar jelas. Edelweis, si kemenakan cewek saya yang endelnya minta ampun, sedang ngedumel riang pada kakak saya tentang kesukaannya menabung (ralat : bukan menabung. Dia cuma pelit setengah mati kalo disuruh beli sesuatu pake uangnya sendiri. Padahal perlu diketahui usia seperti dia adalah usia proporsional untuk minta uang saku pada sanak kerabat tiap kali berkunjung)
"Bunda, nanti kalo aku udah besar, Bunda tinggal bilang aja ke aku Bunda pengen apa. Butuh bantuan, apa mobil gitu. Ntar aku belikan. Jadi Bunda nggak susah.."
bla bla bla..
Sial. Saya langsung pasang lagi headset dan tekan volume keras. Jangan sampai suara diluar itu terngiang sampai disini. Untunglah kamar ini sudah saya kunci terlebih dahulu. Jadi nggak ada alasan untuk sekedar melepas headset dan memutar anak kunci.
Perasaan sedih lagi-lagi menyergap saya.
Kok ya demen banget sih datang tiap hari gitu lho.. Saya sendiri terkadang bosan harus lelah, baru kemudian menangis. Cengeng ya? Just for me. Menangis buat diri sendiri nggak ada salahnya *pembelaan.
Mungkin bagi semua orang kalimat si Edelweis itu memang nggak berarti apa-apa. Bahkan emang nggak ada artinya. Heloooo.. hari gini masih dengerin ocehan anak kecil kan keki juga. Selalu aja ngajak ribut jadinya. Apalagi spesies tipis kesabaran macam saya ini. Bawaannya pengen jitak kepala ponakan saya aja.
Tapi bagi saya pribadi, kata-kata itu mungkin termasuk dalam kamus kata-kata menyedihkan dalam hidup saya. Kenapa? Karena saya yakin kalau saya dulu sering berkata begitu pada mendiang ibu saya dan nyatanya saya tidak bisa mewujudkannya.
Terbayang mungkin betapa kesal dan pegelnya hati ini. Emang sih, itu cuma racauan anak-anak. Tapi kalau melihat sekarang seolah-olah saya bisa, lantas untuk siapa? Kakak saya punya dua orang anak untuk membanggakan dirinya sendiri. Kakak saya yang kedua pun begitu. Untuk kakak saya yang ketiga, so much love just send for you, brother. Semoga tenang di alam sana. Saya harap meskipun tak sempat merasakan kebahagiaan yang kau inginkan namun hadirmu disisiNYA adalah keputusan terbaik. Ketimbang kau ada dan melihat semua kekacauan ini. Ya, kekacauan ini. Kekacauan yang seolah sudah kau ramalkan sebelumnya lewat rapalan barisan.
Nah saya. Saya harus membahagiakan siapa? ayah saya sudah tua. Tak repot-repot lagi beliau mengurusi saya. Ketemu pun hanya sekali-dua kali dalam tiga bulan. Tak ada satupun respon beliau melihat saya. Hanya nasehat sekali dua kali yang isinya apa banget, soalnya udah ketinggalan sama kereta globalisasi. Tidak. Saya tidak pernah melecehkan isi nasehatnya. Sebisa mungkin saya sesuaikan dengan diri kita sebagai apa adanya individu yang berkarakter. Sadar juga saya kesepian. Biarpun seabrek teman dan sahabat menemani, tetap saja ada kulik dalam hati ini yang nggak mungkin tersentuh kecuali oleh diri kita sendiri. Lantas, apa yang saya inginkan? Tentu saja tidak saya ungkapkan. Untuk apa? Sebesar apapun itu, sekecil apapun itu, sehina apapun itu, nyatanya nanti hanya jadi penggalan cerita tanpa lukisan semata.
