Ruby Sparks
Ruby Sparks. 2012.
Pernah nggak sih, kamu berfikir bahwa hadirnya kamu yang sangat mencintai seseorang hanya akan menjadi pengganjalnya dari keberhasilan?
Saya mendapatkan gagasan itu dari film Ruby Sparks yang baru saja saya tonton. Tidak benar-benar saya tonton, sih. Hanya sneak review saja. Tepatnya hanya menggeser kursor untuk mempercepat bagian-bagian yang saya anggap menarik. Secara keutuhan sebenarnya saya percaya film itu menarik. Mungkin sejenis filsafat romance (?) saya ngawur kok, hehe. Yang jelas film itu bagi saya adalah film yang menceritakan banyak hal dari yang tak terkatakan secara eksplisit. Pun yang tak terkatakan sama sekali. Film semacam ini sejenis dengan trilogi Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight-nya Ethan Hawke. The point is, they just came to chat each other, and found that they becoming theyself when they have time to spend. Talk dan walk.
Mungkin saya nggak bisa merasakan cinta yang absurd seperti itu. Maafkan istilah saya. Saya cenderung menggeneralisasikan beberapa ketidakjelasan bagi saya sebagai keabsurdan. Seharusnya saya menggolongkannya menjadi realitas. Kadang kita bisa bersama orang yang akan selalu membuat kita menelanjangi apapun yang ada di diri kita dan bahagia atas ketakadaapaan itu. Hehe. Jangan diambil pusing, tentunya. Saya tidak akan banyak-banyak mencurahkan absurditas saya, kok.
Pada akhirnya, film-film dengan genre yang sama, dengan tujuan dan penceritaan yang sama, tidak mengajari kita how to make a good relationship. But they make us to think about the goal of relationship. Hal yang sebenarnya tidak diinginkan tokoh-tokoh untuk disinggung di sana malah menjadi sudut pandang saya dalam menilai film-film tersebut. Hubungan tokoh-tokoh di film itu terkadang membuat kita merasakan komplektisitas hidup yang sebenarnya sering kita hadapi. Ethan Hawke dan Julie Delphy membuat saya merasa harus jujur, walaupun ini saat terakhir saya ada di bumi. Tokoh Calvin dan Ruby juga membuat saya tahu kejujuran itu ada bukan semata untuk diungkapkan, tapi dirasakan. Agar membawa dampak bagi diri kita sendiri.
Sekurang-kurangnya, hal inilah yang kurang kita minati. Hal inilah yang kurang kita cermati, sebagai pengemban alam, sebagai manusia. Terkadang kita punya keseimbangan akan hal-hal tertentu, dan itu mutlak. Dosen saya pernah bilang setiap manusia, dalam hal ini dari aspek mikro hingga makro pun memiliki dua sisi yakni; tersistematisasi dan tidak tersistematisasi. Bahasa, adalah sistem yang tidak tersistematisasi. Selebihnya, saya tahu harusnya saya belajar lebih banyak dan berkosentrasi saat berada di kelas.
Kenapa banyak orang berbohong atau tidak jujur, terkadang membawa pertanyaan sejauh mana kejujuran itu bisa membawa kita. Sebaik-baik kita. Dampak yang selalu membuat kita berfikir bahwa apapun yang kita lakukan akan berimbas kepada orang lain, tapi sebenarnya kita harus berani untuk membuatnya benar-benar memiliki dampak bagi diri kita sendiri. Terutama. Dan seharusnya. Dengan itu, kejujuran bukan tuntutan. Bukan hal idealis, apalagi utopis yang tidak pernah ada. Pun bukan hal yang semata-mata sebagai pelengkap dan assist untuk pencapaian kita yang tak ada habisnya. Ah, pesan moral. Hehe.
Kembali tentang dan bagaimana Ruby Sparks.
Terkadang kita belajar bagaimana memasukakalkan sesuatu. Tanpa mempertanggungjawabkannya. Benar-benar.
