All the Mysery was Necessary When We're Deeply in Love
Jadi mengapa pria-pria Pandawa
digemari banyak wanita?
Saya hampir tidak pernah mendengar
ada perempuan yang memuji Duryudana dan saudara-saudaranya. Sebaliknya, hampir
semua perempuan mencaci, membenci, mengernyit ketika mendengar nama para Kurawa
disebutkan. Saya tak bisa mengelak. Mungkin saya satu di antara
perempuan-perempuan itu. Yang mengganggap bahwa jiwa ksatria adalah tonggak
dari jati diri seorang lelaki dan mereka yang memilikinya adalah orang-orang
terpilih. Bisa saja.
Terutama bila berkenaan dengan
kejadian Drupadi yang dipermalukan di depan umum.
Dalam cerita itu, segala sesuatunya
serba simbolis. Arjuna yang ingin jadi pemanah termahir sejagat raya, Bima yang
berambisi menjadi orang yang paling kuat, Yudhistira yang demi kesuciannya tak
pernah turun ke medan laga, juga tentang para istri-istri yang begitu setia.
Saya selalu kagum bagaimana para
penemu pewayangan dapat memberikan kesan sedemikian elok kepada cerita yang
bahkan kita tak pernah tahu nyata tidaknya. Kita hanya bisa memilih satu
keyakinan tertentu. Lepas dari itu, selalu ada banyak hal yang kita dapatkan
dari berbagai versi dan cerita.
Semasa saya kecil bapak saya gemar
bercerita tentang pewayangan. Cerita yang saya ingat tidak banyak, lebih sering
terputus daripada tertunaikan. Sehingga tak ada satu pun yang membekas begitu
lekat seperti darah ketemu luka. Ada banyak nama, banyak istilah, banyak angkat
senjata dan banyak drama. Bagaimana bisa segala sesuatu di jaman itu berotasi
pada perseteruan yang sudah kentara jelasnya mana yang salah dan mana yang
benar? Sedari kecil saya bertanya-tanya bagaimana seseorang bisa membikin
cerita sedemikian rupa.
Mungkin saya menyimpan apa yang bagi
saya ada maknanya.
Lepas dari itu, masa kecil saya
adalah sepenggal kisah tentang tawa dan tangis kanak-kanak yang tak pernah
lepas dari wajah saya.
Pada umumnya laki-laki suka sosok
keibuan, penyayang, dan penuh perhatian. Subadra dan Drupadi. Dua nama itulah
yang selalu mencuri perhatian saya di tingkat pertama. Bahkan Dewi Kunti pun masih
dalam kealpaannya untuk membagi seorang perempuan kepada kelima putranya.
Tetapi Subadra dan Drupadi adalah dua wanita yang hingga kini mampu
menggambarkan dengan jelas peta kecenderungan laki-laki. Dua wanita inilah yang
sanggup membuat lelaki manapun di masanya takluk sedemikian rupa. Sayangnya,
daya tarik itu mereka persembahkan hanya demi Pandawa bersaudara. Tidak yang
lain. Tidak untuk tokoh-tokoh yang namanya bahkan tidak penting. Mereka menjadi
penting dengan bersanding di antara para Pandawa.
Subadra adalah perempuan yang halus
budi pekertinya. Tak sedikitpun ada cela meski entah mengapa Arjuna tak kunjung
juga puas mencari istri yang setia. Kepadanya Subadra menyerahkan seluruh jiwa
raganya dengan sepenuh hati, setenang-tenangnya seorang wanita. Tak pernah
peduli Arjuna ambil istri untuk kesekian kali, tak juga hirau ketika lelaki dan
perempuan muda berdatangan mengaku sebagai anak suaminya. Bagi Subadra, hidup
adalah sebuah pilihan yang totaliter. Ia telah menyerahkan sepenuh jiwanya pada
seorang lelaki yang amat ia cintai, dan ketika tiba masanya lelaki itu memiliki
perempuan lain, cintanya tak pernah terusik. Subadra begitu indifferent, acuh tak acuh, tetapi
setia.
