Manakala

            Mencintai diri sendiri.
            Selambat-lambatnya saya mempelajari sesuatu, saya selalu bersyukur setidaknya memiliki kemampuan tertentu untuk menyadari keterlambatan saya itu. Terkadang saya diingatkan dengan perasaan-perasaan tertentu sebagai manusia, seperti lapar, marah, tak sabar, sedih, lelah, lemah, dan lain sebagainya. Tidak begitu banyak yang selanjutnya memiliki arti dalam hidup saya, tetapi saya selalu bersyukur telah memilikinya. Merasakannya sebenar-benarnya milik saya.
            Awal tahun seperti ini selalu menuai berbagai dilema tersendiri bagi saya. Tentunya karena diri saya yang stuck di sini-sini saja tanpa ada progress berarti. Saya selalu merasa tersandung dalam melakukan apapun di tahun sebelumnya, dan hal yang sama berulang setiap tahunnya. Tanggal 5 Januari adalah hari berkabung yang saya pelihara hanya untuk memikirkan kemungkinan, probabilitas atas hidup saya sendiri andaikan tidak seperti sekarang. Andaikan di titik balik sepuluh tahun lalu, semuanya terjadi begitu berbeda. Saya tidak bisa memutar kembali waktu, dan ada tiga kaidah yang sekurang-kurangnya saya pahami mengenai waktu sehingga tidak membuat saya berselera untuk kembali dalam momen yang sama dan mengulangi hal yang sama pula. Tetapi adakalanya saya sadar, hal itulah yang akan terus menghantui hidup saya, selamanya.
            Saya masih tidak bisa memaafkan diri saya akan beberapa hal yang terjadi dalam hidup saya, hal yang pernah saya lakukan. Dan saya takkan pernah sanggup menuliskannya. Bukan karena saya enggan memantaskan diri saya dan mencari pembelaan atas segala kebodohan yang saya lakukan, tapi karena saya percaya perkataan Rose dalam Titanic ketika ia berkata bahwa hati wanita adalah samudera terdalam; tak seorangpun dapat menyelaminya. Saya juga ingat kata-kata yang saya dapati dalam novel milik ibu saya bahwa seperti apapun suami dalam hidup seorang wanita, ia tetaplah orang asing. Dan oleh karena itu, kita tidak berhak merasa asing dengan diri sendiri. Sekurang-kurangnya seperti Holly Golightly.
            Vermouth (entah Chris atau Sharon Vineyard) dalam serial manga Detective Conan selalu mendesiskan, “a secret makes a woman woman”. Dan baru bertahun-tahun kemudian saya mengetahui bahwa meskipun saya selalu terbuka (saya selalu bilang bahwa “I’am an open book”), saya akan tetap menyimpan diri saya dalam-dalam. Saya menyimpan 7 deadly sins yang kemungkinan tak akan pernah terbuka. Ketika saya sendiri mencoba, saya seperti Pandora. Selintas lalu dan semuanya menjadi biru. Kemudian saya tutup kembali. Saya simpan rapat-rapat. Kuncinya selalu tertanda setiap Januari, dibuka, dipastikan tetap utuh dan kemudian mendiamkannya kembali. Membuangnya ke samudera seperti biasa.
            Sejak saat itu, saya percaya bahwa yang setia adalah kesendirian manusia. Tempat saya merenung, bahkan bahagia dan menangis sedih. Pepatah Jepang bilang bahwa manusia punya tiga wajah yang ditunjukkannya masing-masing pada orang asing; kemudian pada keluarga dan orang terdekat; dan yang terakhir adalah ketika dirinya sendirian. Setiap kali saya merasa saya terlalu pusing karena kebosanan atas kesendirian-kesendirian saya, saya akan keluar. Bertemu banyak orang dan berusaha menciptakan suasana yang nyaman bagi saya sendiri. Kemudian saya sadar bahwa saya tak selayaknya melakukan itu. Dan hal yang paling saya inginkan adalah bergelut dengan kediaman.
            Hingga kini saya belajar bahwa tidak ada seorangpun yang akan mampu mengerti saya. Orang memandang saya semau mereka, sesuka mereka. Beberapa yang mengatakan bahwa mereka mengenal saya, mengerti saya, memahami saya, hanya terhenti pada ‘memaklumi saya’. Mereka tak akan melakukan apa yang saya lakukan jika mereka berada dalam kondisi saya. Dan mereka selalu berhenti memandang saya lebih jauh seolah-olah karena saya tak berkembang. Saya berhenti pada kepuasan mereka merasai bahwa mereka mengenal seorang saya. Dan tak perlu lebih dalam. Tak perlu lagi dipelajari. Saya adalah apa yang mereka kenal. Tidak lebih.
