And The Ordinary Is



            Saya punya banyak kebiasaan dalam hidup ini, kebanyakan di antaranya tidak penting dan tidak masuk akal. Ada juga kebiasaan-kebiasaan yang tergolong baik dan mendukung kemajuan saya meski saya tak tahu untuk apa.
            Salah satunya adalah membiarkan diri saya tetap dalam kesunyian.
            Saya adalah salah satu dari pengikut mainstream yang tidak bisa berpikir dalam hingar-bingar tertentu. Contohnya ketika menulis sesuatu. Sekacau apapun, serapi apapun, seperti apapun tulisan saya, hampir semuanya saya hasilkan dalam ketenangan. Suasana tempat tinggal saya untungnya jauh dari hiruk pikuk, kalaupun ada terdengar samar dan bergaung di kejauhan seolah mengingatkan saya akan waktu-waktu tertentu. Tapi lain-lainnya selalu saya kerjakan dalam kesunyian. Membaca dan menulis, tentunya. Saya sudah terbiasa. Katakanlah kebiasaan ini menjadi sebuah keharusan bagi saya. Tetapi terkadang saya ingin mencoba-coba sejauh mana keharusan ini berperan pada diri saya dalam dunia yang tidak pasti ini.
            Seperti saat ini.
            Saya menulis diiringi dentang musik yang semarak melalui speaker yang disetel dengan volume normal. Gangguan macam ini indah tapi melenakan. Saya terkadang tidak bisa diam di beberapa lagu tertentu dan saya juga bukan manusia hebat yang bisa melakukan dua hal di saat yang bersamaan, dalam hal ini; mendengarkan musik yang saya suka dan menulis hal yang saya mau. Distorsi terfokus macam ini yang paling susah dikendalikan, menurut saya. Saya biasa terganggu oleh apapun dan banyak hal. Tetapi gangguan yang paling parah adalah suatu hal yang benar-benar bermaksud dan bertujuan mengganggu saya dari rutinitas tertentu.
            Tetapi itulah hidup. Yang ingin saya sampaikan adalah sekuat apapun saya menjaga diri saya agar terus sehat, baik, bahagia, dan lain sebagainya, tetap ada kemauan terselubung dalam diri saya untuk berubah menjadi kacau sekacau-kacaunya. Dan hal itu wajar adanya. Terkadang kita merasa anti terhadap sesuatu sebelum terlebih dahulu mencoba melakukannya. Terkadang kita merasa tidak suka terhadap sesuatu sebelum terlebih dahulu kita mencoba memahami dan merasakannya. Dan proses percobaan itu memang tidak sepenuhnya enak, tentu saja. Tetapi layak dicoba dan menghasilkan apa yang tidak kita duga.
            Seperti Uwwi.
            Saya kenal Uwwi sejak semester pertama mengenyam pendidikan di kampus saya. Ia teman satu jurusan yang awalnya tidak akrab dengan saya. Kami beda circle pertemanan, tapi sama. Dan seperti arus-arus lainnya terbentuk, kami sama-sama mendekat karena merasakan ketidakcocokan akan hal yang sama dan merasakan hal yang sama.
            Empati itu memang lebih kuat dibandingkan simpati, dan kami telah membuktikannya.
            Detik ini, saya sudah tiga tahun mengenal Uwwi. Nyaris sama seperti teman-teman dekat saya di SMA. Sama seperti saya mengenal Ranti, Salsa, Muarif, Karin, Kamal, ataupun Kus. Meskipun beberapa di antara kami memilih jalannya sendiri di luar jurusan kami, kami yang tersisa dan yang ada memilih jalan kami sendiri pula meskipun satu jurusan. Terkadang saya merasa ajaib dengan bagaimana tuhan sedemikian apiknya mempertemukan orang-orang yang berarti dalam hidup orang lain.
            Berteman dengan Uwwi adalah keluar dari zona nyaman. Saya bukanlah orang yang gemar sekali bersosialisasi. Kegemaran saya sebatas pada rasa kesepian yang menggigit sebab jauh dari rumah dan keluarga. Tetapi berteman dengan Uwwi membuat saya harus keluar dari zona nyaman saya itu dan menyadari bahwa pertemanan dan persahabatan itu tidaklah sebatas menggusah kesepian yang selalu datang pada jiwa-jiwa kami.
            Dan kami tidaklah gersang.
            Kami subur. Meski tidak melulu menyenangkan dan bahagia. Tetapi selalu ada waktu yang diberikan Tuhan bagi kami untuk membahagiakan diri dan satu sama lain. Dulu saya pernah menduga bahwa persahabatan adalah bagaimana seseorang membahagiakan sahabatnya. Tetapi kian lama saya belajar bahwa
Kita tidak perlu menghabiskan waktu kita untuk mengatur apa yang harus orang lain lakukan untuk membahagiakan diri kita.
            Kita yang berhak pada diri kita sendiri. Kebahagiaan, kesedihan, kegagalan, kesukseskan, dan lain sebagainya merupakan wujud dari penghargaan kita atas diri kita sendiri. Tidak patut kita menyerahkan tugas tersebut pada orang lain. Dan saya terlalu percaya itu.
            Tetapi dengan Uwwi, saya tidak perlu takut merasa tidak bahagia. Bukan karena saya yakin bersahabat dengannya membuat saya akan selalu bahagia, tapi saya yakin ketika saya tiba pada masa saya tidak bahagia bersamanya, kami mengetahuinya sebagai proses kehidupan dan menganggapnya sebagai formula unik untuk membuat kami selalu menyemangati satu sama lain.
            Karena bahagia itu apabila kita bersahabat dengan orang yang bahagia.
            Karenanya saya tidak ingin jadi tidak bahagia. Saya ingin bahagia. Walau bukan untuk diri saya, setidaknya bagi orang-orang di sekitar saya. Kebahagiaan saya adalah penghargaan bagi mereka yang telah hadir dan mengajarkan sesuatu dalam hidup saya. Kebahagiaan adalah perasaan setelah babak belur akibat luka-luka yang terjadi dalam hidup kita dan mengetahui bahwa kita berhasil melaluinya dan bertemu dengan orang-orang baik.
            Saya tidak bilang bahwa kebaikan dalam hidup kita berlangsung tiada henti.
            Saya hanya ingin meyakinkan diri saya sendiri, dan Uwwi, dan siapapun yang membaca tulisan ini bahwa dengan kebahagiaan kita bersiap menghadapi apapun. Bahagia adalah persiapan terbaik seorang manusia menghadapi masa-masa yang memberatkannya. Bahagia adalah hak setiap manusia akan setiap langkah mereka yang beresiko kendati pun mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan selama ini.
           

