People Wanna Be
Suatu
kali saya berhenti di fitur explore
media sosial Instagram dan
menyaksikan berbagai warna menghiasi dinding profil orang-orang yang saya
kenal. Ada berbagai macam keindahan, pesona, dan makna yang ingin disampaikan
baik melalui satu foto ataupun bahkan satu akun. Terkadang saya terlalu
menganggap penting media sosial karena dengan orang di luar lingkup kegiatan
saya sehari-hari, hanya sekali dua kali atau bahkan tak pernah lagi saya
bertemu dengan mereka.
Kami
tumbuh dan berkembang dengan begitu cepat.
Saat
saya sibuk meningkatkan kualitas diri saya, saya kira semua orang pun begitu,
hal ini kalau dilihat dari laman media sosialnya. Semua orang berlomba-lomba
menjadi yang terbaik, atau kalau tak cukup, menjadi one of a kind. Satu-satunya. Trying
to be different. Style differently.
Make up differently. Talk, think, and read differently.
Sekarang nyaris sudah tidak ada yang pasang foto di Bromo karena sudah terlalu mainstream. Semua akan lebih bangga
kalau pasang foto antimainstream di
tempat yang juga one of a kind,
apalagi baru di jagat popularitas media sosial di Indonesia. Sebagai negeri
yang terkenal karena kecantikannya, tentu tidak susah menemukan hidden paradise di Indonesia. Silakan search dengan tagar ini dan yang keluar
adalah berbagai tempat dari ujung timur hingga ke ujung barat. Mulai dari yang
mahal sampai yang tak ternilai harganya.
Semua
orang ini menunjukkan. Showing, not
telling. Tetapi banyak yang gagal. Sehingga akhirnya terpengaruh paham telling, not just showing. Semua orang
ingin dianggap penting, dianggap berarti, dianggap sesuatu yang matter untuk orang lain. Atau setidaknya
tidak ingin dianggap jelek. Manusia punya banyak kecenderungan dalam dirinya,
dan yang ada sekarang adalah kecenderungan-kecenderungan yang berlomba menjadi
yang diutamakan. Kita menjadi mesin, menjadi tuli, dan menjadi tak mau pusing.
Itulah mesin.
Saya,
sebaliknya, tidak mampu untuk bahkan berusaha jadi trendsetter. Bisanya saya hanya follow-followan.
Saya tidak menemukan hal menarik dan ikonik dari akun saya, nampaknya saya juga
tak ngebet-ngebet banget ingin begitu. Real
life drives me more crazy than social media did. Saya tak punya foto high fashion, beautiful face, good landmark,
nice angel, or in any matter. Foto saya kebanyakan juga bukan dari alat
elektronik saya. Saya kurang bisa mengambil foto, dan karena kebetulan yang
nyata bahwa saya dikelilingi orang-orang yang good with cameras, jadilah saya punya akun Instagram. Kalo nggak, boro-boro deh...
Poin
saya adalah terkadang saya masih dipenuhi keinginan untuk meniru orang lain.
Seperti yang diceritakan N.H. Dini dalam novelnya Sebuah Lorong di Kotaku, saya terkadang masih berpikir “enak ya
jadi dia..” atau “dia emang ini sih...” atau bahkan “if I had one of those...” dan lain sebagainya, dan lain sebagainya.
Saya sering lihat Instagram orang
yang tidak saya kenal bahkan, di kehidupan nyata, dan bertanya-tanya bagaimana
seorang manusia, entah lelaki atau perempuan, bisa sebegitu immortal-nya lewat foto. Betapa kadang saya
meniru gaya orang saat saya difoto, atau kepenginan untuk foto seperti si itu
dan si ini. Its amazing, right? Bagaimana
orang-orang yang dulunya bahkan nggak pernah saya ketahui keberadaannya, muncul
in the middle of the commoners dan being the one that lead the attention.
Dan
tiba di titik pikiran saya mengatakan “kamu nggak akan bisa jadi mereka..” saya
menyadari betul bahwa memang saya nggak pernah bisa menjadi orang lain dalam
kesempatan apapun. Saya nggak bakal bisa menjadi seorang yang diciptakan bukan
untuk saya, atau bukan diri saya. Dan hal yang menyenangkan adalah, saya tidak
perlu berusaha karenanya. Its okay,
kok, saya nggak secantik dia atau nggak sebagus dia fotonya. Tekanan yang kita
dapat memang bukan tekanan yang bersifat mengikat, tapi trust me bahwa peer pressure
its woooooork effectively in any possible way. Terkadang daripada
kepenginan untuk jadi si a atau si b, yang lebih banyak saya pikirkan adalah
“kalo saya pasang foto ini, nanti bakal dikira gini sama orang..” atau “saya
suka foto ini, tapi nggak banget deh, kalo dipasang...”