Sungguh, saya merasa saat-saat seperti ini adalah saat paling tidak saya sukai. Kendati pun saya bisa mengecap pahit manisnya hidup, tapi pahit yang seperti ini sama sekali buruk. Tidak ada prospek bagus untuk ke depannya. Jadi, untuk apa? Mungkin saya hanya berusaha mengulang pelajaran seperti yang sering saya lakukan pada tulisan-tulisan saya.
Oke oke. Saya harus berhenti meracau. Mungkin inilah efek negatif curhat pada benda mati. Tak bisa di rem dan tak tahu arah. Tak ada yang mengendalikan. Dan saya nggak mungkin kan mengarahkan tulisan sementara lagi dalam kondisi nggak baik seperti sekarang? Ya. Saya nggak bercanda. Mungkin lain kali saya harus tahu porsi.
Oh tidak. Saya harus berusaha jujur.
Baiklah. Saya butuh seseorang. Seseorang yang mampu menghadapi saya. Seseorang yang saya harapkan ada. Well, ya. Muluk, namun sungguhpun bisa menghibur perasaan saya sendiri sewaktu-waktu. Sebab saat ini saya merasa nggak baik. Buruk saja deh simpelnya. Perasaan dan otak sama-sama kesel dan capeknya, sama muaknya. Sama-sama hinanya. Butuh tempat bicara yang pas, yang bisa diajak sharing. Yang biasa diajak berantem karena perbedaan pendapat. Ha ha ha. Toh, daripada saya ketawa sendirian? atau bahkan nggak tertawa? Hidup ini penuh hal yang harus diketawai. Jadi sayang dong kalau dibiarin sia-sia terbuang kesempatan itu.
Namun sialnya, saat ini saya bener-bener kaku dan nggak bisa tertawa. Mengsle banget. Nggak singkron antara satu dengan yang lainnya.
Siapa juga sih, yang pengen dengerin omongan nggak banget saya itu? Siapa juga yang pengen dengerin cerita serba teenlit? Meskipun butuh tapi akhirnya tetap saya harus sendiri. Cadasnya hidup mungkin dapat saya rasakan dalam kegersangan seperti sekarang. Riset saya akhir-akhir ini, remaja banyak yang lagi patah hati, frutasi, depresi, stres dan lain sebagainya. Nggak tahu kenapa. Gara-gara keseringan kelaparan kali.
Sekarang semua lagi mental begitu saja dari telinga. Nggak ada efeknya nyetel marjinal, keroncong, dangdut koplo, lagu anak-anak, pop, k-pop, mellow, rock, metal, dan lain sebagainya. Akhir-akhirnya juga bikin keki sendiri gara-gara kuping kemana, otak kemana, hati kemana, tangan kemana.
Hidup ini serbatidakjelas kok.
cadas,
vigna sinensis
Malam ini adalah malam terakhir menikmati sekolah. Meskipun cuma pondok ramadhan namun nyatanya tetap saja dalam konteks sekolah yang sangat dicintai.
Namun saat ini rupanya masih saja setia keruwetan itu menghampiri saya. Ah, saya ini bukan life freak yang selalu bisa bersyukur dengan sempurna. Tetap saja ada batas kesabaran (nyatanya, batas kesabaran saya tipis sekali --" dan harus lekas dipertebal). Seperti sekarang.
Terantuk di saat seperti ini memang nggak sepenuhnya enak. Kenapa saya bilang begitu, karena selain bisa mempertebal yang namanya kesabaran itu tadi, harus melihat pekerjaan yang bertumpuk tanpa bisa berbuat apapun itu rasanya sangat menyebalkan sekali! Bukankah saya sudah pernah bilang pada post terdahulu? Saya paling tidak suka diam ketika ada sesuatu yang bisa saya kerjakan ataupun saya lakukan. Dan pekerjaan ini mendesak. Besok. Namun apa daya. Saya pun tak bisa berbuat lebih banyak dari sekedar meratap *cih dan memperbaiki secara kasat mata. Bagaimanapun, saya bukan ahli teknologi. Meskipun saya ahli reparasi saya bukan ulama yang punya kesabaran ekstra. Mungkin akan ada kemungkinan ketika dua-duanya bergabung namun sayangnya saya tak berminat. Karena tentunya menunggu saya jadi ahli reparasi (baca:printer) dan jadi ulama yang punya ketebalan mental luar biasa sudah bisa ditebak printer saya ini sudah lumutan dan jadi markasnya pengungsi saking usangnya.
