Pembelajar yang Lambat
Saya
bertanya-tanya, apakah benar ketika saya tidak lahir di dunia ini maka dunia
ini tetaplah berjalan seperti apa adanya.
Ada
premis-premis yang bertentangan dalam pemikiran saya tersebut.
Bahwasanya
dunia tidak akan pernah berjalan seperti apa adanya karena ke‘ada’an itu diisi
oleh pemenuhan kekosongan demi kekosongan yang terjadi sehingga menimbulkan
kepentingan yang saling bertabrakan satu sama lain. Descartes pernah bilang
bahwa ‘cogito ergo sum’. Aku berpikir maka aku ada. Tetapi konsep ke‘ada’an ini
seringkali salah kaprah. Banyak yang menerjemahkan bahwa orang yang tidak bisa
berpikir atau bodoh berarti tidak ada. Sementara manusia tidak diciptakan
dengan generalisasi mutlak yang membikin kita seragam baik warna maupun rupa.
Premis
berikutnya adalah apabila saya tidak ada, maka pemikiran dan keberadaan saya
dikhianati oleh kenyataan. Dengan kata lain hal yang bertolak belakang
menyebabkan keberadaan saya musnah. Sehingga premis tersebut tidak sah, bahkan
disebutkan tidak ada.
Ayer
pernah mengatakan bahwa pentingnya verifikasi berusaha menemukan makna dibalik
ucapan, bukan kebenarannya. Sehingga seringkali kita tidak seliwar-seliwer
dengan pikiran ngawur dan asal tuding apalagi asal comot pendapat orang untuk
merugikan orang lain padahal maksud orang tersebut tidak demikian. Dalam
beberapa hal sekaligus, saya bisa setuju dengan orang-orang yang bertentangan.
Hal ini tidak menentukan sebuah fakta keberpihakan melainkan mengemukakan
maksud bahwa apa yang saya miliki adalah warisan dari pemikiran-pemikiran yang
sudah dicapai orang lain. Sehingga saya tidak lagi kuat mengakui originalitas.
Karena yang original, nyaris tidak ada. Dosen saya, Pak Rudi, pernah mengatakan
bahwa ktia bisa saja mencomot pendapat orang lain bukan untuk selalu didukung
kekuatan kebenarannya melainkan bisa juga untuk menguatkan pendapat kita bahwa
suatu hal bisa bertentangan secara kondisional. Dalam hal ini mengenai
perumusan suatu premis atau kesimpulan yang besar.
Seperti
saya yang menjunjung konsep verifikasi Alfred Ayer tetapi sinis terhadap
pandangannya terhadap pengalaman untuk membuktikan hal-hal empiris. Bagi saya,
sesuai personanya, kita bebas menyikapi segala sesuatu dengan berbeda dan
pengalaman tidaklah memiliki tolak ukur yang sama kendati dalam waktu yang sama
dua orang dapat berada dalam posisi yang sama.
Saya
berusaha memahami bahwa hidup juga diisi dengan pertentangan-pertentangan dan
saya tidak bisa sekaligus memandang segala sesuatu sebagai produk dari
positivisme logis padahal saya sendiri tidak begitu menyetujuinya. Terkadang hal-hal
yang ita tolak dan tidak kita akukan juga mendeterminasi diri kita sendiri.
Pertanyaan
filosofis lainnya: siapakah saya? Dan siapakah kita?
Kita
mungkin bisa membongkar diri kita sebagaimana sebuah bangunan kubus yang dihentakkan
satu per satu dari dalam dan menemukan nukleusnya. Lalu di mana letak kita
sesungguhnya? Di dalam atau di luar? Ketika kita bisa memperkirakan bahwa ada
dorongan dari dalam untuk menguak keberadaan dan keberpihakan kita akan dunia
bukankah berarti kita ada di luar konstruksi yang sedang berlangsung?
Banyak.
Banyak pertanyaan.
Dan
tidak bisa. Tidak cukup waktu. Tidak cukup. Tidak akan cukup.
Comments
Post a Comment