Just Maybe
Just maybe.
Dreams comes true. Segalanya
mendadak berubah dalam sekali waktu. Semua yang dipertaruhkan dan diharapkan
menjadi kenyataan dalam sekali kejut.
Dan, here we go..
Setelah sempat bersusah payah dengan
semua prinsip dan pilihan di SNMPTN Undangan yang diseleksi melalui nilai rapor
saja dan menerima kegagalan sehingga kembali berperang di ujian tulis atau
SBMPTN. Saya mendapat panlok di Malang
untuk pilihan yang mungkin paling gila seumur hidup saya. Kembali memilih UGM,
kemudian disusul dengan universitas yang tidak pernah saya perhitungkan seumur
hidup saya; UNAIR. Barulah pendaratan yang mungkin mulus dan kembali ke jalan
awal di UM. Kesemuanya saya pilih dengan pilihan yang juga cukup gila seumur
hidup saya; Sastra Indonesia.
Walaupun awalnya saya mengalami deadlock yang juga terkuat seumur hidup saya
mungkin. Masa depan, bo! J
Jadi dari awal saya tidak tahu akan
meneruskan ke mana, ambil jurusan apa. Dan segalanya. Yang hanya saya tahu,
saya jatuh cinta dengan Jogja dan terdesak dengan julukan Kota Pelajarnya. Saya juga tidak mau ke Malang karena
banyak sekali teman saya yang di sana. Walaupun yah saya sebenarnya juga cukup
suka, karenanya saya memilih UM di dua seleksi berturut-turut lantaran saya
masih berpikir panjang akan kemampuan ekonomi keluarga jika harus kuliah di
universitas sekaliber UB.
Setelah
melalui perjuangan panjang saat akan mendaftar SNMPTN Undangan, akhirnya
pilihan saya jatuh di Sastra Indonesia setelah beberapa kali cekcok dengan
orang tua. Saya tidak berminat di Komunikasi, Hubungan Internasional, apalagi
Hukum. Lebih tidak berminat lagi di Ekonomi Pembangunan yang sulitnya minta
ampun, Akuntansi yang SMA saja bikin saya megeh-megeh, maupun Geografi yang
pas-pasan. Saat saya termenung, saya tatapi novel saya yang jumlahnya sudah
beranak pinak sehingga di lemari tidak muat lagi. Belum lagi komik dan majalah
yang terpaksa harus mengalah sehingga diletakkan di luar dan menjadi sarang
debu walaupun sering saya baca. Saya utak-atik blog saya yang mendadak menjadi
penyegaran yang begitu menarik pasca semua ketegangan dari orang tua saya yang
sudah sewajarnya menuntut ini itu. Saya paham. Hanya tidak bisa menerima.
Saya
juga tidak berminat untuk masuk jurusan yang beranak pinak dari pelajaran SMA
macam Kartografi, Antropologi Budaya, dan lain sebagainya. Saat saya utarakan
pada orang tua, akhirnya saya berhasil diizinkan memilih Sastra Indonesia
sebagai jujugan saya selepas SMA.
Pilihan kedua melalui proses yang lebih rumit lagi karena saya berkeras memilh
Filsafat lantaran saking tidak maunya memilih Sastra Prancis, Nusantara,
Inggris, dan lain sebagainya. Hehe. Cerewet deh, saya.
Tapi
apa daya. Semua itu tinggal perdebatan di belakang. Setelah gagal di SNMPTN
Undangan, ternyata saya baru dapat kabar kalau sekolah saya tercinta masuk
blacklist UGM lantaran kakak kelas yang mrotol setelah keterima. Benar saja, di
antara sekitar 24 teman satu sekolah yang mendaftar UGM, tidak ada yang
diterima. Walaupun sempat
menyesal dan juga kesal, tapi saya meredam-redam hati saya dulu. Tak apa, toh
itu melalui nilai rapor. Bedanya dengan ujian tulis hanya bahan acuannya saja.
Toh nilai saya juga nggak bagus-bagus amat untuk masuk SNMPTN Undangan. Saya
sadar kenapa saya gagal dengan nilai naik turun itu.
Di
SBMPTN, saya sempat dilarang daftar UGM oleh orang-orang sekitar karena
universitas itu benar-benar bagus dan sulit masuk juga keluarnya. Juga
bercermin dari SNMPTN Undangan. Kesimpulannya UGM benar-benar ketat menyeleksi
calon mahasiswa barunya. Guru les matematika saya saja, Bu Ifa, bilang, “kamu
sudah daftar UGM di SNMPTN Undangan, dan gagal. Otomatis mereka sudah tahu
nilai rapormu. Jadi kecil kemungkinan diterima. Mereka pasti melihat yang lain yang nilainya jauh
lebih bagus dan stabil.” Saya setuju. Awalnya.
