Why So Serious?
Sesungguhnya saya pernah dengar almarhumah ibu saya berucap suatu kali, "tidak akan pernah ada orang yang bisa mengerti dan mengenal diri kita sebaik kita sendiri. bahkan suami." Mungkin saat itu saya masih terlampau kecil untuk bertanya banyak hal dan hanya mampu menatapnya tak mengerti. Namun, hingga masa remaja saya, kata-kata itulah yang terus terngiang ketika saya menghadapi seseorang yang sama sekali tidak bertemu jalan pikirannya dengan saya.
Saya rasa ucapan ibu itu benar. Setiap kali saya mencoba mengatakan sesuatu tentang itu, tak ada orang yang paham ataupun menaruh perhatian sebesar ibu. Hanya sambil lalu yang kemudian tak lagi terbahas ataupun teringat. Nampaknya saya pun juga setuju dengan pendapat bahwa kita dilahirkan berbeda. Biarpun Tuhan bernah 'bersabda' bahwa kedudukan semua manusia itu sama, tapi sesungguhnya hanya amal ibadah yang jadi pembeda. Tetap saja bagi saya itu berbeda. Ya toh?:)
Sedalam apapun saya hanya saya dan Tuhan yang tahu. Sebaik apapun ibu mengerti saya dan menyayangi saya setiap waktunya. Namun sayalah yang akhirnya akan jadi hakim sekaligus terdakwa dalam pengadilan jati diri yang sudah lama terkoyak ketenangannya.
Sama sekali tak terpikir oleh saya untuk berhenti mencari pengalaman. Ya, mungkin saat ini:) Hanya saja saya tak ada nyali untuk melakukannya, memberhentikan semua pelayaran yang susah payah saya usung. Parodi hidup yang hebat. Saya tidak tahu apakah saya jadi boneka atau seorang pemegang bayonet kayu.
Saat saya merasa hidup saya adalah waktu-waktu liang kelam yang kelak akan saya tumpukan kebenarannya, saat itulah saya rasa sekarang pun adalah waktu-waktu terindah selama ibu masih disisi saya. Tiada pernah terjamah meski bayangnya selalu ada. Secara bersamaan keduanya berlangsung. Dan saya yakin saat inipun masih berlangsung. Saya berusaha melewatinya sebaik mungkin, sebanyak mungkin kejadian, hingga pada masa mendatang saya bisa mengenang masa ini dengan seribu pernak-pernik hidup yang tidak ada dari secuil noktah kehidupan yang diberikan Tuhan di mayapada ini.
Saya tak ingin hidup tanpa penyesalan dan hanya melongo di masa lewat saya ditemani secangkir kopi dan segelinting rokok menyala berbau menyengat sekaligus mengepulkan asap kekosongan di depan teras rumah menatap senja yang bergulir di ujung pantai selatan.
Saya pun tak ingin jadi pembodohan bagi kaum-kaum muda yang kelak jadi penerus negeri ini setelah saya. Yang bisanya tebar kritik dan pertanyaan sana-sini layaknya kambing ompong yang sudah lama jadi bahan ploncoan di peternakan tuli:) Ditambah lagi pemikiran yang sudah tidak tepat waktu hanya saja masih dipaksakan. Boleh saya rasis sedikit? *amit-amit! (terima kasih).
Mungkin tak hanya itu. Yang jelas saya tak ingin jadi beban di masa senja saya. Saya masih ingin menikmati hidup. Menyelam bawah laut Bunaken barangkali? Atau coba-coba di perairan the King of the World's sea : Raja Ampat. Atau mungkin, sedikit jelajah tempat-tempat sunyi yang jadi resort andalan di kepulauan Seribu. Banyak lagi, yang jelas tidak keluar negeri. Pengalaman itu malas saya rasakan jikalau hanya segitu lagi. Increase of disaster.
