Fifth Week
I blew it away.
Minggu
kelima kuliah semester enam (semester lima, untuk saya). And I just like screw everything up.
It was the worst week. And I hope it
was the worst week ever.
Pernahkah
Anda merasa bahwa Anda telah melakukan segalanya untuk membenahi hidup Anda
yang berantakan atau bahkan untuk menjalani hidup Anda yang sempurna? Well, untuk apapun itu, saya mencobanya.
Saya benar-benar mencoba menguasai apa yang saya punya dan mengendalikan diri
saya untuk kembali belajar di semester ini.
But it just like ran out of the window..
Saya
tahu saya seharusnya tidak seemosional ini tetapi rasanya sia-sia sekali apa
yang saya lakukan minggu ini. Seharusnya saya tidak masuk kuliah selama
seminggu penuh saja. Rasanya jauh lebih baik menyadari segala kesempatan luput
di sekitar kita dibanding mengejar segalanya dan hancur begitu saja.
Minggu
kelima ini, saya sedang bodoh-bodohnya.
Saya
tidak tahu apa yang terjadi di dalam pikiran saya. Mungkin sebegitu rapinya
atau sebegitunya kacaunya. Yang jelas saya merasa apa yang saya pegang saat ini
berantakan. Padahal saya tak punya apa-apa lagi. Dan rasanya terlalu terlambat
untuk memperbaiki segalanya dari nol, dan mencoba melupakan apa yang telah
terjadi.
Saya
tahu saya bodoh tapi saya tak menyangka akan sebodoh ini. Akhir pekan ini
sepertinya saya akan diam. Meditasi mungkin merupakan jalan yang baik, setelah
tiga bulan terakhir saya mengumpulkan beragam kekacauan dari berbagai hal. Dan yang
menyebalkan adalah saya sudah terlalu dewasa untuk merengek dan merasa perlu
dibantu. Tidak, tidak. Dibantu?
Saya
merasa sudah asing dengan kata itu. Membantu adalah kata yang wajar. Tapi
dibantu... mungkin tidak lagi. Bukan berarti saya tak pernah menerima bantuan,
tetapi saya tak pernah menilai orang karena mereka membantu saya. Terkadang
saya pun melakukan hal yang tanpa sadar membantu orang lain. Cuti selama satu
semester kemarin, misalnya. Mungkin kalau memahami prinsip kausalitas, maka
saya nggak akan ada sekarang kalau tidak cuti enam bulan lamanya.
Saya
merasa apa yang dilakukan badan saya bergerak di luar kendali saya. Saat sendiri,
saya bisa mengendalikan badan, tenaga, bahkan kebosanan untuk berbagai macam
hal yang tidak pernah surut saya lakukan. Menulis seperti ini misalnya. Memikirkan
tugas atau membaca buku. Bermain kadang-kadang. Ada banyak hal. Tetapi saat
diserang hiruk pikuk bersama orang-orang, saya merasa seperti apa yang saya
ucapkan tidak saya sadari. Pikiran saya sedang melayang entah ke mana dan menyaksikan
diri saya sendiri mengoceh tiada henti tentang hal-hal yang tidak saya
kehendaki.
Saya
jadi gampang kesal pada orang lain, padahal tak lain disebabkan karena
kebodohan saya sendiri untuk menjadi diri saya sendiri. Jadi bukan salah orang
lain yang menyebabkan saya begitu kesal.
Mungkin
ini giliran saya untuk memusnahkan diri saya sendiri. Atau membentuk diri saya
yang baru. Saya merasa teman-teman saya sudah melalui perubahan itu dan sudah
waktunya bagi mereka berkembang. Kini saya pun harus begitu. Tidak ada waktu
untuk merengek-rengek dan memohon-mohon agar diringankan. Bahu saya harus lebih
lebar untuk menegarkan diri saya sendiri. Mungkin ini yang dinamakan mengasah
pikiran. Kalau tidak sakit maka tidak jadi. Dan saya paham bahwa orang seperti
saya tidak lahir dari kenyamanan. Saya terlalu merasa lelah untuk kembali
melewati perjuangan, mengandalkan orang lain, dan kemudian dikecewakan. Setidaknya
untuk hal-hal yang saat ini saya lalui, saya bisa berjuang sendiri. Saya
terlalu berekspektasi, terlalu ingin dimengerti, dan terlalu sendiri. Tak ingin
didekati meskipun terkadang saya merasa ada sepi yang menggigit-gigit ujung
jari. Ruang kosong ini adalah sahabat saya kendatipun tak pernah saya anggap
berarti. Mungkin suatu saat, saya akan kehilangan satu persatu sahabat saya dan
baru saat itulah saya merasa membutuhkan orang lain.
