'Stop Complaining', Said the Farmer
Percuma
kamu menjadi orang yang pintar kalau kamu masih tidak bisa menjadi orang yang
mandiri.
Saya belajar, bahwa manusia harus
memiliki tingkat kemandirian tertentu agar terus dapat menjalani eksistensinya
atau memenuhi tuntutan eksistensinya di dunia ini. Setiap manusia tidak bisa
hidup jika terus menerus menjadi benalu untuk orang lain. Kita harus berani
mengambil langkah sendiri, menentukan resiko sendiri, dan menjalani sesuatu
dengan kesendirian.
Dan tidak ada yang salah dengan itu.
Saya tidak ingin bergantung pada
orang lain. Saya ingin menjadi orang yang merdeka dalam arti
sesempit-sempitnya. Walau sama tidak mungkinnya, tetapi menjadi seorang yang
bebas rasanya memberikan kita peluang untuk terus menjadi diri kita, apapun
yang terjadi. Kemungkinan yang sama bahwa kita bisa berubah menjadi seseorang
yang bukan kita sama sekali.
Kebebasan memberikan kita hak untuk
memilih dan hak untuk menjalani pilihan sesuai dengan konsekuensi yang kita
yakini sejak awal kita hidup. Menyadari kehidupan ini bukanlah tempat yang akan
memberikan peluang kita untuk terus maju tanpa hambatan. Bahwa kita tidak
dilahirkan untuk dan dengan kenyamanan. Kita dilahirkan dengan peluh, usaha,
dan doa yang tak putus-putus dari orang tua yang selalu menampung kita apapun
yang terjadi.
Terkadang saat segalanya berlangsung
begitu sempurna, seolah sesuai dengan rencana atuapun malah lebih baik, saya
merasa bahwa nothing could goes wrong.
Tetapi saat itulah saya tahu, saya salah. Pikiran bahwa hidup ini akan riskless untuk beberapa saat itu adalah
kebodohan yang tertunda. Kelegaan yang sia-sia, dan ketidakbecusan yang nyata.
Saya rasa terkadang saya tak pernah suka banyak tantangan, dan kalaupun saya
sedang menjalaninya, saya jarang mempublishnya
di blog ini. Bagi saya tantangan itu adalah bagaimana sesuatu menciptakan
ekstase yang menarik bagi diri kita untuk dilakukan. Seperti kata Forrest Gump,
stupid is a stupid does.
Terkadang saya pikir manusia tidak
lebih dari komponen semua alat yang bekerja prima dalam satu tubuh. Saya tak
pernah berpikir bahwa apa yang ada di dalam tubuh itu patut dihargai. Pikiran
itu mungkin bisa disebut terlalu picik atau terlalu mengandalkan alasan
subyektif saya yang kurang presisi. Tetapi sekali lagi, saya pun tak selalu
benar. Saya bisa dan seringkali salah. Saya ingin melakukan sesuatu dalam
komponen yang saya punya ini agar menjadi suatu hal yang bermanfaat bagi diri
saya ketika saya bahkan tak lagi dapat mengingat nama saya. Saya juga berpikir
bahwa ktia menghabiskan masa muda untuk mempersiapkan masa tua. Masa depan tak
pernah ada. Karena sesuatu yang gemilang (seperti yang selalu kita bayangkan
akan bingkai masa depan kita), tidak akan dicapai sesebentar ini dan takkan
dinikmati seindah itu.
Saya, seperti halnya manusia lain,
ingin menjadi worth it. Apapun itu. Worth to fight for, worth to be company,
worth to be loved, worth to give, anything.
Saya tak pernah bisa memprediksi
berapa lama saya hidup di dunia ini. Bisa saja esok, bisa saja beberapa tahun
lagi. Saya tak peduli dengan masa tua saya, saya hanya sedang membangun diri
saya yang layak. Layak untuk diperjuangkan, dicintai, diberi, memberi,
mengasihi, dan lain sebagainya. Dan kelayakan selalu butuh usaha yang tidak
sedikit. Ada banyak hal yang harus diingat dan dilakukan.
Saya tidak akan lagi menyusahkan
orang lain. Saya harus bisa take over and
take cover mulai dari sekarang. Tentu saja saya juga harus bisa take care atas diri saya sendiri. Saya
nggak ingin lagi jadi cengeng dan lemah. Saya harus melaukkan sesuatu untuk
dapat hidup, karena hidup ini tidak gratis (lalu mengapa cinta dikatakan tidak
butuh uang? Bisa dibahas lain waktu).
In
this very moment, inilah yang diingkan Tuhan untuk saya alami. Seluruh alam
semesta bekerja dengan caranya untuk mempersiapkan saya atau menetapkan saya
dalam rotasinya agar dapat melakukan apa yang seharusnya saya lakukan,
mengalami apa yang seharusnya saya alami. Jadi memang ini yang harus saya
lakukan.
Mengeluh adalah untuk anak-anak.
Sakit adalah untuk diri sendiri. Tak ada faedahnya dibagi pada orang lain
ketika kita tahu bahwa segala jalan menyimpan semua rasa sakit yang berbeda
rasanya. Semua kecongkakan harus ditinggalkan, dan kesombongan harus menemukan
tempat untuknya benar-benar bisa mengangkat dagu agar tak lagi mencari-cari
alasan menyusun kesombongan lain yang tidak berguna. Kesombongan mutlak adalah
hakikat makhluk hidup. Kita harus punya kesombongan untuk hidup.
Tahun ini saya genap dua puluh
tahun. Mungkin belum apa-apa. Bahkan sama sekali bukan apa-apa. Saya masih anak
yang hidup dari orang tuanya. Belajar bersama teman-temannya. Berusaha seperti
orang lainnya. Saya belum melakukan sesuatu yang dapat saya jadikan landasan
untuk meraih kemerdekaan saya. Tetapi saya sudah tidak boleh lagi menyusahkan
orang lain. Saya harus bisa menjalaninya sendiri. Dan karena memang tak ada
opsi dengan siapa atau bagaimanakah saya harus melakukannya. Satu-satunya jalan
adalah melaluinya. Mau tak mau. Suka tak suka. Dan ini bukan masalah sesuatu
yang patut dipertahankan. Ini adalah tentang hal yang layak untuk diraih.
Walau tak adil rasanya. Walau
menyakitkan. Walau menjijikkan.
Haruki Murakami dalam IQ84 berkata melalui tokoh bernama
Aomame bahwa yang patut diberantas dari orang yang menindas orang lain adalah
bagaimana mereka membuat orang merasa tak berdaya. Rasa tak berdaya itulah yang
seharusnya disingkirkan karena dapat membuat siapa saja lemah.
Saya sudah terlalu lama merasa saya
tak berdaya. Kini saya tahu bahwa apapun daya itu, saya harus memilikinya. Dan
bagaimanapun caranya, saya harus menguasainya. Hidup mungkin menekan saya
sebisa yang ia mampu, tapi bukan berarti saya tak bisa melawan. Bukan berarti
saya tak bisa menjalaninya. Mungkin nanti saya akan menangis, keletihan, atau
nyaris ingin menyerah berkali-kali. Tetapi toh nyatanya saya selalu percaya
bahwa saya sedang menjalaninya. Lalu hal apakah yang mampu membuat saya tak
percaya diri saya sendiri?
Saya harus bisa sendiri.
Seperti Sheila On 7 dalam lagu Pasti Ku Bisa. Saya tak punya sedikitpun
keraguan bahwa saya tak bisa.
Comments
Post a Comment