Tiada Sempat
Mungkin Tuhan itu memang baik. Hanya
dengan melihat kamu, aku yang tidak pernah berdoa ini bisa yakin Tuhan itu
benar-benar baik. Aku tak tahu lagi siapa diriku saat kamu mulai mau duduk di
sampingku dan mengatakan segalanya.
Segalanya.
Mengapa aku tahu kamu punya
segalanya? Matamu berkata lebih baik dari wajahmu. Wajah anggun yang palsu kamu
tampakkan pada mereka yang beranjak mendekat penuh ingin tahu pada gadis
secantik kamu. Pada romantisme yang kamu buat disekitar kamu. Mendadak kamu
jadi pusat semua berseteru untuk hal yang satu.
Kubuang buih-buih lamunan yang tadi
ada. Hanya untuk terus memandangi kamu. Melihat kamu mengaduk espresso tanpa
tahu apa yang menantimu di ujung pusaran yang sama.
Kamu begitu terlihat berbeda.
Berulang kali kamu membuka flip ponsel. Entah memastikan jam, menanti SMS,
atau telepon yang tak kunjung datang walaupun kamu sudah memastikan nada dering
terpasang maksimal dan getar terpancang sempurna hingga sensivitas sikumu yang
bertumpu pada meja tinggi benar-benar memanggangnya secepat kilat. Tipikal
gadis seperti kamu. Membuatku yakin kamu benar-benar kamu, tidak seperti gadis
yang baru kemarin datang ke salon dan keluar sebagai ningrat yang tak lagi mau
dipanggil namanya tanpa embel-embel. Yang sifat aslinya akan keluar saat ia
menanti seperti apa yang kamu lakukan. Merepet gelisah dan tampak gugup
sehingga lancar dimangsa serigala-serigala kelaparan yang bahkan sudah menyusup
satu dua ke meja-meja di sekeliling kamu. Menatapmu penuh sarat kemaksiatan.
Getaran
di cangkir teh ini mungkin yang bisa membuatku yakin, aku benar-benar
memperhatikan kamu.
Dulu
aku tak pernah suka gadis seperti kamu.
Lihatlah saja diriku (kalau kamu mau). Lelaki
merana yang duduk sendirian di kafe romantis dengan kelap-kelip yang membual.
Lelaki dengan celana jeans kumal yang sobek di bagian dengkul dan tak rata di
bagian ujung kaki lantaran terlalu sering tercium sabun cuci dan meja setrika. Kaos Rolling Stone ini juga tak akan
memperbaiki kesanku di depanmu. Selain wanginya yang tak seberapa, warnanya sudah pudar di beberapa bagian.
Apalagi dengan jaket jeans yang tak mau kalah kumal dari dua lainnya. Bersandar
di kursiku. Kulepas karena panas. Sepatuku? Bukan merek mahal. Aku bukan orang
yang rela berpakaian kumal tapi bermerek. Semuanya kubeli di pasar dengan
bantuan seorang remaja yang seumuran. Sepatu ini, satu-satunya yang mereknya
masih bisa terbaca, Converse. Sudah tipis alasnya. Kudapati di pasar loak
ketika aku iseng berjalan-jalan mengenakan sendal jepit.
Dibandingan
dengan gaun putih bersihmu, tas Prada elegan yang kau tenteng saat masuk ke
sini, dan high heels yang mencekik leherku saat melihat mereknya saja, aku
adalah kucing kampung tak tahu diri yang menyusup di ruang makan istana. Tempat
segala yang bersih, baik dan mahal sepertimu bersarang.
Sebenarnya
sama. Aku dan kamu sama-sama menanti. Walau aku tak mau tahu siapa yang kau
tunggu, yang jelas beruntung sekali lelaki itu. Darimana aku tahu? Matamu
mengatakan segalanya.
Mata
sendu, dicampur ketidakyakinan namun tidak mampu menggusur gurat-gurat cantik
penuh pesona di wajahmu. Kukira tak mungkin kau menampakkannya hanya untuk
seorang gadis yang tak lebih baik darimu. Kutebak, ia adalah lelaki.
Sama.