Kini
saya merasa tak membutuhkan orang lain karena saya tahu saya tak akan bisa
dimengerti. Kegelisahan yang muncul sejak beberapa malam terakhir membuat saya
tak bisa tidur malam dan tidur sepanjang hari. Di luar jam kuliah, saya merasa
berkeliaran tanpa tujuan yang jelas. Saya meliat diri saya yang transparan.
Minggu
kelima, dengan semangat yang berkobar, saya dijegal. Pemikiran saya dipangkas,
dan diri saya dicaci maki. Saya khawatir saya tak lagi punya semangat yang
membuat saya bangkit dan mengenyahkan semua pandangan itu. Saya hanya terlalu
bersemangat. Saya harus bisa lebih dari bersemangat. Saya tak bisa bertopang
dagu dan menyadari kesalahan-kesalahan saya tanpa bisa melakukan sesuatu.
Tetapi
kenapa terasa ada yang tertinggal?
Apa?
Apa?
Pertanyaan
saya seolah menggaung dalam diri saya. Kemarin, saya usai mengerjakan tugas
yang telah menumpuk dua minggu dengan harapan akan menghabiskan malam dengan
bersantai. Nonton film atau baca buku. Nyatanya hingga malam kegelisahan saya
tak bisa larut, seperti air dengan minyak. Saya terjaga hingga pukul tiga pagi
tanpa tahu apa yang saya maui. Menulis tidak, membaca tidak, menonton film
tidak, hanya mendengarkan lagu-lagu yang belakangan saya sadari memang saya
sukai.
Saya
ingin pulang. Meskipun tahu itu tidak menenangkan. Saya tidak bisa melarikan
diri. Dan untuk apa pergi kalau tidak dinikmati? Saya ingin melakukan segala
sesuatu dengan bersungguh-sungguh. Supaya meant
to be.
Saya
hanya merasa terlalu lelah dengan perang yang saya alami. Bukan perang, hanya
sebuah ketidaksinkronan dalam diri saya yang entah kenapa tidak bisa saya
selesaikan. Saya berusaha bicara pada orang lain, tapi tidak berhasil. Saya masih
punya masalah trust issues. Dan ketika
saya bicara pada orang yang saya percayai pun, juga tidak memberikan solusi. Untuk
saat ini saya tidak butuh didengarkan. Saya menyukai kegelisahan dalam
pemikiran saya, tetapi tidak dalam hidup saya. Saya sudah cukup merasa gelisah.
Khawatir. Cemas.
Dan
tidak akan pernah berhenti.
Sejujurnya
saya tidak tahu apa yang terjadi. Sungguh. Saya merasa baik-baik saja tetapi
seperti ampas teh di dasar gelas, ada yang tertinggal. Ada sesuatu yang
tertinggal. Jelas-jelas ada tetapi saya tidak bisa tahu. Ini seperti
mimpi-mimpi Alfa Sagala dalam novel Gelombang
karya Dee.
Ia
berdiri di depan pintu dan tak bisa melewatinya sementara ia tahu apa yang
dapat menyelesaikan kegelisahannya ada di balik pintu tersebut.
Saya
pun begitu. Saya berdiri di depan pintu tanpa lubang kunci. Pintu itu harus
didorong, didobrak, dihancurkan dengan gada. Pintu itu harus menjadi tiada agar
saya bisa masuk dan menyelesaikan direktori saya yang berceceran. Pintu itu
mungkin bukan inti permasalahan, setelah masuk pun saya akan masih mengalami
banyak distorsi dan gangguan. Dan bukan berarti terbukanya pintu itu menjamin
diri saya untuk dapat mengingat dan membereskan apa yang tertinggal. Tetapi
setidaknya saya harus melakukan sesuatu.
Saya
tidak bisa berhenti. Saya tidak tahu caranya berhenti.
Saya
tidak berani berhenti.
Lari.
Saya ingin lari.
Comments
Post a Comment