Saatnya Berhenti Mencabik Novel
Saatnya Berhenti Mencabik Novel
Sebuah Esai
Dewasa ini novel bukan lagi sebuah
karya sastra yang hanya dibaca kalangan berpendidikan dan berasal dari
cendekiawan yang memiliki cakupan pengetahuan luas dari masyarakat yang mulai
cakap menginginkan kemajuan. Hal ini didukung beberapa publik yang
melatarbelakangi maraknya (atau bisa saja disebut mudahnya) pembuatan novel
maupun karya sastra lain. Banyaknya media massa
maupun penerbit yang terus menerus mendaur ulang siklus di kancah kepenulisan Indonesia turut berperan dalam menyambut negeri
yang bebas mengutarakan pendapat dalam media massa dan dapat turut serta memberikan
penghargaan maupun apresiasi terhadap segelintir penulis yang berhasil membawa
karyanya menjadi buah bibir publik.
Namun, saat ini kita dihadapkan dalam masyarakat yang semakin tidak bisa
membedakan karya sastra bagus dan karya sastra laris. Dalam fenomena tersebut
terkadang banyak kritikus dan pengamat karya sastra menilai semakin kemari
nilai-nilai apik karya sastra yang sebenarnya, terpaksa tergerus dengan karya sastra
yang hanya mengandalkan promosi besar-besaran, dengan penulis yang terkenal,
judul yang cenderung bombastis, yang akhirnya memicu pelonjakan penjualan buku
di pencetakan pertama. Di fase seperti ini, kebanyakan masyarakat akan
cenderung merasa penasaran dengan buku tersebut, kemudian di pencetakan kedua,
penjualan buku kembali melonjak drastis. Begitu seterusnya. Tanpa sadar animo
masyarakat pun kebanyakan dimonopoli dengan dalih untuk meningkatkan minat dan
daya baca.
Hal
inilah yang memicu kesempatan-kesempatan baru untuk terus berkarya.
Produser-produser film yang cekatan dan jeli melihat peluang usaha pun dengan
mudah memberikan iming-iming untuk merealisasikan novel bestseller tersebut
menjadi sebuah film. Bukan barang baru memang. Film-film baik di dalam maupun
di luar negeri sudah seringkali menggunakan titel ’Based on a novel by...’ di credit tittle film maupun opening
scene-nya. Dan tidak jarang pula yang menuai kesuksesan sama atau bahkan lebih
baik dari novelnya. Contohnya seperti yang kita tahu pemenang 8 kategori
penghargaan Oscar termasuk kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik, Slumdog
Millionaire (2008), sebuah
film dengan setting beberapa kota di India, yang dibuat berdasarkan novel Q
& A (Questions And Answers) karya Vikas Swarup. Film yang sempat dicekal
beberapa kritikus dan pengamat sastra India sebagai film yang semata-mata ingin
mendompleng Mumbay, pusat kekumuhan India sekaligus stereotipe kejahatan dan
kriminalitas yang tak jarang dijumpai di negara yang termasuk dalam 3 negara
dengan jumlah penduduk terbanyak setelah China. Toh nyatanya film tersebut
sukses walaupun novelnya jauh lebih baik bagi sebagian besar penikmat sastra.
