Selamat Ulang Tahun
Selamat ulang tahun.
Kau bisa sebut apa saja. Entah ini hadiah atau sekedar basa basi penyambut kehangatan yang sempat tertunda, tetapi aku lebih suka menuliskan apapun itu saat aku ingin. Jadilah sekarang. Maaf.
Mari sejenak lupakan, aku tak ingin membuka hal yang kuharapkan membuatmu tersenyum dengan kata maaf dan pengantar yang kehilangan keindahan.
Tetapi sebenarnya, aku tak hanya ingin sekedar membuatmu tersenyum sahabat. Aku ingin kamu diam. Duduk. Mengambil jeda sejenak dari gemerlapnya dunia mudamu yang penuh warna. Aku ingin kamu membaca. Mengenang. Meresapi apapun dalam tulisan ini yang sekiranya bermakna. Aku ingin kamu ada malam ini, saat aku mengetik. Saat aku mulai menulis. Aku ingin kamu ada di setiap kata dalam tulisan ini.
Tersenyumlah, walau hari ini bukanlah D-Day bagimu.
Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya ini. Aku hanya berharap.. kamu ada dan membacanya.
~ ~ ~
Sudah lama kita kenal.
Pertama kali bertemu, kenal kamu, meng-add Facebook-mu. Aku masih ingat betul gayamu. Kamu yang manis. Tomboy. Ceria.
Walau awalnya bagiku kamu hanya satu dari mereka berseragam merah-hitam di awal-awal kita masuk SMA. Nyatanya, kecocokan itu berbicara lain. Nyatanya, kita bisa ngobrol.
Hingga detik ini pun, saat aku mengenang malam-malam penuh tawa di rumahmu, aku akan ada pada titik kulminasi keheranan yang menyebar tak tentu arah dari syaraf-syaraf ingatan akan pertama kali kita bertemu. Dan aku berharap aku tidak akan pernah mengingatnya.
Di masa-masa kecanggungan itu, tak ada yang perlu diingat. Aku biarkan kita sibuk mencari-cari waktu pertama kita bertemu. Dengan itu kita akan tetap sama-sama dekat untuk kesekian kalinya. Biarlah ingatan itu sama-sama mencari.
Yang kita perlukan adalah hari ini, dan esok.
Kenangan yang pernah ada, tak akan menjadi kenangan tanpa hari ini. Apalagi esok.
~ ~ ~
Dyah Ayu Nuriftiyah Pasha. Salah satu orang dengan nama terpanjang yang pernah kutemui.
Satu dari sekian banyak orang yang kutemui dalam hidup terindah yang diberikan Tuhan ini. Begitupun aku. Hanya satu dari sekian orang yang patut kau kenal. Cukup patut saja.
Namun ingatlah, ke manapun kau pergi, apapun yang kau alami, akan ada aku yang bertanya di kejauhan “bagaimana?”
Pertanyaan singkat. Satu kata saja. Yang harus kau jawab dengan penuh kelengkapan. Saat aku bertanya “bagaimana kamu?” maka yang kamu pilih sebagai jawaban adalah berondongan pelajaran hidup yang tak melulu kebahagiaan.
Kapanpun kamu merasa jengah, di manapun kamu berada, akan ada aku yang bertanya “apa kabarmu?”
Pertanyaan yang standar. Dua kata saja. Yang harus kau jawab dengan penuh keyakinan. Saat aku bertanya “apa kabarmu?” maka yang kamu pilih sebagai jawaban adalah wajah yang bercerita, tak melulu berbahagia.
Dalam hidupmu, kamu adalah orang yang berdiri di atas batu. Di tengah sungai yang deras alirannya. Orang-orang melintasi kamu ibarat air. Terus menerus begitu. Mereka seolah melaju meninggalkan kamu, tetapi kamu sendiri juga melaju dengan caramu. Ingatlah, aku adalah batu di sungai itu. Entah kamu percayai untuk dipijak, atau sekedar dianggap ada. Aliran deras takkan membawaku pergi, aku tetap ada. Kapanpun kamu mau menyibak air. Kapanpun kamu mengulurkan tangan membawaku ke dekatmu.
