Miracle In Cell No.7

Hai, there.
Saya baru nonton Miracle In Cell No.7, nih.
Awalnya saya tahu film ini beberapa bulan lalu, setelah nonton EXO’s Showtime. Reality show ini menceritakan tentang boyband EXO dan berbagai hal seputar keseharian mereka. Apapun yang mereka lakukan, sampai tentang masing-masing personel.
Sekarang sih, sudah ada EXO First Box ataupun EXO XOXO. Tapi waktu itu reality show macam ini tentang EXO nggak ada, jadi kebayang kan, betapa famous-nya EXO’s Showtime ini. Hehe.
Nah, di episode keempatnya mengenai Natal dan tahun baru, EXO mengungkap tentang member-member mereka yang paling sensitif alias perasa. Perasa yang dimaksud adalah berhati lembut alias gampang menangis. Karena berakhir saling tuding antar member, akhirnya diputuskan mereka mengisi malam dengan menonton film yang mengharu biru. Selain sebagai hiburan, menonton film bersama ini juga bertujuan untuk membuktikan prediksi mereka tentang siapa yang paling cengeng di EXO.
EXO’s Showtime berbahasa Korea, jadi saya harus sabar menunggu video yang diupload dengan subtittle (yang kadang nggak pas pula *keluh). Awalnya saya plain saja dengan film yang mereka tonton. Apalagi tidak diceritakan secara jelas film apa yang sedang mereka tonton. Yang saya kenali pun hanya Park Shin Hye sebagai pemeran utama wanita. Dia, kan, famous banget di Korea. Saya jelas nggak bisa mengidentifikasi film apa yang dia mainkan.
Eh, ternyata. Hampir semua member EXO kecuali Lay, menangis. Harap maklum, ya. Lay emang terkenal pendiam di antara member lainnya. Waktu nonton film pun dia bukannya antusias malah tidur pulas. Tanpa peduli sekitarnya sudah banjir air mata. Bahkan pentolan EXO yang dinilai berhati kuat seperti Xiumin pun menangis waktu menonton film ini.
Selain itu, dari yang paling sering menangis seperti Tao dan Luhan, hingga yang lain; Kai, Kris, Baekhyun, D.O, Chanyeol, Suho pun ikut menangis. Sehun dan Chen memang tidak menangis, tapi mereka berkaca-kaca dan ikut tertular atmosfir biru di sekitar mereka. Jadi, kesimpulan episode keempat itu adalah semua member EXO pernah menangis, apalagi tentang hal-hal yang berkaitan dengan kerja keras dan segala perjuangan mereka untuk menjadi setenar sekarang. Hehe.
Selepas tanggungan saya akan EXO’s Showtime, saya pun kepo tentang film yang mereka tonton. Karena film itu menjadi satu-satunya film yang mereka tonton di reality show tersebut dan mereka semua sampai sedih, tentunya saya penasaran dong. EXO yang saya nilai lebih testosteron dari boyband pada umumnya, bisa menangis serentak karena satu film? Wah.
Saya menolak disebut mania. Mungkin Cuma kepo yang berlebihan. Itu saja. Lagipula, tidak membawa hal buruk, toh. Hehe. Berbagai hal yang saya tonton di EXO’s Showtime saya anggap sebagai hiburan belaka, bukan sebagai tuntutan yang haram bila tidak dilaksanakan. Dan pernak-pernik yang menghiasinya, adalah hal-hal indah yang menambah kesukaan saya akan mereka. Begitu saja, sih.
~ ~ ~
Akhirnya saya pun googling mengenai Park Shin Hye. Benar saja dugaan saya. Bahkan untuk pencarian pertama di Wikipedia pun saya bisa mendapatkan semua trivia-nya. Saya cek satu persatu saking kurang kerjaannya. Akhirnya saya dapat judul yang menarik perhatian saya.
Miracle In Cell No.7
Saya ingat film Park Shin Hye yang ditonton EXO itu juga berlatar di penjara. Jadi saya klik dan benar saja. Akhirnya pencarian saya membuahkan pencarian baru yang benar-benar jelas. Perasaan saya? Bahagia, simpel.
Tapi sayangnya waktu itu kuota internet saya sedang tipis jadi saya tidak bisa download filmnya. Berbulan-bulan seiring waktu, film itu pun terlupakan.