Bunda
saya juga bilang begitu. Nggak apa-apa di universitas lain. Nggak hanya UGM.
Akhirnya pilihan saya jatuh ke UNAIR. Jujur saya nggak sreg dari awal. Karena
apa? UNAIR ada di Surabaya dan saya kurang suka dengan kota hiruk-pikuk yang
sudah mirip Jakarta itu. Sanitasi airnya yang sangat butuh perbaikan, macetnya,
padatnya, polusinya.. Ampun! Saya nggak betah. Tapi apa boleh buat. UNAIR punya
grade yang lebih tinggi dari UB, dengan biaya yang terjangkau dan sesuai dengan
kualitas yang didapat di sana. Baiklah, mimpi ini mungkin tidak perlu setinggi
ini.
Saking
galaunya, saya shalat Istikharah dan kembali menggeluti Tahajud (ketahuan deh,
jarang Tahajud-an –”). Hasilnya, hati saya menyentil-nyentil minta
diperhatikan. Katanya kurang ajar, ”gapapa. Coba UGM. Yang nyeleksi hasil
rapormu panitia SNMPTN, bukan sepenuhnya pihak UGM. Ini kan, tulis. Kamu bisa
lebih membuktikan kemampuanmu. Toh mereka mungkin terketuk dan bisa
mempertimbangkan untuk memilih kamu karena melihat kegigihanmu. Coba aja..
siapa tahu kena. Kamu nggak pernah tahu seberapa jauh jarakmu sama takdirmu,
kan? Kalau udah takdir nggak bakal ke mana... oke?”
Dasar
perempuan, gampang banget nurutin perasaan. Saat saya utarakan ke Bunda. Bunda
hanya diam, kemudian berkata pelan kalau merestui. Senyum mengisi hati dan
wajah saya. Dengan bermodal keyakinan bodoh itu, juga belajar sampai larut
malam setiap harinya dengan buku sukses UN dan SNMPTN (tahun lalu namanya masih
SNMPTN Tulis).
Saya
pun memilih UGM, UNAIR, dan UM. Pun didukung keyakikan dari kakak kelas saya
yang bisa diterima di dua universitas sekaligus. Paling nggak, masa saya nggak
keterima UM, sih? (Kepedean—”) hehe. Itulah pelipur lara yang saya jadikan
tolak ukur saat resmi meng-klik tiga pilihan prodi. Berbekal basmalah, doa yang
nggak tahu nyampai nggak saking deg-degannya.
Saat
kebagian mengerjakan SBMPTN di UNMER Malang, saya deg-degan juga. Sendirian,
bro! UNAS sih, masih bisa tanya-tanya walaupun bisik-bisik yang juga bentar
amat._. tapi bodo amat lah. Semua juga serius dengan tes tersebut. Jadi saya
ikutan aja. Pakai disewakan penginepan sama orang tua di Malang yang mahal-,-
malah setelah SBMPTN hari pertama, saya dan dua teman saya masih sempat nonton Man Of Steel di 21 Matos padahal
besoknya masih harus ujian Tes Kemampuan Sosial Humaniora. Aduh, pake gaya gila
deh. Yang penting doa kenceng, sholat rutin, baca Qur’an. Semuanya supaya saya
lancar dengan jalan saya. Dengan takdir saya, apapun itu. Saya ingin
mendamaikan diri saya sendiri dengan segala kenyataan maupun kemungkinan.
Setelah tes, saya selalu merasakan kesulitan. Saya sampai nangis ke Puguh
gara-gara ketidakbisaan saya di ujian yang telah saya lampaui. Walaupun
ngakunya selow, pikiran-pikiran buruk datang tiba-tiba dan muncul dengan tidak
terkendali. Rasanya saya pengen berteriak. Apalagi melihat orang lain begitu
siap dan mantap dengan jawaban mereka maupun hasilnya. Saya selalu merasa
berkecil hati.