Terkadang menjadi sebatas ada memang tidak enak, sahabat.
Sebutlah aku egois.
Aku akan merasa kehilangan saat satu senyum bahagiamu terabadikan tanpa ada aku di dalamnya, atau tanpa aku tahu kapan dan di mana. Aku akan merasa begitu terlempar saat kamu mengobral kata sayang dan ucapan mesra tanpa ada aku di sana.
Terkadang memang kita terlalu takut menjadi melankolis. Namun aku tak ingin begitu, sebutlah ucapan sayang itu ada bagaimanapun percakapan kita.
~ ~ ~
Hidup mengantarmu di usia baru. You’re doing great, dear.
Tanpa melihatmu pun aku tahu. Bahagia akan menyambutmu di tahun-tahun bahkan hari-hari selanjutnya. Cinta yang tak putus-putus akan selalu muncul, mengingatkan betapa berartinya kamu. Bukan tanggal itu, bukan kesempatan itu.
Aku pun ada pada titik di mana perasaanku tak selalu ingat saat kita tertawa. Aku ingat kita pernah punya masalah. Aku ingat kita pernah retak terpisah. Aku ingat kita pernah beradu dalam duka yang tak sama. Aku selalu ingat..
Aku pernah ingat kita tak saling memaafkan. Aku pernah ingat kita saling bermusuhan. Aku ingat kita pernah masa bodoh dengan perasaan. Aku ingat kita pernah berjauhan.
Tetapi sejauh ini, pernahkah sekali saja di dalamnya, kita merasa asing?
Tidakkah aneh?
Anggap saja begini.
Kita ada pada akumulasi segala kemuakan dan kebencian kita satu sama lain. Kita berada pada jarak terjauh yang bisa kita jangkau dari hubungan persahabatan ini. Namun pernahkah sekali di dalamnya, kita merasa tak kenal? Kita merasa satu sama lain adalah orang asing?
Sayangnya tidak.
Buktinya? Kita selalu kembali pada waktu dan tawa yang sama. Seolah tak pernah belajar dari kesalahan lalu. Namun itulah kita, tak ada yang patut dipelajari dari masa-masa suram. Apalagi diingat.
Tetapi aku dengan senang hati mengingatnya, sahabat. Bukan untuk merawat luka apalagi dendam. Tetapi aku mengingatkan diriku sendiri, sejatinya kita pernah berlawanan arah. Sesering apapun kita bersama, kita kembali pada kenyataan bahwa hati kita pernah berkata, berlaku, berbuat sesuai insting di dalamnya. Saat kita berlawanan arah, selalu ada titik temu yang cepat atau lambat melintasi waktu-waktu di antara kita.
Antara aku; Inez, kamu; Dyah, Rika, Dewi. Begitupun Fauzi.
Kita bertemu di kelas yang sama. XE. Kelas terbaik dalam hidupku.
Kamu juga ada, di satu dari sekian bagian-bagian terindah dalam hidupku.
Terima kasih, sahabat.
Maafku saat aku tak teraih bagimu. Maafku saat aku tak ada bagi kamu. Maafku saat bagi kamu aku tak rindu.
Ketahuilah, puncak kerinduan yang bisa kuraih hanyalah doa. Buatmu. Buat langkah kecilmu yang tak lagi di jalan setapak. Buat kakimu yang tak lagi telanjang. Doaku membungkusnya rapat, bukan agar tak terluka, tapi agar kamu terbiasa.
Ketahuilah, hidup ini memang berlangsung seolah begitu saja. Tetapi aku ingin merasai engkau memperlambat waktu yang ada di pikiranmu. Sekedar untuk duduk dan membaca. Bahwa ada waktu bagimu, kau adalah orang terspesial di dunia ini. Apalagi dalam dunia seorang aku. Sebuah aku. Secarik aku. Selembar aku.