Hasrat nonton saya kembali terpenuhi saat saya sering nongkrong di warnet. Warnet ini menyediakan ratusan judul film yang bisa di-copy sepuasnya. Dan saat itulah, saya menemukan film ini. Yihaaa.. senang sekali rasanya.
Dan baru sore ini saya sempat nonton.
Eh, sayangnya kesenangan saya berganti begitu saja.
[Biar kayak Goosebumps, kalau sudah merasa bosan di sini, silakan klik new tab, dan ketik ‘Facebook.com’]
~ ~ ~
Saya tidak akan mereview film ini, kok. Sejujurnya saya selalu menulis hal-hal yang ingin saya tulis dalam waktu tertentu. Dan kebetulan, saat ini tepat untuk saya menulis. Tepat dalam artian, saya punya waktu dan kemauan yang besar untuk menulis. Jadilah, di sini saya berada.
Miracle In Cell No.7 menceritakan tentang seorang Ayah dan putrinya. Mereka hidup berdua. Sang Ayah yang bernama Lee Young Go menderita suatu sindrom, yang menyebabkan ia memiliki kelainan pada mentalnya, atau dalam terjemahan bebasnya, tidak secerdas manusia kebanyakan. Ia sangat menyayangi putri semata wayangnya yang baru berusia kurang lebih 8 tahun; Yea Seung.
Konflik bermula ketika Yea Seung ingin tas bergambar Sailor Moon, tapi tas tersebut sudah telanjur dibeli oleh seorang anak seumuran Yea Seung dan orang tuanya. Akhirnya ketika ia sudah mendapat uang untuk membelikan tas tersebut, si anak yang ditemuinya di toko menghampirinya dan berkata padanya bahwa ia tahu di mana toko lain yang menjual tas tersebut. Saat mereka akan pergi ke toko tersebut, terjadilah kecelakaan hingga anak itu meninggal. Dan di sanalah Lee Young Go diduga menjadi tersangka. Ia pun dipenjarakan tanpa belas kasihan.
Ternyata, orang tua dari anak yang meninggal itu adalah komisaris kepolisian. Dengan kekerasan secara fisik dan ancaman akan anaknya, Lee Young Go didakwa hukuman mati atas tuduhan penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan putri komisaris.
Awalnya teman satu sel Lee Young Go tak peduli dan menganggapnya orang aneh. Namun lewat beberapa hal, Young Go menunjukkan kebaikan hatinya, bahkan kepada sipir penjara dan kepala sipir yang hampir terluka akibat kebakaran.
Dari sanalah banyak orang yang meragukan statusnya sebagai tersangka atas kasus berat tersebut dan ia bisa bertemu dengan Yea Seung setiap hari karena para sipir yang mengakui kebaikan hatinya.
Menjelang persidangan akhirnya, Young Go bertemu dengan pengacaranya yang menekannya akan lawan mereka di persidangan nanti. Ia mengingatkan bahwa kalau sampai ia mengelak, Yea Seung akan terkena imbasnya.
Hingga tiba di hari persidangan, komisaris polisi orang tua anak yang meninggal itu menemuinya di ruang tunggu terdakwa dan memukulinya tanpa perasaan. Ia memaksa Young Go mengakui apa yang ditimpakan padanya atau ia akan melakukan hal yang sama pada putrinya; Yea Seung.
Karena ketakutan dan kecintaannya pada putrinya, Young Go pun mengaku. Hukuman mati dijatuhkan.
Film ini beralur flash back, di mana pada akhirnya Yea Seung diangkat anak oleh kepala sipir dan tumbuh menjadi gadis cantik dan pengacara yang cerdas. Ia pun mengajukan kembali kasus ayahnya yang telah bertahun-tahun dianggap selesai seiring dengan dijatuhkannya hukuman mati pada ayahnya. Ia membela nama ayahnya untuk menghapuskannya dari dakwaan.
Begitulah.
Saya kerap menangis pada bagian-bagian tertentu dalam film ini. Film ini punya paket yang pas untuk membuat kita tak hanya berempati, tetapi merenung.
Adegan yang membuat saya sedih adalah ketika tiba hari penghukuman yang bertepatan dengan hari ulang tahun Yea Seung. Young Go membelikan Yea Seung tas Sailor Moon yang diinginkan Yea Seung. Tiba-tiba Yea Seung kecil berdiri dan berkata dengan wajahnya yang jernih.