Ruby Sparks, trilogi ‘Before’, Her, If Only, American Hustle, Radit & Jani, bukanlah film-film dengan genre yang sama. Kesamaannya, semua film yang saya sebutkan itu menceritakan tentang hubungan. A relationship. Or a reality-on-shit. Realitionshit. Menonton film-film itu terkadang membuat saya berfikir. Lebih dari hubungan kita dengan orang lain, tetapi dengan sejenis eksistensi manusia. Saat terkadang diri kita punya sisi romantisme akan hal-hal yang kita hadapi sendiri ataupun hal-hal yang ingin kita hadapi bersama orang terkasih, terdekat, dan tersayang. Ceilah, hehe. Dan nyatanya, hal-hal semacam itu masih belum bisa saya manage dengan baik. Bahkan dengan diri saya sendiri. Katakanlah, sekadar mencukupkan kita dengan apa yang kita miliki. Mengidealisasikan apa yang kita lakukan. Atau bahkan melegalkan kita dengan hal-hal terdekat dengan keputusasaan. Terkadang kita lega akan hal-hal itu. Tapi, pernahkah usai?
Kegelisahan-kegelisahan yang kita hadapi dalam banyak persoalan diri kita tidak berbatas pada apa yang kita takutkan saja. Seharusnya apa yang kita pertanyakan pun, termasuk dalam kegalauan yang mendorong kita untuk mencari dan menyelesaikan. Dan hal itu lumrah. Hampir setiap orang merasakannya. Walaupun tidak banyak orang dapat mendefinisikannya dengan baik, tentu saja saya bukan yang dapat mendefinisikannya dengan baik pula. Toh nyatanya saya berusaha membaginya. Setidaknya saya menyetelnya dengan suhu terendah.
Yang sama dari semua film adalah, kita takkan bisa tahu bagaimana cara memperlakukan seseorang hanya dari melihat sesuatu saja. Sesuatu yang sebenarnya sangat general. Sesuatu yang dipikirkan orang lain, yang mengajak kita memikirkannya. Hal yang saya pelajari dari film-film tersebut adalah bagaimana kita takkan pernah bisa secara praktis mengaplikasikannya. Tanpa apapun yang ada dalam diri kita sebagai bagian dari hal-hal yang kita alami.
Sementara ini yang bisa saya lakukan hanyalah menebak, meraba dan menerka. Apa yang sebenarnya menjadi inti Ruby Sparks. Saya sengaja tak menontonnya secara lengkap. Nyatanya, saya melanggar objektivitas saya sebagai manusia dengan memilih menulisnya terlebih dahulu. Membiarkan logika dan nurani saya lari ke mana-mana. Karena pada hakikatnya, sebuah film itu seru berbatas pada ekspektasi. Nol ekspektasi kita, maka baik film itu. Ekspektasi yang tinggi dibangun dengan hal-hal yang cenderung bersifat eksternal. Lepas dari naluri kita untuk menontonnya atau tidak.
Beberapa orang bilang pada saya, bahwa sebuah hubungan itu tak lebih dari siklus belaka. Mereka-mereka inilah, yang percaya hubungan tanpa status itu jauh lebih menarik dan menantang untuk dijalani. Tenang saja, saya tidak mengklasifikasikan. Beberapa orang berpendapat bahwa sebuah hubungan tak lebih dari uji kompetensi yang harus dijalani, dan sewaktu-waktu harus disudahi, bila tak lulus test drive. Beberapa orang percaya bahwa hubungan adalah hal alamiah yang harus dijalani, dengan cara apapun. Orang-orang yang tak mau dibilang apatis, tapi percaya pada cinta sejati. Meskipun tak sering ia mengusahakannya.
Padahal sebagian sisi saya meyakini bahwa cinta sejati ada karena usaha. Usaha untuk mendapatkannya perlu kemauan. Kemauan untuk mewujudkannya, karena sebuah gagasan. Lah, jadi cinta sejati itu Cuma gagasan belaka? Ah.
Saya pun pernah bertemu orang yang berusaha untuk jatuh cinta. Berusaha untuk tidak mencintai. Berusaha untuk memaknai. Ataupun berusaha untuk menggagalkan. Semua itu seolah-olah hal yang biasa. Maklum. Apalagi dalam sebuah hubungan antara lelaki dan perempuan (dan semacamnya). Tetapi saya tersesat dalam permakluman seperti itu.
Seringkali saya tersasar. Atau saya salah arah tujuan. Ada dua kemungkinan yang seringkali membuat saya tak bisa berkomunikasi dengan baik, atau justru membuat gagal sebuah komunikasi yang diusahakan. Sebenarnya tidak akan, sejauh saya mematuhi prinsip yang saya buat. Tetapi prinsip itu tak dapat dijadikan permakluman, benar saja. Prinsip itu sesuatu yang sangat hakiki bagi saya. Singkat. Mengena. Dan dapat diaplikasikan.
