Girlcrush
Bagaimana
menceritakan ini, ya?
Sudah
terlalu banyak hal yang tidak saya pahami. Oleh karena itu, saya selalu merasa
bahagia apabila mengerti suatu hal baru, terutama apabila saya merasa
membutuhkannya atau akan membutuhkannya. Terkadang dari pemahaman-pemahaman
saya muncul ketidaktepatan yang saya sendiri sadar darimana asalnya. Saya
terlalu kurang berilmu untuk tepat dalam melakukan sesuatu. Dan banyak alasan
lainnya.
Tetapi
ini adalah hal yang bisa saya ceritakan, atau yang ingin saya ceritakan. Saya
rasa tidak banyak memberikan informasi (tentu saja), tetapi dengan menuliskan
ini saya akan bisa lebih menggali lagi pemahaman saya akan hal-hal lain.
Seperti halnya sebuah tugas yang harus dituntaskan untuk mendapatkan tugas yang
lebih besar. Hidup ini memang terkadang seperti sekumpulan tugas yang dibawa easy.
Jadi
kali ini, saya hendak menceritakan tentang girlcrush
saya.
Hmm...
I know it sounded weird but I just want to do this. Bukankah di
sisi lain hidup juga penuh dengan hal-hal yang ingin kita lakukan? Maka di
sinilah saya.
Tepatnya,
saya selalu di sini.
~ ~ ~
Beberapa
hari yang lalu selebtwit yang saya follow sempat menanyakan siapakah girlcrush para follower ceweknya. Sebelumnya saya tidak pernah melabeli kesukaan
saya akan sesuatu. Suka ya suka aja. Semisal orang nggak perlu tahu John Lennon
mati ditembak untuk suka The Beatles. Atau apa production house-nya Hardwell untuk bisa joget saat musiknya
dimainkan. Saya tidak pernah merasa perlu mengolok-olok orang macam begini
karena mungkin di bagian lain saya pun juga begitu. Di sisi lain, kesukaan
setiap orang beda-beda, begitu juga cara bagaimana mereka menyukainya.
Jadi
saya nggak merasa perlu mengejek member JKT48 yang sotoy bilang suka band-band
lawas macam Queen, Zeppelin, Beatles, atau Coldplay di Twitter. Tetapi juga
nggak mendewakan orang macam begini. Ya sudahlah. Sesukanya saja. Kalau memang
dia punya impact sebesar itu, tentu
orang yang nggak tahu akan search dan
di dunia yang semakin edan ini, semakin banyak musik-musik bermutu dimainkan,
semakin bagus, bukan?
Sesuai
dengan porsi ‘suka’nya, ada orang yang malas menggali hal-hal tertentu dari
kesukaan mereka. Suka Beatles, ya dengarkan. Suka Duran Duran, ya dengarkan.
Suka Afrojack, ya dengarkan. Begitu aja. Masalah di luar karya mereka, bagi
saya nomor sekian dibanding masterpiece
yang mereka buat dan ikut andil dalam membentuk diri kita. Walau ada orang yang
hafal seluk beluk Beatles sampai ngelontok,
atau trivia-trivia nggak penting sepanjang karir John Mayer. Tentu saya salut dengan
orang yang demikian. Lebih salut lagi kalau mereka memang benar-benar suka dan
semua pengetahuan itu nggak dimanfaatkan untuk pamer dan tebar pesona. Kenapa
saya males, karena yang model begini nggak hanya bikin saya malas sama
orangnya, tapi kadang sama band-nya juga. Soalnya setiap saya mendengarkan
lagunya maka keputar lagi “buset ini kan yang diomongin tuh orang”. Hm.
Saya secara tidak sadar menerapkan hal
demikian dalam hal di luar musik sekalipun. Saya nggak pernah heboh ikut nonton
konser meskipun saya suka band dan lagunya. Saya nggak pernah rempong ikut PO
biar dapat bukunya lebih cepat plus biasanya bertanda tangan dari penulisnya.