“Ayah, terima kasih karena telah menjadi ayahku.”
Kemudian ia berlutut, dan bersimpuh di depan kaki Ayahnya. Padahal tak sekalipun ia tahu siapa ibunya. Seisi sel langsung berkaca-kaca. Young Go pun balas berlutut dan berkata.
“Terima kasih karena telah menjadi anakku.”
Tuhan..
Saya sadar betapa buruknya saya. Saya tak pernah bersyukur dengan apa yang saya miliki. Saya selalu menganggap berbahagia dan tak mempedulikan orang lain adalah bentuk dari bersyukur. Namun melihat film tentang Ayah dan anak yang saling mencintai begitu, saya sadar betapa takaburnya saya.
Saya bahkan tak pernah berkata terima kasih pada orang tua saya karena telah menjadi orang tua terbaik di dunia. Saya bahkan punya tiga ayah dan empat ibu. Ayah kandung saya beserta ibu tiri saya, ibu kandung saya beserta ayah tiri saya, dan ayah angkat beserta almarhumah mama dan istri baru ayah saya. Dan saya masih tak bisa bersyukur atas itu.
Terkadang saya menanggap apa yang terjadi di rumah saya adalah kegagalan orang tua saya dalam membina rumah tangga. Hubungan yang telah ada itu seolah menjadi tak berguna ketika mereka mendewasakan diri dengan hal-hal yang tidak saya mengerti. Sementara saya selalu merasa menjadi korban dari hubungan rumit yang tak pernah berakhir itu. Seolah di antara keretakan bahkan kerusakan dalam hidup mereka, adalah hanya saya satu-satunya yang merasakannya.
Semakin dewasa, saya sering dinasihati orang-orang terdekat saya. Bahwa terkadang orang tua pun merasakan lebih dalam apa yang kita rasakan. Mereka selalu memikirkan dan menyayangi kita. Mereka tahu hidup bagi mereka telah lama berakhir, tapi tidak dengan anak-anak mereka. Mereka masih berusaha memperbaiki apa yang bisa mereka perbaiki.
Adalah bukan salah Ayah dan Bunda saya, jika mereka bercerai saat saya bayi. Bukan mau Ayah saya untuk pergi dan bukan mau Bunda saya untuk menyerahkan saya pada orang tuanya agar diadopsi. Saya bahkan sakit saat membayangkan bagaimana rasanya dipanggil kakak oleh putrinya. Lebih sakit saat membayangkan bagaimana rasanya diketahui tak ada oleh putrinya.
Salah seorang tetangga saya pernah bilang setelah saya bertemu ayah kandung saya untuk pertama kalinya; “kemarin Mbah lihat kamu dipeluk Ayahmu. Mendadak Mbah menangis. Ikut merasakan bagaimana rasanya dipisahkan dan dijauhkan.”
Saya mungkin harus menghapus rasa sakit saya akan semua yang saya terima. Akan hubungan yang tak bisa lagi diperbaiki itu. Atas mereka yang sudah bahagia dengan hidup masing-masing. Akan mereka yang sudah saling meninggalkan dan tak lagi ingat untuk bertemu. Dan mereka selalu berusaha membahagiakan saya meskipun tak lagi bersama.
Setiap orang tua punya kesusahan untuk membahagiakan anak mereka, apalagi saat anak mereka beranjak dewasa dan merasa mengerti akan segala sesuatu. Saya masih ingat saya selalu protes akan baju pilihan Bunda dan kecilnya uang saku yang diberi Ayah.
Tetapi mereka tak pernah berhenti berusaha.
Dan karena mereka kesusahan, mereka bukan orang tua sok tahu yang mau membelikan apa saja yang dirasanya saya butuhkan. Mereka memberikan hal yang lebih besar dari itu.
Kepercayaan.
Mereka percaya saya bisa bahagia dengan apa yang saya miliki, atau tidaknya yang mereka beri. Mereka percaya saya tak pernah cukup dengan kasih sayang mereka, tapi sayangnya kami kesusahan mengatakan perasaan kami satu sama lain. Kami tak sering bertemu, dan tak sering mengobrol. Kami tak punya berbagai kecenderungan seperti orang lain agar senantiasa bersama.
Mereka percaya pada saya untuk melangkah pada kaki saya sendiri.
Dan sejauh yang bisa saya rasakan, saya tak tahu apakah mereka bangga pada saya. Apakah mereka akan berterima kasih karena saya menjadi putri mereka. Saya tak tahu apa yang pantas untuk membahagiakan mereka.
