Terlempar Ke Belakang
Akuilah begini. Setiap hendak menulis sesuatu, saya
selalu dirangsang hal-hal tidak penting yang banyak terjadi di hidup saya. Terkadang
satu gerakan tangan bisa mengantarkan saya pulang ke tempat yang sama sekali
tak terduga belasan tahun lalu. Begitupun satu kayuhan sepeda.
Ada dua buku bertumpuk tak jauh dari saya. Dua-duanya
saya pinjam dari perpustakaan fakultas kemarin. Tak jelas juga kenapa tiba-tiba
saya pinjam. Selama ini saya hanya punya kartunya, menghiasi dompet saya
bersama kartu-kartu lain. Sepertinya baru kemarin saya sadar saya sudah lama
sekali tidak membaca sesuatu, yang baru. Dan selama ini kepergian saya ke
perpustakaan hanyalah pelarian belaka, tentu saja.
Dan entah kenapa pula saya memilih mengetik begini
daripada membaca. Daripada menekuri hal-hal lain yang saya sendiri tak tahu
mengapa. Malam ini panas, Jakal km. 4,5 tak hujan.
Mungkin itu satu-satunya alasan kenapa saya memilih
menulis. Nothing to do in the hot weather.
~ ~ ~
Beberapa waktu lalu ketika saya berliburan di
Probolinggo, saya sekeluarga menyempatkan diri pulang ke Jember. Tanah kelahiran
saya. Tempat saya besar, dan menghabiskan separuh lebih hidup saya sejauh ini
lebih dari tempat manapun yang pernah saya singgahi.
Namun kini kepulangan ke Jember itu tak lagi menjanjikan
kesenangan. Seperti dulu. Walaupun sebelumnya kepulangan saya ke Jember selalu
dihiasi penyesalan. Kata-kata semacam, “kenapa kamu pergi?” selalu menghiasi
pantulan cermin di kamar lama saya.
Kini rumah tempat saya kecil dan dibesarkan disewakan
kepada orang lain. Sesak dada saya ketika turun dari mobil, menatapi rumah yang
kian renta itu. Tak lagi sempurna terurus. Tanaman-tanaman kesayangan Bapak
(panggilan saya untuk kakek), yang banyak mengisi hatinya semenjak kepergian
Mama terbengkalai. Daun-daun layu bergelayut lesu, biasanya Bapak yang telaten
menyingkirkannya tiap pagi dan sore. Subuh dan menjelang Maghrib. Tak pernah
tidak.
Halaman rumah yang dipenuhi bebatuan hitam dan putih
kotor tak beraturan. Biasanya tidak hanya Bapak, seluruh keluarga kami
bertanggung jawab menjaga agar batu putih tetap pada sisi kebun sebelah kiri,
dan batu-batu hitam ada di sisi kebun sebelah kanan, dipisahkan oleh pijakan
berupa tegel keras yang dulu berbentuk bintang, bulan, prisma, dan lain
sebagainya.
Teras rumah kami, tempat kami berkumpul dulu, tak kalah
lusuhnya. Kursi hitam berat yang dipastikan petinju kelas berat pun akan
menangis saat tertimpa salah satu kakinya berikut meja berlemari yang penuh
rahasia terbengkalai dihiasi debu. Lemari di meja itu kecil saja, mungkin 90x90
cm. Sepanjang ingatan saya bisa kembali, lemari itulah yang selalu Bapak buka
saat saya mengeluhkan sabuk sekolah yang mulai rusak. Isinya, kemungkinan
sabuk.
Bapak hidup dengan sederhana dan bersahaja. Sejak SD,
saya tak pernah absen mengenakan seragam sesuai tatanan yang berlaku. Tak kurang
karena Bapak sendiri adalah kepala sekolah di tempat saya bersekolah dulu.
Sepatu hitam yang selalu mengkilat setiap pagi, kaus kaki putih yang masih kuat
karetnya (saya ingat beberapa teman SD saya mengenakan kaus kaki yang diberi
karet lantaran sudah longgar dan melorot hingga mata kaki jika dipakai), rok
merah hati gelap berbahan berat (apalagi setelah terkena hujan, berbeda dengan
rok teman-teman yang warnanya cerah), sabuk dengan kepala keemasan berlambang
korpri, seragam putih bersih, dasi sekolah, dan yang paling istimewa; papan
nama dari tembaga berwarna hitam dengan garis keemasan di tepinya bertuliskan
nama saya, gagah sekali: INNEZDHE AYANG MARHAENI. Dibaliknya terpasang peniti
kokoh yang akan menancap di seragam saya setiap hari.
