This Phase
Sebelum
saya jadi apa-apa, saya pernah mengalami fase seperti ini.
Terkadang
hidup memang memberikan sentuhan-sentuhan yang layak kita terima meskipun kita
merasa tidak adil, sedih, juga putus asa. Terkadang pula tanpa kita sadari,
kita sendirilah yang menuai badai yang kita tanam.
Tidak
ada yang salah dari hidup ini. Kesalahan apabila kita membiarkan sesuatu yang
akan salah terjadi. Semisal sadar bahwa esok ada ujian dan memutuskan tidak
belajar. Atau mengetahui bahwa orang tua masih akan terus mampu menanggung diri
kita tanpa kita mau berusaha.
Saya
selalu bertanya-tanya akan menjadi apa saya di masa depan kelak.
Hebatkah?
Pecundangkah? Atau apapun yang sempat terlintas di pikiran saya. Saya selalu
takut akan hal-hal yang tidak terprediksi. Saya selalu merasa tak pernah punya
cukup bekal untuk hidup ini. Catatan ini saya buat ketika kelak saya
benar-benar menjadi hebat atau bahkan menjadi pecundang.
Saya
ingin mengingatkan pada diri saya bahwa saya pernah tersaruk-saruk tentang
hidup saya sendiri. Saya pernah bingung dan tak tahu harus bagaimana. Di sisi
lain, saya selalu merasa usaha saya gagal dan takkan berarti apa-apa bagi hidup
saya. Padahal saya berprinsip bahwa selama saya tak tahu apa yang akan terjadi
di masa depan saya, saya akan berusaha melakukan yang terbaik untuk apapun.
Tetapi
rahasia bukanlah rahasia kalau saya bisa mengetahuinya.
Saya
sadar betul bahwa apa yang saya lakukan akan memberikan timbal baliknya bagi
diri saya. Apapun itu. Meskipun naik gunung membuat saya patah tulang sehingga
harus dipasang pen sepanjang hampir 18 cm dan cuti kuliah sehingga mengancam
target hidup saya belakangan, ataupun cedera engkel ketika berolahraga dan kram
ketika menari terlalu lama. Saya pernah belajar bahwa memang tidak semua usaha
akan membuahkan hasil. Dan saya yakin bahwa proses yang saya alami akan jauh
lebih berharga daripada hasilnya. Saya sudah lihat orang-orang hebat di sekitar
saya yang memutuskan berhenti, menikmati hidup, dan menanam padi. Menyemai doa
dan menguntai kesunyian di malam hari. Orang-orang yang candu akan ketenangan
tapi tidak pernah mati.
Saya
selalu mengantisipasi banyak hal. Saya terlalu takut untuk jatuh.
Saya
akan berusaha membuat masa-masa terbaik saya kapanpun dan apapun yang saya
lakukan, berjaga-jaga apabila saya tak dapat meraih mimpi saya, setidaknya saya
punya sesuatu yang indah dalam hidup ini. Saya pernah ditanya ketika saya dapat
kembali ke masa lalu, apa yang akan saya lakukan. Dan saya berkata bahwa saya
akan mengingat segalanya. Saya ingin punya otak yang dapat berkembang dan
mengingat detail kecil dari hidup saya yang mulai memudar.
Semisal
pertama kali naik sepeda, pertama kali pergi ke penjahit, pertama kali main
sepak bola, pertama kali memanjat pohon, pertama kali pergi ke pasar, atau
kedua kali, ketiga kali, atau ke berapapun.
Saya
tidaklah ingin hidup dalam kubangan kenangan yang sudah lampau. Tapi bagi saya,
satu hari kealpaan dari untaian memori itu, saya bisa musnah seketika. Saya tak
ingin mengubah apapun. Saya tak ingin mencegah atau melakukan apapun yang telah
lewat. Saya hanya ingin mengingatnya. Untuk mempertajam tempat saya berdiri
sekarang. Untuk mengingatkan saya mengapa saya ada di sini dan alasan saya
berjuang untuk hal yang takkan dipahami orang lain.
Lalu
mengapa saya menulis?
Saya
menulis untuk mimpi-mimpi dan diri saya. Saya melakukan segala sesuatu untuk
diri saya sehingga tidak sedikitpun saya punya waktu untuk menyesali ini itu.
Saya
tak percaya manusia punya kelemahan. Saya percaya kita dibangun dan dibentuk
untuk sesuatu, dan kita tidak akan lemah untuk itu. Kita boleh mengeluh,
memaki, atau berhenti. Tapi tidak. Manusia tidak punya kelemahan. Saya percaya
bahwa kita bisa melakukan apapun yang kita mau dan bisa meraih apapun impian
kita. Kita ditakdirkan untuk sesuatu yang harus kita percayai. Karenanya kita
harus berjuang, berusaha, dan belajar semampunya.