Orang tua itu, bagi saya, punya logika sempit mengenai kebahagiaan yang tidak sederhana.
Seharusnya daripada mengeluh, saya berterima kasih.
Berterima kasih karena dilahirkan. Berterima kasih karena diberi. Berterima kasih karena dicintai. Berterima kasih karena dipercayai.
Dan tak ada kata cukup untuk berterima kasih dengan ribuan cara yang mungkin belum saya pahami.
Sementara saya sendiri belum pantas untuk diberikan ucapan terima kasih. Doa-doa yang saya berikan takkan pernah cukup. Plakat sebesar apapun takkan pernah membayarnya. Dan cinta seluas apapun takkan pernah menuntaskannya.
Jauh di dalam hati saya, saya selalu bangga memiliki orang tua seperti mereka. Saya hidup dan berdiri dari kerusakan yang terjadi di belakang saya. Saya dibentuk dari berbagai macam pola hidup dan konflik yang tak kunjung berkesudahan.
Orang tua saya bukan orang tua kekinian yang serba peka dan update akan hal-hal yang mutakhir.
Bunda saya lebih suka nonton gosip setiap sore daripada perkembangan berita. Ayah saya lebih suka bekerja di luar rumah daripada berargumentasi. Ayah tiri saya lebih sering mengobrol dengan rekan-rekannya akan hal-hal yang menjadi keresahan mereka. Ibu tiri saya lebih sering memasak dan mengurus adik bungsu saya. Bapak angkat saya lebih suka menyiram tanaman dan pergi berkunjung ke sanak famili daripada ikut dengan hiruk pikuk.
Mereka bukan contoh orang tua yang akan menjadi panutan semua orang tua di seluruh semesta.
Tetapi saya bangga memiliki mereka.
Saya berterima kasih dibangun atas ketakapadaan itu untuk menyadarkan saya di mana saya dilahirkan. Tetapi mereka tak pernah membatasi setinggi apa mimpi yang bisa saya raih.
Mereka tak selamanya akan memberikan hal yang kelak akan saya terapkan pada lingkungan dan keluarga saya. Tetapi mereka memberikan apa yang patut dan apa yang tidak.
Mereka sesungguhnya memberikan saya kepercayaan dan harapan yang tak pernah usai akan mimpi dan impian-impian mereka. Walaupun tersandung, walaupun tak bisa lagi melaju.
Mereka berharap, bertaruh, dan percaya ada saya di dalam mimpi-mimpi mereka. Dan segalanya serba teraih. Mereka tak butuh lagi merajut hidup sebagai makhluk bebas yang hak-haknya harus dipatuhi dan diperhatikan. Mereka tak butuh lagi memperjuangkan impian idealisme masa muda mereka untuk dituruti.
Mereka memberikan saya kepercayaan untuk tumbuh mandiri dari apapun yang berserakan karena hidup mereka. Karena permasalahan dan diri mereka yang tak bisa kembali mengenal kata saling. Mereka mengajari saya memaafkan tanpa bertukar kata.
Pergi tanpa perlu saling mengenal. Menjauh tanpa merasa mencampuri urusan. Dan mereka memberikan saya kesempatan untuk hidup dari sana. Dari segala keburukan masa yang tak pernah saya akui
Saya sering diolok orang karena hal-hal yang terjadi pada orang tua saya.
Tetapi saya percaya, orang lain tetaplah orang lain. Mereka tak kenal orang tua saya seperti saya kenal orang tua saya. Mereka bisa saya memanasi dan terus mendengungkan kata-kata jelek pada keluarga saya yang lain. Tapi mereka tak bisa menyangkal, bahwa apapun yang mereka perdengarkan atau apapun yang mereka ingin ungkapkan; inilah keluarga saya.
Saya dibentuk dari keburukan yang terjadi atasnya namun tak bisa menolak kebaikan yang ada darinya.
Di sinilah saya berada.
Dan memang di sinilah seharusnya saya berada.


Tuhan punya hak untuk menghembuskan ragu. Sekedar agar kita mengukur, berhenti dan merenung. Tetapi jawaban akan keyakinan kita tak terjawab melalui doa. Segala sesuatunya memiliki jawaban. Tugas kita adalah kapan kita hendak menyudahinya.


Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)