Nobody Would Listen

Ada kalanya, saya begitu membenci hidup sebanyak saya membenci diri saya sendiri. Kepekaan saya terhadap banyak hal berkurang, seiring dengan makin bodohnya saya dalam melakukan sesuatu. Hingga saya lupa, kapan terakhir kali saya merasa begitu baik dalam mengerjakan sesuatu. 

Saya begitu lelah. Malam ini.

Saya begitu lelah bahkan untuk menyadari bahwa jalan saya masih panjang terbentang dan saya tak punya jaminan apa-apa terhadap diri saya sendiri dan apa yang saya lakukan. Saya mencoba tidak berkata maaf dan lebih banyak membodohi diri saya sendiri. Sejujurnya banyak hal kontradiktif yang terjadi dalam hidup saya. Terlaul banyak hal yang berkecamuk dan bergulat dalam diri dan pikiran saya sendiri. Kendatipun saya tak pernah mau. Seperti ingin pergi tapi tak ingin merepotkan. Ingin mengeluh tapi tak ingin terlihat lemah. Ingin menghentikan perjuangan tapi tak ingin selalu begini. Saya rasa saya hanya menatapi dinding kokoh yang entah bisa saya lampaui atau tidak. Saya juga tak ingin begitu saja berada di tujuan saya dan menjadi orang bodoh tingkat akut.

Seperti hidup yang hanya sebatas menjadi misteri tanpa mampu menjadi tragedi. Terkadang saya ingin menuntaskan segalanya. Saya ingin membebaskan diri saya dari belenggu yang selalu mengikat saya kemanapun saya pergi. Saya ingin menjadi makhluk yang bebas dan merdeka, bahkan ketika menyadari tak ada satu pun hal di dunia ini yang bebas. Seperti saya menyadari bahwa saya tak bisa selamanya bahagia. 

Saya ingin dapat membenci sepuas-puasnya. Namun, itulah hidup. Selalu setengah-setengah. Tak pernah benar-benar bisa mati, seperti tak pernah benar-benar bisa hidup. Dan membenci tanpa bisa menyakiti adalah perkara yang rumit. Seperti ada hasrat yang lama bergumul dalam diri kita sendiri tanpa kita bisa melakukan apa-apa. Mungkin saya hanya ingin jadi orang jahat. Setelah cukup jadi tokoh antagonis dalam parodi keluarga yang saya mainkan. Di sisi lain, saya ingin bisa jadi tokoh protagonis, tapi saya gagal dalam memahami tokoh lain dan membuat tokoh lain mengerti apa yang saya pikirkan dan yang saya maui.

Betapa baiknya, apabila setiap orang mampu menyadari bahwa kita dilahirkan berbeda. Begitu berbeda. Dan selamanya berbeda. Tidak semua orang bisa melakukan dan memaklumi cara tertentu. Seperti saya menjalani hidup, dan apa yang dilakukan orang lain untuk hidup. And it doesnt matter at all. Ketika jurang itu sudah jauh terbentuk, saya lebih memilih untuk berjalan di sisinya saja dan menyusuri jurang perbedaan itu dengan sesekali menyentuh garis terdekat satu sama lain. Saya tak ingin menyeberangi jurang itu atau alih-alih membangun jembatan di atasnya. Selain terlau beresiko, toh saya telah mencobanya dan tak berhasil. Maka kenapa tak membiarkan kita dengan urusan kita masing-masing?

Nyatanya hal tak semudah itu. Karena jika banyak hal dapat berubah dengan sebegitu mudahnya, saya takkan tiba di sini. Di perputaran rasa risau dan sedan yang tak henti-henti. 

Saya tak tahu lagi. Entah. Entah.

Mungkin saya ingin memudar. Tidak mati. Hanya memudar. Seperti sosok dalam foto yang perlahan mengabur warnanya dan menjadi hilang sama sekali, digantikan latar yang seolah tak terganggu. Semudah Hermione Granger mengayunkan tongkatnya dan segala memori tentangnya hilang begitu saja. Saya ingin hilang dari ingatan orang-orang yang mengenal saya. Menjauh dan terus menjauh seperti Alexander Supertramp dengan nama barunya. Bertemu dengan banyak orang dari banyak tempat. Yang tak peduli masa lalu saya, apa yang telah saya alami dan apa yang akan saya hadapi. Sehingga orang-orang terdekat saya tak perlu khawatir dan mencari. Karena saya hanya eksis dalam bayangan saya sendiri. Saya hanya ada dalam ingatan saya sendiri. Tanpa perlu repot-repot mengurusi apa yang orang pikirkan tentang saya. Tanpa perlu mengatur sikap dan menjaga harus bagaimana semestinya agar diterima orang-orang yang bahkan pendapatnya tak perlu saya dengar. Malam ini saya ingin mengabur bersama kenangan. Menyadarkan saya bahwa hal yang tak saya inginkan adalah merusak keteraturan yang telah saya buat. Bodohnya saya. Hidup saya sembilan belas tahun terakhir hanya membuat jalin keteraturan bernama takdir yang terasa begitu melengkapi namun pada akhirnya saya benci. Saya ingin orang-orang yang ada dalam hidup saya tetap sebagaimana adanya tanpa ada pengaruh kepergian saya. Bisakah? Saya tak ingin perginya saya menjadi sebuah luka dan hal yang memalukan bagi orang-orang yang peduli. Saya tak ingin lingkaran itu jadi kacau dan saya harus mengurainya lagi. Saya benar-benar ingin terlepas darinya. Pergi. Di mana yang berarti adalah kebebasan dan kemungkinan. Bukan mengapa saya mengenakan celana pendek di pantai dan memajangnya di internet. Atau mengapa saya tidak kunjung mengenakan kerudung. Atau mengapa saya keluar malam. Saya lelah dengan anggapan orang-orang tentang kebadungan dan pemberontakan yang saya lakukan. Sejujurnya, saya sedang dan selalu memberontak pada diri saya sendiri. Karenanya, saya tak peduli bagi mereka yang hanya ingin tahu. Tanpa benar-benar peduli. Omongan sambil lalu adalah hal yang saya hindari. Lebih karena tak dijaga hati-hati dan diumbar sesuka hati.

Mungkin saya akan kembali lagi nanti. Ketika saya telah menemukan cara membenci yang benar. Di mana saya bisa membenci dan merutuk sesuka saya. Dan saya tak perlu seperti ini lagi.

Comments

  1. jilakau tuan ingin memudar, seperti sosok foto yag perlahan mengabur warnanya dan hilang sama sekali... hamba pastikan dalam foto itu tuan tidak sendirian, ada seseorang yang siap menemani tuan.
    :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)