Suck it. Sejak enam bulan belakangan,
saya mencoba menghapus bagian diri saya yang merasa terkekang dengan masyarakat
dan lingkungannya. Kalau sebelumnya saya ingin menyampaikan sesuatu, seperti image, harga diri, atau apalah itu, kini
saya ingin serampangan saja mengupload
foto. Yang bagus dan saya suka, unggah, unggah. Foto lama yang saya buat hanya
untuk bikin pengumuman ke orang-orang kalau “saya abis ke sini lho...” atau
“lihat nih saya ngapain..” bahkan “saya lagi main sama...” saya hapus dalam
waktu kurang dari beberapa detik.
Saya
tidak merasa bahwa diri saya tidak terikat dengan masyarakat, setidakpeduli
apapun saya akan lingkungan, yang terjadi adalah semakin erat saya dengan
masyarakat saya. Bahkan penolakan saya atas hal-hal yang terjadi di masyarakat
juga disebabkan oleh latar belakang saya yang dipenuhi hal-hal kemasyarakatan.
Dan hal ini tidak bisa dielak, apalagi dipungkiri.
Hal
ini menunjukkan bahwa semua manusia punya latar belakang.
Latar
belakang itu membentuk diri kita sekarang. Sementara untuk menentukan siapa
kita, kita harus menentukan masa depan. Tidak semua orang perlu tahu masa lalu
saya, bahkan saya ingin menghapus ingatan masa lalu saya dalam pikiran orang
yang nggak selayaknya tahu what kind of
struggle that I have been through. Semakin sedikit semakin baik. Hal ini
bukan karena saya nggak pengin diomongin. Saya hanya merasa bahwa kepercayaan
diri saya berkurang dengan semakin banyak orang yang melihat saya terlalu
transparan, orang-orang sok kultus yang melihat seseorang dari masa lalu
(saja).
Dari
titik inilah saya yakin bahwa saya bukan hidup untuk menuai ribuan, ratusan,
atau puluhan likers dan followers di akun media sosial saya.
Saya juga bukan hidup untuk mempertontonkan kepada siapa saya jatuh cinta dan
apa pendapat saya mengenai orang-orang religius totaliter (I’ll write about this later). Saya hidup untuk menjadi diri saya,
menyadari siapa diri saya, dan mencapai apa yang saya inginkan.
Orang-orang
yang terluka di masa lalunya, bukan hidup untuk disukai orang lain. Orang-orang
yang terluka dalam hidupnya, baik pernah ataupun selalu, tidak hidup untuk
menjadi sebuah wahana tempat orang bisa memperhatikannya bulat-bulat.
Orang-orang
penuh luka baik yang pernah sembuh atau masih terbuka seperti itu, tidak hidup
dari kenyamanan. Kita tidak dilahirkan di surga, for God’s sake. Adam and Eve
may ruin everything but we are not in debate position. Abso-fucking-lately not.
Seperti
awal mula alam semesta yang penuh rahasia. Kita pun ada dari kerahasiaan. Saya
tidak tahu bagaimana awal mula dunia ini terbentuk. Bahkan saya tidak tahu
bagaimana manusia bisa seperti ini. Tetapi teori yang meyakinkan tentang
terbentuknya alam semesta adalah bukan dari sekelumit surga yang dilemparkan
dalam kehampaan, melainkan ledakan-ledakan, letusan, buncahan, dan tabrakan
yang terjadi dalam kekosongan itu sendiri. Walaupun apapun itu adalah benda-benda
angkasa, tetapi bukan berarti mereka tidak hidup, bukan? Dan tentu saja
peradaban manusia yang seperti tisu di alam semesta ini juga tak mulus. Orang
harus keracunan sebelum tahu bahwa padi bisa ditanak untuk dimakan. Galileo
harus mati untuk membuktikan bahwa matahari adalah pusat rotasi galaksi kita.
