What a (Happy) Life!
Inikah
hidup yang saya inginkan?
Saat
saya bilang akan terus mencari ilmu, akan terus belajar, dan berusaha menjadi
lebih baik dalam pelajaran-pelajaran saya. Inikah yang saya maksud?
Di
tengah himpitan tugas-tugas yang merangsek tak keruan selama seminggu terakhir
sehingga tidak membiarkan saya punya banyak waktu luang di kampus. Saya harus
cepat-cepat ke perpus ketika ada waktu senggang.
Saya
juga mengganti play list saya menjadi
cadas karena rasa-rasanya selalu pengin tidur. Dan alangkah ruginya jika bangun
dan menyadari bahwa saya belum mengerjakan tugas ini itu. Sesungguhnya,
perasaan melewatkan sesuatu itu sangat tidak enak. Itu sebabnya saya berusaha
terus menghadiri jadwal kuliah saya yang nggak main-main. Mulai dari jam 7 pagi
saat kepengennya masih berselimut, jam 11 siang ketika matahari sedang
terik-teriknya, atau jam 4 sore ketika yang lain sudah pada pulang.
Rutinitas
yang sebisa mungkin tidak saya hindari itu berkolaborasi dengan cuaca yang
tidak menentu (panas sekali sampai hujan deras sekali), sehingga minggu lalu
saya tumbang. Bed rest selama akhir
pekan dan memutuskan untuk menyudahi kegiatan saya yang melenakan untuk tidur
dan tidur. Setidaknya sekarang saya sudah membaik. Jauh lebih baik walau masih
batuk, pilek, dan lelah minta ampun. Saya tidak punya banyak waktu untuk full time recovery. Ada banyak buku yang
harus saya buru. Banyak bacaan yang harus dituntaskan. Dan tugas-tugas yang
harus diselesaikan.
What a life!
Tetapi
kehidupan perkuliahan sungguh menyenangkan. Apapun yang terjadi, rasanya saya
tidak bisa pukul rata dengan kehidupan akademis saya di SMA. Kini saya sudah
cukup lelah dengan kegiatan-kegiatan yang seabrek, dan memutuskan untuk jeda.
Mengurus kuliah saya agar tak keteteran setelah enam bulan menganggur tak
bepekerjaan. Saya sedang dimanjakan oleh pendidikan. Melelahkan, tapi
melenakan. Saya banyak melupakan hal-hal di luar kuliah saya. Sungguh pun
keputusan saya untuk tidak nekat KKN terkadang memberikan alasan bagi saya
untuk meragu dan merasa gamang. Saya juga turut simpati pada teman-teman
seangkatan yang kuliah penuh dan akan KKN beberapa bulan mendatang. Saya selalu
berharap pilihan saya membuat saya tak melewatkan banyak hal. Sesungguhnya, ekspektasi
saya memang tidak.
Lalu
menyongsong kehidupan saya yang masih mengerikan di dalamnya. Menjadi misteri.
Misteri
yang membuat saya bertanya-tanya pada diri saya sendiri, jika saya diberikan
kotak Pandora berikut kuncinya, akankah saya buka?
Hidup
memang menawarkan perjuangan yang menggiurkan dan tidak main-main. Terkadang
saya merasa seperti sedang bersandar di sebuah bangku yang tidak nyaman dan
mengawasi teman-teman saya berpacu dengan kehidupannya yang sibuk. Bergulat
dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan baru yang menjanjikan. Saya tidak berdiri,
tidak juga sedang tidur seperti enam bulan lalu. Saya hanya sedang duduk dan
menjalani rutinitas saya dengan merunduk-runduk. Entah mengapa. Saya sedang tak
banyak ingin diperhatikan dan tak banyak ingin perhatian pada sekitar. Kiranya
saya mendapatkan apa yang saya berikan. Terkadang saya berharap demikian.
Dengan
jeruji yang sama, yakni pikiran saya, saya berharap dapat menembus celah-celah
kebodohan yang saya ciptakan sendiri. Saya mulai merindukan buku-buku yang saya
miliki semasa saya kecil. Ketika saya tidak peduli siapa pengarangnya, apa
penerbitnya, atau bagaimana review-nya.
Lewat sebuah buku kumpulan dongeng saya memandang Eropa tak kalah eksotisnya
dengan negeri sendiri. Dibuai oleh dongeng-dongeng mengerikan Pulau Kreta,
mengenai Laut Ikaria, Dewi Ariadne, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, saya
rindu buku-buku tentang Islam yang dulu menjadi bacaan yang menarik bagi saya.
Kini susah rasanya menemukan hal yang benar-benar menarik saya. Apalagi dari
segi agama. Saya belajar mengetahui perempuan-perempuan yang ikut berperang,
remaja-remaja tanggung yang tak segan meregang nyawa, dan lain sebagainya. Ada
banyak nama-nama indah dalam buku-buku agama tentang tauladan Islam, sahabat,
saudara, bahkan musuh para Nabi dan Rasul. Saya punya satu jilid dan kini tak
tahu entah di mana. Begitu pula buku dongeng yang penuh gambar dari Mizan
mengenai imajinasi dan fantasi yang begitu mendebarkan dan dekat. Kata-kata
yang mengalun halus, gambar-gambar yang bisa diwarnai, dan kisah-kisah yang
melenakan membuat saya sangat gemar jika diberi buku terbitan Mizan. Baik
tentang Thariq yang menalukkan Andalusia di Eropa, ataupun tentang tetes air
yang berbicara pada lilin di balik jendela.
Kiranya
lewat buku-buku tersebut saya suka sastra.
