Lelaki dan Dua Hal yang Selalu Berpasangan
Laki-laki.
Entah mengapa saya tergerak untuk
menulis tentang laki-laki. Sebelumnya saya memperingatkan bahwa saya tidak akan
membicarakan hal-hal esensial yang sifatnya hakekat tentang sosok bernama
laki-laki. Saya juga tidak menggeneralisasikan laki-laki untuk pada akhirnya
mencapai kesimpulan tertentu.
Dalam tulisan saya kali ini, saya
tidak ingin mencapai kesimpulan apapun. Saya ingin mengungkapkan apa yang saya
pikirkan dan berharap menemukan hal-hal baru yang sekiranya berguna bagi diri
saya.
Saya juga tidak ingin mengakali
apa-apa, tidak juga ingin menjelaskan panjang lebar alasan saya memperlakukan
laki-laki. Secara umum, saya berusaha menulis dengan sejujur-jujurnya. Dan
selalu terbuka dengan tanggapan apapun, entah itu saran, kritik, atau bahkan
hujatan. Sekiranya saya tidak bisa menulis dengan baik, saya tetap ingin
menulis dengan jujur.
Hari Sabtu yang terik. Kini angin
sudah lebih toleran sehingga tidak sembarangan lagi bertiup kencang-kencang.
Saya yang selalu kurang kerjaan baru saja iseng youtube-an dan nonton sejumlah video
clip yang memang pengen saya tonton. Kemudian seperti biasa saya nyasar ke
video-video lain yang menarik minat saya. Salah satunya video garapan LastDay Production featuring Kevin Anggara, berjudul ‘Nice
Guy vs. Bad Guy’. Tentunya anak muda di jaman yang sudah melampaui 3G ini
banyak yang mengenal video-video lucu dan menghibur yang banyak bertebaran di Instagram dan Youtube. Nah, video-video ini biasanya dibuat oleh satu atau
sekumpulan anak muda kreatif yang bergabung dalam banyak nama. Jika untuk
perorangan kita punya Kevin Anggara, pelajar yang sukses jadi seleb di Youtube dan Instagram lewat video yang didirect
dan diperankannya sendiri, untuk kelompok ada LastDay Production. Persamaan kedua youtubers ini, mereka membuat video-video berbasis humor yang fresh dan up to date. Kalau CameoProject
adalah sekumpulan anak muda yang membuat video berbasis interaktif dan
edukatif, Kevin Anggara dan LastDay
Production mengemas video-video mereka dengan lebih ringan.
Video yang baru saja saya tonton
isinya mengenai ciri-ciri lelaki yang dikategorikan ‘baik’ (Nice guy) dan ciri-ciri lelaki yang
dikategorikan ‘buruk’ (Bad guy).
Dikemas dengan sederhana sehingga mudah dimengerti, disertai subtitle dalam bahasa Inggris sehingga
suara yang kurang jelas terdengar dapat ditolerir, dan diperankan oleh
orang-orang yang total dan jenaka.
Untuk konten videonya sendiri
menarik, walau nyaris tak ada yang baru bagi saya. Para videomaker itu memvisualisasikan dengan sangat baik hal-hal yang
selama ini saya rasa sudah kita ketahui bersama. Namun tentu boleh juga sebagai
sarana tambah ilmu bagi mereka-mereka yang belum tahu persis bagaimana definisi
‘lelaki baik’ dan ‘lelaki buruk’. Keduanya dijelaskan dalam konteks hubungan
percintaan seperti yang selama ini banyak kita lihat. Bagaimana seorang ‘lelaki
baik’ seharusnya bersikap dan bagaimana ‘lelaki buruk’ bersikap pada perempuan
yang mereka sukai atau menyukai mereka. Saya pun tidak akan panjang lebar
mendebat pemberian stigma ‘baik’ ataupun ‘buruk’. Mari kita anggap kedua hal
itu sebagai hal yang berseberangan dan lepas dari satu sama lain. Dan video
tersebut juga secara langsung mempersempit pandangan ‘baik’ dan ‘buruk’.
Yang menarik bagi saya, setelah
dibawa bermenit-menit tertawa dan menikmati videonya adalah kata-kata yang
tertera di akhir video. Saya lupa bagaimana persisnya (that is why you have to watch their video, hehe), yang jelas ada twist yang menarik dalam video berdurasi singkat itu. Yang saya
tangkap adalah, “lelaki yang bersikap
buruk terhadap perempuan bukanlah lelaki jahat. Mereka adalah lelaki baik yang
belum menemukan ‘the right one’ untuk diperlakukan dengan sebaik-baiknya.”