Terkadang saya hanya salah memaknai. Terkadang saya hanya berada dalam dunia yang tidak sepenuhnya saya pahami. Baik sebabnya, hingga akibatnya. Dunia ini terlalu rumit itu hanya berorientasi pada hukum sebab akibat. Bisa saja, ada hal-hal yang terjadi di luar kendali. Tanpa saya bisa memaklumi. Perlahan seharusnya saya perlu memahami sesuatu sebelum dapat memakluminya. Menerimanya tanpa konsekuensi.
Dan saya tak bisa menanamkan ide atau gagasan dalam kepala saya untuk mencintai seseorang ataupun membencinya.
Kuantitas hubungan kita tak pernah cukup untuk sekedar menganalisis hubungan antara lelaki dan perempuan. Rumit, dan tak pernah sederhana.
Atau terkadang, kita hanya ada pada ruas di mana seolah seluruh dunia mendukung kesalahan yang kita lakukan, hingga kita tak lagi bisa membedakan kesalahan itu sendiri. Kita masih gagap untuk memaafkan dan melupakan.
Saya mungkin sedang rancu. Atau memang. Saya tak punya banyak hal untuk ditulis. Saya hanya punya hal-hal semelarat kemauan dan tujuan. Karena saya sendiri tak tahu bagian apa yang saya luangkan dengan terus menulis dan menulis begini. Terkadang lebih lega bagi kita untuk bisa menerima permasalahan, tetapi saya tak bisa lega tanpa mencoba melogiskan dan memaafkannya. Benar, memaafkan permasalahan. Tanpa bisa memaklumi si pembuat masalah.
Benar, kan. Segala sesuatu terkadang terlalu rumit. Kita yang ingin menyederhanakan. Atau segala sesuatunya sebenarnya sudah terdefinisi, hanya kita yang terlalu memfaktorkannya menjadi bagian-bagian yang sebenarnya tak pernah berkurang dari diri kita yang ada sekarang..
Apapun itu, berapa kalipun itu keluar, yang jelas kita tak pernah lupa untuk berbahagia. Berbahagia sampai lupa cara berbahagia.
_ be happy.
Pernah nggak sih, kamu berfikir bahwa hadirnya kamu yang sangat mencintai seseorang hanya akan menjadi pengganjalnya dari keberhasilan?
Saya mendapatkan gagasan itu dari film Ruby Sparks yang baru saja saya tonton. Tidak benar-benar saya tonton, sih. Hanya sneak review saja. Tepatnya hanya menggeser kursor untuk mempercepat bagian-bagian yang saya anggap menarik. Secara keutuhan sebenarnya saya percaya film itu menarik. Mungkin sejenis filsafat romance (?) saya ngawur kok, hehe. Yang jelas film itu bagi saya adalah film yang menceritakan banyak hal dari yang tak terkatakan secara eksplisit. Pun yang tak terkatakan sama sekali. Film semacam ini sejenis dengan trilogi Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight-nya Ethan Hawke. The point is, they just came to chat each other, and found that they becoming theyself when they have time to spend. Talk dan walk.
Mungkin saya nggak bisa merasakan cinta yang absurd seperti itu. Maafkan istilah saya. Saya cenderung menggeneralisasikan beberapa ketidakjelasan bagi saya sebagai keabsurdan. Seharusnya saya menggolongkannya menjadi realitas. Kadang kita bisa bersama orang yang akan selalu membuat kita menelanjangi apapun yang ada di diri kita dan bahagia atas ketakadaapaan itu. Hehe. Jangan diambil pusing, tentunya. Saya tidak akan banyak-banyak mencurahkan absurditas saya, kok.
Pada akhirnya, film-film dengan genre yang sama, dengan tujuan dan penceritaan yang sama, tidak mengajari kita how to make a good relationship. But they make us to think about the goal of relationship. Hal yang sebenarnya tidak diinginkan tokoh-tokoh untuk disinggung di sana malah menjadi sudut pandang saya dalam menilai film-film tersebut. Hubungan tokoh-tokoh di film itu terkadang membuat kita merasakan komplektisitas hidup yang sebenarnya sering kita hadapi. Ethan Hawke dan Julie Delphy membuat saya merasa harus jujur, walaupun ini saat terakhir saya ada di bumi. Tokoh Calvin dan Ruby juga membuat saya tahu kejujuran itu ada bukan semata untuk diungkapkan, tapi dirasakan. Agar membawa dampak bagi diri kita sendiri.