            Jika tiba di titik itu, saya selalu berhenti dan mengambil jarak. Kondisi seperti itu membuat saya tidak menantang diri saya sendiri. Saya akan juga merasa puas dengan apa definisi dan deskripsi orang mengenai diri saya dan saya selamanya takkan maju. Saya takkan berkembang. Doksa itulah yang harus saya berangus. Orang takkan pernah mengerti saya. Apa yang saya gelisahkan, apa yang menjadi polemik, dan apa yang menjadi perhatian saya.
            Itu sebabnya saya tak pernah berminat mengetahui apa yang dikatakan zodiak, shio, atau bahkan cenayang tentang diri saya. Mengetahui hal itu hanya akan menghambat saya. Sejauh yang saya ingin ketahui adalah kulit terluar dari keinginan terdalam saya yang takkan mampu dideteksi bahkan oleh NASA sekalipun.
            Saya tidak mengatakan bahwa saya orang yang demikian dalam. Demikian tak teraihnya. Tidak. Saya bahkan terlalu sederhana. Saya akan menjadi sederhana ketika orang mengetahuinya. Dan itu bukan masalahnya. Tidak penting seberapa muluk manusia selama ia tidak bisa meraih apa-apa. Tetapi pandangan orang tentang saya terkadang menjadi buram dan mereka terlalu dangkal merasainya.
            Saya tidak menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan mereka memahami saya. Saya hanya ingin orang berhenti melakukannya sama sekali. Mereka melakukan hal yang percuma. Sia-sia. Sebab saya tahu, di titik mereka merasa bahwa saya tidak bersisa sama sekali, saat itulah saya merasakan utuhnya diri saya yang tidak sanggup mereka lihat. Dan menjadikan saya tak perlu banyak pusing dengan apa yang mereka pikirkan.
            Saya semakin yakin bahwa saya membutuhkan kesendirian. Saya tak ingin banyak bicara, pengalaman saya sampai akhir-akhir ini, apa yang saya keluhkan dan ceritakan tak menarik minat orang, bahkan sering dipotong dengan tidak sopan dengan hal yang out of topic. Entah apa maksudnya. Mungkin saya membosankan. Basi. Klasik. Platonis. Tidak penting. Monoton. Dan saya belajar untuk menahan diri saya. Toh, tidak ada gunanya. Menceritakan ini itu takkan membuat hidup saya jadi mudah dan saya tidak menerima kelegaan. Dari siapapun itu.
            Dulu saya merasa bahwa saya terlalu banyak mendengar. Saya kurang bicara. Saya tak sanggup bicara seperti orang lain karena terkadang apa yang mereka pikirkan berbeda dengan saya. Dan saya tak sanggup bicara. Saya selalu dipandang sesuka mereka, sekeras apapun saya mencoba memberikan pengertian baru, semakin mantap mereka menjustifikasi. Akhirnya saya mulai bicara. Tidak lain untuk mencari vibes saya sendiri. Walau terkadang saya dipandang tidak asyik, tidak bisa bersilat lidah, tidak seru, dan lain sebagainya, saya bersyukur suatu kali saya menemukan vibe itu. Saya berterima kasih karena mendapatkan orang-orang yang satu pemahaman. Satu pemikiran. Satu perasaan, bahkan. Ajaib. Saya masih ingat betapa kecilnya dunia ketika saya berbincang dengan orang-orang ini. Saya tak berhenti merasakan perasaan positif meskipun kami usai bertemu.
            Tetapi saya sadar. Mustahil menemukan orang yang benar-benar selaras dengan kita. Mereka pada akhirnya berhenti dengan permakluman-permakluman mereka atas saya dan tak berkehendak mencari dan menggali lebih dalam. Bagi mereka, saya adalah saya yang sama dengan yang mereka temui pertama kali. Tak peduli betapa saya menganggap mereka begitu kompleksnya sebagai individu, bagi mereka saya hanyalah saya yang dapat dijelaskan dengan remeh. Sekali lagi, dengan remeh.
            Saya mulai muak berbicara.