Saya nggak pernah beli merch dari
band, penulis, penyanyi, aktris, aktor, atau apapun, manapun. Dan saya nggak
pernah ketemu orang-orang tenar itu karena merasa nggak perlu. Meet and greet atau apapun itu.
Tetapi
saya tidak pernah kehilangan antusiasme saat mendengarkan, membaca, melihat –
menikmati karyanya.
Saya
kira itu juga yang terkadang membuat saya bersyukur. Nggak perlu insecure dibilang kudet tentang
perkembangan chart musik terbaru.
Nggak khawatir dibilang ikut-ikutan. Nggak masalah juga dibilang seleranya
kampungan atau nggak banget. Yaudahlah. Dibawa santai. Terus kenapa? Komentar orang-orang
tidak memengaruhi pendapat saya akan hal yang saya suka. Ada pepatah “sekali
jatuh cinta, selalu jatuh cinta”.
Lagipula
sekarang segalanya serba modern. Nggak perlu pake sound system untuk ngedengerin lagu sehingga bisa setel musik di hp
masing-masing. Kalo ada yang nggak suka, pasang headset, beres. Tidak perlu bersinggungan. Tidak perlu takut
dibilang nggak hits. Musik itu kita
sendiri yang dengar. Saya sering bilang bahwa menemukan hal yang kita suka
seperti hadiah yang kita kasih untuk diri kita sendiri. Semisal saya lagi
jalan-jalan ke Togamas, kemudian di dalam tokonya memutar lagu enak. Tiba-tiba
goyang sendiri. Pas bayar buku sekalian kepo ke kasir “itu lagunya apa”. Kemudian
ada perasaan tidak sabar mendengarkan lagi dan lagi.
Buat
saya itu sangat berarti.
Dibanding
harus rempong share di Path.
Nggak
praktis dan nggak berguna.
~ ~ ~
Tetapi
bukan saya namanya kalau nggak nemu hal-hal yang selalu mengingatkan saya
dengan masa lalu. Istilahnya kualat, ketulak (kena tulah).
Saya
yang masa bodoh dengan musisi, penulis, band, atau apapun itu tiba-tiba jatuh
suka dan jadi suka banget. Dan selalu secara tidak sadar.
Sebelumnya
saya sudah pernah menulis betapa saya adalah fangirl artis-artis Korea (Selatan). Sungguh lucu rasanya menulis
tentang hal ini (lagi). Bedanya, kalau dulu saya menceritakan betapa saya
ngefans banget sama EXO, kali ini saya akan menceritakan para girlcrush saya yang lumayan didominasi
artis-artis negeri ginseng tersebut. Saya juga heran mengapa saya kepengen
nulis begini. Tetapi bagi saya yang nggak pernah beli merch, album, dan posting artis-artis
Korea, ini adalah sebuah bukti bakti saya; bahwa saya dengan sah disebut fangirl. Karena selain ini, saya nggak
ngapa-ngapain. Ha ha.
Girlcrush sendiri memiliki banyak arti. Dan
tentu saja kali ini saya membahasnya dari sudut pandang perempuan. Sedikit lucu,
bagi saya. Karena biasanya perempuan akan suka sekali dengan artis laki-laki. Tetapi
saya ingin mendefinisikan girlcrush sebagai
mereka yang akan saya sukai kalau saya adalah laki-laki. Note it. Girlcrush bagi
saya juga orang-orang yang saya jadikan role
models. Perempuan yang saya kagumi melalui persona yang saya tangkap dengan
jarak sedemikian jauh dan tidak pernah ketemu. Segelintir dari dunia hiburan
yang saya follow media sosialnya. Dan
kali ini, saya akan menceritakan girlcrush
saya dari dunia hiburan (artis, musisi, penyanyi, you name it).