Aku juga. Aku menanti seorang lelaki yang berjanji hendak menemuiku satu jam
yang lalu. Satu-satunya alasanku bertahan di sini walaupun ia tak kunjung
datang adalah saat aku hendak keluar, kamu masuk dan menyihir duniaku.
Membolak-balikkan kemuakanku. Sejenak, aku merasa muak pada diriku sendiri.
Maka terkutuklah kau yang baru kali ini datang dalam hidupku.
Sungguh
aku ingin mendekatimu. Bertanya sesuatu untuk yang bisa kauceritakan. Tentu
saja lebih baik daripadaku yang tak punya apapun yang jelas ini. Kau pasti
punya jutaan cerita tentang jutaan laki-laki yang mendekatimu. Tentang si ini
dan si itu yang punya taman bermain terkenal dan menjanjikanmu untuk plesir
bersama ke benua Eropa atau ia yang punya showroom mobil terbesar di Asia
Tenggara dan berjanji mengajakmu berjalan-jalan di Dubai dengan Ferrari.
Dan aku berani taruhan atas namaku, tak
ada satupun yang mirip aku. Seperti aku pun tak ada. Aku paham naluri
kebanyakan lelaki, apalagi yang punya banyak kemiripan denganku karena aku
sendiri terlalu biasa untuk dipandang perempuan mana pun.
Kebanyakan
kami, lelaki dari jenisku, akan mundur teratur melihatmu. Kecuali mereka yang
punya jiwa petualang dan berani memanjat dinding rumahmu di malam hari. Bagiku,
hal itu adalah konyol. Mereka kira kau bodoh? Kurang hiburan? Kau memang akan
tersenyum senang akan keberanian lelaki macam itu, tapi tak tunggu bulan, satu
minggupun mereka akan tergusur lelaki yang gantleman menjemputmu di depan rumah
usai pamitan pada Ayah Ibumu. Bagi kau, lelaki macam itu adalah monyet yang
sebatas menghiburmu. Kami, lelaki sepertiku, akan tahu diri dan menatapimu
penuh hormat tanpa perlu tahu pandanganmu terhadap kami.
Cukup.
Aku mungkin cukup tahu.
Tring!
Bel yang diletakkan di pintu berdering merdu, tak seberapa keras. Kali ini
seorang gentleman masuk. Ia melepas jasnya dan berbicara sebentar pada pelayan.
Aku tersenyum. Lelaki itu menghampiriku. Ini dia.
”Yo, Har, sudah lama?” sapanya.
“Satu
setengah jam. Lelucon seru buatmu, ya?” balasku. Namanya Risman. Nanda
Rismanto. Yang entah kenapa lebih suka menyebut dirinya dengan Risman daripada
Nanda.
Ia tertawa cepat. “Tidak juga. Macet di
Jakarta. Mungkin kalau aku benar jadi walikota sepuluh tahun lagi, akan kubuat
gondola daripada sekedar membuatnya di taman bermain. Mobilitas kita jadi bisa
lebih leluasa, kan?” sahutnya. Tanpa basa-basi, ia meminum kopiku yang tinggal
setengah, menandaskannya.
Tak
pernah ada kamus segan dalam pertemanan kami. Aku dan Risman berteman sejak
kami berumur 3 tahun. Bersama memancing di got samping rumah sejak kami masih
tidak bisa buang air sendiri. Berdua bermain jenderal bergantian.
Walaupun hanya puny a satu anak buah. Bersama mengarungi masa remaja yang konyol gara-gara naksir kakak kelas. Hingga
dihukum guru gara-gara membolos nonton sepak bola dan main PS. Perbedaannya,
kini ia lelaki perlente dengan jas, dasi, celanan linen dan sepatu hitam,
sementara aku masih menyampah di sana-sini.
”Mungkin
kau tak pernah merasakan jatuh dari ketinggian 20 meter, makanya enak saja
bilang bikin gondola. Kau
pikir tak ada yang takut ketinggian di Jakarta?” balasku.