Sementara Drupadi lain lagi. Tak
setitik pun ia pernah merasakan pahitnya hidup kecuali dilecehkan oleh para
Kurawa. Ketika selendangnya ditarik dengan tidak senonoh, ia memilih
menyingkir, hidup dalam haluan yang ia percaya akan selalu membela martabatnya.
Tanpa pernah ingat ia sendiri bersuamikan lima lelaki yang sedarah. Drupadi menggambarkan
perempuan yang begitu ingin dilindungi. Ia teguh pada sumpah tak pernah ingkar
janji. Kepada kelima saudara ia mengabdikan diri dan tak sekalipun berniat
mundur. Drupadi adalah wanita yang menjaga kesuciannya meskipun harus
direlakannya dirembug, dinikmati bersama-sama oleh para saudara. Drupadi adalah
wanita yang terjatuhkan mahkotanya. Lambang perlindungan dan dendam. Dendam
yang langsung tuntas seketika ia membasuh rambutnya dengan darah orang yang
dibencinya.
Kelima Pandawa adalah itik. Itik
yang digiring nasib ke sana ke mari. Memperjuangkan haknya di akhir cerita
itupun setelah diyakinkan para dewa. Mereka adalah orang yang cinta damai di
dunia yang carut marut. Orang-orang yang berani tapi memilih diam di luarnya.
Lelaki-lelaki seperti itu milik fana.
Di masa sekarang, nyaris tak ada
lagi Subadra-Subadra atau Drupadi-Drupadi yang sempurna. Segala cetak biru
mereka termaktub dalam satu aspek saja. Cantik saja. Setia saja. Baik budi
saja. Halus saja. Dan lain sebagainya. Kaluapun ada satu paket perempuan
seperti mereka di era sekarang, sudah dipastikan lepas tujuh belas tak sama
lagi akalnya. Terdistorsi sana-sini. Para Subadra dan Drupadi itu mungkin
tengah mengenyam sekolah kebidanan, atau duduk di fakultas komunikasi, dan bisa
juga terselip di antara jagat mereka yang kursus menjahit, bahasa Inggris, dan
komputer. Dalam kepala mereka terbayang teman-teman yang dianggap lebih
beruntung. Pusing juga memikirkan setumpuk tugas dan buku yang harus dibaca.
Bisa juga tengah sibuk menghitung kuteks yang semakin hari semakin tipis
perbedaan warnanya.
Tetapi seperti apapun Subadra dan
Drupadi masa kini, setiap lelaki masih menginginkannya.
Perempuan yang halus budi pekerti
dan parasnya. Memiliki aura dan kedamaian. Hidup tak pernah duka dan marah.
Perempuan-perempuan yang menjadi citra yang anggun dan sempurna. Mereka yang
bahkan berlenggak-lenggok di atas catwalk
membawakan Biyan atau Anne Avantie. Perempuan yang tanpa cela, indah, dan
berwarna kalem. Perempuan-perempuan seperti ini yang cantik sejak bangun tidur.
Cantik ketika menguap, bahkan ketika bersin di tengah makan.
Bagi lelaki, kecantikan adalah
citra. Bagi perempuan, kecantikan adalan konsensus.
Sejauh ini saya tak pernah terobsesi
menjadi another Javanese (or Hindi)
Goddess. Subadra dan Drupadi adalah figur yang mempesona, memang. Saya
sebagai perempuan tak sedikitpun mengelak dari hal ini. Tetapi untuk jadi
seperti mereka, mentasbihkan hidup dan mendedikasikan usia sebagai
perempuan-perempuan yang dianggap sempurna.. itu lain lagi. Akan ada banyak
kasus yang ditemui. Saya juga tak paham mengapa saya mengerti. Mungkin karena
saya pernah mencoba. Atau mungkin pula saya suka mengamati yang demikian.
Sejak saya kecil tak sedikitpun saya
mendapati diri saya sehalus putri-putri Keraton. Saya mungkin sasaran empuk
contoh attitude yang perlu dihindari
perempuan-perempuan yang mengambil sekolah kepribadian.
Sebaliknya, sejak saya SMA, tanpa
saya sadar saya terobsesi menjadi seorang xena.
