tidak ada.


            Jiwa ini haus. Haus akan sesuatu. Sebuah penamaan yang tidak kunjung menemukan labuhannya juga. Hati ini terdampar. Di tempat terasing bernama ketidakberdayaan dan kekangan dari segala sesuatu yang hidup. Seperti hidup di pesisir Tanjung Tinggi tanpa boleh berenang atau menyambangi asinnya lautan Belitung.
            Saat terbangun di pagi hari, saya tidak tahu apa yang saya cari. Saya tidak inginkan semua ini. Saya merasa tersesat sehingga ingin tidur lagi, sampai seseorang dalam mimpi berhasil menemukan saya. Dan membawa saya pergi walaupun hanya sebentar. Terbangun satu dua jam untuk menimang setiap kenangan pun, kini tidak lagi saya kehendaki.
          Saya semakin tak tahu arah. Kering bagaikan gelas sisa peminum durjana yang pada akhirnya juga terempas tak berdaya dibuai gerah angin malam. Sudut-sudut mata ini menari-nari, mengetuk asa di luar botol tanpa bisa bertanya, tanpa bisa curiga. Bagi cinta, bagi hidup, bagi takdir.
          Sekarang adalah saat yang tepat untuk mempertanyakan semua gejolak dan gairah hidup ini. Walaupun terlambat, walaupun tersesat. Walaupun terkadang saya ingin membuka gagang pintu itu, masuk ke dalam kegelapan yang mengungkung selamanya. Kalau saja tak ingat ini, tak ingat itu.
            Harapan-harapan itu telah mati. Air mata itu telah kering. Jari jemari ini sudah tidak mampu lagi menggapai apapun, bahkan sudut-sudut sajadah. Dan mata ini sudah terlalu lelah menjerang kenyataan yang tak ada habisnya. Mulut ini terlalu pekat untuk menelan semua kekosongan. Hati ini sudah mengitam, ampun mati rasa dan jiwa.
            Mungkin yang bisa dilakukan adalah menyenangkan hati mereka yang keburu berharap. Meninabobokan mereka dalam ketidaktahuan tentang apa yang terjadi di dalam diri ini. Mengucap kata mesra penuh pengertian saat berkata-kata. Kini waktunya untuk kosong. Kosong. Kosong.
            Saat akan tidur pun, tak ada yang terbayang kecuali pengharapan demi pengharapan yang kian lama kian memuakkan. Kian menyesakkan. Melesakkan mata ini dalam tumpuan bantal kumal yang lama tak diganti sarungnya. Menjadikannya putih dalam hitam. Dan hitam dalam hitam. Mimpi tak berwujud. Sebatas berusaha melarik asap berwarna-warni yang takkan terjangkau. Lalu sisanya dihabiskan dengan kekosongan.
            Betapa kini saya begitu mencintai kekosongan. Lebih dari diri saya sendiri.
            Kesenangan ini tidak pernah membabi buta dalam keberhargaan. Semuanya perlahan mungkin memudar seiring dengan kian lama kita berharap. Kebahagiaan itu makin tidak tercapai.
            Tidak ada waktu yang diisi dengan baik. Tidak ada detik yang terlewati tanpa terbuang percuma. Tiada semua kesesatan tanpa menatapi satu persatu karakter. Mengkarakterisasi mobilitas orang lain yang tidak pernah terwujud kemanusiannya. Menjadi abu dalam sekumpulan api yang menggeliat penuh semangat dan bara keberhasilan yang menjanjikan.
            Kekosongan awal dari segalanya.
            Mungkin saya harus pergi, membebaskan semua angan ini dalam jeratan yang tidak saya sanggup lihat. Meregangkan posibiltas dalam hal-hal retorika yang tiada mampu saya capai apa gunanya. Saya menikmati diri saya yang bukan siapa-siapa.
            Bahkan terlalu bukan siapa-siapa untuk menuntut apa itu kebebasan. Untuk menuntut apa itu keluangan. Saat kata lelah itu sudah terlalu sering diperdengarkan. Saat ucapan tak kasat mata itu selalu sering diucapkan.
            Tapi disinilah saya sekarang. Terlalu lelah untuk maju, terlalu sakit untuk mundur. Berdiam diri menanti angin dari puncak melahap habis segala keremangan yang muncul. Menciutkan diri dalam celah tak terjamah di sela-sela Blank 27.
            Kini saya tak lebih dari sebatas spons tak bernyawa. Terkatung-katung mengikuti hari tanpa pernah ada harapan terbersit. Tanpa pernah ada cita-cita terujar. Tanpa ikrar keberhasilan yang menjanjikan.
            Dengan penuh lubang, jiwa ini terasa tak tersiram sekian lama. Jiwa ini hampa, kalut oleh gerusnya hal-hal yang tidak ingin saya pikirkan tapi jadi momok yang paling sering mengikat bayangan. Terkutuk oleh bayang kesesatan, dan tanpa maksud menyerah begitu saja di ketidakadaan.
            Ketika saya begitu iri pada mereka. Mereka yang mampu menjaring mimpi dari jutaan ketidakpastian. Mereka yang berhasil bertahan di ombang-ambing lautan serba asin dan asing di mana tak ada yang terlihat di batas pandang cakrawala. Mendapatkan mutiara bernama harapan dan cita-cita setelah ratusan kali menawan diri sendiri dalam keyakinan. Saya adalah satu yang melompat karena tidak punya lagi apa itu keyakinan dan kepercayaan. Terjun dari anjungan kapal yang tak lagi berpenghuni dan menyelam sejauh manapun saya bisa bernapas. Kemudian muncul lagi ke permukaan, menarik napas, dan terus berenang. Itulah saya. Sama seperti sekarang. Terengah-engah di antah berantah. Tanpa ada seorang pun mau mengerti selain senyumnya, tanpa seorang pun mau memahami selain sorakannya di dasar lautan. Selain adanya dia untuk hidup, tidak lebih.
            Saat jiwa ini gersang. Jauh tersiram dari butir-butir penuh ketulusan. Ketika akhirnya saya berdiam dan tidak berjalan. Ketika akhirnya saya hanya jadi patung yang tidak berperasaan. Ketika pada akhirnya saya tidak menjadi apapun.
            Apapun..
            Saat jemari ini sudah tak lagi mampu menghidupkan mereka si tokoh-tokoh impian dalam bayangan. Ketika kepala ini sudah tak mampu lagi merangkai cerita tentang romantisme yang terebus dangkal dan kemudian menguap lagi.
            Ketika pada akhirnya diri ini ingin terbiarkan begitu saja. Seperti daun yang mengikuti arus deras sungai. Kadang timbul, kadang tenggelam. Ia hanya ingin pulang. Ia hanya ingin kembali ke ibu para jiwa yang tersesat. Lautan. Gelap. Dan sesuatu yang memegangnya lebih dari apapun, kekosongan.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)