Sama seperti milik para guru. Saya punya tiga papan itu
dan dikenakan bergantian di tiap seragam. Berbeda dengan teman-teman yang papan
nama beralaskan kain yang diobras di pakaian mereka sehingga tak bisa dilepas,
hingga kelamaan nama-nama itu memudar termakan sabun cuci.
Bapak akan marah sekali saat ada kesalahan di nama saya.
Padahal nama saya sendiri memang sulit diucapkan. Hingga detik ini, hingga kata
guru berganti dengan dosenpun, tak pernah luput beliau-beliau salah atau
keplicut menyebut nama saya. Saya ingat, ketika saya beranjak masuk SMP, ada
piagam penghargaan atas nilai try out saya. Saya menyerahkannya dengan bangga
pada Bapak. Saya lihat kerut di dahinya menjadi, seketika ia meraih telepon
yang ada di dekat meja kerjanya, kemudian menekan sejumlah angka dari piagam
tersebut.
Dengan singkat Bapak bercakap-cakap dengan salah satu
anak buahnya yang saat itu menjadi kepala sekolah di tempat SMP pelaksanaan try
out. Beliau dengan keras memintanya mengganti nama saya yang mencla-mencle
tidak karuan tersebut.
“Nih, bawa. Berikan Bapak kalau sudah benar.” Bapak
kembali menyerahkan piagam itu.
Bapak saya orang keras. Kolot. Tegas. Disiplin. Tak pernah
toleran. Mungkin itu yang membentuk Bunda saya memberikan berbagai kebebasan
yang tak pernah didapatnya semasa muda.
Dan semua kenangan itu berlangsung di rumah saya. Tempat saya
dilahirkan, dimanja dan dibesarkan.
Terakhir kali saya pulang ke rumah itu, saya bahkan tak
mau menghabiskan waktu untuk merasai sofa yang sudah ada di sana sejak saya belum
lahir. Saya hanya duduk di kursi taman bikinan Bapak yang tak kalah berdebu.
Saya tahu penyewa rumah yang seorang ibu-ibu yang lebih
tua dari Ibu saya dengan anak-anak kecil tak sempat membersihkan dan merawat
semuanya. Ia bahkan melihat wajah saya. Sayangnya, ia salah tanggap. Ia berkata
dengan sungkan.
“Maaf, Dik. Memang kotor. Kami sekeluarga baru seminggu
di sini. Belum juga barang-barangnya dibereskan.”
Saya tertegun. Saya sadar, saya sudah terlalu besar untuk
diabaikan.
Saya ingat, terakhir kali saya menempati rumah itu
beberapa bulan lampau untuk pergi ke nikahan sepupu jauh saya (usianya hanya
terpaut beberapa tahun dengan saya), kami sekeluarga memutuskan berjalan kaki
ke rumah saudara saya yang terletak mungkin seratus meter dari rumah, lebih
karena mobil tak bisa masuk gang sempit di belakang rumah. Banyak orang
pangling dan berseru saat melihat saya.
Benar, waktu bergulir begitu cepat. Padahal orang-orang
itu sama saja di mata saya. Namun mereka memeluk, sumringah, mengelus rambut
saya seolah saya baru pulang dari peperangan. Namun ya, saya memang pulang dari
peperangan. Banyak peperangan.
Semasa kecil saya, saya tak pernah mau tahu orang-orang
di lingkungan saya. Saya masih berada pada dogma Bapak dan Mama, “jangan ke
rumah si itu”, atau, “jangan bergaul dengan anak si ini.”