            Teruntuk Uwwi, sahabat karibku di perantauan yang sepi tetapi semarak ini,
            Sejujurnya saya terkejut dengan diri saya sendiri yang bisa bersahabat dengan seorang perempuan sebegini lamanya setelah teman-teman SMA saya yang sungguh seperti bumi dan langit dengan kau. Saya kagum dengan kau yang bisa bersahabat dengan orang seperti saya. Karena saya tahu saya tidak sempurna, karena saya tahu saya tidak punya keuntungan untuk dikeruk, karena saya tahu terkadang kita malah tidak bisa melampaui orang-orang terdekat kita.
            Tapi di sinilah kita. Tidak saling melampaui. Saling kayuh dengan bercanda, saling adu argumen dengan mesra.
            Ketahuilah saya selalu berdoa demi dirimu, demi kemampuanmu mencecap dan mereguk kebahagiaan dan manfaat sebanyak-banyaknya dari hidupmu yang diberkati. Tulisan ini memang jauh dari kejutan, dan hari ini bukanlah hari yang istimewa. Tetapi inilah. Kebiasaan menulis sahabatmu yang terwujud di hari yang biasa pula. Agar kau mengerti bahwa cinta dan kasih tidaklah datang di hari terspesial di jagat raya, yakni kelahiranmu. Bahwa cinta dan kasih datang dari adanya hari-hari yang terjalin di antara hidup kita yang pelik dan nikmat. Cinta dan kasih seperti Ibu kita yang seberapa pun kita protes pemikiran dan tindak tanduknya, memiliki anugrah teristimewa dari Tuhan untuk ada dalam setiap fase kehidupan kita.
            Saya selalu kagum dengan kebaikan demi kebaikan yang kamu tanam dan tidak pernah merasa heran kamu mendapatkan kebaikan pula, karena itu yang berhak kamu dapatkan. Tidak lain tidak bukan. Ada sebuah quotes yang mengatakan bahwa: semua orang pasti akan menyakiti kita, kita hanya harus mencari seorang yang layak untuk kita merasa tersakiti.
            Sebagai seseorang yang tidak percaya bahwa manusia ‘dianugerahi’ dengan kelemahan, saya tentu percaya bahwa tubuh kita adalah sebuah entitas suci yang dibentuk Tuhan tidak dengan kesembronoan. Karenanya, sangat penting bagi kita untuk menemukan ‘orang yang layak membuat kita merasa tersakiti’ karena saya bahkan tidak yakin kita layak menyakiti diri sendiri.
            Tetapi di sinilah saya.
            Cinta datang dan pergi. Pasang dan surut. Mesra dan biasa. Tetapi kamu adalah orang yang kepadamu, saya rela merasa tersakiti. Sebagai sahabatmu, saya rela merasa diakrabi rasa tidak adil bahwa setiap manusia selalulah memiliki keinginan yang sederhana, tapi melambungkan.
            Apapun yang kamu lakukan, kini dan nanti, saya selalu percaya kamu bisa menjadi dirimu yang terbaik. Kebahagiaan saya adalah melihat sahabat-sahabat saya meniti karir, hidup, dan cinta mereka dengan jalan yang mereka buat, jalan yang mereka yakini. Maafkan saya apabila selama ini apa yang saya lakukan atau sarankan terkadang membuatmu bertanya-tanya atau membuat segalanya tidak sesuai dengan pengharapanmu. Seperti halnya kamu, saya ingin menjadi yang terbaik pula agar bisa berteman dengan orang-orang baik.
            Saya yakin kamu selalu punya bara api untuk terus memperjuangkan hidup yang kamu yakini. Walau apa yang kita jalani mungkin tidak sebaik tulisan ini (padahal tulisan ini mungkin pula tidak baik), saya tetap ingin mengenang masa-masa ini sebagai bibit yang kelak kita tuai saat kita berhasil meraih mimpi. Mengakrabi kenangan dan mesra akan kenangan memanglah sebuah kenikmatan yang tidak tergantikan. Anggaplah saya menabung demi masa depanmu yang gemilang. Hingga kelak suatu ketika kamu bisa mengatakan pada orang terdekatmu bahwa kamu pernah menjadi seorang yang berarti dalam hidup orang lain meskipun tidak punya kekasih. Atau di titik nadir terendah hidupmu kamu bisa membuka lagi alasan mengapa kamu bangkit, berdiri, dan terus memandang hari tanpa pernah takut mati, yakni dengan rekan-rekanmu. Sahabat-sahabatmu yang mungkin tidak selalu ada tetapi selalu setia.
            Seperti perahu kertas yang melaju perlahan di aliran sungai menuju kemanapun air itu mengalir, saya ingin kita bisa berpisah haluan agar punya banyak hal untuk diceritakan nanti. Saya gemar menambah informasi dan pengetahuan mengenai dunia yang tidak saya minati tapi menarik untuk didalami. Dan kamu menyajikannya.