Ia
tersenyum dan mengangkat bahu. Kemudian meletakkan jasnya di sandaran kursi
kosong di depanku. Alih-alih duduk dan menikmati secangkir kopi yang baru saja
diantar pelayan, Risman malah melangkah ke tempat duduk lain. Sempat
terperanjat aku saat ia menghampirimu. Gadis itu.
Kemudian
Risman dan gadis yang kini sudah beranjak itu bersama menghampiriku. Aku jadi
merasa kurang ajar telah membayangkan kekasih sahabatku ini.
”Nah,
Nan, ini sahabat saya. Namanya
Herdi,” Risman berkata pada gadis itu. Kamu.
Aku
pun sebatas mengulurkan tangan tanpa merasa perlu berdiri. ”Herdi.”
”Nanda,”
ucapan gadis yang kemudian duduk di samping kami itu mengagetkanku.
”Kan?”
Risman berkata jenaka. ”Kau pikir kenapa aku tidak mau dipanggil Nanda? Karena
ada orang lain yang bernama Nanda. Sepupuku. Dia putri Tante Mira yang biasa ke
rumah dulu, Her. Kau pasti masih ingat.”
Aku
ber-ooh sekedar menyahut. Tak lagi aku merasa perlu ada di sana. Terbongkar
sudah kenapa Risman mendesak ingin bertemu di saat padatnya jam kerjanya.
”Nah,
aku mengenalkanmu padanya, karena Nanda ini suka sekali desainmu,” kata Risman.
Tapi mataku tak mau menatap Nanda.
”Iya, Bang. Aku senang sekali sewaktu Bang
Risman bilang ia teman Bang Herdi. Makanya aku minta dikenalkan,” ujar Nanda,
suaranya senang tapi terjaga dalam keaslian keanggunannya. ”Sialnya dia tak mau
memberi tahu aku facebook atau twitter Bang Herdi. Aku jadi tidak enak karena
kita sama-sama duduk di cafe yang sama hampir satu jam demi menungguinya.”
”Kubilang
kan, cari sendiri saja. Aku tak enak hati harus memberitahukan jejaring sosial
temanku yang satu ini. Kami sudah seperti saudara, Nan. Lagipula dia pasti
terkenal di twitter, macam mana pula sampai kau tanya aku,” Risman berkata
sambil menyeruput kopinya.
Aku
hanya bisa tersenyum.
”Benar
kata Risman. Nama saya Herdi.
Ini alamat jejaring sosial saya. Silakan,” aku dengan sopan mengeluarkan kartu
nama dari saku jaket kumal.
Nanda menerimanya seperti mendapat durian
runtuh.
”Terima
kasih, Bang. Aku benar-benar suka dengan desain Abang. Kebetulan kantorku
terletak tepat di depan kantor yang Abang desain. Setiap pergi dan pulang
kerja, tak pernah jemu aku memandang gedung itu. Sungguh,” kata Nanda.
”Terima
kasih,” ucapku khidmat.
”Nah, kenapa kita tidak makan untuk
merayakan perkenalan ini? Ayolah,
aku yang akan menraktir,” ujar Risman.
Aku
dan Nanda hanya tertawa menatap tingkahnya.
Hujan
di luar semakin deras. Gadis anggun di sebelahku ini terus saja berkata-kata.
Walaupun ia banyak bicara, tapi apa yang dikatakannya selalu bermutu dan
berisi. Aku kagum dengan gadis sepertinya. Walaupun sebenarnya aku tak ingin
tahu namanya. Tak ingin ia ada di sampingku.
Karena sejak ia duduk di sini, namanya
adalah Nanda.
Satu
jam yang lalu, saat semua orang menatap ingin tahu ke arahnya, bagiku ia adalah
gadis tercantik yang pernah kulihat. Selamanya akan begitu, gadis tercantik itu
hanya akan tinggal di sudut terspesial dari memori yang kupunya. Gadis yang
duduk seorang diri dengan gaya menunggu yang anggun. Tanpa pernah memberi
kesempatan padaku untuk menghampirinya turun dari kursi yang terasa seperti
singgasana baginya, sekedar menanyakan apa yang ditunggunya.
Sebatas
itu.
~ iam ~
Comments
Post a Comment