Mungkin
hal inilah yang dijadikan tolak ukur bagi kebanyakan produser di Indonesia
untuk nekat membuat film berdasarkan novel yang telah laris di pasaran dan
telah dicetak ulang belasan bahkan puluhan kalinya. Termasuk novel Donny
Dhirgantoro yang kini telah diperbaharui cover bukunya sesuai dengan film yang
diadaptasi dari isi novel tersebut, 5cm. Banyak orang, terutama para pendaki gunung dan pencinta alam,
menganggap novel tersebut tidak begitu menarik bagi mereka karena kebanyakan
isinya terlalu mengalir lancar dan begitu dibuat-buat, apalagi dengan isi novel
tersebut yang menceritakan tentang 6 anak muda dari Jakarta melakukan
perjalanan a la backpacker untuk mendaki Gunung Semeru yang terletak di
kabupaten Lumajang, Jawa Timur, membuat jargon bahwa ’semua orang bisa naik
gunung semau gue’. Sebenarnya kalau
ditilik lagi tak ada yang salah dengan jargon tersebut, namun kembali pada
hakikatnya semua orang belum tentu pendaki gunung yang sudah tahu kode etik
yang digunakan saat mendaki gunung. Imbasnya, secara positif dapat kita lihat
bagaimana kemajuan TNBTS (Taman Nasional Bromo Tengger Semeru) dalam upaya
memperbaharui sarana dan prasarananya hingga ke titik terakhir pendakian
diizinkan, yakni Kalimati. Semua tak lain adalah berkat syuting film 5cm
yang dilangsungkan di Gunung Semeru selama 18 hari dengan bantuan 200 porter. Secara negatif, kalau kita mau
menindaklanjuti, kelestarian hutan semakin lama semakin tidak karuan. Mungkin
di sepanjang jalan antara Ranu Pane menuju Ranu Kumbolo (salah satu spot
terbaik dalam syuting yang paling diminati banyak orang, terutama karena
treknya lancar dan bagus) hal tersebut masih samar dirasakan. Namun di Ranu
Kumbolo sendiri, suasana mistis rasanya tergantikan oleh riuh ramai orang-orang
yang kebanyakan menikmati suasana itu dengan sesuka hati daripada merenung dan
bersyukur. Itu dari sisi lingkungan.
Dari
segi kualitas sendiri, tidak ada yang mencolok dari film 5cm kecuali latarnya. Pemeran
yang dalam novelnya ditokohkan dengan baik dan sangat berkarakter (mungkin ini
keunggulan novel Donny), jadi terasa hambar dengan persahabatan yang walaupun
diklaim menjadi trademark film ini, malah tidak terasa. Namun lagi-lagi,
masyarakat yang kembali terpacu pada sudut pandang yang bombastis dan inovatif
bagi mereka, dengan mudahnya terpancing dan jatuh hati bahkan menonton film itu
hingga berulang-ulang kali, apalagi diiming-imingi interaksi dengan para
pemeran yang tampan dan cantik itu di media jejaring sosial yang marak
digunakan seperti Twitter, yang memungkinkan semua orang berhubungan satu sama
lain, tak peduli pejabat, artis, publik figur, dan lain sebagainya. Hal ini
sah-sah saja, tidak pernah ada larangan bagi siapa saja untuk berpromosi,
apalagi jika bersinggungan dengan karya sastra yang identik dengan dunia
perfilman dan entertaiment. Namun, tidak pantas rasanya jika dilakukan tapi
tanpa benar-benar menghayati isi film atau bahkan isi novelnya.
Oleh
karena itu, dengan era modern yang terus berputar dan menuai berbagai inovasi
ini, sebuah novel hendaknya benar-benar memiliki nilai amanat dan moral
daripada sekadar novel berisi penghiburan yang saat ini merajalela di
gerai-gerai buku ternama. Dan sebuah film yang mengangkat cerita dari sebuah
novel yang meledak angka penjualannya hendak pula memperhatikan beberapa aspek
yang membuat sebuah novel itu lebih hidup kala diceritakan. Semisal; tokoh,
karakter atau penokohan, latar, alur, dan lain sebagainya. Dengan demikian visi
misi dari si pembuat novel maupun pembuat film bisa tersampaikan dengan baik
dengan konten yang benar-benar bermutu dan layak dikonsumsi khalayak luas. Tak
apalah novel-novel bermutu itu jarang ’dihidupkan’ menjadi film, lebih baik
daripada harus merusak apresiasi yang diberikan. Popularitas dan uang mungkin
dapat mengelabui penonton, tapi relakah bangsa ini akhirnya dibual oleh degung
ketenaran karya sastra tanpa mampu menilik lagi kualitasnya semata?
Comments
Post a Comment