Bagaimana saya mengenal orang-orang adalah lewat Bapak
yang terkadang berbaik hati memberikan tugas menyebarkan undangan kenduri pada
saya dan sepupu-sepupu saya. Juga Bunda yang menyuruh saya mengantarkan makanan
ke sana-ke mari tanpa sepengetahuan Mama (bahasanya ater-ater). Bapak pikir baik mengenal orang, dan baik pula orang
itu mengenal kita dengan baik (Bapak tak pernah lupa menyuruh salam dan berlaku
yang sopan saat mengantarkan undangan), namun tidak untuk terlibat dalam
kehidupan kampung yang bagi Bapak sangat terbelakang.
Keluarga saya keras. Itulah yang bisa saya simpulkan.
Namun tak sedetikpun, saya rasa mereka tak baik. Kadang mereka
jahat, memarahi dan memukul. Tetapi tak pernah mereka tak berlaku baik. Dan rasa
sakit serta tangis itu menjadi hal yang sangat wajar mengingat esoknya saya
pasti diajak jalan-jalan. Sebagai sogokan yang ampuh menekan kengambekan saya.
Saya sadar saya orang kampung. Di sanalah saya hidup
bertahun-tahun. Tumbuh besar bersama saudara-saudara. Di mana di tempat kami
tetangga adalah saudara, maka sebenarnya tetangga-tetangga hingga
berderet-deret rumahnya di samping dan depan kami adalah saudara jauh. Semuanya. Begitulah betapa bersahajanya
hidup di desa.
Dan saat saya mengedarkan pandangan, semua terasa
mengerdil. Saya tumbuh tinggi di tempat lain. Tak terasa tangan saya menyentuh
plafon teras. Semua seolah mengecil dengan skala yang sama sehingga saya rasa
sayalah anomali di sana. Di sebelah kanan rumah saya adalah rumah kerabat dekat
kami. Hanya terpisahkan tiga meter oleh lorong yang dulu bergerbang seng,
berfungsi sebagai garasi namun dengan atap terbuka. Bagian belakang menyatu
dengan sumur dan kamar mandi yang sudah bertahun-tahun tak digunakan.
Rumah itu adalah milik adik almarhumah Mama (panggilan
saya untuk nenek) saya. Bisa saya sebut Mbah, namun usianya hanya terpaut
beberapa tahun lebih tua dari Bunda saya karena Mbah adalah anak terakhir
sementara Mama adalah anak pertama. Saya merasa asing menyebut namanya. Walaupun
dulu saya juga tak terlalu akrab lantaran takut dengan wajah dan perawakannya.
Dari Mbah saya itu saya punya dua sepupu. Merekalah yang
selalu bermain bersama saya. Mas Agus dan Via. Mas Agus dua atau tiga tahun
lebih tua dari saya. Namun ia tak melanjutkan sekolah selepas SMK. Via tiga
tahun lebih muda dari saya. Jarang sekali ada yang seumuran dengan saya di
sana.
Rumah Mbah tampak lengang. Padahal saya ingin masuk dan
bersapa. Namun lampu teras menyala. Tampak berhari-hari tak ditempati.
Keluarga besar kami telah lama pecah.
Dulu dua rumah berdampingan yang sangat dekat itu
bertengkar hebat, beberapa bulan pasca kepergian Mama. Sejak saat itu, saya
dilarang main ke sana lagi. Via pun begitu. Tak saling sapa hingga
bertahun-tahun. Hingga sekarang.
Saya mungkin tak mengerti dunia orang dewasa. Tetapi andai
Bapak tak keras. Andai Mbah lebih logis menghadapi harta. Andai dua kubu
keluarga tak saling cerca dan menuding. Mungkin pertengkaran sore itu tak akan
pernah terjadi.
Bersama pecahnya keluarga kami, rumah-rumah lain seolah
kehilangan fungsinya sebagai penengah. Suasana mendadak suram. Tetangga-tetangga
tampak ragu untuk berinteraksi dengan salah satu dari kami. Tak mau disangka
memihak ataupun menjelek-jelekkan. Suasana rikuh itu kerap saya rasakan. Walau saya
belum juga beranjak besar.
Saya duduk, meratapi masa-masa yang kini sangat saya
rindukan, namun masih bisa mendengar suara Bunda saya yang bercakap-cakap di
dalam rumah. Ia bercerita tentang saya yang pulang liburan semester satu
setelah 6 bulan mengenyam pendidikan di Jogja. Di universitas ternama yang
orang kampung kami belum tentu tahu. Saya diam.