Kisah,
kata, dan gelimangan pengetahuan begitu menjanjikan bagi saya semasa kecil. Tak
bisa tidak, setiap minggu saya selalu punya buku baru. Begitu pula kumcer Bobo
yang diisi nama-nama sederhana yang mengena, Widya Suwarna, Pipiet Senja, dan
lain-lain.
Ah,
rindunya.
Barangkali
saya ingin menelusuri mengapa saya bisa begini. Saya ingin mengukir akar-akar
yang menjalari tubuh saya agar sepenuhnya bisa menjadi rajah yang sempurna.
Saya ingin mencacah pelajaran-pelajaran yang pernah saya dapatkan. Andai dulu
saya tahu betapa berguna semua itu bagi kehidupan saya sekarang, tentu saya
takkan mau menyia-nyiakannya.
Sebutlah
saya delusional. Atau mungkin sedikit sensitif. Di kala semua himpitan
kehidupan menerjang saya dengan pelan-pelan tapi pasti, saya malah melantur
membicarakan buku-buku yang kini tak saya ketahui di mana rimbanya.
Mungkin
pula ini efek dunia puisi yang belakangan begitu mendominasi saya. Sehingga
menjadi begitu perasa terhadap segala hal yang sekiranya mendatangkan inspirasi.
Saya juga mulai membenci bagaimana pelannya saya mengetik dan mencintai
rutinitas mengisi blog ini karena saya bisa tak terkendali. Uncontrolled. Membabi-buta melaknat dan
memuja apa saja tanpa ada yang peduli.
Kebebasan
kecil yang saya hargai, maknai, dan nikmati sepenuh hati. Sungguh.
Karena
itulah saya tak ingin banyak berleha-leha. Sebelum saya dimakan usia, saya
ingin banyak belajar dan membaca. Ada lebih dari lima puluh buku sastra oleh
penyair luar negeri yang saya ingin sekali miliki. Ada juga setumpuk buku-buku
kuliah yang menarik juga untuk ditelusuri. Saya ingin mulai belajar filsafat.
Bukan karena dijanjikan kemudahan oleh dosen saya yang mengajar hermeneutik.
Saya hanya ingin meneruskan pembelajaran saya sampai mati. Saya jujur muak dengan
orang-orang yang mengatakan bahwa belajar bisa di luar bangku pendidikan dan
lain sebagainya. Saya tidak ingin mendiskreditkan mereka yang tidak meminati
bangku perkuliahan atau pendidikan formal. Saya ingin manusia menghargai
dirinya lewat bagaimana mereka mengapresiasi apa yang mereka lakukan pada diri
sendiri. Tak usah banyak hina dan banyak nyela jika tidak bisa membentuk
cangkang yang selama ini imajinatif itu. Saya muak dengan pandangan orang bahwa
saya begitu biasa. Sekolah dan lulus dengan baik, kemudian kuliah sastra dan
menjadi anak baik-baik pula.
Terkadang
orang yang tak pernah merasakan kerasnya sol sepatu kita atau merasakan
bagaimana menyeimbangkan diri di atas sepatu berhak kita tak patut diberikan
apapun kecuali simpati.
Saya
benci melihat orang berhenti belajar.
Belajar,
bagi saya adalah menyempurnakan mimpi. Diraih atau tidak, digapai atau tidak,
dipercayai atau tidak, belajar adalah proses mistis yang tidak pernah saya
hindari. Setaksuka apapun saya terhadap kuliah saya. Bahwa hidup ini dibangun
dari pembelajaran demi pembelajaran yang kita lakukan. Kita tak boleh berhenti.
Tidak. Tidak. T i d a k.
Bagi
saya hidup ini terlalu lapang dan terlalu indah untuk mencaci milik orang lain.
Saya tak akan berhenti memburu bacaan, dan meramu tulisan, tentu saja.
Karenanya sungguh sikap yang sangat tidak produktif dan tidak menyenangkan
untuk sirik dengan hidup orang lain.
Di
semester enam ini, ada banyak hal yang harus saya lakukan.
Saya
semakin meyakini bahwa saya berada dalam jalan yang memang seharusnya. Tak
peduli seberapa terjal atau sakitnya, saya harus terus dan terus. Karena di
jalan inilah saya hidup. Saya jatuh cinta. Saya terpuruk. Saya merasai setiap
senti buku-buku jari saya yang mengapal. Saya selalu bertanya pula pada diri saya
apakah yang saya miliki ketika pengetahuan saya tentang sastra dirambas dan
dihapuskan begitu saja dari memori saya.
Saya
bukanlah orang yang spesial. Seperti halnya sebuah karya, saya merasa terbentuk
dari segala macam pengalaman, pengetahuan, dan pembacaan yang saya lakukan.
Sehingga tak peduli seberapa kuat saya mencoba mengingat, saya tak bisa tahu
tempat-tempat yang semasa kecil saya kunjungi. Yang saya ingat dari masa kecil
yang indah itu adalah hal-hal mencolok yang tidak melulu indah. Tetapi dipenuhi
buku-buku yang mempesona. Sedekat saya mengingat jarak dengan almarhumah Mama
ketika kami tidur di ranjang yang sama. Sedekat saya membaui napas Bunda dan
Tante saat tiba giliran tidur bersama mereka. Dan satu hari di masa itu, tuntas
seiring dengan redup lampu tidur di dinding yang lembab dan berjamur, dengan
perabot tua yang kini sudah kehilangan daya.
Meskipun
kini sudah tidak ada lagi. Sehingga menyisakan ruang-ruang kosong untuk
ditinggali. Menyepuhkan luka yang tidak seberapa tapi tak apa. Sebab saya tahu
betul, luka itu menyempurnakan kita. Luka itu mengingatkan kita, bahwa
selamanya hidup ini adalah mimpi-mimpi yang harus ditinggali.
Selepas hujan pertama minggu ini.
Comments
Post a Comment