Akal-Akalan

            Pulang.
            Dalam teori sastra perjalanan, manusia dapat dipahami sebagai makhluk yang hakikatnya berpindah. Dari satu titik ke titik lain. Dari satu tempat ke tempat lain. Kita tidak akan pernah bisa berdiam diri di satu titik yang lama. Karenanya ketika saya berhenti di titik ternyaman saya, wajar halnya saya didera kekhawatiran. Hakikat saya, dan kita semua, adalah untuk tidak berdiam diri. Einstein juga pernah bilang bahwa agar hidup ini seimbang, kita harus terus bergerak. Seperti sepeda.
            Setelah menyadari hal itulah, untuk pertama kalinya saya meragukan kosakata pulang dalam hidup saya.
            Saya menyadari bahwa sesungguhnya saya takkan pernah pulang.
            Manusia takkan pernah kembali. Ke manapun itu.

            Saya pernah menulis sebuah caption untuk foto saya di Senduro, Ranu Pani, mengenai kepulangan. Waktu itu saya sedang berkonsentrasi penuh untuk menggarap tugas saya, dengan novel berjudul Pulang karya Leila S. Chudori yang sakral bagi saya, sebagai objek materialnya. Saya terobsesi dengan setiap kata dalam novel itu, sehingga mencegah saya untuk membacanya berulang kali, seperti yang terjadi pada buku-buku lain di rak saya. Buku itu punya alasan yang cukup personal bagi saya. Dengan tokoh-tokohnya yang mengandalkan peran sebagai wartawan dan ceritanya yang kental berbau sejarah, saya tak bisa mengelak bahwa subjektivitas saya berperan penuh dalam minat saya yang sedemikian besar pada buku itu.
            Ibu saya adalah seorang guru sejarah. Ayah saya adalah seorang wartawan. Ketika saya menemukan ‘formula’ yang dapat memadukan keduanya dengan seindah itu, tidak ada alasan bagi saya untuk mengelaknya. Untuk mengenyahkan kegembiraan saya. Novel itu memang lebih dari sekadar pulang, tetapi bagi saya pengalaman membacanya mendekatkan saya dengan makna pulang itu sendiri.
            Saya merasa frasa pulang waktu itu begitu membekas bagi saya. Saya juga pernah bertemu dengan para refugee dari Afganistan dalam mata kuliah antropologi saya. Bagaimana kata pulang itu berimbas banyak pada mereka yang merasa dimusuhi, dilukai, dan nyaris dibunuh oleh ‘tanah kelahiran’ sendiri. Rasa itu muncul dalam diri saya. Kata pulang itu sakti.
            Setidaknya bagi saya.
            Jangankan orang-orang yang sama ras dan agamanya, saya yang tidak mengalami persimpangan ras dalam keluarga saya saja masih merasakan gamangnya kata asal dan pulang itu. Katakanlah dua hal itu berbeda. Bahwa asal adalah darimana kita bertumbuh, darimana kita ada. Dan pulang adalah kemana kita akan kembali, suatu tempat yang dari sana kita merasakan sense of belonging dan kesanalah kita akan mengistirahatkan diri kita, menemui semua petualangan kita dan menceritakannya kembali. Pulang telah membuktikan dirinya pada saya bahwa ia jauh lebih kompleks dibanding asal.
            Saya selalu takjub dengan orang-orang yang mendambakan rumah dalam hidupnya. Dalam bahasa Inggris, home dan going home memang sesuatu yang terkadang tak pernah lepas satu sama lain. Pulang memang tidak selalu ke rumah. Tapi rumah, selalu identik dengan kepulangan. Rumah adalah frasa lain yang memang jauh lebih kompleks, bahkan. Dan memang dalam dunia yang beragam ini, rumah akan selalu terasa hangat karena setidaknya, saya berharap kesamaan keinginan itu bisa mempersatukan banyak orang. Namun nyatanya, perbedaan definisi atas kepulangan itu sendiri sudah banyak berbeda sehingga tidak lagi membuat kehangatan bagi para ‘pemeluknya’. Selalu saja ada yang diperdebatkan, dipermasalahkan. Dipersalahkan.
            Saya bertanya-tanya bagaimana orang-orang mendambakan kepulangan mereka pada rumah itu. Rumah yang terkonstruksi sedemikian rupa dalam pikiran mereka. Bagi saya, konstruksi rumah yang akan selalu berubah sesuai dengan berkembangnya pikiran saya itulah yang begitu saya dambakan. Dan tentu saja, takkan pernah saya dapatkan.
            Sejak rumah masa kecil saya seolah bukan menjadi milik saya lagi, sense of belonging saya jauh berkuran dan kini bertahun-tahun saya serasa tak sudi menginjakkan kaki di sana. Tempat saya begitu banyak mendapatkan, dan begitu saja kehilangan sedemikian rupa. Saya kehilangan hal paling besar dalam hidup saya dan lantas begitu saja membuang kepulangan saya kepadanya. Sejak saat itulah saya mulai kehilangan pulang. Saya tak bisa pulang ke tempat yang bukan di sana saya merasakan jejak keberadaan saya sebelumnya. Saya masih tak bisa menerima keterasingan dalam kebaruan di hidup saya kala itu. Mungkin hingga sekarang. Saya masih tak bisa memaafkan diri saya atas kehilangan-kehilangan yang tak sanggup mengajarkan saya apapun itu. Atau yang darinya saya tak berhasil memetik pelajaran karena tak bisa segalanya diulang.
            Hingga masa dewasa saya, setelah saya melepaskan kepulangan saya, hanya sekali saya merasakan bahwasanya saya bisa memiliki rumah fana yang kokoh. Satu-satunya tempat kembali ketika dunia mengkhianati saya habis-habisan. Itulah fungsi pulang, bukan? Mengistirahatkan kita dari apa saja, mengenyahkan kita dari kepenatan apa saja, menerima segalanya dari diri saya. Saya tak pernah bisa berempati pada ketiadaan rumah dari para refugees yang saya temui itu, tapi saya merasa bahwa kepulangan kami bisa saja sama. Rumah bisa saja berbeda bagi setiap orang, dalam berbagai bahasa, budaya, kepingan-kepingan memori, dan lain sebagainya. Tetapi pulang, mendekatkan perbedaan itu menjadi sebuah kerinduan.
            Meskipun pada hal-hal yang belum kita kenal.