            Saya selalu merasakan gelombang dan dorongan untuk menulis yang tidak tentu. Terkadang saya bisa lupa sama sekali dengan menulis karena saya merasa orang-orang di sekitar saya sedang dalam tahap yang menarik, bersemangat memahami saya. Dan saya bersemangat memahami mereka. Tetapi selalu tak lama. Saya selalu dikecewakan. Maka saya kembali ke tulisan.
            Memang saya tak bisa membayangkan bahwa kelak saya akan menemukan orang yang benar-benar bisa mengerti saya tak dalam ucapan dan perlakuan, tetapi dalam pergulatan pikiran, sehingga saya bisa berhenti menulis dan mulai menumpahkan diri saya sepenuhnya pada mereka. Saya terlalu skeptis dengan orang-orang. Tak akan ada yang mau repot-repot menghabiskan waktu menjadi orang-orang yang saya inginkan ketika orang di sekitar saya masih belum selesai dengan dirinya sendiri. Sebab itulah saya percaya bahwa soulmates itu born, tidak perlu berusaha. Kelak manusia akan menemukan stream-nya sendiri. Kalau tidak cocok, ya berarti bukan. Dan seperti yang saya katakan sebelumnya. Tidak ada yang masalah dengan tidak cocoknya kita dengan orang lain. Setiap individu bebas merasai apa yang ingin mereka rasakan.
            Dunia selalu menjadi milik kita sendiri, agar kita tahu ke mana seharusnya kita melangkah.
            Betapa hidup manusia selalu diisi dengan permakluman-permakluman yang menyakitkan agar bisa bersama satu sama lain.
            Saya mungkin harus berhenti mendesak diri saya untuk memberikan pemahaman yang seharusnya tentang diri saya pada orang lain. Semua orang adalah orang asing.

            2017, saya mendambakan keterasingan yang seharusnya saya dapatkan. Bukan orang-orang yang merasa mengerti saya, mengklasifikasikan saya, mendeskripsikan saya seenak mereka berpikir dengan kemampuan akal yang segitu-segitu saja.
            Saya kecewa. Marah kepada kehendak saya sendiri yang tak tahu arah tujuannya. Toh apa yang saya inginkan takkan saya dapatkan, apalagi dengan cara yang saya inginkan. Dan semakin saya menulis, semakin saya menyimpan segala bentuk ketidakterimaan atas diri saya. Yang sepatutnya saya tahu sendiri.

            Orang-orang bebas menyakiti saya, terutama dengan bagaimana mereka berpikir tentang saya. Itu hak mereka. Saya tidak lebih baik dengan tidak menganggap penting keberadaan mereka karena itu bukan kapasitas saya selama ini. Saya tidak lahir untuk itu. Tetapi orang-orang sedekat nadi yang merasa mereka memahami saya luar dalam, hanya karena mengalami berbagai hal dengan saya mereka merasa mengerti segalanya dan sanggup menangguhkan saya dari apa yang saya derita: tetaplah bermimpi. Semoga Tuhan memeluk mimpi-mimpimu karena saya takkan lebih rendah lagi untuk mengatakan bahwa kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan.
            Hingga kini, setelah ratusan kali percobaan, saya sedang meneguhkan kepercayaan bahwa memang tidak ada yang bisa.
            Dan mungkin hubungan manusia seumur hidupnya hanya diisi permakluman atas ketidakmampuan masing-masing pihak untuk mengerti satu sama lain seutuhnya. Tetapi daripada kesepian, mereka memilih melakukannya.
            Saya tidak berniat jadi Irene Adler. Sekalipun tidak.
            Tetapi membayangkan diri saya berada dalam permakluman itu adalah kulit terluar dari impian terdalam saya. Sama saja mengurung saya sampai mati, tidak beranjak dan terus hidup dalam jaringan maya. Di blog ini.


Hujan yang juga menyuburkan gulma; rumput liar di jambangan depan kamar.

Comments

Popular posts from this blog

My Own Steps

Aku Tidak Apa-Apa:)

(Kosong)