Jujur
saja, ketika @aMrazing melontarkan pertanyaan tentang girlcrush di Twitter, saya hendak langsung me-reply dengan dua nama artis Indonesia yang saya follow up sepak terjangnya. Bahkan ini mengherankan
bagi saya sendiri. Sebab saya selalu skeptis dengan dunia hiburan Indonesia. Isu
yang muncul adalah trik basi tentang siapa yang jadian dan putus dengan siapa,
siapa yang bertengkar dengan siapa, siapa yang foto seperti apa, dan
sejenisnya. Tetapi dua nama ini sudah mencuri perhatian saya sejak kemunculan
mereka di dunia hiburan. Keduanya adalah Julie Estelle dan Raline Shah.
Julie
Estelle adalah salah satu aktris Indonesia yang sudah melalui beberapa tahap
pemahaman kecantikan yang berbeda. Sejak dulu, awal 2000-an di mana cantik
adalah perempuan berambut panjang, lurus, hitam legam, dengan alis segaris dan lip gloss mengkilat. Hingga di masa
sekarang di mana perempuan cantik harus a la Raisa dan Pevita; berambut hitam
lebat tidak terlalu lurus, beralis bak sabit, make up flawless, badan berisi. Dan selama kurun waktu tersebut,
Julie Estelle tetap cantik. Saya baru tahu aktingnya lewat film Alexandria. Kemudian sempat dijuluki ‘the next Suzanna’ karena peran di film
Kuntilanak. Dan sekarang ia lebih lekat dengan image seorang jagoan perempuan bersenjatakan palu dan disebut Hammer Girl.
Film
tercantik yang pernah dimainkannya bagi saya adalah Surat Dari Praha. Beradu akting dengan Tio Pakusadewo tidak
membuatnya surut melainkan semakin bersinar. Rambutnya dipangkas pendek,
penampilannya retro dan lebih dewasa. Aktingnya tidak berlebihan. Saya selalu
berpikir pengen tampak seperti dia sejak nonton film itu. Dalam hal ini filmnya
sendiri ciamik dalam segi sinematografi, dan lain sebagainya. Julie Estelle
yang semakin membuat saya mengerti bahwa nggak perlu dibilang seksi agar bisa
tampil bagus, nggak perlu berlebihan agar dibilang berhasil. Julie Estelle
proporsional dalam ketidaksempurnaannya; tidak berbadan seperti bom seks atau
menyebabkan prahara di mana-mana yang lebih rame ketimbang karyanya, tetapi
selalu stand out.
Kemudian Raline Shah. Pertama kali melihat aktingnya di film 5 cm, saya sempat kaget karena saking miripnya dia dengan Manohara Pinot. Tahu, kan, model yang dulu pernah dikasari suaminya yang pangeran Kelantan itu? Saya aja untuk menulis fakta ini masih harus browsing dulu, saking nggak banget isunya.
Kemudian Raline Shah. Pertama kali melihat aktingnya di film 5 cm, saya sempat kaget karena saking miripnya dia dengan Manohara Pinot. Tahu, kan, model yang dulu pernah dikasari suaminya yang pangeran Kelantan itu? Saya aja untuk menulis fakta ini masih harus browsing dulu, saking nggak banget isunya.
Tetapi
kemudian saya menyadari dia punya banyak perbedaan dari model yang nikah muda
itu. Harus saya akui, film 5cm tidak sesuai dengan ekspektasi saya. Scenery yang diambil sangat bagus,
tetapi para pemerannya terlalu nggak pas dan kelucuan tersendiri ketika dialog
di buku dialihmediakan (ekranisasi). Lebih dari itu, 5cm punya buanyak scene favorit di bukunya dibandingkan di
filmnya yang saya pikir bisa dimasukkan ke film untuk mengganti adegan-adegan
yang kurang proporsional.