Tak bisa disangkal lagi, semuanya memang takkan berarti ketika kita toh akhirnya meninggalkan dunia ini. Tanpa tiada tanya puncak tertinggi yang pernah kita gapai, surga bawah laut yang belum kita jelajahi, pun berapa banyak kita hasilkan ribuan dollar untuk sekedar foya-foya di Karibia. (haha. you know the role, right?:)
Hanya saja, bagi saya lagi-lagi itu rezeki sekaligus bonus berhadiah plus plus yang saya dapatkan sebagai oleh-oleh kegersangan hati akan sedikitnya bumbu yang diberikan dunia ini dalam minimnya hidup. Sebagai oleh-oleh, tentu tidak akan saya bawa kesemuanya itu.
Tak mau munafik saya katakan semua perjalanan yang saya lakukan saya gunakan untuk berdiam diri, memandang kebesaranNya. Saya ialah makhluk hedonis yang selalu tak lepas dari hakikat diri saya sendiri yang sekali hanya saya yang tahu. Kearifan dan kebesaran Tuhan bisa setiap saat saya rasakan. Dalam bacaan-bacaan yang sudah selama ini saya rapalkan dalam diam. Rapalan yang disebut doa. Doa akan semua permohonan. Dimanapun bisa saya lakukan tanpa coba mencari tempat yang suci. Karena Ia tahu. Ia tahu dan selalu tahu.
Selama ini saya pun tak mengelak dibilang foya-foya sana sini. Habiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak penting, bahkan cenderung sia-sia. Namun, hal penting itu apa sih? kalau sholat pun kita lewatkan. Puasa pun kita abaikan. Saya pun pernah nakal. Sering bahkan. Saya rasakan indahnya dunia yang sesaat ini. Namun akhirnya? tak lebih dari kepompong yang ditinggalkan kupu-kupu.
Yaa.. saya tak ingin menghakimi orang hingga kesitu sebenarnya:)
Tak pernah cukup ribuan hari untuk jelaskan diri kita pada orang lain. Agar benar-benar mengerti. Sesungguhnya, perbedaan itulah keindahan yang saya rasakan betul. Seburuk apapun pemahaman orang lain tentang saya, saya percaya Tuhan berikan lebih untuk saya. Karena saya percaya:)
Belum tentu yang lain begitu. Saya bisa rasakan detak jantung dan denyut nadi hingga saat ini dan itupun adalah karena rasa percaya yang saya pelihara dalam hati. Setidak adil apapun dunia pada kita. Jika kita pernah mengaku adanya Tuhan, saya hanya bisa bilang alangkah munafiknya jika saya hanya bisa mengumpani sisi duniawi tanpa bisa sedikitpun menyujudkan hati saya padaNya.
Bahwa hidup ini adalah ketidakadilan, adalah banyak.
Namun bahwa hidup ini adalah kesamaan nasib dan kedudukan, hanyalah sebagai makhluk telanjang tak berdosa. Jika sekarang ada yang bilang begitu, saya tak segan-segan tertawa untuknya karena merasa dirinya masih suci. Why so serious? Life is never say never:)
Mungkin saya memang tak bisa jadi bintang. Saya tak bisa jadi nomor satu.
Tapi saya yakin, hidup yang saya lalui adalah yang terbaik untuk saya. Seburuk apapun nomor ranking yang saya dapat, semuanya tak lebih dari segala kelengkapan hidup yang lagi-lagi tidak stagnan pada satu grafik lurus cartesius yang akhirnya berujung pada diagram lingkaran : presentase amal.
Karena kepercayaan, adalah salah satu dari hal-hal paling mahal yang bisa saya suguhkan. Meskipun saya mudah percaya dan mudah hilang, dua-duanya tak lepas dari kecenderungan orang itu pada saya. Namun kepercayaan adalah yang bisa membuat saya hidup hingga saat ini.
episode kesekian xxxx puluh ribu dari gejolak hati.
terima kasih untuk kepercayaannya, apapun yang membingungkan dari dirimu:)
vigna sinensis
the time began without Riri's called again.