Helaan napas saya mendadak berat.
Tak berapa lama, tepat saat saya tak tahan lagi
dipandangi orang-orang yang lalu lalang (mereka adalah tetangga, tetapi saya
tak kuasa menyapa), Bunda saya keluar. Keluarga kami beranjak. Dengan masih
diiringi tatapan keingintahuan, mobil kami pergi, meninggalkan Dusun Purwoharjo
yang telah berganti nama; Dusun Krajan II Kasiyan Timur.
“Kamu tahu, Mas Agus-mu kerja di situ,” di depan deretan
toko Bunda berkata. Saya tengok arah telunjuknya. Sebuah bengkel sekaligus
tempat cuci mobil yang tak seberapa besar. Saya menggigit bibir. Tak kuasa
membayangkan lelaki yang terhitung sebagai paklik saya itu bekerja keras setiap
hari. Kendatipun saya tahu ia juga lelaki yang tak bisa diam. Ada saja yang
diperbuatnya, mulai dari membongkar motor hingga membuat layang-layang raksasa.
“Ibunya pergi. Yang ada di rumah itu hanya Mas Agus,
istrinya, dan Via.” Lanjut Bunda.
“Tapi saya tidak melihat mereka,” jawab saya.
“Bunda juga. Kemarin dulu Bunda mau kasih uang, tetapi mereka
juga tidak nyapa Bunda. Ya sudah.”
Hati saya teriris pelan-pelan.
Pertanyaan-pertanyaan ‘ada
apa?’ bergaung di pikiran saya yang masih saja terkejut. Tak paham.
Namun saya mengerti, lambat laun semua kerukunan itu akan
berubah. Kesahajaan desa yang tetap itu akan semakin berubah tak tentu arah. Saya
merasa dilempar kesana-kemari.
Saya tak paham egoisme orang dewasa. Baik waktu itu
hingga sekarang. Berulangkali saya khatam diceriterakan, namun tak sedikitpun
saya bisa mengerti kenapa hingga sekarang pertikaian itu tak juga selesai.
Selebtwit yang saya follow, @sedimensenja, pernah
menulis; “yang harusnya diselesaikan dari sebua pertengkaran adalah masalah,
bukan kisah.”
Mungkin benar. Nyatanya dalam kehidupan serba kompleks
begini saya masih tak paham dengan orang-orang yang kerap menasehati saya untuk
selalu hidup rukun dan bermasyarakat.
Andai saja, sesimpel ini; kedua keluarga tak saling
menunjuk, namun saling memaklumi dan memaafkan. Tak saling gengsi memberi dan
menerima. Tak berpura-pura tak peduli dan saling menjelek-jelekkan. Tak sibuk
mencari pendukung dan menjatuhkan.
Andai saja.
Dan kenangan serba kompleks itu hanya didasari hal kecil,
sebenarnya. Saya sedang nothing to do max malam ini. Sedang tidak mood untuk
ngapa-ngapain sebenarnya saat saya buka folder video dan kepengin re-watch lagi
video-video lama; sebuah jalan mengapa saya suka K-Pop. Kemudian saat menonton
satu video Super Junior, Bonamana, saya mendadak ingat komentar Via saat saya
sedang keranjingan beberapa tahun lalu dan memperlihatkanya pada gadis tanggung
itu.
Komentarnya kecil saja. Dan kemudian ia request satu hal;
“Kak, puter yang tadi dong.” Dia selalu memanggil saya
dengan ‘kak’ atau tidak ‘nes’. Karena sebenarnya ia juga masih terhitung tante
saya. Putri dari adik nenek saya.
Hingga sekarang saya ingat, yang dia suka dan dimintanya
untuk diputar adalah video clip SHINee yang berjudul Ring Ding Dong. Walau ia
tak pernah bilang suka, tapi ia selalu meminta memutar video itu saat melihat
saya duduk dan bermain laptop.
Sudah tahunan saya tak bertemu dia. Terakhir kali
bertemu, ia tumbuh besar. Dalam masa pubertas ia makin cantik dengan kulit sawo
matang. Rambutnya lurus akibat rebonding dan ia tak suka lagi main ke sawah. Saya
yang selalu merasa terdampar pada jiwa kanak-kanak, akan selalu mengajaknya
bermain saat saya pulang. Padahal saat itu saya sudah kelas 2 SMA. Namun setelah
sekian tahun, alasan penolakannya berubah dari ‘malas’, menjadi ‘takut hitam’.