Tetapi
Raline Shah bermain apik di situ. Terlepas dari keterkejutan saya mengapa Riani
kok secantik itu, dia memiliki pembawaan yang paling mendekati Riani walau
tidak secara penampilan. Saya sampai paham kenapa Genta jatuh cinta
habis-habisan pada Riani dan mengapa Zafran yang awalnya naksir berat pada Dinda
tiba-tiba gampang saja berputar haluan: lah Rianinya secakep itu. Hehe.
Yang
bikin saya merasa Raline adalah it-girls-nya
saya, adalah film Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Film itu banyak
dikritik karena teknik percakapannya aneh. Saya nggak heran karena penulis
skenarionya turn out adalah Donny
Dhirgantoro, si penulis 5cm. Dia paham betul tampaknya bagaimana sakitnya
seorang penulis yang bukunya bagus kemudian difilmkan dan jelek. Tetapi Raline
Shah sekali lagi sangat menjiwai tokoh Rana sehingga saya nggak bisa
membayangkan Rana tanpa ia menjadi Raline. Saat itulah saya sadar kekurangan Raline
Shah yang bikin saya nyaris merinding: perempuan ini terlalu cantik untuk peran
apapun. Dia bisa jauh lebih cantik dari bayangan kita akan sebuah peran. Maybe it is a good thing.... I don’t know.
Sebab saat saya tahu kalau Raline Shah menjadi Lintang dalam press-release novel Pulang-nya Leila S. Chudori, saya jadi melongo lagi. Bahkan Lintang
yang digambarkan cantik banget itu, masih kalah cantik dengan Raline. Pokoknya
dia bisa melampaui ekspektasi saya akan kecantikan tokoh yang diperankannya.
Lebih
senang lagi karena tahu kalau dia pintar, nggak macam-macam, dan nggak pernah
berpakaian terbuka dan murahan.
Saya
tahu banyak yang jatuh cinta habis-habisan dengan Raisa, Isyana, atau Dian
Sastro. Tetapi dua perempuan ini, dua orang yang punya aura tersendiri. Sangat diri
mereka, dan saya selalu bahagia melihat bagaimana seseorang nyaman menjadi
dirinya sendiri. Seperti Syahrini yang sering diketawain tetapi cuek saja dan
tetap cetar badai membahana. I’m happy to
see her coming with her new fashion statements. Its okay.
Julie
Estelle dan Raline Shah mungkin disebut role
models saya, tetapi ada ‘tokoh-tokoh’ lain yang ternya memberikan pengaruh
lebih besar pada diri saya. Sebesar apa? Ya sampai saya menulis begini.
~ ~ ~

Nama
panggungnya Krystal. Perempuan kelahiran 1994. Pertama kali dikenali karena
parasnya yang mirip Yoona dan Yuri Girls
Generation. Lebih-lebih lagi karena statusnya sebagai adik kandung Jessica ex Girls Generation. 2009 lalu, ia resmi
menjadi seorang artis karena debut dengan girlband
besutan SM; f(x). Tahun 2010 saya sedang gandrung-gandrungnya dengan K-Pop,
jadi tidak susah bagi saya untuk aware terhadap
mereka yang waktu itu masih fresh.
Berbeda
dengan konsep feminin dan seksi yang diusung Girls Generation, f(x) tampil edgy
dan membawa aroma kemudaan yang saya susah mendeskripsikannya. Pokoknya ketika
saya melihat f(x), rasanya mereka menonjol dan kuat sekali. Hal itu tidak lepas
dari peran Krystal yang menjadi artis serba-bisa. Saya selalu punya teori
ala-ala tentang boyband dan girlband Korea; bahwa ada satu orang di
grup tersebut yang sering disorot karena punya aura padahal bukan visual, dan
serba-bisa. Nyanyi, nge-rap, nge-dance, akting, dan lain sebagainya. Dan
biasanya, yang seperti itu adalah favorit saya. Contohnya, Kyuhyun Super Junior
yang nggak hanya enak suaranya, tapi juga keren dance-nya. Lalu Luhan ex EXO yang masuk vocal line, salah satu dancer
terbaik, dan punya kemampuan akting yang bagus.