Jadi beginilah. Mungkin ini yang terbaik yang bisa kuberikan.
Tak bisa memang kuberikan tart. Atau boneka. Atau jam maupun pigura cantik. Bahkan sehelai kaos pun tidak. Mungkin memang berkesan bagimu, namun siapa kira tiga tahun lagi aku akan lupa hadiah apa yang kuberikan di ulang tahunmu yang ke-19?
Namun aku takkan lupa saat aku baca lagi tulisan ini. Satu demi satu kata. Satu demi satu baris yang kutuliskan dengan setengah tergesa, setengah tertawa, setengah menerawang. Setengahnya lagi kubayangkan kamu. Bertanya-tanya bagaimana kamu, apa kabar kamu.
Aku takkan lupa rasanya duduk di ruangan yang tak lagi lama kutinggali. Sekedar membalas satu per satu kerinduan untuk sahabat-sahabat tercinta. Menuliskannya, seperti menjawab panggilanmu. Sekedar membalas satu per satu keraguan untuk kembali ke perantauan. Menuliskannya, seperti menjawab hasratnya.
Dyah..
Dewasamu nggak lagi kupertanyakan. Kemandirianmu pun nggak lagi kuragukan.
Aku.. di sini hanya ingin mengingatkan.
Orang-orang yang mencintai kamu. Walau tanpa gambar berarti. Walau tanpa pengabadian yang bagiku jauh lebih klise.
Ada Mama, Papa, Adikmu. Ada Yus. Ada aku, Rika, Dewi, Fauzi. Ada orang-orang yang tak kuketahui namanya, sekalinya berarti dalam hidupmu.
Pijaklah nyali dan prinsipmu kuat-kuat. Kami memang tak memegangimu, apalagi setiap waktu.
Kami ada di sini, juga mengejar mimpi. Namun kita selalu tahu, di mana kita bisa jatuh dan kembali. Tak lama, mungkin hanya satu hari saja. Tak lama, mungkin hanya beberapa jam saja bersepeda motor keliling kota. Tak banyak cerita, mungkin saling olok kita yang semakin hitam atau gendut. Tak banyak cerita, mungkin selebihnya disimpan berdua saja.
Namun setelahnya, kau bebas menggantungkan lagi kenangan kita. Lihatlah, sewaktu-waktu. Kami seolah ada di balik pintu kamarmu. Mengingatkanmu,
Dyah Dyah.. lompatlah setinggi-tingginya. Berlarilah sekencang-kencangnya.
Kau tak perlu khawatir, kau pasti akan terjatuh. Tapi kami siap menyanggamu. Kami ada untuk kau jadikan bantalan, agar kau lekas kuat kembali.
Jangan lagi kau cari kenyamanan. Banyak manusia menyesal mengapa dilahirkan. Percayalah, saat kau mulai tertunduk pasrah dan merasa tak berarti; karena kau, karena ada kita, tak ada satupun dari kita yang berpikiran menyesal mengapa ada di bumi ini.
Bersinarlah.
Sesungguhnya kita tak pernah menanti satu sama lain untuk bertemu. Kita akan pada titik pertemuan yang ditentukan Tuhan. Di mana saat terindah, adalah kita sama-sama mengejar mimpi, untuk bertemu kembali. Kita tak bersama, tapi kita ada dan saling merasai. Kita ada dalam sela jemari. Kita ada dalam dunia di mana mereka tak berani bermimpi.
Kita ada dalam dunia prasangka orang lain. Tetapi kita yang membuat dunia kita sendiri.
Teruntuk,
Sahabat-sahabat terbaik. Penjerang lelah paling mujarab dibanding segala liburan di dunia.
Selamat ulang tahun, Dyah.
