Kesekian Kalinya

Siapa sih yang nggak kesel kalo kita bertengkar pas bulan puasa? Sampe harus batalin semua pekerjaan baru yang udah digarap susah-susah. Well, saya bukan orang yang sabar *kan? jadi saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar bertengkar cuma-cuma. Toh hasil akhirnya sama : menyakiti saya.
Mereka memang tidak mau mengerti. Dan tidak pernah mengerti. Saya. Pemikiran saya. Hidup saya. Bahkan setiap kegiatan saya. Mereka cenderung tipe orang-orang tua pemikir kolot yang masih terbawa-bawa pola pikir yang udah bau dan juga sibuk 'balas dendam' ke generasi selanjutnya karena apa? karena mereka dulu begitu. Simple sih. Tergantung cara kita manfaatinnya aja. Kalo saya, sibuk dengan mengerjakan hal-hal yang justru makin 'tidak terendus'. Semisal nggak pamit, nggak ngomong dan sebagainya. Hal ini nggak berpengaruh apa-apa sih. Cuma cenderung salah satu bentuk ketidaksetujuan dan ketidaksukaan kita. Saya mungkin yakin bisa hidup sendiri tanpa mereka. Tapi bagaimanapun (meskipun semarah sekarang) saya sadar bahwa tentu sangat sulit dan akan mempertaruhkan segalanya. Kendatipun tak ingin saya lakukan, pertengkaran itu setidaknya memberi warna berbeda dan tidak akan pernah saya lupakan untuk selanjutnya *untuk memori kelam, tentu saja.

Pertengkaran barusan menyadarkan saya kalau ternyata masih banyak orang yang berpikir ala jaman baheula. Masih tidak bisa menerima globalisasi dalam idealisme buangan mereka. Yang semuanya hasil pikir perjuangan orang lain. Mereka tipe-tipe orang yang bilang diri mereka 'ordinary', 'let it flow', santai. Tapi sebenarnya karena mereka tidak pernah merasakan. Mereka tidak pernah berusaha. Saya, mungkin memang bukan orang yang begitu besar. Namun saya masih punya tekad dan semangat (yang dimiliki orang-orang itu hanyalah kosong) untuk jadi yang terdepan ditempat yang saya harapkan. Nah mereka? dimanakah mereka nanti akan berada? Bersemayam bersama sekian ribu jasad yang pada tahun-tahun mendatang takkan dikenali? Oh please... saya mengerti surga itu ada. Nirvana itu ada. Namun masa' kita harus menyia-nyiakan kesempatan dan peluang hidup yang indah (tergantung kita mengelolanya)untuk kebahagiaan nanti saja. Kalau bisa bahagia sekarang, kenapa tidak? toh kita-kita sendiri yang akan menentukan akhirnya.