Krystal
punya warna suara yang membuat saya awalnya merasa bahwa orang ini nggak bisa
nyanyi, tapi ternyata bagian-bagian yang dinyanyikannya sangat bagus sehingga
dia masuk vocal line. Dengan
posturnya yang tinggi, kurus, dan sangat proporsional bagi saya, dia mudah saja
jadi salah satu dancer andalan SM. Dan
beda dengan Jessica, saya selalu merasa dia tidak hanya cantik. Dilihat dari
sudut manapun dia memang cantik, tapi Krystal punya membawaan seorang superstar
padahal dibandingkan yang lain pada masa itu, ia termasuk junior. Kini ia sudah
termasuk senior, banyak diidamkan oleh bahkan anggota girlband lain, tetapi ia tetap elegan. Aktingnya di Heirs adalah satu-satunya alasan kenapa
saya nonton drama itu, dan dia yang bikin saya bertahan menyimpan My Lovely Girl di laptop berbulan-bulan.
Yang saya bisa bilang adalah, she is
soooooooo cool. Feed Instagramnya
sudah elegan dari dulu dan dia punya segi artsy
yang membuatnya selalu tampak tenang, santai, desireable.
Dan
setelah Krystal, girlcrush saya dari
Korea adalah Jeon Somi.
Well, entah pantas disebut girlcrush atau tidak, karena dia masih
sangat muda. Kelahiran 2001 dan keturunan Kanada. Tahun 2015 – 2016 merupakan
lonjakan karirnya dari yang sebelumnya menjadi trainee, kemudian menjadi bintang show survival dari salah
satu channel tv terbesar di Korea.
Ada
kesan mendalam yang saya dapatkan dari gadis muda ini. Nyatanya kemudaannya
tidak membuat orang memandangnya sebelah mata. Malah sebaliknya; ia adalah
salah satu bintang yang dinantikan. Perhatian saya padanya dimulai ketika saya
iseng banget surfing di Youtube. Kemudian
saya tertarik untuk melihat reality show
yang di dalamnya Somi ikut berpartisipasi.

Dalam
show itu, Somi gagal di babak
terakhir untuk debut dan kembali menjadi trainee.
Tak berapa lama, sebuah survival show
kembali diselenggarakan Mnet dan membawa judul yang lebih mencengangkan: Produce 101. Yup, sesuai judulnya, ada
101 trainee perempuan dari berbagai
penjuru; berbagai perusahaan. Mereka ‘diadu’ untuk mendapatkan 11 tiket menjadi
girlband selama satu tahun dan resmi
disebut sebagai artis. Di acara inilah Somi berhasil menjadi pemenang dan debut
beberapa waktu lalu dengan girlband I.O.I.
Awalnya
saya merasa saya penasaran dengan popularitas Somi. Ditambah lagi, dia memang
punya bakat untuk menjadi bintang. Penampilannya sudah memenuhi kualifikasi
seorang selebriti dan kecerahan yang dibawa sebab usianya yang sangat muda
menjadi perpaduan yang cukup menarik bagi saya. Ketika saya akhirnya
menuntaskan keingintahuan saya dengan menonton Produce 101 dan Sixteen
secara maraton, saya tahu betul kenapa saya ngefans berat pada Somi. Terlepas dari
bakatnya, Somi punya jalan yang tidak mudah untuk meraih apa yang sepatutnya ia
dapatkan.
Sejak
awal kemunculannya di Produce 101,
Somi sudah merebut banyak perhatian. Tentu saja karena ia adalah trainee dari perusahaan yang menjadi dream girls, dan ia sudah terlebih dahulu
menjajaki popularitas dengan menjadi member
Sixteen. Ketika menunjukkan bakatnya
di ronde pertama, semua trainee heran
mengapa ia mendapatkan klasifikasi A padahal bakat yang ia tunjukkan terkesan
biasa saja, dan banyak yang lebih hebat tetapi mendapatkan kualifikasi di
bawahnya. Banyak omongan-omongan yang mengira bahwa tentu hal itu disebabkan
oleh perusahaan tempat Somi bernaung. Padahal saya merasa penampilan Somi bukan
biasa, tetapi karena ia lebih dulu punya pengalaman broadcasting, tampil di tv dan menempatkan diri di depan penggemar.