Saya rasa ucapan ibu itu benar. Setiap kali saya mencoba mengatakan sesuatu tentang itu, tak ada orang yang paham ataupun menaruh perhatian sebesar ibu. Hanya sambil lalu yang kemudian tak lagi terbahas ataupun teringat. Nampaknya saya pun juga setuju dengan pendapat bahwa kita dilahirkan berbeda. Biarpun Tuhan bernah 'bersabda' bahwa kedudukan semua manusia itu sama, tapi sesungguhnya hanya amal ibadah yang jadi pembeda. Tetap saja bagi saya itu berbeda. Ya toh?:)
Sedalam apapun saya hanya saya dan Tuhan yang tahu. Sebaik apapun ibu mengerti saya dan menyayangi saya setiap waktunya. Namun sayalah yang akhirnya akan jadi hakim sekaligus terdakwa dalam pengadilan jati diri yang sudah lama terkoyak ketenangannya.
Sama sekali tak terpikir oleh saya untuk berhenti mencari pengalaman. Ya, mungkin saat ini:) Hanya saja saya tak ada nyali untuk melakukannya, memberhentikan semua pelayaran yang susah payah saya usung. Parodi hidup yang hebat. Saya tidak tahu apakah saya jadi boneka atau seorang pemegang bayonet kayu.
Saat saya merasa hidup saya adalah waktu-waktu liang kelam yang kelak akan saya tumpukan kebenarannya, saat itulah saya rasa sekarang pun adalah waktu-waktu terindah selama ibu masih disisi saya. Tiada pernah terjamah meski bayangnya selalu ada. Secara bersamaan keduanya berlangsung. Dan saya yakin saat inipun masih berlangsung. Saya berusaha melewatinya sebaik mungkin, sebanyak mungkin kejadian, hingga pada masa mendatang saya bisa mengenang masa ini dengan seribu pernak-pernik hidup yang tidak ada dari secuil noktah kehidupan yang diberikan Tuhan di mayapada ini.
Saya tak ingin hidup tanpa penyesalan dan hanya melongo di masa lewat saya ditemani secangkir kopi dan segelinting rokok menyala berbau menyengat sekaligus mengepulkan asap kekosongan di depan teras rumah menatap senja yang bergulir di ujung pantai selatan.
Saya pun tak ingin jadi pembodohan bagi kaum-kaum muda yang kelak jadi penerus negeri ini setelah saya. Yang bisanya tebar kritik dan pertanyaan sana-sini layaknya kambing ompong yang sudah lama jadi bahan ploncoan di peternakan tuli:) Ditambah lagi pemikiran yang sudah tidak tepat waktu hanya saja masih dipaksakan. Boleh saya rasis sedikit? *amit-amit! (terima kasih).
Mungkin tak hanya itu. Yang jelas saya tak ingin jadi beban di masa senja saya. Saya masih ingin menikmati hidup. Menyelam bawah laut Bunaken barangkali? Atau coba-coba di perairan the King of the World's sea : Raja Ampat. Atau mungkin, sedikit jelajah tempat-tempat sunyi yang jadi resort andalan di kepulauan Seribu. Banyak lagi, yang jelas tidak keluar negeri. Pengalaman itu malas saya rasakan jikalau hanya segitu lagi. Increase of disaster.
Tak bisa disangkal lagi, semuanya memang takkan berarti ketika kita toh akhirnya meninggalkan dunia ini. Tanpa tiada tanya puncak tertinggi yang pernah kita gapai, surga bawah laut yang belum kita jelajahi, pun berapa banyak kita hasilkan ribuan dollar untuk sekedar foya-foya di Karibia. (haha. you know the role, right?:)
Hanya saja, bagi saya lagi-lagi itu rezeki sekaligus bonus berhadiah plus plus yang saya dapatkan sebagai oleh-oleh kegersangan hati akan sedikitnya bumbu yang diberikan dunia ini dalam minimnya hidup. Sebagai oleh-oleh, tentu tidak akan saya bawa kesemuanya itu.