Seperti Jennifer Aniston atau Angelina Jolie (tak peduli bagaimana keduanya
merebutkan the Brad fucking Pitt). Tipikal
perempuan barat seperti turunan Audrey Hepburn atau Marilyn Monroe (entah
kenapa sedari tadi contoh saya dipenuhi nama-nama yang kontra). Mungkin karena
kondisi lingkungan yang mendukung dan adanya faktor dari dalam diri saya yang
menggebu secara spontan. Dan kecenderungan ikut-ikutan trend di masa SMA. Di mana yang keren adalah mereka yang mampu
mengerjakan suatu hal dengan damn well.
Dan di masa kini, tak ada ruang
untuk perempuan yang tak lembut seperti Subadra dan Drupadi. Tak ada celah bagi
mereka yang memiliki kemampuan bahkan di atas laki-laki. Bagi laki-laki,
perempuan seperti ini takkan bisa memuaskan egonya. Perempuan yang tidak
membutuhkan lelaki untuk hidup adalah gambaran perempuan yang patut dibiarkan
sendiri saja sampai ia menyerah dan memutuskan untuk menuai gambaran hidup
dengan lelaki. Bagi lelaki, perempuan adalah yang harus mereka perlakukan
seperti halnya Arjuna memperlakukan Subadra. Dijunjung dengan tinggi, halus,
dan dipuja. Tetapi tak menutup kemungkinan untuk kelak memiliki selir-selir
lain yang dianggap dapat menghibur diri dari kekosongan. Bagi lelaki, perempuan
seharusnya seperti Drupadi yang serta merta harus dilindungi meskipun dibagi.
Di tahun 2016, nyaris tak ada ruang
untuk Lara Croft atau Black Widow yang tak memiliki potongan Angelina Jolie dan
Scarlett Johanson. Atau kalau sial, mungkin lelaki hanya akan mendapat C.J.
Parker, seorang Pamela Anderson. Or that
what they expecting for. Hehehe.
Di masa sekarang, perempuan sekuat xena adalah mereka yang mampu menggilas
harga diri lelaki. Dan karena ego lelaki butuh makan, dan tipikal perempuan
seperti ini adalah perempuan yang takkan memuji jika tidak diminta, maka go ahead. Barely had no chance at all, genius!
Saya
hanya berharap lelaki tidak lebih lagi menurunkan diri mereka hanya untuk
berkorban demi gadis yang bahkan tak tahu rasanya berjuang. Dengan ini saya tak
menjadikan polemik sekaligus solusinya, tentu tidak. Hanya saja terkadang saya
merasakan hal yang aneh apabila lelaki menyukai perempuan yang banyak
bermanja-manja dan selalu membutuhkan mereka bahkan untuk mengelap sepatu
mereka sekalipun, dibanding perempuan yang punya kepribadian kuat.
Terkadang saya berpikir bahwa diri
kita adalah apa yang tertinggal ketika ketika diam di atas tempat tidur dan
mengetahui bahwa besok tubuh kita tak akan sama lagi. Mereka yang khawatir
adalah sosok-sosok yang menjaga kondisi tubuh mereka sebaik mungkin. Mereka yang
berdoa adalah sosok-sosok yang kurang percaya diri dengan tubuh mereka sendiri.
Mereka yang merasa biasa-biasa saja adalah mereka yang percaya bahwa kiamat
akan membinasakan Semeru sekaligus dengan sekali hentakan. Atau mungkin mereka
yang sedih karena tak merasa punya apa-apa selain apa yang mereka miliki
sebagai bingkai diri.
Apa saja bisa tertinggal dalam jiwa
kita. Tetapi memang sekarang inilah diri kita yang sebaiknya kita terima.
Saya hanya ingin berempati pada
mereka yang tidak bisa menjabarkan diri mereka hanya dengan sosok-sosok yang
dulu pernah ada. Atau bagi mereka yang tak punya teman karena inti jiwa mereka
tidak dapat mereka mengerti. Lelaki atau perempuan, satu hal yang pasti kita
berhak mengenal dan menilai diri kita sendiri. Dont let anything put you down unless you think its cool to calm down. Perempuan
harus lebih dari sekadar cantik, dan laki-laki harus lebih dari sekadar kaya.
Setidaknya kita tahu bahwa masyarakat
kita mengenal konvensi yang berbeda, bukan?
Comments
Post a Comment