Di
awal, ia menyanyikan Lips Are Moving-nya
Megan Trainor dengan mulus, seperti saat ia menyanyikan Superhero di babak battle
Sixteen. Hanya saja ia jauh lebih
matang, she know what she doing. Dia paham
makna lagu yang dinyanyikannya, bagian mana yang diberi penekanan, dan lain
sebagainya. Nyatanya, yang para pelatih pun melihat itu. Bae Yoon Jung selaku dance trainer kawakan berkata bahwa
dibanding kemampuannya, Somi memiliki penampilan yang sangat memenuhi
kualifikasi untuk menjadi face of the
girl. Somi tidak tampil biasa, tentu saja tidak. Dia memberikan aura
penasaran karena orang-orang merasa ia belum mengeluarkan seluruh kemampuannya.
Maka di episode selanjutnya, ia akan menjadi yang paling dinanti. Selain itu,
menampilkan segalanya di ronde pertama hanya akan menyusahkan ronde berikutnya
karena orang sudah terlebih dahulu memasang ekspektasi terhadap kita. Lihat
saja bagaimana bagusnya Momo menari sejak episode pertama Sixteen dan kemudian tereliminasi.
Sejak
awal Somi tahu itu dan dia menghindari untuk set the bar too high. Ia menunjukkan pesonanya, seperti yang
diminta JYP dahulu, dan kemudian jalan untuk melebarkan sayap dan menunjukkan
pesona sebenarnya terbuka. Lihat juga bagaimana biasanya Yoo Jung di ronde
pertamanya dan kemudian melesat sebagai center
di lagu official Produce 101.

Menjelang
episode terakhir Produce 101, Somi
berkata bahwa “aku tereliminasi dalam final di Sixteen, aku tak tahu apa yang harus kulakukan jika aku juga
tereliminasi di sini”. Salah seorang member Sixteen
yang tidak debut pun berkata bahwa selepas Sixteen,
ia sudah tak mampu lagi mengikuti program survival
karena sangat melelahkan baik fisik maupun mental.
Awalnya
saya pikir lebay amat. Mereka adalah bibit-bibit yang dinilai memiliki bakat,
tentu saja cepat atau lambat akan debut.
Lagipula, mereka sudah punya star
material, apanya yang bikin capek. Menari dan menyanyi, kan, sudah aktivitas
mereka setiap hari. Apa susahnya ikut survival
show yang lumayan untuk menarik perhatian?
Kemudian
ketika saya baru selesai nonton Sixteen,
saya baru sadar apa maksud pernyataan tersebut.
JYP
mendesain survival show-nya dengan
keras. Bahkan kejam, if I might add. Trainee dibagi menjadi tim major dan
minor. Tim major mendapatkan keuntungan dan pada akhir show akan debut menjadi girlband
Twice. Sementara tim minor mendapatkan perlakuan seperti trainee lainnya. Tim major mendapatkan
kalung dan setiap minggu mereka harus mempertahankan kalung itu. Ketika anggota
minor yang naik menjadi major, maka ia harus memanggil anggota tim major dan
menarik kalung tersebut dari lehernya kemudian berganti posisi.
Daripada
Produce 101, Sixteen jauh lebih tidak menyenangkan. Tantangan setiap minggu
nyaris mustahil apabila dilakukan mereka yang loyo usahanya. Bahkan its a mentally breakdown ketika Somi,
Natty, dan Minyoung dikeluarkan dari tim major di ronde final dan malah
memasukkan Momo yang sudah tereliminasi minggu-minggu sebelumnya untuk debut di
Twice. Tidak heran setelah acara itu,
beberapa trainee memilih keluar dari
JYP. Its sadly cruel.