Waktu itu saya mem-pause videonya dan berpikir beberapa
saat. Benar juga.
Setidaknya antara apa yang
ditampilkan dan apa yang ingin disampaikan dalam video itu linear dan dapat
diterima. Mungkin akan tetap ada hardcore
denial bahwa
“lelaki
baik ya lelaki yang bersikap baik, dong. Walaupun belum nemu perempuan yang
tepat mereka juga tetap harus baik sama siapa aja. Siapa sangka nanti mereka
malah jodoh sama perempuan yang mereka anggap tidak tepat itu, kan?!”
Dan
setidaknya mari kita sama-sama ketahui bahwa definisi baik sangat beragam. Being nice to people doesnt make you a nice
people at once, terutama karena manusia sangat beragam jenis dan sifatnya.
Apa yang saya anggap baik belum tentu dianggap baik oleh orang lain, apa yang
saya tidak suka karena sifatnya buruk belum tentu akan dipandang demikian oleh
orang lain. Intinya bahwa kita masing-masing mengenakan sepatu yang tidak sama
persis dengan orang lain. Kita menjalani hidup dengan selera dan pilihan yang
dihasilkan dari pengalaman hidup, dan jelas tentu saja berbeda.
Baik
dalam hal ini adalah norma kolektif yang dapat disimpulkan dari bagaimana
seseorang memperlakukan orang lain dengan sikap yang menyenangkan atau
setidaknya dapat diterima masing-masing atau bahkan banyak pihak. Dan buruk dalam
hal ini adalah sesuatu yang bertentangan dengan hal-hal baik dan secara sengaja
dilakukan seseorang tanpa menghiraukan orang lain. Hal buruk dan hal baik akan
tiba di titik terkompleksnya ketika kita tidak bisa mencapai mufakat mengenai
definisi dan batasan antara kedua hal tersebut.
Semisal
hal baik bagi saya ketika marah adalah mengurung diri, mematikan gadget, dan tidak membahas masalah
karena saya orang yang mudah lepas kontrol (misalnya), maka hal tersebut adalah
hal buruk bagi pasangan saya karena baginya apa yang saya lakukan tidaklah
menyelesaikan masalah. Untuk itu perlu dicapai titik tuju antara kedua belah
pihak mengenai permasalahan yang sedang dihadapi.
Dan
terlepas dari identitas laki-laki atau perempuan, saya rasa tidak sedikit pun
perempuan yang menempati definisi sama atas hal baik dan buruk. Mungkin
perempuan yang bersikap buruk pada laki-laki pun bukanlah perempuan jahat,
mereka hanya belum menemukan lelaki yang tepat untuk diperlakukan dengan baik.
Dan begitulah yang terjadi dalam video tersebut. Yang saya tangkap adalah
perempuan yang menyukai laki-laki yang tidak menyukainya, tapi perempuan itu
disukai oleh laki-laki lain. Pada akhirnya terjadi siklus cinta segitiga yang
memang memungkinkan seseorang untuk bersikap ganda. Dalam hal ini, si
perempuan. Ia bersikap buruk pada laki-laki yang menyukainya (dalam video ini
lelaki yang menyukainya adalah laki-laki baik), dan bersikap baik pada
laki-laki yang disukainya (yang digambarkan dengan laki-laki buruk). Karena
definisi itu kurang tepat bagi saya, maka kita ubah saja. Bahwa memang bukan
‘lelaki baik’ atau ‘lelaki buruk’, tetapi lelaki
yang bersikap baik dan lelaki yang
bersikap buruk.
Sejauh
ini, secara sadar, saya tidak pernah menghujat lelaki karena menghujat lelaki
sama saja dengan menghujat perempuan. Dan saya juga tidak punya dendam personal
dengan lelaki sehingga membuat saya membencinya. Saya menyadari bahwa terkadang
saya bisa hidup independen. Saya bisa mandiri dan tidak bergantung pada
laki-laki. Namun saya juga mengakui ada hal-hal dan waktu-waktu dimana
perempuan membutuhkan seorang lelaki. Hal ini banyak saya alami dan tidak
lantas membuat saya patut dikasihani. Saya kira kebutuhan akan orang lain dalam
hidup kita itu wajar adanya dan bahkan mungkin bersifat hakiki.
Perbedaannya
terletak pada porsi masing-masing manusia untuk mencapai taraf proporsional,
seperti yang mereka idealkan. Dan tentu hal itu tidak mudah. Sebab, saya sudah
katakan, bahwa manusia sangat beragam. Ilmu tentang manusia mungkin tak akan
habis seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri manusia itu
sendiri.