Socrates harus mati untuk mempertahankan apa yang kita ketahui sebagai
kebenaran. Byzantium atau Konstantinopel harus bertahun-tahun bergelora dalam
perang tak berkesudahan, menyisakan mayat-mayat yang ditusuk kepalanya, meraung
untuk minta dibunuh saat itu juga, sebelum menjadi tanah yang dilapangkan.
Seperti
pepatah Rome wasn’t build in a day.
Semua hal di dunia ini butuh proses, bedanya hanya seberapa cepat atau seberapa
lama menurut takaran ilmiah. Tetapi kita sebagai manusia tidak peduli itu, kita
harusnya peduli pada seberapa banyak yang dapat kita terima sebagai sari-sari
hidup yang tidak pernah ingkar membahagiakan kita.
Negeri
ini juga butuh ratusan tahun dijajah oleh bangsa asing yang bahkan sudah sangat
korup di tahun-tahun nenek moyang kita belum berpakaian. Negeri ini diguncang
gempa, tsunami, ledakan, semburan, dan lain sebagainya sebelum kita bisa tahu
ada surga tersembunyi di dalamnya.
Kita,
seperti halnya alam semesta dan bumi ini. Seperti halnya negeri ini. Tidak
dibentuk dengan keindahan dan kemewahan. Tidak hidup untuk nyaman dan mencari
kasur. Kita hidup untuk sesuatu yang layak kita perjuangkan, yang membuat kita
mengajukan diri semisal ada kiamat dan hanya orang-orang terpilih yang berhak
untuk naik pesawat ke luar angkasa, diselamatkan untuk membentuk koloni-koloni.
Kita hidup untuk hidup. Tidak untuk dilihat orang sebagai sosok yang tak punya
cela. Kita hidup untuk membuat orang-orang akhirnya menyadari bahwa kita telah
mengalami banyak hal sebelum menjadi benih yang tumbuh cantik.
Saya
tak mau lagi punya keinginan untuk menjadi orang lain.
Saya
harus hidup dengan apa yang saya miliki, apa yang saya yakini, dan apa yang
saya kehendaki. Di masa sekarang, di mana perjuangan yang dilakukan anak-anak
muda menuai cibiran dan kedikan, seharusnya kita sadar bahwa orang yang telah
melakukan banyak hal dalam hidupnya takkan lahir dari kemengkilatan. Seperti
pensil, di mana mudah baginya untuk menjadi tajam sempurna ketika ia tak
melakukan apa-apa.
Ketika
saya menulis ini, mungkin ada orang yang berkata bahwa “ada kok,
perempuan-perempuan cantik seperti bidadari atau lelaki tampan seperti Arjuna
yang juga sukses di bidangnya.” Saya bukannya bilang bahwa Anda takkan bisa
mendapatkan keduanya, tetapi yang saya ketahui, sebuah perjuangan tidak
membutuhkan kecantikan di dalamnya. Kalau melalui memamerkan keindahan diharap
dapat membuat orang lain menghargai diri kita atau menyadari proses yang kita
lakukan, saya harap saya bisa mati sekarang.
Kecantikan,
ketampanan, keindahan, you name it,
adalah bonus. Orang yang sukses di bidangnya akan terlihat jauh lebih tajam
(saya lebih suka menggunakan istilah ini daripada cantik atau tampan) dan
memiliki raut yang menjanjikan. Orang-orang yang telah melalui banyak hal akan
menatap orang lain bukan dengan pandangan kosong tapi penuh penghargaan. Dan
tahukah, bahwa rahasia kecantikan dan ketampanan adalah percaya diri. Walau ada
yang bilang inner beauty itu bullshit atau bahkan new age bullshit, tetapi saya kok lebih
terkesan dengan perempuan-perempuan mandiri yang membangun bisnis, membentuk
sesuatu, menghasilkan sesuatu dan menampakkan senyum sederhana dibanding
perempuan yang bisanya belanja, nggak mau susah, dan minta diantar jemput
kemana-mana (apalagi tidak punya hasrat pemenuhan kebutuhan intelektual, ugh),
yang pamer foto di mobil pacarnya.
Kalau
Anda sudah pada tahap ini, maka ini bukan saatnya kita gaining followers or likers, ini saatnya Anda menginspirasi orang
lain, tanpa peduli jenis kelamin.
We’re not born to be just beauty. We’re born to colors this earth with our blessed soul
and make everybody hear our whisper. We’re born to be something amazing. Trust
me.
Name it,
princess.
Comments
Post a Comment