Teruslah semangat, Uwwi.
Hari ini mungkin kita lupa kita siapa, usaha kita adalah membuat semua orang tidak lupa siapa kita dahulu.



Sahabatmu. Sebuah kepulangan yang selalu menginginkanmu berdiri dan berlari.
Selalu.
Innezdhe

Comments

  1. Aku tidak memiliki spesialisasi apa pun dibandingkan dengan kemampuan Innez. kecuali kemampuan ku untuk menjadi anak aktif dalam zona nyaman. Aku dipuji di depan banyak orang karena kemampuanku yg berdiri di atas doksa, bukan tentang hal besar yang kulakukan (karna memang mungkin tdk ada). Tuhan memberi Innez kemampuan menginterpretasikan banyak hal dengan baik dan mendalam. misalnya saja saat kita melakukan hal yang menyenangkan di klub, aku ingin dan antusias! Tapi aku hanya akan menari kecil dengan lagu yg ku suka dan terus memegang sosmed dungu milikku, tanpa gelas bermerk minuman keras sakali pun berukuran kecil, dan tidak ada cerutu. Aku belum bisa meyakinkan diriku sendiri atas beberapa hal yg kuinginkan seperti yg Innez sudah lakukan. Aku semacam sering tenggelam dalam percakapan dengan banyak orang, tapi sebenernya aku terus belajar dari mu, orang baik, orang khusus, dan spesial.
    Yang terpenting bagiku saat ini; kita adalah untuk menjadi siapa pun kita. berkilau dan mekar dengan kelebihan maupun kekurangan kita, karena selama berteman dekat denganmu yang bisa kuingat adalah mimpi dan kegagalan yang terus berarti.

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

  3. Dwi Utami12 April 2016 10.23
    Omoo, Terima kasih banyak ya, Innez, aku senang dan terharu membacanya. Mungkin kesepian saat ini adalah jenis kampanye, bisa kita lakukan untuk meningkatkan perenungan menuju kebaikan. Anyway demi selalu menjaga keromantisan kita, aku membuat tujuan yang sederhana: (tp yg ini masih rahasia). Hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)