Sarah
Jessica-Parker dalam Sex And The City
pernah berkata bahwa “bad guys do bad
things.” Namun tetap tidak membuat pelaku hal-hal buruk selalu pria yang
jahat. Kita selalu diberikan pilihan dalam hidup ini dan tidak lantas semuanya
adalah hal buruk dari yang terburuk. Setiap orang bisa melakukan kesalahan,
kalau itu dapat disebut kejahatan. Sama seperti setiap orang melakukan
kebaikan. Tidak ada yang salah dari hal itu. Karenanya ada peribahasa bahwa
kita bisa belajar dari kesalahan. Karena memang tak ada yang bisa diambil dari
sana.
Pengalaman,
di sisi lain, mungkin bergerak lebih konstan dalam hidup saya dibanding teori.
Apa yang saya lakukan, apa yang saya ingin lakukan, dan apa yang saya tuju
adalah hasil dan pembentukan dari pengalaman pribadi saya. Yang dalam hal ini
tidak bisa independen. Bahwa sesungguhnya manusia lain juga berperan dalam
hidup saya dan tidak lantas membuat saya akan mengklaim apa yang saya alami
sebagai sesuatu yang natural dan ‘asli’.
Dan
karena saya perempuan, pengalaman-lah yang mengajarkan saya untuk hati-hati
dalam jatuh hati.
Hal
yang baru saya sadari di tahun ketiga saya duduk di bangku perkuliahan adalah
bahwa saya tak pernah bisa lepas dari sosok-sosok ayah dalam hidup saya.
Lelaki-lelaki
yang secara konstan mengisi kehidupan saya berikutnya adalah para sahabat saya.
Saya
punya lebih dari satu ayah, dan betapa secara tidak langsung mereka mengajarkan
hidup pada saya.
Saya
tak pernah bosan menatap atau bertemu dengan ayah saya setiap hari. Selain
karena kami adalah keluarga, kemampuan mereka memberikan rasa aman dalam diri
saya adalah hal yang selalu saya rindukan ketika saya di perantauan. Saya lebih
sering berkomunikasi dengan ayah dibandingkan ibu, dan kami sering bertukar jokes lucu-nggak-penting yang pada
akhirnya terlupakan begitu saja. Dan mungkin itu juga yang memengaruhi siklus
pertemanan saya. Teman-teman akrab saya banyak yang laki-laki dan saya terbiasa
ngobrol dengan mereka akan banyak hal. (Ini juga yang mendorong diri saya
tumbuh sebagaimaan posting saya di http://innezdheayang.blogspot.co.id/2015/06/bagaimanakah-seharusnya.html)
Dan
walaupun begitu, saya mengakui ayah saya juga beberapa kali melakukan hal-hal
buruk. Kebanyakan hal-hal yang merugikan dan menjengkelkan. Hal-hal yang
awalnya membuat saya marah dan kecewa, tapi tidak ketika saya tahu alasannya.
Dan melalui kejadian-kejadian seperti itulah, dengan interaksi yang tidak
intens antara saya dan ayah saya (bisa dibayangkan bagaimana jarangnya saya
komunikasi dengan ibu), saya menemukan sifat-sifat ayah yang selama ini tidak
pernah ditunjukkannya secara langsung. Tidak semuanya baik. Hanya saja.. saya
menemukan sesuatu yang membuat saya memaklumi dan menerima ayah saya sebagai
lelaki-lelaki yang mengikat saya seumur hidup.
Hal
itu adalah cinta.
Cukup
aneh saya rasa bagaimana saya mengetahui hal itu ada dari orang-orang yang
berbeda sifat dan kepribadiannya. Ayah-ayah saya memiliki sifat yang saling
bertolak belakang. Kemiripan mereka mungkin ada pada fisik, sehingga entah dengan
ayah yang mana saja, saya selalu terlihat mirip. Keanehan itu bagi saya adalah
cara ayah-ayah saya menunjukkannya. Sehingga dengan diri mereka yang begitu
berbeda dan cara penyampaian yang juga tidak sama, saya tetap dapat melihatnya
dalam satu arti.
Seumur
hidup, saya juga pernah bertemu dan berurusan dengan ‘bad guys’. Lelaki yang masih dikategorikan sebagai ‘cowok’ ini juga
sedikit banyak menyerupai ciri yang ditayangkan video ‘Nice guy vs. Bad guy’ tadi. Saya juga mencoba untuk tidak
menghakimi dan sesekali berusaha mengerti. Karena saya percaya setiap orang
punya kebaikan dalam diri masing-masing. Saya saja yang belum melihatnya. Dan
terkadang ada orang-orang yang tidak siap untuk memperlihatkan sisi lain
mereka, apapun alasannya. Seperti yang pernah dikatakan Logan Lerman dalam The Perks Of Being A Wallflower, “...we’ll become somebody’s mother and dad.”