Apa yang harus saya lakukan dong, kalau begini.
Jika sudah habis kesabaran saya akan meluapkan apa yang selama ini bertumpuk. Kesal dan gerah. Bercampur dengan ego dan amarah sesaat. Saya yakin saya benar. Tapi tidak sepenuhnya salah. Mungkin mereka bisa meremehkan acara-acara saya yang begitu menyita waktu dan nggak berarti. Tapi karena mereka nggak pernah dan nggak bisa merasakannya (waw, ini diskriminalitas usia yang sangat saya senangi betul, karena bisa tunjukkan ke mereka kalau saya pernah dan mereka? oh, senangnya TIDAK), mereka selalu bilang acara nggak penting, atau nggak ada artinya. Padahal saya ini cuma menghargai waktu dengan hal-hal yang menyenangkan dan tidak mereka rasakan. Kapan lagi sih, enjoy masa-masa sekarang? Saat kita mampu untuk senang (yang sering terbaca dengan ketidakmampuan untuk bahagia) kenapa tidak? Saya nggak ingin senang-senang yang begitu-begitu saja. Hanya menyesuaikan jalur dan nggak kemanapun. Saya ingin melangkah kemanapun saya mau. Saya nggak ingin jadi orang yang terus terpaku di jalan tol, kalau ada hutan dan danau sejernih Ranu Kumbolo yang belum terjelajahi.
Sekali lagi, saya bukannya sok idealis atau apa. Saya hanya berpikir sederhana dengan cara saya sendiri. Saya hanya berpikir simpel kok : saya ingin memanfaatkan waktu dan keadaan ini sebaik mungkin. Sebab mungkin lain waktu sudah tidak ada lagi. Kalaupun harus ke Jember, sejak kecil saya disana dan saya tidak menemukan apapun kecuali pertengkaran-pertengkaran yang menguras hati. Tanpa ada blog untuk tempat mencurahkan.
Mengerti kan, kenapa kita bisa menulis di blog? Saya merasa 'terbaca'. Saya merasa 'ada yang mendengarkan'. Saya merasa bisa mengungkapkan ketika ada yang mendengarkan (bukan berarti saya oportunis), karena dengan itu ada orang yang setidaknya mengerti jalan pikiran saya yang tidak terungkapkan. Yang tidak sempat terelukan dalam gerusan jalan yang mereka buat tanpa berani mendobrak pakem yang justru mereka pertahankan. Konyol, begitu komentar saya.

Dan tahu apa? Ketika saya menawarkan semacam koalisi kepada kakak saya, agar ia dan adik-adik pulang dulu sementara saya akan pulang bersama om saya, ia malah mencemooh saya dengan jalan pikiran saya yang terlalu hura-hura, bagi dia. Ha ha. Garing sekali. Dia malah bilang kalau untuk apa saya disini, apalagi tanpa ada pengawas. Jika ada pengawas saja saya bisa seenaknya untuk hura-hura, ketawa-ketiwi disana-sini, bagaimana jika ditinggal?
Saya bilang, mereka bisa percaya saya. Saya ini bukan orang bodoh yang akan merusak diri saya sendiri. Saya mungkin belum tahu kemana saya melangkah. Hanya saja saya punya tujuan dan saya ingin mencapainya. Mereka nggak tahu itu. Karena mereka nggak pernah bertanya pada saya, apa ini apa itu. Mereka hanya ingin saya sukses. TITIK.
Bukankah itu menyebalkan? Saya harus memendam tujuan hidup saya sendiri demi mereka? Tidak. Saya lebih suka pergi daripada begitu.
Saya ingin hidup yang berarti. Bagi saya. Bagi orang lain. Namun jika orang lain itu tetap tak mau mengerti saya, kenapa pula saya ingin berarti untuk mereka? Tidak ada keinginan lain bagi saya untuk bertengkar dengan mereka. Namun sebisa mungkin saya selalu menghindarinya karena apa? Saya tidak ingin kualat nantinya. Tapi jangan kira karena begitu saya harus selalu terkekang. Saya ingin jadi diri saya sendiri.

Seburuk apapun saya di masa lalu, tetaplah hanya saya mengerti. Mereka orang-orang sok tahu yang hanya bisa berkomentar dibalik cerutu yang mengepul dan mengandalkan kuasa serta kemarahan semata untuk memenangkan pertempuran. Haha. Toh saya masih bisa mengacungkan jari tengah untuk mereka sambil meneriakkan betapa kosongnya omongan mereka selama ini. Mereka pikir mereka apa? Rombongan ibu-ibu tukang bergosip yang lelet dan kolot? Atau pengamat remaja yang bisanya cuma mengamati ini itu, bilang baik buruk. Lalu apa? Ending kan?
Mereka nggak pernah dikenal. Mereka nggak punya tujuan. Saya punya. Saya ingin saya punya cara.


Kalaupun gejolak kemarahan itu tak bisa saya ungkapkan, setidaknya saya sudah berani menuliskan. Daripada nggerundel dibelakang.


vigna sinensis

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)