Semesta ada, untuk sekedar berucap selamat datang padamu. Saat kau ada, semesta tak lagi ada batasnya
Kau bisa sebut apa saja. Entah ini hadiah atau sekedar basa basi penyambut kehangatan yang sempat tertunda, tetapi aku lebih suka menuliskan apapun itu saat aku ingin. Jadilah sekarang. Maaf.
Mari sejenak lupakan, aku tak ingin membuka hal yang kuharapkan membuatmu tersenyum dengan kata maaf dan pengantar yang kehilangan keindahan.
Tetapi sebenarnya, aku tak hanya ingin sekedar membuatmu tersenyum sahabat. Aku ingin kamu diam. Duduk. Mengambil jeda sejenak dari gemerlapnya dunia mudamu yang penuh warna. Aku ingin kamu membaca. Mengenang. Meresapi apapun dalam tulisan ini yang sekiranya bermakna. Aku ingin kamu ada malam ini, saat aku mengetik. Saat aku mulai menulis. Aku ingin kamu ada di setiap kata dalam tulisan ini.
Tersenyumlah, walau hari ini bukanlah D-Day bagimu.
Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya ini. Aku hanya berharap.. kamu ada dan membacanya.
~ ~ ~
Sudah lama kita kenal.
Pertama kali bertemu, kenal kamu, meng-add Facebook-mu. Aku masih ingat betul gayamu. Kamu yang manis. Tomboy. Ceria.
Walau awalnya bagiku kamu hanya satu dari mereka berseragam merah-hitam di awal-awal kita masuk SMA. Nyatanya, kecocokan itu berbicara lain. Nyatanya, kita bisa ngobrol.
Hingga detik ini pun, saat aku mengenang malam-malam penuh tawa di rumahmu, aku akan ada pada titik kulminasi keheranan yang menyebar tak tentu arah dari syaraf-syaraf ingatan akan pertama kali kita bertemu. Dan aku berharap aku tidak akan pernah mengingatnya.
Di masa-masa kecanggungan itu, tak ada yang perlu diingat. Aku biarkan kita sibuk mencari-cari waktu pertama kita bertemu. Dengan itu kita akan tetap sama-sama dekat untuk kesekian kalinya. Biarlah ingatan itu sama-sama mencari.
Yang kita perlukan adalah hari ini, dan esok.
Kenangan yang pernah ada, tak akan menjadi kenangan tanpa hari ini. Apalagi esok.
~ ~ ~
Dyah Ayu Nuriftiyah Pasha. Salah satu orang dengan nama terpanjang yang pernah kutemui.
Satu dari sekian banyak orang yang kutemui dalam hidup terindah yang diberikan Tuhan ini. Begitupun aku. Hanya satu dari sekian orang yang patut kau kenal. Cukup patut saja.
Namun ingatlah, ke manapun kau pergi, apapun yang kau alami, akan ada aku yang bertanya di kejauhan “bagaimana?”
Pertanyaan singkat. Satu kata saja. Yang harus kau jawab dengan penuh kelengkapan. Saat aku bertanya “bagaimana kamu?” maka yang kamu pilih sebagai jawaban adalah berondongan pelajaran hidup yang tak melulu kebahagiaan.
Kapanpun kamu merasa jengah, di manapun kamu berada, akan ada aku yang bertanya “apa kabarmu?”
Pertanyaan yang standar. Dua kata saja. Yang harus kau jawab dengan penuh keyakinan. Saat aku bertanya “apa kabarmu?” maka yang kamu pilih sebagai jawaban adalah wajah yang bercerita, tak melulu berbahagia.
Dalam hidupmu, kamu adalah orang yang berdiri di atas batu. Di tengah sungai yang deras alirannya. Orang-orang melintasi kamu ibarat air. Terus menerus begitu. Mereka seolah melaju meninggalkan kamu, tetapi kamu sendiri juga melaju dengan caramu. Ingatlah, aku adalah batu di sungai itu. Entah kamu percayai untuk dipijak, atau sekedar dianggap ada. Aliran deras takkan membawaku pergi, aku tetap ada. Kapanpun kamu mau menyibak air. Kapanpun kamu mengulurkan tangan membawaku ke dekatmu.
