Michael Buble - Lost.
Saya merasa kesepian.
Lebih dari apapun. Ada rasa sesak yang meluap dan meletup begitu
saja. Rasa kecewa yang tak bisa ditutupi tanpa ketidaksadaran. Rasa gelisah
yang tidak terhenti terbendung begitu saja. Ketakutan yang beralasan, tapi
tidak masuk di akal.
Saat mendapatkan sesuatu itu terasa
begitu mengerikan dan ternyata lebih mudah melihat diri sendiri menangis di
cermin dari pada melihat seorang sahabat terisak di depan mata. Semuanya
mengubur saya dalam sesal dan letih. Menjera saya dalam ketidakadilan dan
ketidakberpihakan. Mata-mata itu terarah pada saya. Tidak
percaya-kesal-iri-tidak suka-sampai melecehkan. Semua harus dan terpaksa saya
terima mentah-mentah. Ketika diri ini jadi begitu kerdil untuk sekedar membela
semua pengakuan yang tidak pernah saya lakukan. Ketika hati ini jadi begitu
berat untuk sekedar menghela satu demi satu ketulusan yang diberikan. Kenangan dan retorika
yang pernah terjalin. Saat semuanya hilang semudah itu.
Saya
lebih memilih untuk tidak mendapatkannya.
Ketika
pada akhirnya rasa terpuruk itu menyisakan kekesalan yang merelakan setiap
butir keindahan itu pergi. Tak bisa dipaksa memang. Tapi apalah arti sebuah
keberhasilan tanpa senyum orang di sekitar saya. Tanpa senyum tulus. Rindu
sekali hal-hal (bahkan yang mengesalkan) polos tanpa pretensi itu.
Saya sering tidak bisa mengikuti acara gathering keluarga
karena kegiatan saya naik gunung, suatu ketika saya akan ditanyai; ”kenapa naik
gunung?”
Dan jangan salahkan saya saat saya jawab dengan sebaris
senyum tipis. Yang akan diartikan macam-macam; kekenesan seorang gadis untuk
diperhatikan, sifat tomboy yang tidak terjamah, kesukaan hura-hura main gitar
dan camping di gunung, kecenderungan menantang bahaya, demi harga diri, gengsi,
kesombongan, gegayaan, dan lain sebagainya. Tanpa berniat saya elak sama
sekali.
Sesungguhnya, hati saya yang menjawab: ”saya ingin dekat
dengan hutan dan Tuhan. Ingin bersua bersama alam dan jiwa yang rapuh. Saya
ingin merasakan lelah menusuk-nusuk hingga ke tulang yang menyadarkan batas
kesombongan saya. Saya ingin menyendiri bersama raungan kedinginan yang amat
sangat. Ingin didekap dalam hangat ketulusan, sifat asli rekan seperjalanan
yang takkan saya dapatkan kecuali di sini. Sepintar apapun anda sebagai ahli
psikologi untuk mereka sifat manusia, misalnya. Saya ingin melelehkan setiap
butir keringat keangkuhan dan kepasrahan terhadap bumi ini. Saya ingin ingat
betapa kecil saya di bumi, dan apapun yang saya dapat di dataran rendah
rasa-rasanya tak berguna saat Tuhan sudah berkata-kata. Apakah Anda pernah
mengingat rasa seperti itu?”
Namun kini, saat saya merasa ditinggalkan, apakah saya
tidak nyaman? Tepatnya saya tidak mendapati hal yang dapat membendung semua
perasaan sedih saya, kecuali segelintir. Kini saya merasa kesepian, apakah
bukan ini yang saya harapkan?
Tangis ini, kesah ini, untuk apa? Senang ini, bahagia
ini, rasa syukur dan tidak percaya ini, apa gunanya? Saat seorang sahabat
menangis redup di samping kita. Merasakan irisan silet menyayat-nyayat hati
setiap kali ia bergemuruh membuncahkan rasa sedih. Ikut berempati, memeluk
sebisa mungkin. Berharap jantung saya lompat ke jantungnya, turut mendekapnya
dalam andil tulus tanpa pretensi sebisa yang saya lakukan.
Apa gunanya, saat semua mata tidak percaya itu mengarah.
Saat semua pandangan kesal dan benci itu tertuju. Saat semua hujaman rasa
kecewa itu tumbuh di sekitar saya tanpa bisa saya bendung. Seolah semua
berharap saya tidak bahagia. Hari itu memang hari teraneh dalam hidup saya.
Saya mendapatkan keberhasilan, tapi sama sekali tidak bersyukur. Bodohnya saya!
Ya, saking bencinya saya, saya berharap bukan saya yang
mendapatkannya. Saya ingin rekan saya
yang menangis yang mendapatkannya. Ingin mereka yang iri mendapatkannya. Ingin
semua merasakannya. Bagaimana lelahnya. Bagaimana campur aduknya. Kalian pasti
senang.
Kenapa? Kenapa?
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Pertanyaan demi
pertanyaan itu mengisi. Seperti kemauan saya. Tulus tanpa pretensi.