Ya, jadi saya lakukan apa yang saya bisa lakukan sekarang. Yakni memang hanya menulis. Sebenarnya, apa sih bisa saya selain bernapas dan duduk di depan laptop? cih.
Bukan hanya itu, urusan matras punya senior juga belum kelar. Ceritanya hilang. Kesingsal nggak tahu kemana. Salah saya. Saya memang salah. Nggak amanah dipinjemin barang. Sampe carriernya sobek+bolong tanpa saya tahu, dan matras aslinya hilang entah kemana. Saya tanya teman-teman jawabnya pada sama. Kalau nggak megang ya nggak tahu. Paling banter juga pernah lihat sebelum pelantikan. Eh. Pelantikan itu kalo nggak salah hampir sebulan yang lalu. Sudah barang tentu raib dong!
Wah wah. Saya jadi harus nomboki lebih untuk mengganti dengan yang baru.
Apa lagi ya?
Oh ya, jadwal kepulangan saya.
Mudik yang udik. Seperti biasa.
Ceritanya kemarin pagi saya dianter sekolah seperti biasa oleh kakak tertua saya. Dan kami mampir ke pom bensin dekat rumah. *ugh, jujur saja ini hal yang tidak saya sukai dari kakak saya selain nyetirnya lamaaaa beneerrr. Saya harus segera buru-buru dan sama sekali tidak suka terganjal oleh hal sekecil apapun. Benar kan?
Tidak dinyana, saat hendak mengisi bensin kami bertemu seorang kerabat. Dengan akrabnya saling bertukar sapa ditingkahi sikap bete saya. Lalu kerabat saya itu bertanya "Kapan pulang ke Kasiyan?"
Tanpa tedeng aling-aling kakak saya menjawab, "Selasa sore".
Dan saya langsung pasang wajah melongo tanpa ekspresi yang jelas saja terpampang di wajah bete saya. Raut kesal saya langsung berganti heran, kaget dan tidak percaya.
Satu kalimat yang terlintas di kepala saya : "Cepeeeett amaaatt ><"
Whoa. Padahal kerjaan saya belum pada beres. Dan masih ada seabrek kegiatan yang harus dan ingin saya lakukan sebelum benar-benar pewe mudik.
Selain pekerjaan-pekerjaan yang saya sebutkan tadi, saya masih harus mencari dana guna mensponsori kegiatan besar sekolah saya selekasnya sebelum lebaran karena sesudahnya saya harus segera pack untuk naik ke gunung Raung. Dan juga kendala terbesar yang menjegal saya kali ini karena jeratannya yang selama ini terkesan biasa aja. Yakni duit.
Yah, ketahuilah. Bahwa saya ini naked, dan saya ini kere. Tepatlah komposisi keduanya membuat saya seringkali harus segera hitung-hitung ini itu dan sana sini untuk melakukan perjalanan. Meskipun saya selalu yakin bahwa "SELALU ADA JALAN", namun jalan tersebut tentunya harus dicari. Nggak bisa hanya ditunggu doang. Sama aja dong!
Dengan cara apapun jalan itu memang harus ketemu. Tapi sekali lagi terlintas tanya. Nggak hanya pada kalian, namun juga dalam diri saya sendiri :
Question : "Bisa apa sih, anak bau kencur kelas sebelas alias kelas 2 SMA?"
Answer : "Bisa online, nge-blog, nge-twit.."
end.
Gitu doang kan sebenernya? kesimpelan yang membuat saya pegel setengah mati.