Karena
pengumumannya cukup lama, 12 Juli. Dengan tes yang pertengahan bulan Juni,
selisih jarak 1 bulan itu saya manfaatkan dengan kembali browsing dan daripada
nggak ada kerjaan, saya memutuskan untuk mengikuti seleksi mandiri. Langsung
dan nggak tanggung-tanggung; UGM (lagi, hiks). Saya bujuk orang tua saya. Saya
tunjukkan semua form UKT dan juga BKT UGM yang jelas lebih terjangkau dari UB
-,- yang serba mahal (lagian sastra UB Cuma dikit). Dan berhubung tesnya hanya
ada di empat tempat di Indonesia. Saya langsung rekrut teman-teman yang
berminat untuk ikut mandiri UGM itu (sialnya lagi tesnya bareng sama tes
Mandirinya UNAIR). Setelah nemu 3 orang teman kamipun siap pergi ke Jogjakarta.
Yuhuuuuuu..
Setelah
berbagai pengalaman di Jogja lantaran nginepnya juga numpang (melarat abis sih
sebenarnya), kami tiba-tiba dapat info kalau pengumuman SBMPTN ternyata
dimajukan jadi tanggal 8 Juli 2013 jam 5 sore. Deerrr, kami sudah extend 25
ribu untuk meluangkan waktu sehari buat jalan-jalan lantaran padatnya acara
kami sehingga kepulangan kami jadi tanggal 9 Juli harus deg-degan lagi. Itu
artinya kami bisa memilih untuk melihat hasil saat masih di Jogja.
Tanggal
8, kami jalan-jalan ke Universitas Islam Indonesia juga ke Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta. Alright, tanpa peduli jam kami juga jalan-jalan ke
Malioboro. Setelah ke Mirota, ke mall Malioboro, saat sedang asyik-asyik baca
komik gratisan di Gramedia, mendadak Banni mendapat sms dari beberapa teman
kami yang nggak keterima SBMPTN. Duh, dua diantaranya juga daftar UGM seperti
saya. Langsung lemaslah dengkul saya. Pulangnya kami mampir di Dunkin Donuts
gara-gara nurutin hawa nafsu menggebunya si Rio buat makan donat. Dengan enteng
Rio log in lewat hape dan dia yang daftar UGM juga nggak keterima. Affandi, si
slow dalam kelompok kami yang juga pinter ikutan log in juga nggak keterima.
Banni walaupun Mamanya yang log in-in ternyata juga nggak keterima. Aduh, mati
lemas deh rasanya saya. Digantungin itu memang nggak enak!
Saya
pasrah aja, kartu SBMPTN ketinggalan di kos (padahal beberapa hari selalu saya
bawa KEMANAPUN. Entah kenapa hari itu saya taruh di kos), dan saya nggak hafal
nomor peserta saya. Soft copynya ada di Puguh dan saya nggak ada batere
sehingga mematikan ponsel pun untuk menenangkan diri lantaran gugup. Pulangnya
saya sempet beli rok panjang karena sebenarnya terbetik pengin berkerudung
seperti Banni yang jadi kelihatan anggun. Hehe. Pulangnya pun kami kesandung
masalah motor sehingga naik TransJogja ke Jalan Kaliurang tempat kos saya dan
Banni dengan deg-degan. Semua pada kusut walaupun sempat ketawa-ketiwi dan
bertukar cerita. Saya baca doa juga Cuma buat menenangkan diri saya sendiri. Saya
berdoa semoga saya siap dengan semua hasil yang saya terima. Toh saya masih
punya cadangan mandiri di beberapa tempat lain.
Saat
sampai di tempat kos, Rio dan Affandi langsung ambil motor dan pulang ke kosnya
mereka karena sudah ditunggu si empunya motor. Saya pun ngeloyor masuk dan
minta pinjam laptop beserta modem ke Mbak Nila (Housemother saya dan Banni :D
alias yang bersedia kamarnya diisi dua orang perantauan cekak seperti kami
hehe). Saat itu bahkan sudah jam setengah 7. Saya langsung charge ponsel. Banni
yang bantu melog-inkan sementara saya ganti baju. Saat selesai log in, saya
deg-degan dan tiba-tiba layar berubah. Pandangan pertama saya melihat nama
saya, nomor peserta, dan Sastra Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Saya blank,
sudah pasti gagal. Mbak Nila tiba-tiba memekik mengucapkan selamat. Saya baca
ulang dengan seksama, jantung saya rasanya kosong. Plain aja, gitu. Tulisan,
’Selamat, anda dinyatakan lulus SBMPTN 2013’ di atas nama dan pilihan prodi
saya menggampar saya hidup-hidup.