Hari itu, 24 Mei 2013, untuk pertama kalinya saya merasa
ingin menjadi tokoh sampingan dari hidup saya. Ketika saya selalu mengeja
kenyataan yang saya dapati sebelum tidur menjadi sebaris kisah hidup seolah
tanpa saya kehendaki. Kini saya memilih (atau terpilih) menjadi tokoh sampingan
dari hidup saya. Ketika ketidaktegaan itu menguasai si tokoh utama.
Saat itu saya melihat teman-teman saya, seolah merekalah
tokoh utamanya. Saya hanya tokoh sampingan yang muncul dengan tersenyum senang
kemudian mengejek (seperti tokoh di televisi), atau berpura-pura sedih dan
murung. Tapi tak saya lakukan.
Saya menyadari bodohnya saya saat saya berdiri gamang,
diiringi ratusan tatap mata. Tak tahu harus berbuat apa. Sahabat terdekat saya
malah membujuk saya untuk duduk bersama yang lain. Saya bukan orang yang ingin
pamer. Juga bukan orang yang ingin sombong. Tapi saya tak rela. Saya tak
sanggup. Apabila harus duduk bersama orang-orang yang menyimpan sejuta kata di
hatinya. Sejuta kata kecewa yang bagi saya lebih menusuk dari pada apapun,
padahal mereka menujukan kekecewaan itu pada diri mereka sendiri. Saya ingin
mengelak. Saya ingin melewatkan saja momen ini. Saat ketegangan dan kekecewaan
itu bercampur menjadi satu. Saya ingin menangis.
Tapi tak ada yang mengerti. Tidak ada yang mengerti isi
hati saya. Mereka pikir; buat apa? Kamu
sudah mendapatkannya. Hidupmu seharusnya lempeng-lempeng saja. Sukses terus.
Atau setidaknya kamu sudah punya satu kesuksesan dari pada yang lain. Buat apa saya memikirkan kamu? Saat masa depan saya
terancam? Saat saya sedang penasaran tingkat dewa. Galau dan gelisah menanti hasil.
Kamu pun hanya duduk bodoh di depan kami. Hanya karena kamu sudah
mendapatkannya!
Saya bilang, mati aku!
Namun tidak ada yang
mau seperti itu. Hari itu memang aneh. Hari tertulus dan tanpa pretensi yang
terlihat bagi saya. Saat ketulusan itu NOL jadinya. Tapi saya bisa melihatnya.
Saya jelas bisa melihatnya. Ketika tak ada lagi yang peduli.
Saya setidaknya berterima kasih satu hal pada Tuhan; Engkau telah menunjukkannya Tuhan.
Saat itu saya ingin
pergi. Berlari ke mana saja saya mau. Saya ingin berteriak. Walaupun siapapun
yang ingin peduli pada saya dapat melihatnya di kedua mata lemah yang sarat
kepatuhan ini.
Teriakan itu bergaung berkali-kali. Godam besar itu
menghujam berkali-kali. Nyeri itu muncul bertubi-tubi.
Mungkin seperti kata Michael Buble. Saat ini saya sedang
hilang. Lost.
Saya putar lagunya berkali-kali. Berharap ada yang
mendengarkannya. Berharap ada yang tidak meremehkannya. Walaupun hanya
kekosongan yang saya berikan. Walaupun hanya kepalsuan yang saya tunjukkan.
Saya ingin ada yang mau duduk sejenak. Dengan diri yang benar-benar tenang.
Untuk melihat saya menangis. Sekedar melihat saya. Tak lebih.
Terlalu mulukkah?
Saat semua orang pikir saya terlalu bahagia untuk
mendengarkan mereka. Seharusnya saya memang senang. Seharusnya saya memang
bahagia. Tapi apalah gunanya... sungguh, apalah artinya...
Nyatanya, tak ada yang mau peduli pada tokoh sampingan.
Pemirsa tak ingin tahu bagaimana nasib tokoh sampingan yang tidak berguna dalam
hari penuh tangis seorang tokoh utama bersama orang-orang yang benar-benar
diinginkannya untuk berada di sampingnya. Saya bukan salah satunya.
Ketika saya hanya benar-benar sendiri dalam seonggok
keramaian penuh keseragaman.
Hari itu boleh jadi hari teraneh dalam hidup saya. Hari
kehilangan saya. Yang kesekian, mungkin. Hanya yang paling menohok. Saya hilang
diri saya sendiri.
Ada yang tidak mengutuhkan saya. Ada yang membuang saya.
Ada yang menganggap saya sedang di puncak kebahagiaan.
Tanpa seorang pun tahu, di manakah puncak kebahagiaan itu sendiri?
Maka saya jawab.
Tepat di bawah
telaga air mata bernama kesedihan. Terkunci
dalam sunyinya mati Sagarmatha di ufuk sana.
Maka sebutlah saya tidak bersyukur. Juga tidak tahu diri.
Comments
Post a Comment