Bahwa kelak kita akan jadi orang baik, bagaimanapun caranya. Jika merasa belum
cukup baik, kita harus percaya bahwa kita bisa menjadi orang yang berbuat baik,
bagaimanapun alasannya. Karena tidak selamanya orang jahat memberikan hal-hal yang buruk. Dari mereka, terkadang saya bisa melihat kebaikan.
Hal
serupa saya temui pada diri ayah saya. Satu dua kali ayah saya menceritakan
tentang bagaimana ia bersikap saat remaja dulu. Bagaimana ia memperlakukan
perempuan dan bagaimana ia tidak menyangka akan memiliki anak perempuan. Ayah-ayah
saya tak pernah menyesali apa yang mereka lakukan dan menganggap segalanya
harus berjalan sebagaimana seharusnya. Dan jujur tidak semua perempuan
mereka perlakukan dengan baik. Hal ini pula yang meyakinkan saya bahwa bukan
karena mereka tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik di masa lampau,
kini mereka adalah lelaki yang jahat. Baik atau jahat adalah pilihan, dan
sejauh saya pernah berkendara, mengobrol, dan hidup dengan ayah saya, saya
percaya ayah saya bukan orang jahat. Meskipun semisal pandangan ini ditentang
oleh orang lain, saya tetap percaya ayah saya baik dengan caranya sendiri pada
orang tertentu. Saya, misalnya.
Sebab
ini pula, setiap ayah saya bertanya, “kamu ini cari pacar yang gimana, sih?”
Saya
selalu menjawab ringan, “yang seperti ayah.”
Mungkin
hingga saat ini, saya masih saja bodoh dalam melakukan banyak hal. Saya masih
serba tidak tahu dan tidak punya kebijaksanaan dalam mengolah informasi. Saya
belum menemukan hal yang sekiranya mampu meyakinkan saya untuk terus hidup
karenanya. Dan dibanding hal-hal tersebut, saya juga tak yakin mampu menghadapi
orang lain yang berpikiran seperti saya. Anak saya kelak, misalnya. Saya
memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar saya membuat saya belajar.
Dan mungkin tak pernah cukup.
Saya
juga tak ingin jatuh cinta pada seseorang seperti mereka yang selama ini saya
kenal. Saya ingin menikmati jalan saya sendiri dan saya percaya bahwa apa yang
saya lakukan karena diri saya sendirilah yang akan membuat saya berbahagia.
Sehingga kelak saya tak perlu menyalahkan ayah saya, ibu saya, atau siapapun
itu yang tidak berurusan dengan pilihan-pilihan saya di hidup saya sendiri.
Mungkin pula saya tengah melihat cinta di saat yang tidak tepat sehingga tak
ada kemauan sedikitpun dalam diri saya untuk jatuh cinta seperti yang terjadi
pada orang tua saya, tante dan om saya, dan keluarga saya. Saya mungkin hanya
ingin mendefinisikannya sendiri.
Jika
tidak berhasil, ya tak apa. Setidaknya saya pernah percaya bahwa jalan yang saya
pilih adalah keputusan untuk bahagia.
Dan
kalaupun tak bisa sekarang, saya ingin jatuh cinta pada lelaki yang kelak akan
seperti ayah saya.
Atau
mungkin ini adalah salah satu usaha untuk selalu diperhatikan? Saya sendiri pun
tak tahu.
Urusan
saya dan laki-laki mungkin tak akan pernah pula selesai. Namun setidaknya
dengan ini saya ingat bahwa saya pernah menyimpan kepercayaan akan hal-hal
yang saya anggap baik. Saya juga meyakini kebaikan dalam diri tiap-tiap
manusia, tanpa peduli ia lelaki atau perempuan. Terlalu rumit bagi saya
menjelaskan persoalan gender karena saya sendiri pun belum memahaminya. Lets figure that out, together.
Ah
iya, sebenarnya saya ingin jatuh cinta seperti apa, sih?
Nevermind.
Saya kira saya sedang menjalaninya.
5 September 2015
Pintu itu terbuka, karena tidak ada kau di dalamnya
NB: Video LastDay Production feat. Kevin Anggara berjudul 'Nice guy vs. Bad guy' dapat dilihat di https://www.youtube.com/watch?v=9AxedCwIiPs
Kamu adalah kejujuranmu.
ReplyDelete