Dan
saya heran melihat bagaimana Somi tampak begitu kecil di Sixteen dengan 15 member untuk berbagi peran dalam satu jam show sementara ia begitu superior di Produce 101 dengan 100 member lainnya
untuk berbagi layar. Mungkin benar kata JYP, survival show itu sangat memengaruhi membernya dan membuat mereka
berubah. Atau memang itu hanya karena framing
sebab segalanya sudah settled.
Saat
itulah timbul kekaguman saya akan perempuan berusia 15 tahun itu. Dia sudah
melalui sebuah program yang kejam untuk menentukan masa depannya; melawan trainee senior yang sudah kenyang
pengalaman dan memang sudah waktunya debut; kemudian bangkit lagi dengan cepat
dan mengikuti program survival dengan
scope yang jauh jauh lebih besar.
Tentu saja dia punya keberanian ekstra. Tentu saja nggak terbayang rasanya
kalau dia juga kalah di Produce 101. Kalau
saya, sih, pasti sudah stres. Ikut dua survival
show yang terkadang nggak manusiawi dan masih saja terantuk.
Somi
mengingatkan saya, bahwa saya masih terlalu pengecut untuk menjalani mimpi
saya, atau apapun yang saya sebut mimpi itu.
Sosok
Somi seolah semakin menguatkan saya untuk menunjukkan apa yang ingin kita
tunjukkan. Dalam hidup ini, kita harus bisa mengambil alih diri kita sendiri
dan lepas dari kekhawatiran yang berlebihan atau malah kekhawatiran orang lain.
Hingga
kini Somi masih belum bisa disebut sebagai sebuah fenomena. Dia masih perlu
banyak berkembang. Banyak masukan dan kritik yang diterimanya dari dua survival show dan trainer yang berbeda. Dan saya terlalu tidak bisa memprediksi ranah
hiburan yang dinamis hingga tidak tahu akan bagaimana ia beberapa tahun ke
depan. Tetapi sejauh ini, sosoknya memberikan banyak hal yang ingin saya gali
dari diri saya sendiri. Untuk merintangi ketakutan saya, dan mengolahnya
menjadi sebuah keuntungan yang benar-benar milik saya sendiri.
Saya
mungkin selalu bisa mengeluh tentang betapa lelahnya saya. Selalu menemukan hal
untuk dicaci. Tetapi saya tidak boleh berhenti. Seperti Somi.
Saya
iri dengannya yang dipenuhi pengetahuan berlimpah di usia semuda itu. Bercermin
padanya, saya merasa tak muda lagi tetapi kenapa? Saya masih terus bisa
bermimpi dan hidup dalam dunia yang menghidupi mimpi-mimpi saya. Tiba-tiba saya
rakus dan merasa saya bisa meraih apa saja selama saya berusaha dan berusaha
lebih keras. Di titik terakhir saya, saya akan berkata; sedikit lagi, sedikit
lagi. Saya tak pernah tahu apa yang ada di depan kalau saya berhenti. Lagi-lagi
Somi mengajari saya.
Dan
saya tidak mau membayangkan gelapnya dunia kalau saya berhenti. Atau mungkin
saya selalu mengingatnya agar tak boleh berhenti. Bisa jadi.
Ah,
terlalu banyak yang saya dapatkan dari para girlcrush
saya ini. Sehingga saya selalu bertanya-tanya apakah saya bisa menjadi goal dari diri saya sendiri.
Sacrifice and
honesty
Hahaha. Lega ya rasanya bisa menulis perasaan. Jangan lupa semangat buat author nya ;)
ReplyDeleteTerima kasih, semoga hari Anda menyenangkan :)
DeleteWhoaaaa girl crush kita sama. Krystal ��
ReplyDeleteGirlcrush seluruh umat, ya? :) Semoga hari Anda menyenangkan.
Delete