Terkadang menjadi sebatas ada memang tidak enak, sahabat.
Sebutlah aku egois.
Aku akan merasa kehilangan saat satu senyum bahagiamu terabadikan tanpa ada aku di dalamnya, atau tanpa aku tahu kapan dan di mana. Aku akan merasa begitu terlempar saat kamu mengobral kata sayang dan ucapan mesra tanpa ada aku di sana.
Terkadang memang kita terlalu takut menjadi melankolis. Namun aku tak ingin begitu, sebutlah ucapan sayang itu ada bagaimanapun percakapan kita.
~ ~ ~
Hidup mengantarmu di usia baru. You’re doing great, dear.
Tanpa melihatmu pun aku tahu. Bahagia akan menyambutmu di tahun-tahun bahkan hari-hari selanjutnya. Cinta yang tak putus-putus akan selalu muncul, mengingatkan betapa berartinya kamu. Bukan tanggal itu, bukan kesempatan itu.
Aku pun ada pada titik di mana perasaanku tak selalu ingat saat kita tertawa. Aku ingat kita pernah punya masalah. Aku ingat kita pernah retak terpisah. Aku ingat kita pernah beradu dalam duka yang tak sama. Aku selalu ingat..
Aku pernah ingat kita tak saling memaafkan. Aku pernah ingat kita saling bermusuhan. Aku ingat kita pernah masa bodoh dengan perasaan. Aku ingat kita pernah berjauhan.
Tetapi sejauh ini, pernahkah sekali saja di dalamnya, kita merasa asing?
Tidakkah aneh?
Anggap saja begini.
Kita ada pada akumulasi segala kemuakan dan kebencian kita satu sama lain. Kita berada pada jarak terjauh yang bisa kita jangkau dari hubungan persahabatan ini. Namun pernahkah sekali di dalamnya, kita merasa tak kenal? Kita merasa satu sama lain adalah orang asing?
Sayangnya tidak.
Buktinya? Kita selalu kembali pada waktu dan tawa yang sama. Seolah tak pernah belajar dari kesalahan lalu. Namun itulah kita, tak ada yang patut dipelajari dari masa-masa suram. Apalagi diingat.
Tetapi aku dengan senang hati mengingatnya, sahabat. Bukan untuk merawat luka apalagi dendam. Tetapi aku mengingatkan diriku sendiri, sejatinya kita pernah berlawanan arah. Sesering apapun kita bersama, kita kembali pada kenyataan bahwa hati kita pernah berkata, berlaku, berbuat sesuai insting di dalamnya. Saat kita berlawanan arah, selalu ada titik temu yang cepat atau lambat melintasi waktu-waktu di antara kita.
Antara aku; Inez, kamu; Dyah, Rika, Dewi. Begitupun Fauzi.
Kita bertemu di kelas yang sama. XE. Kelas terbaik dalam hidupku.
Kamu juga ada, di satu dari sekian bagian-bagian terindah dalam hidupku.
Terima kasih, sahabat.
Maafku saat aku tak teraih bagimu. Maafku saat aku tak ada bagi kamu. Maafku saat bagi kamu aku tak rindu.
Ketahuilah, puncak kerinduan yang bisa kuraih hanyalah doa. Buatmu. Buat langkah kecilmu yang tak lagi di jalan setapak. Buat kakimu yang tak lagi telanjang. Doaku membungkusnya rapat, bukan agar tak terluka, tapi agar kamu terbiasa.
Ketahuilah, hidup ini memang berlangsung seolah begitu saja. Tetapi aku ingin merasai engkau memperlambat waktu yang ada di pikiranmu. Sekedar untuk duduk dan membaca. Bahwa ada waktu bagimu, kau adalah orang terspesial di dunia ini. Apalagi dalam dunia seorang aku. Sebuah aku. Secarik aku. Selembar aku.