Karena kadang memang saya selalu merasa saya ini nggak bisa apa-apa --"
Namun memang Tuhan menakdirkan Selalu Ada Jalan. Seburuk dan separah apapun jalan itu. Seberapa besar dan banyak lubang yang ada, ataupun seramai dan sepenat apapun lalu lintas yang berderak. Tergantung bagaimana cara kita melaju diatasnya, cara kita menghindari lubang itu ataupun menerjangnya tanpa ampun layaknya 'cara kita' para remaja. Begitupun saya saat ini. Jalan itu ada. Hanya saja, buat mengambilnya rupanya saya masih jadi pengecut dan pecundang. Ha ha ha.
Hidup yang lucu.
Diluar kamar ini, tempat saya terkurung dan stuck sekarang, terdengar suara-suara paling menyebalkan, membuat saya naik pitam, dan paling tidak saya sukai. Yakni riuh ramai adik kemenakan yang berceloteh tidak karuan. Hei, bukannya saya tidak suka anak kecil. Saya sangat suka.
Hanya saja, percakapan polos mereka mengundang apa yang selama ini selalu ingin saya ungkapkan. Mendengarnya dan tanpa menjadi bagian di dalamnya rasanya melihat saya belasan tahun lalu. Yang hanya suka pakai sarung kemana-mana (aib masa kecil).
Percakapan diluar terdengar jelas. Edelweis, si kemenakan cewek saya yang endelnya minta ampun, sedang ngedumel riang pada kakak saya tentang kesukaannya menabung (ralat : bukan menabung. Dia cuma pelit setengah mati kalo disuruh beli sesuatu pake uangnya sendiri. Padahal perlu diketahui usia seperti dia adalah usia proporsional untuk minta uang saku pada sanak kerabat tiap kali berkunjung)
"Bunda, nanti kalo aku udah besar, Bunda tinggal bilang aja ke aku Bunda pengen apa. Butuh bantuan, apa mobil gitu. Ntar aku belikan. Jadi Bunda nggak susah.."
bla bla bla..
Sial. Saya langsung pasang lagi headset dan tekan volume keras. Jangan sampai suara diluar itu terngiang sampai disini. Untunglah kamar ini sudah saya kunci terlebih dahulu. Jadi nggak ada alasan untuk sekedar melepas headset dan memutar anak kunci.
Perasaan sedih lagi-lagi menyergap saya.
Kok ya demen banget sih datang tiap hari gitu lho.. Saya sendiri terkadang bosan harus lelah, baru kemudian menangis. Cengeng ya? Just for me. Menangis buat diri sendiri nggak ada salahnya *pembelaan.
Mungkin bagi semua orang kalimat si Edelweis itu memang nggak berarti apa-apa. Bahkan emang nggak ada artinya. Heloooo.. hari gini masih dengerin ocehan anak kecil kan keki juga. Selalu aja ngajak ribut jadinya. Apalagi spesies tipis kesabaran macam saya ini. Bawaannya pengen jitak kepala ponakan saya aja.
Tapi bagi saya pribadi, kata-kata itu mungkin termasuk dalam kamus kata-kata menyedihkan dalam hidup saya. Kenapa? Karena saya yakin kalau saya dulu sering berkata begitu pada mendiang ibu saya dan nyatanya saya tidak bisa mewujudkannya.
Terbayang mungkin betapa kesal dan pegelnya hati ini. Emang sih, itu cuma racauan anak-anak. Tapi kalau melihat sekarang seolah-olah saya bisa, lantas untuk siapa? Kakak saya punya dua orang anak untuk membanggakan dirinya sendiri. Kakak saya yang kedua pun begitu. Untuk kakak saya yang ketiga, so much love just send for you, brother. Semoga tenang di alam sana. Saya harap meskipun tak sempat merasakan kebahagiaan yang kau inginkan namun hadirmu disisiNYA adalah keputusan terbaik. Ketimbang kau ada dan melihat semua kekacauan ini. Ya, kekacauan ini. Kekacauan yang seolah sudah kau ramalkan sebelumnya lewat rapalan barisan.