Sekurang-kurangnya, hal inilah yang kurang kita minati. Hal inilah yang kurang kita cermati, sebagai pengemban alam, sebagai manusia. Terkadang kita punya keseimbangan akan hal-hal tertentu, dan itu mutlak. Dosen saya pernah bilang setiap manusia, dalam hal ini dari aspek mikro hingga makro pun memiliki dua sisi yakni; tersistematisasi dan tidak tersistematisasi. Bahasa, adalah sistem yang tidak tersistematisasi. Selebihnya, saya tahu harusnya saya belajar lebih banyak dan berkosentrasi saat berada di kelas.
Kenapa banyak orang berbohong atau tidak jujur, terkadang membawa pertanyaan sejauh mana kejujuran itu bisa membawa kita. Sebaik-baik kita. Dampak yang selalu membuat kita berfikir bahwa apapun yang kita lakukan akan berimbas kepada orang lain, tapi sebenarnya kita harus berani untuk membuatnya benar-benar memiliki dampak bagi diri kita sendiri. Terutama. Dan seharusnya. Dengan itu, kejujuran bukan tuntutan. Bukan hal idealis, apalagi utopis yang tidak pernah ada. Pun bukan hal yang semata-mata sebagai pelengkap dan assist untuk pencapaian kita yang tak ada habisnya. Ah, pesan moral. Hehe.
Kembali tentang dan bagaimana Ruby Sparks.
Terkadang kita belajar bagaimana memasukakalkan sesuatu. Tanpa mempertanggungjawabkannya. Benar-benar.
Ruby Sparks, trilogi ‘Before’, Her, If Only, American Hustle, Radit & Jani, bukanlah film-film dengan genre yang sama. Kesamaannya, semua film yang saya sebutkan itu menceritakan tentang hubungan. A relationship. Or a reality-on-shit. Realitionshit. Menonton film-film itu terkadang membuat saya berfikir. Lebih dari hubungan kita dengan orang lain, tetapi dengan sejenis eksistensi manusia. Saat terkadang diri kita punya sisi romantisme akan hal-hal yang kita hadapi sendiri ataupun hal-hal yang ingin kita hadapi bersama orang terkasih, terdekat, dan tersayang. Ceilah, hehe. Dan nyatanya, hal-hal semacam itu masih belum bisa saya manage dengan baik. Bahkan dengan diri saya sendiri. Katakanlah, sekadar mencukupkan kita dengan apa yang kita miliki. Mengidealisasikan apa yang kita lakukan. Atau bahkan melegalkan kita dengan hal-hal terdekat dengan keputusasaan. Terkadang kita lega akan hal-hal itu. Tapi, pernahkah usai?
Kegelisahan-kegelisahan yang kita hadapi dalam banyak persoalan diri kita tidak berbatas pada apa yang kita takutkan saja. Seharusnya apa yang kita pertanyakan pun, termasuk dalam kegalauan yang mendorong kita untuk mencari dan menyelesaikan. Dan hal itu lumrah. Hampir setiap orang merasakannya. Walaupun tidak banyak orang dapat mendefinisikannya dengan baik, tentu saja saya bukan yang dapat mendefinisikannya dengan baik pula. Toh nyatanya saya berusaha membaginya. Setidaknya saya menyetelnya dengan suhu terendah.
Yang sama dari semua film adalah, kita takkan bisa tahu bagaimana cara memperlakukan seseorang hanya dari melihat sesuatu saja. Sesuatu yang sebenarnya sangat general. Sesuatu yang dipikirkan orang lain, yang mengajak kita memikirkannya. Hal yang saya pelajari dari film-film tersebut adalah bagaimana kita takkan pernah bisa secara praktis mengaplikasikannya. Tanpa apapun yang ada dalam diri kita sebagai bagian dari hal-hal yang kita alami.
Sementara ini yang bisa saya lakukan hanyalah menebak, meraba dan menerka. Apa yang sebenarnya menjadi inti Ruby Sparks. Saya sengaja tak menontonnya secara lengkap. Nyatanya, saya melanggar objektivitas saya sebagai manusia dengan memilih menulisnya terlebih dahulu. Membiarkan logika dan nurani saya lari ke mana-mana. Karena pada hakikatnya, sebuah film itu seru berbatas pada ekspektasi. Nol ekspektasi kita, maka baik film itu. Ekspektasi yang tinggi dibangun dengan hal-hal yang cenderung bersifat eksternal. Lepas dari naluri kita untuk menontonnya atau tidak.