Saya
berseru nggak percaya, log in ulang dan mendapati tulisan yang sama. Saya,
Innezdhe Ayang Marhaeni (yang ketulis jadi Innezdhe Ayang Marha karena
maksimal 20 huruf beserta spasi) nomor
peserta 2135509936, dinyatakan diterima di Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra
Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Saya keluar kamar usai memeluk Mbak Nila
dan Banni. Saya nggak tahu harus gimana. Pegang ponsel untuk telepon Bunda saja
berkali-kali salah password. Hingga saat berhasil menghubungi, saya berkata
dengan suara serak tanpa mendengarkan suara Bunda.
”Aku
keterima, Nda. Aku keterima.”
”Lho
iya ta, Nak? Di mana?”
”UGM, Nda. Sastra Indonesia. UGM. Aku
keterima.. aku keterima.” Hanya itu berulangkali saya katakan tanpa bisa
berkata ataupun berpikir lagi. Bunda langsung memekik histeris. Mendadak
suaranya jadi sengau.
“Cepet pulang ya, Nak.. pulango besok
ya..”
Saya hanya mengiyakan dengan pikiran yang
blank abis. Saya pun telepon Ayah. Seperti biasa, Ayah tenang saja dan ikut
bersyukur, menyuruh saya juga untuk lekas pulang. Kembali saya terpekur,
bingung menghubungi siapa. Tiba-tiba jemari saya sudah menekan nomor Tante di
Kalimantan Timur yang tahun lalu menampung saya untuk berlebaran di sana.
Nggak
diangkat. Saya diamkan. Saya pun SMS Mas Rois yang selama ini bantu doa dan
nemani jalan ke UGM. SMS juga Mas Niko yang rutin tanya-tanya. Sekalian balas
SMS teman-teman yang tanya. Beberapa saat kemudian, Tante telepon balik. Dengan
enjoy dia bicara, saya sudah nyerocos nggak jelas. Lagi-lagi bersyukur. Sama.
Semua sama, klasikal. Saya terharu. Saya menangis.
Banni tiba-tiba keluar dengan air mata dan
mata merah. Kami berpelukan. Benar kata Mbak Nila dan pacarnya, Mas Dana.
Beginilah yang ditakutkan saat membuka hasil bersama-sama. Tiga teman lain
tidak lolos, saya yang lolos. Saya tidak tahu harus bagaimana. Mau sedih, tapi
saya senang. Mau senang, tapi saya sedih karena teman-teman tidak lolos. Akhirnya kami sama-sama menangis
(perwujudan kalau tidak ngerti harus ngapain). Mbak Nila datang dan memeluk
kami bersama-sama. Dia menasehati Banni dengan penuh pengertian, juga saya. Air
mata saya mengalir sambil terus membalas SMS teman-teman yang tanya juga
mengucapkan selamat.
Hari itu, hari bersejarah dalam hidup
saya. Hari di mana perasaan saya campur aduk dan tak tahu harus berbuat apa.
Mbak Nila menasihati saya dengan lembut. Berkata tahu apa yang saya rasakan.
Saya diam saja, mendadak saya membeku dan tak bisa berkata-kata. Saya telepon
Puguh. Awalnya saya hanya membiarkannya mendengarkan tangisan saya. Dia kira
saya nggak lolos dan menghibur saya. Saat saya bilang dengan suara parau, ”aku
keterima..” dia mengucapkan selamat. Saya bilang saya nggak tahu harus gimana
dan dia menghibur saya dengan lembut. ”Kasih semangat. Jangan takut mendekati
mereka..”
Esoknya
kami pulang. Saya tidak melihat ada rasa iri terselip dari sikap Rio, Affandi
maupun Banni. Mereka benar-benar baik bagi saya. Kami ke Lempuyangan. Makan di foodcourt dalam stasiun. Bahkan
sempat foto-foto dan bercanda bersama.
Oh Tuhan.. saya berdoa semoga mereka lulus
di seleksi mandiri. Semoga mereka diberi keberkahan. Malamnya saat Mbak Nila
membantu saya dengan jadwal daftar ulang, saya lihat Banni tertidur dengan mata
sembab, kebanyakan menangis. Di tangannya tergenggam tasbih dari orang tua
Affandi yang sempat saya perbaiki lantaran dirusak Adien. Saya hanya bisa diam.
dan diam..
just maybe, seandainya saya bicara.
bless you.
Hei, Innez.
ReplyDeleteNyasar ke blog ini waktu liat beranda fb hehe
i feel you, been there done that.
Kalo kata Paulo Coelho, When you want something, all the universe conspires in helping you to achieve it. Seneng tau ada orang lain yg juga berjuang banget buat mimpinya walaupun awalnya keliatan mustahil dan ortu susah ditaklukin.we did it ;)
Keep Awesome di UGM ya! :)