Ah, gadis itu. Tak pahamkah ia ponakannya ini sangat
merindu?
Saya hanya ingin berdoa, berharap dan bermunajat. Agar ia
senantiasa baik-baik saja. Sayang sekali saya tak datang pada pernikahan Mas
Agus, padahal Ibu mereka memeluk saya dengan uraian air mata dan memohon saya
datang pada pernikahan Mas Agus saat terakhir kali saya bertemu mereka lengkap
satu keluarga.
Bodohnya saya tak memberikan nomor ponsel saya pada
mereka. Saya tak juga berusaha menghubungi via facebook.
Kini waktu berlalu begitu cepat. Saya bahkan tak sempat
tahu mereka di mana.
Saya belum juga bertemu istri Mas Agus. Belum juga
membelikan beberapa potong pakaian mungkin untuk Ibu mereka. Belum mengobrol
bersama Mbah. Belum..
Saya belum bilang pada Via.
SHINee punya banyak single baru. SHINee debut di Jepang
(walau saya tahu ia ragu antara perbedaan Jepang, Korea dan China). SHINee
memenangkan banyak penghargaan.
Dan saya belum memperlihatkan EXO padanya.
Belum..
~ ~ ~
Kini saya hanya bisa menyesal.
Saya kehabisan tiket untuk pulang. Tiket itu bernama rumah
dan tujuan.
Rumah-rumah besar dan panjang di desa saya telah berubah.
Menjadi begitu tertutup dan muram. Bayang-bayang becek di depan rumah di mana
kami selalu beli sate dan bakso berganti air yang mengalir kesepian. Bayang kami
bermain petak umpet hilang bersama dengan ditebangnya pohon mangga favorit
kami. Pekarangan rumah kami digadaikan. Rumah kami pun tak bertuan.
Tuhan.. Tuhan..
Aku tak pernah merasa apa-apa saat
mengingat rumah itu. Rumah lama itu. Berikut segala kenangan manis yang
terpatri di dalamnya. Tak akan habis hidupku untuk ceritakan masa-masa kenangan
itu. Segala sakit, pahit, memar dan tangis itu hanyalah kekosongan saat ingat
kepulangan yang selalu menyembuhkan.
Kini tak lebih harapku agar
saudara-saudaraku baik-baik saja. Pertemukanlah kami di masa yang baik kelak. Di
mana tak lagi aku lekat bersama Bunda, Ayah apalagi Bapak untuk sekedar
bertandang. Bersilaturahmi dan menyapa penghuni-penghuni desa yang penuh
kesederhanaan itu.
Tak perlulah aku jauh-jauh merantau
begini jika kelak pada akhirnya kusesali. Karenanya, Tuhan.. jagalah mereka di
manapun mereka berada. Sampaikan salamku bahwa aku yang beberapa waktu lalu
mereka juluki ‘orang kota’ ini pada mereka. Bahwa aku mengingat mereka. Energi mereka
yang jadi bahan bakar diketerasinganku ini menyadarkanku bahwa aku akan
berjuang pula demi mereka.
Tuhan, jagalah mereka. Bukan untuk
aku, mungkin. Namun janganlah Tuhan Kau perkeruh hati mereka. Sapalah mereka
dalam kebahagiaan. Dalam ujung perjuangan yang berbeda dari apa yang kupahami.
Pertemukanlah kami.
Aku ingin berjanji.
Demi almarhumah Mama yang aku
sayangi, pun mereka sayangi.
Demi masa-masa tak terbayar.
Demi rumah-rumah yang kini
mengerucut sedih dalam kehampaan.
Demi temaram lampu rumah-rumah
penduduk yang selalu sepi selepas Maghrib.
Demi tetes hujan yang menetes dari plafon.
Demi hal-hal kecil semacam berbagi
buah-buahan hingga dibuatkan media sosial.
Aku.. rindu mereka.
Rindu masa-masa itu.
Itu
saja, Tuhan. Itu saja.
~ ~ ~
Comments
Post a Comment