Sejujurnya
saya tidak tahu apa yang saya mau. Saya melakukan ini itu karena merasa saya
bisa. Karena saya ingin menunjukkan pada orang lain bahwa mereka bisa jika
mereka mau. Bahwa batas itu ada untuk kita lihat, lalu lampaui. Dan jangan
khawatir, masih akan ada batas-batas lain. Yang kini ada hanyalah diri kita
untuk melampaui sesuatu yang kita anggap tidak mungkin dan sukar dilakukan.
Pagi
ini saya keseleo karena menari.
Saya
memang selalu ingin punya panggung untuk mimpi-mimpi saya, sekecil apapun itu.
Memberikan panggung bagi diri saya adalah napas bagi mimpi-mimpi saya. Meskipun
tidak berkembang, setidaknya ia hidup. Ia memilki sesuatu untuk diperjuangkan
dan saya tidaklah punya banyak kesempatan untuk itu. Maka saya harus berdiri
dan melakukannya sekarang.
Setiap
kali mengalami masa sulit, saya tak pernah mengeluh dan mencerca diri saya
mengapa saya ada di posisi itu. Kalau ya, berarti saya telah salah mengambil
jalan dan tetap tak ada titik balik. Saya harus terus. Dan kalau tidak, saya
bersyukur bahwa hidup saya menjadi sesuatu yang patut diberkahi oleh apapun itu
di alam ini.
Terkadang
saya merasa sudah terlalu tua untuk ini. Saya sudah mengalami masa yang jauh lebih
sulit sebelumnya dan masa sekarang terasa tidak ada apa-apanya. Mungkin itu
yang dinamakan belajar dari pengalaman, tapi tidak. Saya tidak pernah sanggup
belajar dari pengalaman pahit. Saya membangun diri saya ketika itu. Saya hanya
percaya bahwa untung rugi hidup kita adalah pemikiran seekor keledai dan saya
hidup untuk orang dan hal yang saya cintai. Saya berhak hidup untuk saya
sendiri. Saya berhak hidup untuk menghargai diri sendiri.
Tetapi
sebenarnya, saya terlalu tak mau merugi nanti karena malas di masa kini.
Mungkin
saya akan berlanjut di kubikel 1x1 meter ditemani setumpuk berkas pada malam
Sabtu. Dengan komputer terbuka di depan saya, wallpapernya foto seorang gadis kecil bersama seorang lelaki
tersenyum ke arah saya. Dan dengan mantap meski bahu yang kebas saya akan
meraih satu persatu berkas itu dan mulai menyelesaikannya. Seorang satpam
tertidur di dekat lift, menunggu saya pulang sementara teman-teman satu persatu
telah berpamitan.
Mungkin
saya akan berlanjut di kamar saya di Probolinggo. Yang dekorasinya masih sama
seperti ketika saya SMA. Memandang foto-foto yang menyenangkan, membuka kembali
kardus kado yang indah di usia 17 tahun dan tersenyum. Menangis pula di saat
yang bersamaan dan mulai menulis tentang sahabat-sahabat saya.
Mungkin
saya akan berlanjut di tengah laut. Naik kapal kecil dan merasakan angin
menampar-nampar wajah saya. Mengamati orang-orang di sekitar saya dan tampak
lelah mengingat perjalanan yang akan saya lakukan hari berikutnya.
Mungkin
saya akan berlanjut di sebuah toko alat-alat diving. Bertegur sapa dengan wisatawan yang datang. Kemudian
bersepeda membeli beberapa lauk pauk dan melihat sunset sampai bosan. Sesekali
naik gunung di akhir pekan.
Mungkin
saya akan berlanjut menjadi mahasiswi. Dengan setumpuk artikel dan buku yang
perlu diterjemahkan siap menunggu disertasi. Kusut masai merasakan tak punya
liburan dan keponakan-keponakan yang merengek minta dikunjungi.
Mungkin
saya akan berlanjut di sebuah panggung. Kelelahan, tapi gembira. Melambaikan
tangan. Dan menyadari bahwa setelah malam ini, hidup saya telah berakhir.
Saya
bisa jadi apapun.
Tapi
tidak sedikitpun saya mengizinkan diri saya sekarang untuk berleha-leha karena
yakin saya bisa jadi sesuatu di masa depan.
Apapun
hasilnya, apapun kelanjutan dan akhirnya, saya harus terus berjuang di masa
sekarang. Yang saya tahu, diri saya diciptakan untuk panggung yang tidak ada
habisnya, dan dunia yang tidak berhenti getirnya. Diri saya diciptakan untuk
menjadi saya di masa sekarang. Saya diciptakan untuk menjadi kebaikan demi
kebaikan bagi apa yang saya lakukan.
Saya
diciptakan untuk sesuatu.
And don’t fuck with that. You gonna hurt yourself.
Comments
Post a Comment