            Hari ini saya menulis dengan timpang. Selalu saja. Setelah melakukan hal bodoh, inilah yang rasanya selalu terjadi pada saya. Saya mugnkin hanya tidak ingin menunjukkan kebodohan saya terlalu jauh selain membiarkan diri saya terombang-ambing kata-kata. Saya merasa mencintai kata-kata sedemikian dalamnya hingga tak kuasa menggunakannya.
            Saya mungkin tidak lagi mengenal sense of belonging itu dalam diri saya. Saya sudah kehilangan rumah dan pulang sedemikian banyaknya sehingga tak ada yang tersisa untuk saya menumbuhkan harapan. Mimpi. Keinginan.
            Mengapa manusia selalu tergila-gila untuk memiliki rumah. Untuk bisa pulang dengan aman dan nyaman. Tidur dalam buaian dan menghempaskan kelelahan sampai tak bisa bangkit lagi. Bukankah kita hidup untuk berjuang? Lalu mengapa membutuhkan penyelesaian? Ketika beberapa hal yang kita percayai meyakini bahwa bahkan kematian tidak menyelesaikan apapun?
            Lantas untuk.. apa?
            Saya mungkin terlalu pragmatis. Melihat segala sesuatu berdasarkan kegunaannya dalam diri saya. Tetapi hal itu didasari keyakinan bahwa saya selalu percaya apapun itu dalam dunia ini selalu memiliki arti bagi kita. Tak peduli betapa baiknya, betapa buruknya. Kita yang harus pintar-pintar membaca, mempelajari, meyakini, dan memiliki perspektif.
            Saya terlalu yakin bahwa saya mempercayai kebaikan dan itu cukup.
            Saya pernah bilang bahwa saya ingin mencari pasangan yang menawarkan pergi, tidak menawarkan rumah. Karena saya tahu bahwa saya tak sebegitu layaknya menerima rumah. Beban seberat itu, tanggung jawab sebesar itu. Saya bahkan tak pernah sedikitpun memimpikannya. Saya merasa bahwa saya harus bisa berada di mana saja, sebenci-bencinya saya dengan perjalanan itu sendiri. Saya tidak berhak memiliki rumah karena saya tidak ingin meraihnya. Banyak orang lain yang memimpikannya dan biarlah mereka yang kelak memilikinya.
            Saya tidak pantas menerima kepulangan siapapun pada saya seperti halnya saya tidak pantas pulang pada siapapun.
            Saya terlalu berharap muluk selama ini. Saya selalu percaya bahwa rasa itu tidak akan berubah. Saya mengalami banyak sekali pergantian. Jangankan dari kekasih kemudian musuh, dari orang tua kemudian bukan orang tua pun (sekejam itu) saya berulang kali mengalaminya. Kehilangan pacar bakalan menjadi diare semalam bagi saya. Dan itu benar.
            Namun itu semua tidak berarti dibandingkan rasa yang tidak akan berganti. Saya masih menyayangi banyak orang dalam hidup saya meskipun kami sudah tidak lagi bersama, dalam banyak arti.
            Dan seperti biasanya. Saya salah.