Tak mau munafik saya katakan semua perjalanan yang saya lakukan saya gunakan untuk berdiam diri, memandang kebesaranNya. Saya ialah makhluk hedonis yang selalu tak lepas dari hakikat diri saya sendiri yang sekali hanya saya yang tahu. Kearifan dan kebesaran Tuhan bisa setiap saat saya rasakan. Dalam bacaan-bacaan yang sudah selama ini saya rapalkan dalam diam. Rapalan yang disebut doa. Doa akan semua permohonan. Dimanapun bisa saya lakukan tanpa coba mencari tempat yang suci. Karena Ia tahu. Ia tahu dan selalu tahu.
Selama ini saya pun tak mengelak dibilang foya-foya sana sini. Habiskan waktu dan energi untuk hal-hal yang tidak penting, bahkan cenderung sia-sia. Namun, hal penting itu apa sih? kalau sholat pun kita lewatkan. Puasa pun kita abaikan. Saya pun pernah nakal. Sering bahkan. Saya rasakan indahnya dunia yang sesaat ini. Namun akhirnya? tak lebih dari kepompong yang ditinggalkan kupu-kupu.
Yaa.. saya tak ingin menghakimi orang hingga kesitu sebenarnya:)
Tak pernah cukup ribuan hari untuk jelaskan diri kita pada orang lain. Agar benar-benar mengerti. Sesungguhnya, perbedaan itulah keindahan yang saya rasakan betul. Seburuk apapun pemahaman orang lain tentang saya, saya percaya Tuhan berikan lebih untuk saya. Karena saya percaya:)
Belum tentu yang lain begitu. Saya bisa rasakan detak jantung dan denyut nadi hingga saat ini dan itupun adalah karena rasa percaya yang saya pelihara dalam hati. Setidak adil apapun dunia pada kita. Jika kita pernah mengaku adanya Tuhan, saya hanya bisa bilang alangkah munafiknya jika saya hanya bisa mengumpani sisi duniawi tanpa bisa sedikitpun menyujudkan hati saya padaNya.
Bahwa hidup ini adalah ketidakadilan, adalah banyak.
Namun bahwa hidup ini adalah kesamaan nasib dan kedudukan, hanyalah sebagai makhluk telanjang tak berdosa. Jika sekarang ada yang bilang begitu, saya tak segan-segan tertawa untuknya karena merasa dirinya masih suci. Why so serious? Life is never say never:)
Mungkin saya memang tak bisa jadi bintang. Saya tak bisa jadi nomor satu.
Tapi saya yakin, hidup yang saya lalui adalah yang terbaik untuk saya. Seburuk apapun nomor ranking yang saya dapat, semuanya tak lebih dari segala kelengkapan hidup yang lagi-lagi tidak stagnan pada satu grafik lurus cartesius yang akhirnya berujung pada diagram lingkaran : presentase amal.
Karena kepercayaan, adalah salah satu dari hal-hal paling mahal yang bisa saya suguhkan. Meskipun saya mudah percaya dan mudah hilang, dua-duanya tak lepas dari kecenderungan orang itu pada saya. Namun kepercayaan adalah yang bisa membuat saya hidup hingga saat ini.
episode kesekian xxxx puluh ribu dari gejolak hati.
terima kasih untuk kepercayaannya, apapun yang membingungkan dari dirimu:)
vigna sinensis
the time began without Riri's called again.
hhmmm...cuma satu...rindu seorang SOSOK??
ReplyDeletemasih ingat kata "ikhlas & bersuyukur" ... :)
i felt like you...missing someone who important for me.(wah payah air mata g bisa d rem)hhehe
need process to be grown up.
ya.
ReplyDeletemissing with release is different things that I can say for u.
U say like yours is more.
hmmm.... good.
ReplyDeletehhaha...alright.
not for me. but for all human in the world.
yeah.
ReplyDeleteno no. Your beg my pardon. Am I?
I say : U say like yours is more.
hhmmm...stone still stone.. i don't think so.
ReplyDeletehaha . u said yours, right?
ReplyDelete