Beberapa orang bilang pada saya, bahwa sebuah hubungan itu tak lebih dari siklus belaka. Mereka-mereka inilah, yang percaya hubungan tanpa status itu jauh lebih menarik dan menantang untuk dijalani. Tenang saja, saya tidak mengklasifikasikan. Beberapa orang berpendapat bahwa sebuah hubungan tak lebih dari uji kompetensi yang harus dijalani, dan sewaktu-waktu harus disudahi, bila tak lulus test drive. Beberapa orang percaya bahwa hubungan adalah hal alamiah yang harus dijalani, dengan cara apapun. Orang-orang yang tak mau dibilang apatis, tapi percaya pada cinta sejati. Meskipun tak sering ia mengusahakannya.
Padahal sebagian sisi saya meyakini bahwa cinta sejati ada karena usaha. Usaha untuk mendapatkannya perlu kemauan. Kemauan untuk mewujudkannya, karena sebuah gagasan. Lah, jadi cinta sejati itu Cuma gagasan belaka? Ah.
Saya pun pernah bertemu orang yang berusaha untuk jatuh cinta. Berusaha untuk tidak mencintai. Berusaha untuk memaknai. Ataupun berusaha untuk menggagalkan. Semua itu seolah-olah hal yang biasa. Maklum. Apalagi dalam sebuah hubungan antara lelaki dan perempuan (dan semacamnya). Tetapi saya tersesat dalam permakluman seperti itu.
Seringkali saya tersasar. Atau saya salah arah tujuan. Ada dua kemungkinan yang seringkali membuat saya tak bisa berkomunikasi dengan baik, atau justru membuat gagal sebuah komunikasi yang diusahakan. Sebenarnya tidak akan, sejauh saya mematuhi prinsip yang saya buat. Tetapi prinsip itu tak dapat dijadikan permakluman, benar saja. Prinsip itu sesuatu yang sangat hakiki bagi saya. Singkat. Mengena. Dan dapat diaplikasikan.
Terkadang saya hanya salah memaknai. Terkadang saya hanya berada dalam dunia yang tidak sepenuhnya saya pahami. Baik sebabnya, hingga akibatnya. Dunia ini terlalu rumit itu hanya berorientasi pada hukum sebab akibat. Bisa saja, ada hal-hal yang terjadi di luar kendali. Tanpa saya bisa memaklumi. Perlahan seharusnya saya perlu memahami sesuatu sebelum dapat memakluminya. Menerimanya tanpa konsekuensi.
Dan saya tak bisa menanamkan ide atau gagasan dalam kepala saya untuk mencintai seseorang ataupun membencinya.
Kuantitas hubungan kita tak pernah cukup untuk sekedar menganalisis hubungan antara lelaki dan perempuan. Rumit, dan tak pernah sederhana.
Atau terkadang, kita hanya ada pada ruas di mana seolah seluruh dunia mendukung kesalahan yang kita lakukan, hingga kita tak lagi bisa membedakan kesalahan itu sendiri. Kita masih gagap untuk memaafkan dan melupakan.
Saya mungkin sedang rancu. Atau memang. Saya tak punya banyak hal untuk ditulis. Saya hanya punya hal-hal semelarat kemauan dan tujuan. Karena saya sendiri tak tahu bagian apa yang saya luangkan dengan terus menulis dan menulis begini. Terkadang lebih lega bagi kita untuk bisa menerima permasalahan, tetapi saya tak bisa lega tanpa mencoba melogiskan dan memaafkannya. Benar, memaafkan permasalahan. Tanpa bisa memaklumi si pembuat masalah.
Benar, kan. Segala sesuatu terkadang terlalu rumit. Kita yang ingin menyederhanakan. Atau segala sesuatunya sebenarnya sudah terdefinisi, hanya kita yang terlalu memfaktorkannya menjadi bagian-bagian yang sebenarnya tak pernah berkurang dari diri kita yang ada sekarang..
Apapun itu, berapa kalipun itu keluar, yang jelas kita tak pernah lupa untuk berbahagia. Berbahagia sampai lupa cara berbahagia.
_ be happy.
Comments
Post a Comment