Jadi beginilah. Mungkin ini yang terbaik yang bisa kuberikan.
Tak bisa memang kuberikan tart. Atau boneka. Atau jam maupun pigura cantik. Bahkan sehelai kaos pun tidak. Mungkin memang berkesan bagimu, namun siapa kira tiga tahun lagi aku akan lupa hadiah apa yang kuberikan di ulang tahunmu yang ke-19?
Namun aku takkan lupa saat aku baca lagi tulisan ini. Satu demi satu kata. Satu demi satu baris yang kutuliskan dengan setengah tergesa, setengah tertawa, setengah menerawang. Setengahnya lagi kubayangkan kamu. Bertanya-tanya bagaimana kamu, apa kabar kamu.
Aku takkan lupa rasanya duduk di ruangan yang tak lagi lama kutinggali. Sekedar membalas satu per satu kerinduan untuk sahabat-sahabat tercinta. Menuliskannya, seperti menjawab panggilanmu. Sekedar membalas satu per satu keraguan untuk kembali ke perantauan. Menuliskannya, seperti menjawab hasratnya.
Dyah..
Dewasamu nggak lagi kupertanyakan. Kemandirianmu pun nggak lagi kuragukan.
Aku.. di sini hanya ingin mengingatkan.
Orang-orang yang mencintai kamu. Walau tanpa gambar berarti. Walau tanpa pengabadian yang bagiku jauh lebih klise.
Ada Mama, Papa, Adikmu. Ada Yus. Ada aku, Rika, Dewi, Fauzi. Ada orang-orang yang tak kuketahui namanya, sekalinya berarti dalam hidupmu.
Pijaklah nyali dan prinsipmu kuat-kuat. Kami memang tak memegangimu, apalagi setiap waktu.
Kami ada di sini, juga mengejar mimpi. Namun kita selalu tahu, di mana kita bisa jatuh dan kembali. Tak lama, mungkin hanya satu hari saja. Tak lama, mungkin hanya beberapa jam saja bersepeda motor keliling kota. Tak banyak cerita, mungkin saling olok kita yang semakin hitam atau gendut. Tak banyak cerita, mungkin selebihnya disimpan berdua saja.
Namun setelahnya, kau bebas menggantungkan lagi kenangan kita. Lihatlah, sewaktu-waktu. Kami seolah ada di balik pintu kamarmu. Mengingatkanmu,
Dyah Dyah.. lompatlah setinggi-tingginya. Berlarilah sekencang-kencangnya.
Kau tak perlu khawatir, kau pasti akan terjatuh. Tapi kami siap menyanggamu. Kami ada untuk kau jadikan bantalan, agar kau lekas kuat kembali.
Jangan lagi kau cari kenyamanan. Banyak manusia menyesal mengapa dilahirkan. Percayalah, saat kau mulai tertunduk pasrah dan merasa tak berarti; karena kau, karena ada kita, tak ada satupun dari kita yang berpikiran menyesal mengapa ada di bumi ini.
Bersinarlah.
Sesungguhnya kita tak pernah menanti satu sama lain untuk bertemu. Kita akan pada titik pertemuan yang ditentukan Tuhan. Di mana saat terindah, adalah kita sama-sama mengejar mimpi, untuk bertemu kembali. Kita tak bersama, tapi kita ada dan saling merasai. Kita ada dalam sela jemari. Kita ada dalam dunia di mana mereka tak berani bermimpi.
Kita ada dalam dunia prasangka orang lain. Tetapi kita yang membuat dunia kita sendiri.
Teruntuk,
Sahabat-sahabat terbaik. Penjerang lelah paling mujarab dibanding segala liburan di dunia.
Selamat ulang tahun, Dyah.
Semesta ada, untuk sekedar berucap selamat datang padamu. Saat kau ada, semesta tak lagi ada batasnya
Comments
Post a Comment