Nah saya. Saya harus membahagiakan siapa? ayah saya sudah tua. Tak repot-repot lagi beliau mengurusi saya. Ketemu pun hanya sekali-dua kali dalam tiga bulan. Tak ada satupun respon beliau melihat saya. Hanya nasehat sekali dua kali yang isinya apa banget, soalnya udah ketinggalan sama kereta globalisasi. Tidak. Saya tidak pernah melecehkan isi nasehatnya. Sebisa mungkin saya sesuaikan dengan diri kita sebagai apa adanya individu yang berkarakter. Sadar juga saya kesepian. Biarpun seabrek teman dan sahabat menemani, tetap saja ada kulik dalam hati ini yang nggak mungkin tersentuh kecuali oleh diri kita sendiri. Lantas, apa yang saya inginkan? Tentu saja tidak saya ungkapkan. Untuk apa? Sebesar apapun itu, sekecil apapun itu, sehina apapun itu, nyatanya nanti hanya jadi penggalan cerita tanpa lukisan semata.
Sungguh, saya merasa saat-saat seperti ini adalah saat paling tidak saya sukai. Kendati pun saya bisa mengecap pahit manisnya hidup, tapi pahit yang seperti ini sama sekali buruk. Tidak ada prospek bagus untuk ke depannya. Jadi, untuk apa? Mungkin saya hanya berusaha mengulang pelajaran seperti yang sering saya lakukan pada tulisan-tulisan saya.
Oke oke. Saya harus berhenti meracau. Mungkin inilah efek negatif curhat pada benda mati. Tak bisa di rem dan tak tahu arah. Tak ada yang mengendalikan. Dan saya nggak mungkin kan mengarahkan tulisan sementara lagi dalam kondisi nggak baik seperti sekarang? Ya. Saya nggak bercanda. Mungkin lain kali saya harus tahu porsi.
Oh tidak. Saya harus berusaha jujur.
Baiklah. Saya butuh seseorang. Seseorang yang mampu menghadapi saya. Seseorang yang saya harapkan ada. Well, ya. Muluk, namun sungguhpun bisa menghibur perasaan saya sendiri sewaktu-waktu. Sebab saat ini saya merasa nggak baik. Buruk saja deh simpelnya. Perasaan dan otak sama-sama kesel dan capeknya, sama muaknya. Sama-sama hinanya. Butuh tempat bicara yang pas, yang bisa diajak sharing. Yang biasa diajak berantem karena perbedaan pendapat. Ha ha ha. Toh, daripada saya ketawa sendirian? atau bahkan nggak tertawa? Hidup ini penuh hal yang harus diketawai. Jadi sayang dong kalau dibiarin sia-sia terbuang kesempatan itu.
Namun sialnya, saat ini saya bener-bener kaku dan nggak bisa tertawa. Mengsle banget. Nggak singkron antara satu dengan yang lainnya.
Siapa juga sih, yang pengen dengerin omongan nggak banget saya itu? Siapa juga yang pengen dengerin cerita serba teenlit? Meskipun butuh tapi akhirnya tetap saya harus sendiri. Cadasnya hidup mungkin dapat saya rasakan dalam kegersangan seperti sekarang. Riset saya akhir-akhir ini, remaja banyak yang lagi patah hati, frutasi, depresi, stres dan lain sebagainya. Nggak tahu kenapa. Gara-gara keseringan kelaparan kali.
Sekarang semua lagi mental begitu saja dari telinga. Nggak ada efeknya nyetel marjinal, keroncong, dangdut koplo, lagu anak-anak, pop, k-pop, mellow, rock, metal, dan lain sebagainya. Akhir-akhirnya juga bikin keki sendiri gara-gara kuping kemana, otak kemana, hati kemana, tangan kemana.
Hidup ini serbatidakjelas kok.
cadas,
vigna sinensis
Comments
Post a Comment