Learn a Lesson



            Ranti, salah seorang sahabat saya, pernah berkata bahwa “the preparation is always louder than the party itself.”
            Dia mengatakan hal itu untuk banyaknya acara yang sering kami lalui bersama. Dan terkadang kami juga kecewa karena acara yang kami persiapkan tidak selalu berlangsung sukses.
            Persiapan itu lebih meriah daripada pestanya.
            Raditya Dika, seorang penulis komedi nomor satu di Indonesia (pinjam istilah Bang Pandji), juga memberi wejangan melalui e-book panduan menulisnya bahwa persiapan akan jauh lebih sulit daripada menulis. Bahkan baginya persiapan membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan menulis/mengeksekusi bahan olahan menjadi sebuah cerita.
            Dan di sini saya, jauh dari keramaian kota-kota besar tempat sahabat saya Ranti kini berada, ataupun tempat Raditya Dika beraktivitas, menyimpulkan bahwa sudah secukupnya saya menjadi sebegini menikmati hidup dan teledor dalam memilih keputusan. Saya harus jauh lebih teliti. Dengan begitu, dua puluh tahun bukanlah isapan jempol belaka.
            Ketika saya sering heran dengan cara Rijal yang begitu detail dalam merencanakan sesuatu, bahkan seringkali saya tersenyum memaklumi dan berharap ia berhenti melakukan hal yang tidak berguna. Kini saya sadar, saya jauh dari ketelitian. Saya telalu sembarangan dan sesuka hati. Mungkin itu sebabnya rencana hidup saya hampir semuanya meleset dan sejauh ini hanya terpenuhi sekian persen saja dari target saya untuk mengoptimalkan apa yang saya punyai.
             Saya harus bisa berhenti hura-hura tapi tidak berhenti menikmati hidup. Itu poinnya. Dan memang enak kedengarannya, tetapi sukar persiapannya. Satu hal lagi yang harus saya pelajari bahwa segalanya datang karena alasan. Saya tidak terdampar di kasur rumah selama 6 bulan secara sia-sia. Melainkan karena ada yang harus saya sadari atau harus saya lakukan. Dan belakangan mungkin membuat saya merasa lebih baik dibanding 6 bulan di perantauan yang sia-sia. Saya sering merasa perjalanan hidup saya, sejauh apapun, akan kembali pada titik di mana saya tidak bisa apa-apa. Tidak ada yang bisa membantu dan saya tidak bisa mengatakannya. Sejauh apapun saya melangkah, saya selalu kembali ke titik itu. Hal itu membuat saya heran bukan kepalang. Apa yang saya lakukan? Padahal saya tidak merasa punya kesalahan. Mengapa saya seolah menerobos semua pelajaran yang sudah saya dapat dan seolah memutuskan untuk kembali ke titik nol?
            Titik nol itu ada untuk mengingatkan saya. Apakah saya ingin menulis, menari, menyanyi, mendaki gunung, dan lain sebagainya. Seperti orang yang tak peduli seenak dan sebanyak apapun makan, akan mengalami kelaparan yang sama di saat berikutnya.
            Tetapi bukan berarti kelaparan itu membuat kita lupa akan rasa makanan yang sebelumnya kita telan. Lapar itu membuat kita kenyang. Membuat kita senantiasa mencoba dan terus berusaha. Rasa lapar itu membuat kita menggali lebih daam dan mengenyangkan kita dengan cara yang baru. Kenyang, di sisi lain, hampir selalu menyenangkan.
            Titik nol saya adalah ketika saya tak punya sesuatu untuk dilakukan, tidak punya apapun yang ingin dilakukan. Ada banyak variasi jawaban: bertemu Rijal, memberi sesuatu, pergi untuk waktu yang lama (tidak solutif), menonton film, dan membaca. Terkadang saya mencoba berbagai saran lain, seperti bertemu dengan sahabat-sahabat saya ataupun mendaki gunung. Semuanya berbeda rasa tiap dilakukan.
            Saya menyenangi kegiatan-kegiatan yang saya lakukan selama ini. Semuanya mengundang tawa dan menghapus luka. Semuanya silih berganti memberi saya perjalanan dan pelajaran. Hal yang tidak saya ketahui adalah, stagnansi bahwa titik nol itu selalu muncul secala berkala. Dengan cara yang tidak pernah saya tahu. Saya mungkin membenci dan takut akannya. Tetapi saya yakin saya tak boleh memusuhinya. Saya harus bersahabat dengan titik nol itu baik-baik. Agar kami bisa saling memaklumi satu sama lain dan menemukan banyak lagi penyelesaian yang membuat saya semakin bisa menikmati hidup bukan hanya sebagai siklus berulang.
            Senja ini, titik nol saya dipuaskan dengan membaca, dan bertemu Rijal dari jauh dengan dua bacaan hadiahnya; ‘Pulang karya Leila S. Chudori yang sudah berbulan-bulan saya lihat bertengger di deretan buku di Gramedia tetapi saya selalu menemukan alasan untuk urung membelinya, dan ‘Panduan Menulis Kreatif’ karya Raditya Dika sebagai buku panduan pertama yang saya baca seumur hidup (selama ini saya selalu meng-underestimate buku-buku yang sifatnya prosedural karena saya terlalu percaya setiap manusia unik dan berbeda padahal sebetul-betulnya kepercayaan saya itu setiap makhluk harus bisa me-manage keunikannya). Mungkin saya kena tulah. Kena karma. Menganggap ‘Nadira’ adalah buku terbaik Leila padahal memang itu yang baru saya baca, dan berpikir bahwa buku non-fiksi, terutama panduan, itu omong kosong.
            Ampun, deh. J

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)