            Saya kehilangan orang yang telah beberapa tahun saya harapkan dapat menjadi tumpuan saya. Lelaki yang dalam pertemuan singkatnya dengan saya dapat membuat saya meyakini bahwa kelak saya pun akan pulang padanya. Saya akan membantunya menjaga kesehatannya. Membuat keluarga sendiri. Dan meyakinkannya bahwa kegagalannya selama ini adalah usaha yang perlu dibayar agar ia bisa bersama saya.
            Saya selalu merasa tenang sebelumnya ketika mengingat bahwa terlepas dari segala kepelikan yang saya alami, suatu waktu kemudian saya akan bisa terlepas tanpa meninggalkan diri saya sebenarnya. Saya akan bisa menjadi diri saya sendiri di hadapan orang yang paling saya harapkan. Saya merasa saya dapat mengandalkannya. Saya berusaha mencintainya. Tidak peduli seperti apa kedengarannya tetapi saya masih harus berusaha untuk dapat memahami dan kemudian mencintainya.
            Dengan segala ketakmasukakalan yang saya lakukan, dengan diri saya yang begitu dipercayainya. Saya merasa masih punya seseorang untuk pulang. Meskipun itu bukan rumah.
            Dan seperti biasa.
            Saya salah.
            Kini saya telah kehilangan. Tak lain karena saya tidak menjaga. Dan itu bukan masalah. Selama saya tak pernah menyesalinya dan semua itu tak lain buah dari egoisme saya. Terhadap hidup. Hedonisme saya.
            Dan kepergiannya mengajarkan saya banyak hal. Lebih dari kehadirannya.
           
Saya takkan pernah pulang. Takkan pernah punya rumah. Tetapi saya bisa tinggal.


Saya kehilangan ayah saya.
Untuk kesekian kalinya. Dan seperti biasanya, saya tidak akan pernah bisa mencarinya. Saya tahu sulitnya mencari orang yang tidak mau dicari. Beliau punya alasan tersendiri. Saya pun demikian. Saya mendewasakan diri saya dengan merawat ego dan prinsip saya. Meskipun seorang diri.
Saya hanya ingin meminta maaf padanya. Ia sudah seringkali mengizinkan saya berencana memiliki rumah-rumah itu. Membiarkan beberapa orang meyakinkannya bahwa ia takkan perlu lagi merasa khawatir pada saya. Yang demikian jauh darinya. Terkadang demikian tak teraihnya olehnya. Pada akhirnya pun saya gagal membentuk rumah itu. Harapannya agar saya bisa mengendalikan diri saya, menjadi diterima oleh lingkungan begitu saya memiliki rumah tersendiri sepertinya takkan pernah bisa saya wujudkan. Banyak kesempatan terbuang begitu saja. Dan saya tak punya banyak waktu untuk memperbaikinya. Saya harus berhenti membiarkannya bertemu dengan orang-orang yang menjanjikannya untuk menerima kepulangan anaknya ini. Saya harus berhenti memberikannya harapan. Saya harus berani mengatakan terus terang padanya bahwa semuanya sia-sia. Rumah itu takkan pernah terbangun, saya takkan pernah pulang pada siapapun. Dan hal itu tak masalah. Saya bisa menjaga diri sendiri. Saya harus berhenti menggantungkan diri pada orang lain. Dan bertanggung jawab atas diri saya sendiri.
Saya harus membuang persona-persona yang kepadanya saya memimpikan kepulangan pada rumah itu. Maupun mimpi-mimpi yang secara jelas menyuratkan saya yang akhirnya kembali ke haribaan, pangkuan rumah terakhir. Saya harus memberangus kenyamanan dalam hidup saya agar tak tanggung-tanggung memulai perjalanan. Saya harus percaya, apapun alasannya, sejauh ini, saya takkan pulang.
Rumah adalah ilusi, sekaligus fakta yang mengerikan yang terlalu baik untuk jadi kenyataan. Setidaknya saya telah sedemikian lunak pada diri saya sendiri.


Daun pintu yang jatuh di matamu. Kuharap tidak mampu membukanya kembali.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)